• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur CollumFemur

2.1.1 Epidemiologi

Fraktur pada collumfemur merupakan hal yang umum terjadi, dan mencakup sekitar 20% dari fraktur yang harus dioperasi pada bagian orthopaedi. Fraktur pada collumfemur merupakan tantangan besar bagi seorang ahli bedah orthopaedi. Seiring dengan perkembangan zaman, dan meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan, maka angka harapan hidup akan semakin meningkat, sehingga akan bertambah banyak jumlah pasien geriatri di masyarakat.

Fraktur collumfemur paling sering terjadi pada pasien wanita dengan usia tua, dan jarang terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 60 tahun. Fraktur ini juga berhubungan dengan faktor rasial, yaitu lebih sering terjadi pada ras kulit putih, bila dibandingkan dengan ras kulit hitam. Angka kejadian meningkat secara eksponensial seiring dengan pertambahan usia.

Studi epidemiologis telah berhasil mengidentifikasi beberapa hal yang dapt menjadi faktor resiko terjadinya fraktur collum femur, diantaranya adalah : (1) Body Mass Index yang rendah (<18,5), (2) Paparan terhadap sinar matahari yang rendah, (3) Aktifitas rekreasional yang rendah, (4). Perokok, (5). Riwayat fraktur akibat osteoporosis sebelumnya, (6). Pengobatan menggunakan kortikosteroid dalam jangka waktu lama. 1.2

2.1.2 Anatomi

Bagian femur dari panggul terdiri dari caputfemur dengan kartilago artikular serta collumfemur, yang menghubungkan antara caput femur dan diafisis femur pada daerah antara trochanter mayor dan minor. Membran synovial menempel pada seluruh permukaan caput femur dan collum femur di bagian anterior, dan hanya bagian proksimal dari posterior collumfemur. 3

(3)

Gambar 1. Os. Femur

(Dikutip dari: Thompson J. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia : Saunders – Elsevier, 2010. P : 249)

Ukuran dan bentuk dari collum femur sangatlah bervariasi antar individu. Terdapat pembengkokan ke anterior dari collum femur (femoral anteversion) yaitu sekitar 10° ± 7° pada individu normal. Diameter dari caput femur sebesar berkisar antara 40 – 60 mm tergantung dari ukuran tubuh individu. Ketebalan dari kartilago sendi bervariasi antara 4mm pada apex caput femur dan 3mm pada bagian perifer. Collum femur bersudut dengan diafisis femur (neck shaft angle) sekitar 125 - 135° pada panggul yang normal, sudut collum – shaft femur yang kurang dari normal disebut coxa vara, dan sudut yang berukuran lebih besar dari ini disebut coxa valga.

(4)

Gambar 2 : Bentuk varus dan valgus dari collum femur

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

2010, p. 1563 – 1592)2

Hip axis length adalah jarak antara sisi lateral dari regio trochantersepanjang sudut dari collum femur hingga ke permukaan dalam dari pelvis. Peningkatan dari panjang hip axis length, lebar collum femur serta lebih kecilnya neck shaft angle berhubungan dengan peningkatan resiko mengalami fraktur collumfemur2

(5)

Gambar 3 : Hip Axis Length dan Neck Shaft Angle (α)

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

2010, p. 1563 – 1592)2

Sudut collum femur dan femoral neck anteversion harus dipertimbangkan pada perencanaan pre operasi untuk menentukan rencana reduksi dan fiksasi. Peningkatan sudut anteversi femur yang ditemukan pada kasus coxa vara atau coxa valgaakan mempengaruhi tempat peletakan implant1, 2

Sistem trabekula internal dari caputfemur – collumfemur berorientasi sesuai dengan garis pembebanan pada tulang, bagian paling tebal berasal dari daerah calcar dan melebar ke bagian bawah dari caput femur.. Calcar femorale adalah lempengan tulang yang tebal yang berasal dari bagian posterior sisi medial dari diafisis femur, yang kemudian akan menyatu dengan collum femur dan melebar ke superior mengarah ke trochantermayor, kemudian akan menyatu dengan korteks sisi posterior dari collumfemur 4.

(6)

Gambar 4 : Garis trabekula pada caput dan collum femur

(Sumber : Thompson J. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia : Saunders – Elsevier, 2010. P : 249)

Aliran darah ke caput femur berasal dari tiga sumber : (1). Pembuluh darah kapsular, pembuluh darah intramedullary, dan pembuluh darah dari ligamentum teres. Pada orang dewasa, sumber paling penting untuk vaskularisasi untuk caput femur adalah pembuluh darah yang berasal dari pembuluh darah kapsular. Pembuluh darah kapsular ini berasal dari arteri femoralis circumflexa medial dan lateral yang pada 79% dari populasi merupakan cabang dari arteri femoralis profunda, sedangkan pada 20% populasi salah satu dari cabang ini berasal dari arteri femoralis, dan sisa 1% dari populasi kedua pembuluh darah ini berasal dari arteri femoralis. A. circumflexa medialis dan lateralis membentuk cincin anastomosis ekstrakapsular pada pangkal dari leher femur, kemudian membentuk ascending cervical capsular vessel. Kemudian pembuluh darah ini menembus kapsul anterior pada pangkal dari leher femur setinggi garis intertrokanterika. Pada sisi posterior dari leher femur, pembuluh darah ini menembus kapsul dibawah serat orbicularis menuju permukaan sendi. Didalam kapsul, pembuluh darah ini disebut sebagai pembuluh darah retinakular. Terdapat empat kelompok utama (anterior, medial, lateral, dan posterior) dimana kelompok lateral adalah kontributor utama untuk suplai darah pada caput femur.2

(7)

Gambar 6: Kapsul sendi panggul dan penebalannya (ligamen), dari sisi anterior (A), dan posterior (B)

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p.

1563 – 1592)2

Pembuluh darah retinacula yang paling penting berasal dari cabang profunda dari arteri femoralis circumflexa medial . Pembuluh darah ini memperdarahi daerah weight bearing utama dari caput femur. Peranan arteri femoralis circumflexa lateral dan pembuluh darah metafisis tidak begitu penting bila dibandingkan arteri femoralis circumflexamedial. Pada perbatasan antara permukaan sendi dari caput femur dengan collum femur, terdapat cincin anastomosis kedua, yaitu subsynovial intraarticular ring. Ujung terminal dari arteri circumflexamedial profunda menembus caput femur 2-4 mm proksimal dari permukaan sendi pada sisi posterosuperior.2.3

(8)

Gambar 5 : Anatomi vaskuler dari caput dan collumfemur. (A) Sisi anterior, (B) Sisi Posterior. LFC : Lateral Femoral Circumflex Artery (Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p.

1563 – 1592)2

Kapsul dari sendi panggul meluas kebawah hingga garis intertrokanter pada sisi anterior dari collum femur, namun di sisi posterior, bagian lateralnya tidak ditutupi kapsul sendi (ekstra kapsular). Terdapat tiga ligamen yang merupakan penebalan dari kapsul sendi panggul dan berfungsi sebagai stabilisator dari sendi panggul, yaitu ligamen ischiofemoral yang membatasi gerakan interal rotasi pada fleksi dan ekstensi. Ligamen iliofemoral mengontrol rotasi eksterna pada fleksi, dan rotasi internal serta rotasi eksternal pada ekstensi. Ligamen pubofemoral mengontrol

(9)

rotasi ekstenal pada saat ekstensi dengan bantuan ligamen iliofemoral. Peningkatan tegangan pada ligamen iliofemoral diduga berperanan dalam patogenesis fraktur collum femur dan kominusi dari collumposterior; yang merupakan karakteristik dari cedera ini.1.2

Sendi panggul mendapat persarafan dari nervus obturator, femoral, ischiadicus, dan n. gluteus superior. Sisi anteromedial dari sendi dipersarafi oleh nervus obturatorius, sedangkan kapsul anterior mendapatkan persarafan dari nervus femoralis. Bagian posterior dari sendi panggul dipersarafi oleh nervus ischiadicus dan sedikit kontribusi oleh nervus gluteus superior.5

Fleksi panggul terjadi akibat kontraksi dari otot iliopsoas yang berinsersi pada trokanter minor. Saat collum femur intak, kontraksi pada otot ini juga menyebabkan rotasi interna. Sedangkan saat terjadi fraktur pada collum femur, tarikan otot akan menyebabkan rotasi eksterna pada batang femur. Rotasi eksterna dari panggul juga diakibatkan oleh kerja otot piriformis, gemellus dan obturator internus. Sedangkan abduksi panggul akibat tarikan dari otot gluteus yang dipersarafi oleh nervus gluteus superior. Aduksi pada panggul terjadi akibat tarikan dari otot yang berada dalam kompartemen adductor, yang dipersarafi oleh nervus obturator. Otot-otot ini terdiri dari m. adductor longus, adductor magnus, dan adductor brevis. Kelompok otot ini tidak begitu penting dalam fraktur collum femur, namun dapat menyebabkan pemendekan tungkai pada fraktur intrakapsular yang mengalami pergeseran (displaced).1.2

2.1.3 Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi yang telah diciptakan untuk fraktur pada collum femur. Beberapa peneliti membedakan fraktur collum berdasarkan lokasi anatomisnya, membedakan fraktur intrakapsular menjadi subcapital dan transcervical. Namun tulang pada daerah transcervical lebih kuat daripada di daerah subcapital. Kemudian terdapat kesulitan untuk menentukan lokasi fraktur yang tepat bila hanya dengan pemeriksaan foto polos saja. Sebagian besar fraktur collum terjadi pada daerah subcapital, namun lokasi dari fraktur intrakapsular tidak banyak mempengaruhi keputusan terapi maupun hasilnya. Derajat pergeseran (displacement)

(10)

yang lebih penting untuk dipertimbangkan, dan merupakan dasar dari klasifikasi yang paling banyak digunakan.1.2

2.1.3.1 Klasifikasi Garden

Klasifikasi ini diciptakan pada tahun 1961, dengan membedakan fraktur collum femur menjadi empat grup yang dibedakan berdasar derajat pergeseran (displacement) dari collum femur. Penilaiannya didasarkan atas hubungan dari garis trabekular di caputfemur dengan di acetabulum melalui foto polos AP. Pada panggul yang tidak mengalami fraktur, garis trabekular pada caput femur memiliki orientasi yang sama dengan garis trabekular yang berada di acetabulum. 2.3

Klasifikasi ini memiliki tingkat kesepakatan interobserver dan intraobserver yang rendah. Penelitian Frandsen et al menyimpulkan tingkat kesepakatan interobserver hanya sekitar 22% pada keempat kelompok. Dokter bedah hanya menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi pada saat menentukan apakah fraktur digolongkan undisplaced (Garden I dan II) atau displaced (Garden III dan IV). Sehingga klasifikasi ini berguna untuk menentukan jenis penanganan selanjutnya, sesuai dengan algoritma fraktur collumfemur displacedatau non displaced.

Pada klasifikasi Garden I yaitu fraktur subkapital impaksi valgus, terjadi fraktur yang inkomplit, dengan garis fraktur di sisi lateral tidak menembus korteks sisi medial. Sehingga garis trabekula pada caput femur membentuk sudut dengan garis trabekula pada acetabulum. Pada Garden II dimana fraktur bersifat komplit namun tidak mengalami pergeseran (non displaced), sehingga garis trabekula pada caput femur kolinear dengan garis yang berada di acetabulum dan collum femur di sisi distal dari fraktur. Pada klasifikasi Garden III dimana terjadi fraktur subkapital dengan pergeseran yang tidak komplit (incompletely displaced), caput femur tidak hilang kontak dengan collum femur, namun caput femur dalam posisi varus dan ekstensi, sehingga mengakibatkan angulasi pada garis trabekula. Angulasi yang tercipta memiliki arah berkebalikan dengan Garden I. Yang terakhir Garden IV yaitu fraktur yang mengalami pergeseran komplit (completely displaced) sehingga garis trabekula pada caputfemur sejajar dengan garis pada acetabulum akibat caputfemur kembali ke posisi netral dalam acetabulum, sedangkan collum femur kehilangan

(11)

kontak dengan caput femur dan mengalami rotasi eksterna, sehingga garis trabekula pada collumfemur tidak kolinear lagi dengan caputfemur.2.3

Gambar 7 : Klasifikasi Garden berdasarkan derajat pergeseran collum femur terhadap caput femur

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

2.1.3.2 Klasifikasi Pauwel

Klasifikasi ini didasarkan atas bidang dari fraktur collum femur. Dibagi menjadi tiga tipe yang berdasarkan apakah bidang fraktur berbentuk vertikal, oblik, atau transverse. Klasifikasi ini diciptakan sebagai faktor prediktif kegagalan fiksasi maupun kemungkinan non union dari frakturcollum femur yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya gradingklasifikasi ini.1.2

(12)

Gambar 8 : Klasifikasi Pauwel, Tipe 1 : < 30˚, Tipe II : 30 - 50˚, Tipe III : > 50˚

(Sumber: Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p.

1563 – 1592)2

2.1.3.3 Klasifikasi AO/OTA

Klasifikasi alfanumerik ini didasarkan pada jenis tulang yang mengalami fraktur, letaknya, serta morfologi dari garis fraktur. Fraktur pada tulang femur diklasifikasikan sebagai nomer 3. Pada proksimal dari tulang femur disebut 3.1, kemudian pada fraktur di collum femur disebut sebagai 3.1B. Grup B1 yaitu fraktur collum femur tanpa pergeseran (undisplaced), B2 yaitu fraktur transcervical, dan grup B3 adalah fraktur subcapital collum femur dengan pergeseran (displacement). Walaupun sistem klasifikasi ini memberikan metode komprehensif untuk mengklasifikasikan frakur, namun karena kerumitannya, maka sistem klasifikasi ini jarang dipakai pada praktek sehari-hari.2.3

(13)

Gambar 9 : Klasifikasi AO/OTA pada fraktur collum femur

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p.

1563 – 1592)2 2.1.3.4 Klasifikasi Singh

Singh index merupakan salah satu klasifikasi yang sering digunakan untuk fraktur panggul intrakapsular. Singh index adalah suatu metode untuk mengestimasi derajat osteoporosis dengan cara mencocokkan pola garis trabekulasi pada femur proksimal menjadi 6 kategori yang terpisah. Beberapa peneliti telah meneliti mengenai keefektifan metode ini, dan mereka menemukan bahwa metode ini kurang dapat diandalkan karena sulit memiliki tingkat interpretasi yang berbeda-beda antar observer. Kemudian tidak terdapat hubungan antara densitas mineral tulang dengan Singh Index.2.3

(14)

Gambar 10 : Singh Index

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p.

1563 – 1592)2

Singh Index mengklasifikasikan osteopenia dari normal (grade 6; semua trabekulasi tampak jelas), medium (grade 3; trabekula menipis dengan terputusnya principle tensile group) sampai ke berat (grade 1; hanya primary compressive trabeculae yang tampak jelas)2

2.1.4. Fraktur proksimal femur pada anak

Fraktur femur proksimal pada anak harus ditangani segera. Risiko nekrosis avaskular dapat diminimalkan dengan reduksi, dekompresi sendi, dan fiksasi yang stabil dalam waktu 24 jam dari cedera. Ada kemungkinan bahwa pengobatan dalam waktu 6 jam, seperti yang direkomendasikan untuk dislokasi pinggul, akan mengurangi kejadian nekrosis avaskuler, tetapi belum ada penelitian terbaru mengenai reduksi dan dekompresi dalam waktu 6 jam. Keterlambatan dalam pengobatan sering didapatkan karena adanya cedera terkait atau pertimbangan lain. Delbet membagi fraktur femur proksimal menjadi empat tipe. Fraktur tipe I didapatkan separasi pada daerah transphyseal, tipe II terjadi pada collumfemur antara

(15)

epiphyseal plate dan basis dari collum, tipe III terjadi pada daerah cervicotrochanteric, dan tipe IV terjadi pada daerah intertrochanter. 16

Gambar. 11. Klasifikasi Delbet fraktur femur proksimal pada anak

(Sumber : Herring, J. et al. Tachdjian’s Pediatric Orthopaedic 4th ed. 2008. Philadelphia. Elsevier. 2008. P. 1523)16

Pada fraktur tipe I, pengobatan dengan reduksi tertutup dan casting sesuai untuk fraktur minimal displaced, dan untuk anak-anak kurang dari 2 tahun . Pada anak-anak usia 2 sampai 12 tahun, stabilisasi dari fraktur yang tereduksi dapat dicapai dengan dua pin ditambah dengan spica cast. Pada anak-anak yang lebih dewasa, fiksasi di fisis dapat dilakukan. Reduksi terbuka sering diperlukan jika epiphysis

(16)

mengalami dislokasi. Hal ini dilakukan melalui approach posterior untuk fraktur-dislokasi posterior. Pada saat operasi, kuretase physeal platetelah direkomendasikan dalam upaya untuk mendorong revaskularisasi dari caput femoris.16

Pada fraktur tipe II dan tipe III, jika fraktur stabil dan nondisplaced, dan pasien lebih muda dari 6 tahun, spica cast saja dapat menghasilkan hasil yang baik . Fraktur displaced biasanya dapat direduksi dengan metode tertutup, tapi sayatan kecil untuk membuka kapsul sendi panggul direkomendasikan karena hal ini bisa mengurangi risiko nekrosis avaskular . Ng dan Cole mempelajari efek dari dekompresi sendi panggul yang segera pada frekuensi terjadinya nekrosis avaskular. Hasilnya tidak didapatkan sama sekali pada fraktur tipe I. Untuk tipe II dan tipe III , 41% dari 54 pasien yang ditangani tanpa dekompresi sendipanggul mengalami nekrosis avaskular sedangkan hanya 8% dari 39 pasien dengan dekompresi sendi panggul didapatkan nekrosis avaskular.. Fiksasi dilakukan dengan memasukkan dua atau tiga cannulated bone screwske bagian metafisis dari fragmen proksimal. Fiksasi yang stabil harus diutamakan dibanding preservasi physis pada femur proksimal. Imobilisasi dengan spicacastdigunakan untuk meningkatkan fiksasi pada anak-anak, terutama ketika pin telah digunakan. Pada pasien berusia 12 tahun atau lebih , threded screws dapat ditempatkan di fisis untuk fiksasi yang lebih baik dan untuk menghindari penggunaan spica cast. Sebagai alternatif, hip screw dengan pin tambahan untuk mengontrol rotasi dapat digunakan pada anak-anak yang lebih tua.16

Pada fraktur tipe IV tidak memerlukan stabilisasi yang segera, kecuali bila tindakan operasi dapat meningkatkan hasil dari penanganan keseluruhan. Fraktur nondisplaceddi daerah ini dapat ditangani dengan penggunaan spica castdan follow up rutin pada anak-anak yang lebih muda. Fraktur displaced pada bayi dan balita dapat diobati dengan reduksi tertutup segera dan casting selama sudut neck shaft tidak menurun menjadi kurang dari 115 derajat. Fraktur displaced pada anak-anak yang lebih tua juga dapat ditangani dengan traksi skeletal yang diikuti oleh imobilisasi dengan cast. Namun, penulis merekomendasikan stabilisasi operatif pada anak yang lebih tua dari 6 tahun untuk mengurangi risiko malunion dan menghindari imobilisasi berkepanjangan. Remaja ditangani dengan cara yang sama seperti orang dewasa, dengan fiksasi yang stabil di seluruh fisis menggunakan sliding hip screw

(17)

atau angled blade plate. Hal ini untuk mengurangi keperluan memakai spica cast tambahan pada pasien remaja.16

Pada pasien usia muda, arthroplasty bukanlah pilihan pertama yang ideal unuk kasus non union pasca fraktur pada collumfemur., terutama jika pasien berusia kurang dari 40 tahun dan tidak memiliki penyakit komorbid yang lain. Alternatif penanganan pada pasien ini meliputi revisi fiksasi, vascularized bone graft atau osteotomi valgus jika non union atau kegagalan fiksasi ditemukan sebelum terjadi pergeseran caput femur seluruhnya. Revisi fiksasi dengan ditambahkan vascularized bone graft merupakan pilihan rasional jika tidak ada reduksi yang berubah. Meyer et al menerangkan teknik penggunaan graft dari m.quadratus femoris yang tervaskularisasi untuk mencegah terjadinya AVN pasca fraktur collumfemur. Teknik ini sekarang sering dipakai untuk membantu proses unionpada pasien dengan union yang terlambat ataupun non union. Teknik ini telah dilaporkan memiliki angka kesuksesan pada 95% kasus. Pada penelitian terhadap 42 orang pasien usia muda pada periode rata-rata 9 bulan pasca trauma, Vallamshetla et al melaporkan angka union86% menggunakan graft m.quadratus femoris.2

Teknik Meyers bone graft sendiri menggunakan approach posterior pada hip. Kapsulotomi posterior dilakukan dan kemudian mengidentifikasi non union pada collum femur. Langkah selanjutnya adalah membersihkan jaringan fibrous pada area non union. Tempat insersi m.quadratus femoris pada aspek posterior femur diangkat dengan panjang 4 cm, lebar 1,5 cm dan kedalaman 1 cm. Terowongan untuk menerima blok tulang dipotong pada aspek posterior collumfemur, menghubungkan antara daerah nonunion. Blok tulang ditempatkan pada terowongan dan difiksasi dengan screw.2

(18)

Gambar 12. Meyer’s graft. A. Insisi T pada kapsul posterior. B .Mengambil graft dari m. quadratus femoris. C. Terowongan dibuat dengan kuretase daerah intertrochanter ke dalam caput femur untuk memasukkan graftke tempatnya. Setelah graft dimasukan, screw cancellous 3.5 mm dan washer dimasukkan dari posterior ke anterior untuk mengkompresi graft dan memperkuat korteks posterior yang kominutif (Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

(19)

2.1.5 Penanganan

Untuk fraktur collum femur nondisplaced, dokter bedah harus memutuskan apakah operasi diperlukan ataukah penanganan non bedah yang harus dipilih. Karena tingginya angka displacement di kemudian hari dan efek samping dari tirah baring, penanganan yang direkomendasikan saat ini adalah tatalaksana bedah. Sementara itu tindakan non operatif pada fraktur non displaced hanya dilakukan pada pasien tirah baring yang merupakan kelompok operasi risiko tinggi. Komplikasi terkait tirah baring lama meliputi pneumonia, ulkus dekubitus, infeksi traktus urinarius, dan penyakit tromboembolik. Perhatian khusus juga harus diberikan pada penanganan konservatif pasien yang kognitifnya mengalami gangguan dimana mortalitas dan angka komplikasi telah banyak ditunjukkan pada penelitian sebelumnya.6.7.8

Pada sebagian besar kasus, terapi ORIF adalah merupakan terapi pilihan untuk undisplaced intracapsular hip fraktur. Terdapat berbagai macam implant yang tersedia untuk digunakan, seperti cannulated screw dan sliding hip screw dengan short plate. Implan ini menggantikan implan yang lebih dulu digunakan seperti hook pins, knowles pins, dan watson-jones nail

Tindakan fiksasi pada fraktur ini biasanya cukup jelas. Pasien diposisikan supine pada meja operasi, kemudian untuk mengambil gambaran AP dan lateral dari collum femur, dapat digunakan fluoroskopi. Hal ini dipermudah dengan melakukan fleksi dan abduksi dari panggul sisi kontralateral. Insisi yang dilakukan dapat diminimalisir, dan tindakan ini dapat dilakukan secara perkutan. Apabila dilakukan tindakan dilakukan secara open, maka dapat dilakukan insisi kecil yang dimulai dari sisi inferior dari batas vastus lateralis ke arah trochanter mayor sebanyak kurang lebih 5 cm. Kemudian dapat ditempatkan guide wiresebagai penanda. Umumnya para ahli bedah menggunakan tiga cannulated screwdan ditambah washer.

Walaupun angka union pada fraktur collum femur undisplaced cukup besar, yaitu sekitar 90%, namun tetap ada kemungkinan terjadinya late avascular necrosis sebesar 1,6 – 22,5% berdasar literatur. Hasil akhir fungsional pada pasien dengan fraktur collum femur undisplaced umumnya baik, dengan angka komplikasi yang rendah dan umumnya baik.2

(20)

2.1.5.1 Fraktur CollumFemur dengan Pergeseran (Displacement)

Hampir sebagian besar fraktur pada collum femur mengalami pergeseran (displacement), berbeda dengan fraktur collum femur tanpa pergeseran, fraktur dengan pergeseran memiliki variasi dalam penanganannya. Sebagian besar ahli bedah sepakat bahwa fraktur collum femur dengan pergeseran pada usia dibawah 60 tahun, dapat diterapi dengan ORIF, sedangkan pada usia diatas 80 tahun diterapi dengan arthroplasty. Sedangkan rentang usia 60 - 80 tahun masih menjadi perdebatan antar ahli bedah, beberapa ahli bedah menganjurkan untuk dilakukan ORIF, unipolar hemiarthropasty, bipolar hemiarthroplasty, dan THR.

Gambar 13: Bipolar hemiarthroplasty

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

2.1.5.2 Reduksi dan Fiksasi Internal

Pilihan terapi ini saat ini mulai ditinggalkan oleh para ahli bedah2,5. Alasan utamanya adalah angka kegagalan yang tinggi dengan komplikasi implant failure,

(21)

nonunion, dan avaskular nekrosis, namun pilihan terapi ini masih banyak digunakan terutama untuk pasien dengan usia muda

Prinsip teknik reduksi pada pasien fraktur collum femur dengan pergeseran yaitu dengan melakukan traksi sesuai sumbu aksial, dilanjutkan dengan rotasi internal dari tungkai, hal yang sering menjadi kesalahan para ahli bedah adalah dengan melakukan traksi dan rotasi internal yang berlebihan, hal ini malah menyebabkan terjadinya reduksi valgus yang akan sangat sulit untuk diperbaiki secara tertutup.

Dari penelitian disebutkan bahwa 20 derajat reduksi varus berhubungan dengan peningkatan angka kejadian implant failure sebesar 55%. Arnold et al22 merekomendasikan bahwa sebaiknya hanya terdapat 20 derajat posterior angulasi untuk meminimalisasi terjadinya resiko implant failure, resiko terjadinya nekrosis avaskuler juga lebih kecil bila didapatkan reduksi yang anatomis.

Apabila fraktur sudah dapat tereduksi, maka fiksasi dapat dicpai dengan menggunakan cannulated screw atau sliding hip screw. Teknik yang paling umum digunakan adalah menggunakan tiga screwdengan penempatan pin secara paralel dan berbentuk triangular. Setelah dilakukan operasi, pasien dapat mobilisasi dengan partial weight bearing (touch weight bearing)selama 6 minggu. Fraktur pada collum femur akan sembuh secara lmbat, dan pada sebagian besar kasus, membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan. Pasien membutuhkan pemeriksaan radiografi serial untuk memastikan proses penyembuhan berjalan dengan baik. Nekrosis avaskuler biasanya terjadi setelah fraktur mengalami union, dan biasanya terjadi setelah 2 tahun setelah trauma. Oleh karena itu follow up terhadap pasien harus dilakukan sampai 2 tahun post trauma

(22)

Gambar 14. Fiksasi dengan menggunakan cannulated screws 9 bulan pasca operasi menunjukkan tanda union

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

Fraktur pada collum femur dihubungkan dengan terjadinya hemarthrosis, dan hal ini diketahui dapat meningkatkan tekanan intrakapsular pada panggul. Atas dasar inilah, maka beberapa peneliti menyarankan untuk dilakukan tindakan dekompresi kapsul dengan aspirasi atau capsulotomy untuk mempermudah reduksi

Total hip arthroplasty sekunder dapat dipertimbangkan untuk pasien yang telah diterapi dengan ORIF, kemudian mengalami implant failure. Namun berdasarkan penelitian dilapangan, disebutkan bahwa angka kejadian komplikasi pada pasien yang menjalani THR sekunder lebih besar daripada pasien yang menjalani THR sebagai terapi pertamanya.

2.1.5.3 Total Hip Replacement

Dahulu operasi THR dihubungkan dengan kompleksitas dan durasi operasi yang lama serta merupakan operasi yang berharga mahal. Fraktur collum femur dengan displacement dahulu bukan merupakan kandidat untuk dilakukan THR, karena sebagian besar pasien yang mengalami fraktur collum femur dengan

(23)

displacement adalah orang tua dengan mobilitas yang terbatas serta mengalami gangguan kognitif, angka loosening dan dislokasi setelah operasi THR

Namun berdasar penelitian terbaru, didapatkan bukti – bukti yang mendukung penggunaan THR untuk operasi fraktur collum femur dengan displacement (pergeseran), sebagian besar penelitian merekomendasikan penggunaan THR pada pasien yang memiliki mobilitas tinggi tanpa gangguan kognitif. Beberapa kondisi medis berhubungan dengan angka kegagalan yang tinggi setelah dilakukan THR, yaitu rheumatoid arthritis dan gagal ginjal kronik.

Usia pasien yang akan dilakukan THR juga harus dipertimbangkan. Sebagian besar ahli bedah berpendapat bahwa ORIF masih merupakan pilihan utama untuk pasien dibawah usia 60 tahun. Karena angka keberhasilan ORIF pada pasien dengan usia ini masih cukup tinggi. Kecuali pada beberapa kasus dimana terdapat kelainan pada kepadatan tulang, seperti akibat penggunaan steroid ataupun osteoporosis.

Gambar 15. Cemented Total Hip Arthroplastypada pasien fraktur collumfemur usia tua

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

(24)

Kontraindikasi untuk dilakukan THR salah satunya adalah adanya infeksi bakteri pada sendi panggul atau pada lokasi disekitar panggul, dan infeksi bakteri ditempat jauh seperti pada rongga mulut. Pasien dengan keterbatasan fisik dan mental, sehingga bahkan dengan prosedur THR sekalipun tidak akan meningkatkan fungsi pasien juga merupakan kontra indikasi relatif dari prosedur ini. Serta pasien dengan gangguan mental atau kesehatan yang berat, merupakan kontraindikasi untuk dilakukan THR

Sebagian besar penelitian yang membandingkan fiksasi interna dengan arthroplasty, lebih banyak yang hasilnya memilih arthroplasty untuk penanganan fraktur collum femur. Osteoporosis yang juga didapat pada kelompok pasien ini berkorelasi dengan angka kejadian kegagalan fiksasi serta non unionyang tinggi pada penggunaan fiksasi interna.6.7.8

(25)

Gambar 16. Algoritma penanganan fraktur collumfemur

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,

2010, p. 1563 – 1592)2

Fiksasi interna telah dikaitkan dengan keluaran fungsional yang jelek dikarenakan pemendekan collum femur dan malunion yang berakibat disfungsi otot abduktor. Malunion ini berhubungan dengan angka keluaran fungsional yang buruk dan merupakan faktor prognostik penggunaan alat bantu jalan pasca operasi. Penelitian Ravikumar dan Marsh menunjukkan penurunan fungsi dan kontrol nyeri

(26)

13 tahun pasca operasi dengan fiksasi interna. Pasien juga memiliki angka revisi 33% dibandingkan dengan 6.75% pada pasien dengan arthroplasty.6.7

Arthroplasty telah menjadi alternatif selain fiksasi interna yang banyak dipilih untuk penanganan fraktur collum femur displaced pada pasien usia lanjut. Pada penelitian Iorio, et al menunjukkan tidak ada perbedaan angka reoperasi ataupun mortalitas pada kelompok fiksasi interna maupun arthroplasty, tetapi arthroplasty lebih menguntungkan secara biaya dan berhubungan dengan angka kemandirian hidup yang lebih tinggi. Beberapa penelitian metaanalisis yang meneliti pilihan pembedahan pada fraktur collum femur displaced menunjukkan 67% pasien yang ditangani dengan fiksasi interna menunjukkan union dalam kurun waktu 2 tahun, sedangkan 35% memerlukan prosedur sekunder berupa operasi fiksasi ulang, pengambilan implant atau konversi ke arthroplasty. Sekitar 70% dari pasien menunjukkan union fraktur tanpa nyeri pada 2 tahun pertama, tetapi angka nonunion didapat pada 30% pasien, serupa dengan tingkat kejadian osteonekrosis pada kelompok pasien tersebut. Penelitian meta analisis pada 2289 pasien oleh Rogmark, et al. menunjukkan arthroplasty primer memiliki tingkat komplikasi yang lebih rendah secara signifikan (infeksi, redisplacement, non union, nekrosis avaskular serta reoperasi) dibandingkan fiksasi interna. 1.2

Penelitian terbaru saat ini membandingkan jenis arthroplasty yang lebih baik antara total hip arthroplastydan hemiarthroplasty. Hal yang menjadi perhatian pada hemiarthroplastyantara lain pengaruh implant terhadap acetabulum, sedangkan pada total hip arthroplasty adalah risiko dislokasi. Ravikumar et al menyimpulkan bahwa total hip arthroplasty lebih baik dibanding hemiarthroplasty. Sebanyak 27% pasien hemiarthroplasty mengeluhkan nyeri pada sendi panggul dalam kurun waktu 1 tahun pasca pembedahan dibandingkan 0% pada total hip arthroplasty. Follow up jangka waktu 13 tahun menunjukkan angka menjadi 45% dibanding 6% (hemiarthroplasty vs total hip arthroplasty). Pasien juga memiliki angka reoperasi yang lebih tinggi (24 % vs 7%) dan Harris Hip Scoreyang lebih rendah (55 vs 80). Penelitian Blomfeldt et al pada 120 pasien menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada keseluruhan komplikasi dan mortalitas, namun menunjukkan perbaikan Harris Hip Score secara signifikan dalam periode 4 dan 12 bulan pada kelompok Total Hip Arthroplasty.2.3

(27)

Sebagai catatan, tidak ada hasil penelitian yang konsisten mengenai pemilihan unipolar ataupun bipolar hemiarthroplasty. Keduanya merupakan pilihan yang masuk akal untuk pasien usia lanjut dengan kebutuhan mobilisasi yang rendah. Wathne et al meneliti 140 pasien yang mengalami fraktur collum femur displaced yang ditangani dengan cemented unipolar maupun bipolar hemiarthroplasty. Tidak ada perbedaan secara signifikan pada follow up 1 tahun dalam hal kemampuan fungsional, angka operasi revisi atau nyeri sendi panggul. Mereka menyimpulkan tidak ada keuntungan pada penggunaan bipolar endoprosthesis pada penanganan fraktur collum femur pasien usia tua. Biaya yang lebih murah pada penggunaan modular unipolar prosthesis merupakan salah satu alasan untuk tetap menggunakan implant tersebut. Menurut terori, hemiarhroplasty bipolar mempunyai kelebihan pada pasien dengan penyakit neuromuskuler, demensia, atau Parkinson yang merupakan faktor predisposisi terjadinya instabilitas. Bipolar hemiarthroplasty dikembangkan untuk meningkatkan mobilitas sendi, mengurangi kerusakan kartilago acetabulum, dan memudahkan konversi ke total hip arthroplasty. Penggunaannya pada kelompok pasien tertentu dapat menjadi pilihan yang terbaik. Penelitian meta analisis oleh Lu Yao et al menunjukkan 85% pasien tidak merasakan nyeri, dan 85% pasien dapat kembali berjalan tanpa alat bantu atau dengan 1 tongkat dalam kurun waktu 2 tahun pasca bipolar hemiarthroplasty. Penelitian Raia et al pada 115 pasien yang membandingkan hemiarthroplasty bipolar dan unipolar menunjukkan tidak ada perbedaan keduanya dalam hal jumlah kehilangan darah, transfusi, lama waktu rawat di rumah sakit, serta outcome fungsional. Pemilihan untuk menggunakan unipolar atau bipolar endoprosthesis tergantung dari masing-masing dokter bedah. Keduanya telah ditunjukkan pada berbagai penelitian sebagai pilihan yang memungkinkan pada pasien fraktur collumfemur usia lanjut.6.7

(28)

2.2 Hip Hemiarthroplasty

Untuk fraktur collum femur yang displaced, reduksi, kompresi, dan fiksasi internal yang rigid diperlukan jika union masih bisa diperkirakan. Dikarenakan osteonekrosis dan non union sering terjadi setelah fiksasi interna pada fraktur collum femur yang displaced, banyak ahli bedah merekomendasikan pemakaian penggantian prosthesis primer sebagai alternatif pada pasien usia lanjut yang masih bisa melakukan ambulasi. Walaupun penggunaan prosthesisdapat menghindari non union dan osteonekrosis, hal ini juga dapat mengakibatkan berbagai komplikasi.7

(29)

Gambar 17. Austin Moore Prosthesis

(Sumber : Keating J. Femoral Neck Fractures In: Bucholz R, Heckman J, et al. Rockwood and Green’s 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010, p. 1563 – 1592)2

2.2.1 Teknik

Banyak penulis menggunakan approach posterior untuk pemasangan prosthesis femoral head setelah fraktur dari collum femur. Beberapa penulis merekomendasikan approach yang lebih anterior, misalnya Hardinge atau Watson Jones. Komplikasi, terutama infeksi dan dislokasi dari prosthesis ditemukan lebih sering pada penggunaan approach posterior. Penggunaan approach anterior menyebutkan bahwa infeksi dan dislokasi jarang didapatkan karena jarak yang lebih besar dari insisi anterior terhadap perineum dan tidak adanya insisi yang melewati kapsul posterior yang kuat. Membuat pasien bangun dari tempat tidur dan duduk menyebabkan tekanan yang kuat pada kapsul posterior, sehingga approach posterior dapat menyebabkan sendi panggul mudah terjadi dislokasi. Terkadang dapat dilakukan approachanterior pada pasien dengan inkontinensia alvi, pada pasien yang diperkirakan sulit mematuhi aturan range of motion gerakan sendi panggul secara keseluruhan, dan pada pasien yang spastik dan cenderung untuk memfleksikan dan mengaduksikan panggul pada gerakan ambulasi mereka. Tenotomi otot adduktor dapat dilakukan pada kelompok pasien terakhir ini. Pasien dengan penyakit Parkinson merupakan salah satu risiko terjadinya dislokasi posterior. 7.8

2.2.2 Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi pada pasien usia lanjut dengan fraktur sendi panggul adalah dapat segera kembali berjalan. Pada beberapa institusi, sesi terapi dimulai pada hari pertama pasca operasi dan mengikuti protokol yang terstruktur. Pada awalnya, terapis melakukan evaluasi mencakup diagnosis, prosedur yang dilakukan, dan status weight bearing. Pada umumnya, pasien pasca operasi sendi panggul disarankan melakukan tumpuan berat badan semampu pasien. Status weight bearingini didasarkan fakta bahwa ketika pasien diperbolehkan melakukan tumpuan

(30)

berat badan semampunya, pasien dengan fraktur sendi panggul cenderung membatasi beban pada ekstremitas yang mengalami cedera. Pada evaluasi 60 pasien usia lanjut dengan fraktur sendi panggul oleh Koval et al menunjukkan pada minggu pertama pasca operasi, pasien menggunakan sekitar 51% dari beban tumpuan normal pada ekstremitas yang mengalami cedera. Angka ini kemudian meningkat menjadi 87% beban tumpuan normal pada 12 minggu pasca operasi. Pada hari pertama pasca operasi tujuan terapi adalah pasien dapat berjalan sejauh 15 feet dengan bantuan sedang. Jarak berjalan meningkat menjadi 20 feetdengan bantuan minimal pada hari ke-2. Pada hari ke-3 pasca operasi, tujuan terapi adalah berjalan sejauh 40 feetdengan bantuan minimal. Peningkatan jarak berjalan yang lebih jauh dilakukan pada hari ke-4 dengan penambahan latihan menaiki tangga. Terapis okupasi juga berperan penting pada perawatan pasca operasi pasien ini, dengan berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari dan melakukan penilaian pada lingkungan rumah pasien untuk memastikan kemudahan dalam membantu pasien hidup mandiri.6

(31)

Gambar 18. Contoh mobilisasi menggunakan walkerdan kruk

(Dikutip dari Shanbag, A. et al. Good as New: a Patient Guide to Total Hip Replacement. Boston: Massachussets General Hospital. 2013. pp: 64-70)15

.

2.2.3 Morbiditas dan mortalitas pasca hemiarthroplasty

Mortalitas setelah fraktur collumfemur cukup signifikan. Hasil dari berbagai penelitian memperkirakan kematian di rumah sakit 15% dan kematian 30% pada periode 1 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kematian untuk fraktur peritrochanteratau fraktur collumfemur intrakapsuler. Angka kematian ini

(32)

4-5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi fraktur selain daerah panggul pada kelompok usia yang sama. Pada pasien dengan gangguan kognitif yang signifikan, angka kematian 1 tahun meningkat hingga 50%. Tidak mengherankan bahwa adanya komorbiditas penyakit secara bersamaan meningkatkan risiko kematian setelah operasi. Hal ini berlaku terutama untuk pasien dengan gangguan kardiorespirasi. Gangguan ginjal dengan ureum dan kreatinin tinggi dikaitkan dengan kenaikan dua kali lipat angka kematian dalam 1 tahun . Wanita memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan laki laki. Tingkat kematian untuk fraktur undisplaced lebih tinggi jika dilakukan hemiarthroplastydibandingkan dilakukan fiksasi internal. Sikand et al melaporkan kematian 38% pada 1 tahun pada pasien fraktur non displacedsetelahhemiarthroplastydibandingkan dengan 11% pada fiksasi interna.7.8 2.2.4 Mobilitas pasca hemiarthroplasty

Pasien dengan fraktur collum femur nondisplaced cenderung untuk mendapatkan kembali mobilitas yang lebih baik dibandingkan dengan fraktur yang displaced. Kebanyakan pasien dengan fraktur undisplaced kembali ke tingkat mobilitas sebelumnya kecuali ada komplikasi tertentu. Pasien dengan fraktur collum femur displaced memiliki hasil yang kurang baik dalam hal ini. Faktor prognostik buruk untuk mobilitas pasca operasi antara lain usia lanjut, gangguan kognitif, dan gangguan tingkat mobilitas sebelum fraktur. Pilihan penanganan juga mempengaruhi mobilitas. Beberapa penelitian yang membandingkan fiksasi internal dengan arthroplasty pada fraktur displaced telah menunjukkan mobilitas yang lebih baik pada pasien di kelompok arthroplasty. Proporsi secara keseluruhan pasien mendapatkan tingkat mobilitas pasca fiksasi atau arthroplasty adalah 46% . Perbandingan mobilitas antara total arthroplasty dan hemiarthroplasty cenderung menunjukkan tingkat mobilitas yang lebih baik pada kelompok total hip arthroplasty. Penyebab hal tersebut belum jelas dan multifaktorial. Dibutuhkan data klinis yang lebih banyak. Penurunan mobilitas sangat mempengaruhi fakta bahwa antara 15% dan 20% dari pasien tidak dapat kembali ke tempat tinggal mereka semula.7.8

(33)

2.3 Prediktor morbiditas dan mortalitas

Sebagian besar kasus fraktur pada sendi panggul terjadi karena trauma dengan energi yang ringan pada pasien yang mempunyai tulang yang rapuh. Tujuan penanganannya adalah mengembalikan pasien pada level fungsional prefraktur tanpa mortalitas dan disabilitas jangka panjang. Pasien usia tua dengan sejumlah kondisi penyakit yang menyertai terkadang tidak mampu bertahan dengan kompilkasi akut yang terjadi karena fraktur ini, dan dapat meninggal dunia dengan segera setelah dilakukan operasi. Dari 75 penelitian yang mencakup 64.316 pasien, angka mortalitas 1 bulan secara keseluruhan berkisar 13,3%. Pada 3-6 bulan berkisar 15,8%. Pada 1 tahun 24,5%, dan pada 2 tahun 34,5%. Pada beberapa penelitian berdasar bukti terbaru, dapat diidentifikasi 12 prediktor mortalitas yang kuat, meliputi usia lanjut, jenis kelamin laki laki, tinggal pada tempat penampungan, kemampuan berjalan yang tidak baik sebelum operasi, ketidak mampuan melakukan aktivitas sehari hari, status ASA yang tinggi, status mental yang jelek, penyakit komorbid multipel, demensia atau tingkat kognitif yang lemah, diabetes, kanker dan penyakit jantung.7.8.14

2.3.1 Jenis kelamin

Insiden kasus patah tulang sendi panggul paling banyak terjadi pada wanita, namun outcome yang didapatkan lebih jelek pada sepertiga kasus fraktur sendi panggul pada laki laki bahkan ketika variabel usia, lokasi fraktur, jumlah prosedur dan penyakit kronis dikendalikan. Laki laki berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi dan juga mortalitas, seperti yang dilaporkan pada banyak penelitian. Hal ini menekankan pentingnya evaluasi pasca operasi yang seksama dan penanganan penyakit yang menyertai pada pasien laki-laki.8

2.3.2 Usia

Usia saat terjadi fraktur telah dilaporkan sebagai prediktor mortalitas utama, risiko mortalitas meningkat sekitar 4% dengan peningkatan usia. Penelitian lain menunjukkan outcome fungsional tidak berhubungan dengan peningkatan usia pada pasien yang tidak ada kelainan pada sendi panggul sebelumnya. Proses penuaan, adanya penyakit kronis dan inaktivitas bersama-sama akan mengganggu fungsi otot, sistem vestibuler, penglihatan, proprioseptif, kognitif, dan kewaspadaan. Gangguan

(34)

fungsi ini akan menyebabkan ketidakseimbangan statik dan perubahan gait yang akan meningkatkan risiko jatuh.8

2.3.3 Waktu Operasi

Kemampuan untuk memperbaiki hasil dan menurunkan angka mortalitas pasien dengan fraktur sendi panggul telah banyak menjadi perhatian dan efek dari waktu terjadinya cedera dengan waktu pelaksanaan operasi telah banyak diteliti. Pada tahun 1960, operasi elektif setelah evaluasi preoperatif banyak dilakukan pada pasien lanjut usia. Ada penelitian dimana operasi darurat atau operasi dalam waktu 12 jam tidak dilakukan pada pasien fraktur sendi panggul usia lanjut. Banyak penelitian menunjukkan bahwa operasi segera tidak ada efeknya dengan tingkat mortalitas.

Walaupun banyak perbedaan dan kontroversi pada penelitian mengenai hal ini, banyak penelitian menunjukkan penundaan waktu dari terjadinya trauma sampai pelaksanaan operasi menjadi salah satu prediktor mortalitas yang utama . Ada berbagai alasan untuk menunda operasi termasuk waktu yang diperlukan untuk mengoptimalisasikan kondisi pasien dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk pelaksanaan operasi segera setelah terjadi trauma. Keuntungan yang didapat pada operasi yang segera adalah mengurangi nyeri dan memperbaiki mobilitas yang dapat menurunkan komplikasi pulmoner seperti atelektasis, pneumonia dan thromboembolisme pulmoner. 8.9

2.3.4 Status ASA

Klasifikasi ASA adalah sistem penilaian yang berguna untuk evaluasi preoperatif pada efek penyakit sistemik terhadap keadaan umum pasien. Walaupun merupakan sistem evaluasi subyektif, klasifikasi ini telah dibuktikan sebagai penanda risiko yang berguna pada banyak penelitian. Hubungan peningkatan mortalitas dengan peningkatan jumlah penyakit komorbid merupakan fakta yang telah banyak diketahui. Dengan peningkatan usia, risiko mortalitas meningkat bersama dengan peningkatan nilai ASA. Di sisi lain, masih dimungkinkan untuk

(35)

menurunkan mortalitas dan morbiditas pasca operasi dengan follow up dan penanganan pada klinik geriatri pada pasien dengan nilai ASA tiga atau lebih. 9

2.3.5 Penyakit komorbid

Penelitian Browner et al pada 474 pasien usia 38-89 tahun ( usia rata-rata: 68 tahun), menunjukkan bahwa penyakit komorbid adalah prediktor mortalitas pasca operasi pada pasien yang dilakukan prosedur operasi selain jantung. Peneliti menunjukkan bahwa riwayat hipertensi, tingkat aktivitas yang sangat rendah, dan penurunan fungsi ginjal (klirens kreatinin yang rendah) berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko mortalitas pasca operasi. Angka mortalitas di rumah sakit pada pasien yang memiliki faktor risko dua atau lebih berjumlah delapan kali lebih tinggi dibanding pasien yang tidak memiliki atau hanya memiliki satu faktor risiko. 9.10

2.3.6 Anemia

Anemia telah dihubungkan dengan mobilitas fungsional pasca operasi fraktur sendi panggul. Penelitian telah menunjukkan bahwa anemia selama periode fisioterapi adalah faktor risiko independen untuk ketidakmampuan berjalan pasien pada 3 hari pasca operasi setelah menyingkirkan faktor jenis operasi, komplikasi medis dan level fungsional sebelum frakrur. Beberapa penelitian, walaupun tidak seragam menunjukkan bahwa level hemoglobin yang rendah dihubungkan dengan angka survivalyang rendah.10

2.3.7 Status ambulasi

Penelitian Kristensen et al menyebutkan variabel status mobilisasi pasien prefraktur,usia dan tipe fraktur merupakan prediktor independen untuk outcome pasien di rumah sakit yang menjalani program rehabilitasi intensif setelah menyingkirkan variabel jenis kelamin, status kesehatan dan status mental. Khususnya

(36)

pada pasien dengan fraktur sendi panggul dengan level NMS (New Mobility Score) yang rendah memiliki risiko 6,5 kali lebih tinggi untuk gagal mencapai kemandirian mobilitas pasca fraktur dibandingkan pasien dengan level NMS yang tinggi.11

Tabel 1. New Mobility Score13

The New Mobility Score (NMS) digunakan untuk skala penilaian fungsional preoperatif. Nilai ini merupakan penjumlahan nilai kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas berjalan di dalam ruangan, berjalan di luar ruangan, dan kativitas belanja sebelum terjadi fraktur pada sendi panggul. Nilai 0-3 digunakan untuk setiap aktivitas, dimana nilai 0= tidak dapat melakukan sama sekali, 1= melakukan dengan bantuan orang lain, 2= dengan alat bantu, 3= melakukan tanpa kesulitan, tanpa alat bantu). Nilai total berkisar antara 0-9, dimana nilai 0 menunjukkan pasien tidak memiliki kemampuan berjalan sama sekali dan nilai 9 menunjukkan kemandirian penuh.13

2.3.8 Status ekonomi

Pada penelitian Vidal, et al.di Brazil didapatkan 49% pasien mempunyai tingkat ekonomi rendah. Walaupun hubungan antara status sosioekonomi dengan risiko jatuh masih banyak diperdebatkan, telah didapatkan bukti bahwa status sosioekonomi yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya fraktur sendi panggul, serta peningkatan mortalitas pasca fraktur. Status pasien yang bercerai, janda atau duda, serta belum menikah telah dilaporkan memiliki hubungan

(37)

dengan peningkatan risiko fraktur sendi panggul. Hubungan antara status sosioekonomi yang rendah dan peningkatan risiko fraktur sendi panggul dapat dihubungkan dengan beberapa faktor anatara lain penurunan densitas mineral tulang dan perilaku kesehatan yang terkait sampai pengaruh lingkungan.12

2.4 . Hipotesa Penelitian

1. Terdapat perbedaan tingkat mortalitas, morbiditas, dan mobilitas pada pasien fraktur collum femur pasca hemiarthroplasty.

2. Prediktor morbiditas,mortalitas dan mobilitas yang kuat pada pasien fraktur collum femur pasca hemiarthroplasty antara lain, usia lanjut, jenis kelamin laki laki, , kemampuan berjalan yang tidak baik sebelum operasi, status ASA yang tinggi, penyakit komorbid multipel, diabetes, kanker dan penyakit jantung

(38)

Gambar

Gambar 1. Os. Femur
Gambar 2 : Bentuk varus dan valgus dari collum femur
Gambar 3 : Hip Axis Length dan Neck Shaft Angle (α)
Gambar 4 : Garis trabekula pada caput dan collum femur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa ternyata Para Penggugat telah terperdaya oleh Tergugat I dan Tergugat II yang telah melakukan penjualan maupun peralihan hak terhadap objek tanah dan bangunan sebagaimana

Hasil analisis menunjukkan kadar abu mikroenkapsulat pepton ikan hasil tangkapan sampingan (HTS) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu pepton ikan

Selain tujuan politik bahasa juga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh seluruh bangsa Indonesia yang

Informasi keuangan di atas telah disusun untuk memenuhi Peraturan OJK No.48/POJK.03/2017 tanggal 12 Juli 2017 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR, Surat Edaran OJK

Sedangkan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization

Definisi ini dipenuhi oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika diberi

Bosowa Berlian Motor Makassar dalam meningkatkan keputusan pembelian dengan memperbaiki brand image dari produk yang ditawarkan yang mampu memberikan ketertarikan

Lemak subkutan adalah lemak atau jaringan adiposa yang langsung berada di bawah lapisan kulit, dimana tidak hanya berisi jaringan lemak tetapi juga pembuluh darah dan