6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Fraktur 2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien (Black, J & Hawks, J, 2014).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian). Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan menghasilkan daya untuk menekan. Ketika terjadi fraktur pada sebuah tulang, maka periosteum serta pembuluh darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak di sekitarnya akan mengalami disrupsi. Hematoma akan terbentuk diantara kedua ujung patahan tulang serta di bawah periosteum, dan akhirnya jaringan granulasi menggantikan hematoma tersebut (Wong & Dona, 2012).
Fraktur merupakan kontinuitas tulang atau kesatuan struktur tulang terputus yang dapat merupakan retak, remah, atau bagian korteks pecah.
Fraktur dapat disebabkan oleh peristiwa trauma (traumatic fracture) seperti kecelakaan lalu lintas maupun non-lalu lintas. KLL menjadi pembunuh nomor satu dikalangan anak-anak usia 10-24 tahun dan setiap harinya terdapat 1.000 kematian anak dan remaja. Usia produktif juga merupakan sasaran empuk untuk KLL, terbukti sebanyak 67% sudah memakan korban pada usia 22-50 tahun ( Lewis & Wee, 2021).
Fraktur femur adalah terputus atau hilangnya kontinuitas tulang femur, kondisi fraktur femur ini secara klinis dapat berupa fraktur femur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lainnya (otot, saraf, kulit,
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma pada paha secara langsung. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak seperti otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah. Fraktur femur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik. Komplikasi yang 9 timbul akibat fraktur femur antara lain perdarahan, cedera organ dalam, infeksi luka, emboli lemak, sindroma pernafasan, selain itu pada daerah tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi cedera pada femur akan berakibat fatal, oleh karena itu diperlukan tindakan segera (Helmi, (2012).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologis Fraktur
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan, dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan baikya fungsi system musculoskeletal sangat tergantung pada sistem tubuh yang lain.
Struktur tulang- tulang memberi perlindungan terhadap organ vital termasuk otak, jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk meyangga struktur tubuh otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak metric (Wijaya & Putri, 2013).
Tulang meyimpam kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Tulang dalam tubuh manusia yang terbagi dalam empat kategori: tulang panjang (missal femur tulang kumat) tulang pendek (missal tulang tarsalia),tulang pipih (sternum) dan tulang tak teratur (vertebra). Tulang tersusun oleh jaringan tulang kanselus (trabekular atau spongius). Tulang tersusun atas sel, matrik protein, deposit mineral. sel selnya terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas,osteosit dan osteocklas (Mubarak, Nurul, & Joko S, 2015).
Osteoblas berfungi dalam pembetukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matrik merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik di timbun. Ostiosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam
pemeliharahan fungsi tulang dan tarletak ostion. Ostioklas adalah sel multi nukliar yang berperan dalam panghancuran,resorpsi dan remodeling tulang.
Tulang diselimuti oleh membran fibrus padat di namakan periosteum mengandung saraf, pembuluh darah dan limfatik. Endosteum adalah membrane faskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Sumsum tulang merupakan jaringan faskuler dalam rongga sumsum tulang panjang dan dalam pipih. Sumsum tulang merah yang terletak di sternum,ilium,fertebra dan rusuk pada orang dewasa,bertanggung jawab pada produksi sel darah merah dan putih.pembentukan tulang .Tulang mulai tarbentuk lama sebelum kelahiran (Mubarak, Nurul, & Joko S, 2015).
2.1.3 Etiologi Fraktur
1. Dapat disebabkan oleh cedera karena jatuh, tabrakan sepeda motor, atau saat latihan olahraga (Digiulio, Jackson, & Keogh, 2014)
2. Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson, & Keogh, 2014)
Jenis fraktur dibedakan menjadi :
a. Cedera Traumatik Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh :
- Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
- Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
- Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
- Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali atau progresif.
- Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
- Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D.
- Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran (Sachdeva, 2012).
Fraktur supracondylar tulang paha adalah bagian dari patah tulang paha yang mewakili antara 3% dan 6% dari semua fraktur femur. Insiden fraktur femur distal memiliki distribusi usia bimodal, dengan puncaknya pada laki- laki yang menjalani trauma energi tinggi dan pada pasien wanita dengan energi rendah mekanisme. Seiring bertambahnya usia populasi, kemungkinan jumlah fraktur femur juga akan meningkat. Di antara pasien yang mengalami fraktur femur, pola cederanya pada fraktur femur yang bermacam-macam dan jumlahnya faktor menentukan pengobatan yang optimal untuk pola tertentu (Hake & Davis, 2019).
2.1.4 Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black, J & Hawks, J, 2014):
1. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal 2. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
3. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
Gambar 2.1.3 Jenis-jenis Fraktur (Helmi, 2012)
2.1.5 Manifestasi Klinis Fraktur
Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur menurut Brunner &
Suddarth ( 2013) adalah sebagai berikut : a. Nyeri
b. Deformitas akibat kehilangan kelurusan (alignment) yang dialami.
c. Pembengkakan akibat vasodilatasi dalam infiltrasi leukosit serta sel- sel mast.
d. Saat ekstremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari.
f. Krepitasi.
g. Spasme otot
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut terjadinya fraktur menurut Brunner (2013) pemeriksaan penunjang pada fraktur diantaranya yaitu :
1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. meriksaan Rongent Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior lateral.
3. Scan tulang, fomogram MRI Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
4. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
5. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
6. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
7. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cidera hati
2.1.7 Pathway Fraktur
Beban mekanik berlebih
Proses penyakit Trauma fisik
Calsium tulang berkurang
Tulang jadi rapuh
Fraktur
Fraktur terbuka Fraktur tertutup
Kerusakan tulang Kerusakan pada kulit (luka terbuka)
Kerusakan terhadap integritas kulit
Paralisis Perdarahan
pembuluh darah
Hematoma
Perdarahan meningkat
Kerusakan saraf Perdarahan pada area sekitar fraktur
Kuman masuk
Resiko infeksi
Ekstravasi pembuluh
darah Penekanan pada serabut
saraf
Nyeri akut
Hipoksia jaringan
Metabolisme anaerob O2 dan nutrisi tidak
sampai ke jaringan
Inflamasi Deformitas
Gangguan mobilitas fisik
Pembentukan asam laktat Periosteum terlepas
dari tulang Tulang yang fraktur
pada tahap penyembuhan tidak
optimal
Penyembuhan tulang tidak normal
Pedarahan
Hematoma
Pelepasan mediator kimia
Histamin
Penurunan permeabilitas
kapiler
Shift cairan dari vaskuler keinterstisial
Bradikinin
Vasodilatasi pembuluh darah
Aliran darah ke daerah injuri meningkat
Prostaglandin
Rangsangan pada sistem saraf
(Padila, 2012)
2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fraktur menurut (Suriya & Zuriati, 2019) adalah : a. Reduksi :
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran rotasi dan letak anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang biasa digunakan yaitu bidai, traksi, dan alat bantu lainnya. Reduksi terbuka dengan penatalaksanaan bedah.
Alat fiksasi yang digunakan berupa bentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku.
b. Imobilisasi
Dapat dilakukan dengan metode internal atau eksterna guna mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler yang selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan dan gerakan. Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk imobilisasi dan penyatuan tulang yaitu sekitar 3 bulan. Dengan cara pembedahan yaitu pemasangan screw dan plate ata dikenal dengan pen, merupakan salah satu bentuk reduksi dan imobilisasi yang dikenal dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).
Pilihan bedah termasuk terbuka reduksi dan fiksasi bedah, biasanya dengan konstruksi retrograde intramedullary nail atau lateral locking plate, atau revisi penggantian femoralis distal (DFR). Keuntungan dari DFR primer yaitu dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada penyembuhan patah tulang (terutama pada patah tulang yang sangat distal atau pasien dengan risiko nonunion), dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang sudah ada sebelumnya dengan artroplasti lutut total, seperti melonggarkan ormalalignment. Advokat DFR sebutkan tingkat nonunion yang tinggi setelah fiksasi9 dan lebih tinggi tingkat komplikasi setelah konversi DFR setelah gagal fiksasi bedah, dibandingkan dengan DFR primer.
Keuntungan DFR menunjukkan bahwa bahkan fraktur distal dapat sembuh
dengan lancar setelah fiksasi bedah dan fiksasi tersebut dapat dipertahankan dengan bantalan beban langsung menggunakan berbagai konstruksi. Prosedur invasif, yang mempertahankan stok tulang dan memiliki lebih banyak opsi penyelamatan jika ada komplikasi besar terjadi (Githens & Garner, 2018).
2.1.9 Komplikasi
Menurut Mutaqqin (2014) komplikasi yang dapat timbul akibat kardiomegali, antara lain adalah:
a. Gangguan katup jantung sehingga menimbulkan suara bising jantung.
b. Gumpalan darah pada jantung. Gumpalan darah tersebut dapat menghambat aliran darah ke organ-organ vital.
c. Gagal jantung, di mana otot jantung menjadi sangat lemah hingga tidak 16nva memompa darah ke seluruh tubuh.
d. Henti jantung akibat gangguan irama jantung.
2.1.10 Tahap Penyembuhan Fraktur
Pada kondisi mengalami cedera fragmen, tulang tidak hanya dapat ditambal dengan jaringan parut, akan tetapi akan mengalami regenerasi secara bertahap Thomas, (2011) ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang meliputi:
a. Fase inflamasi
Respon tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respon, apabila ada cedera di bagian tubuh lainya. Terjadi perdarahan pada jaringan yang cedera dan pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemungkinan akan di invasi oleh makrofag (sel darah putih besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Tahap proliferasi
Dalam waktu lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuknya benang –benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi ibroblas dan osteoblast.
Fibroblas dan 17nvasive1717 (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Namun gerakan yang berlebih akan merusak struktur kalus.
Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan potensial elektronegatif.
c. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah dapat terhubungkan.
Fragmen patahan tulang di gabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang.
Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fraktur tulang tidak dapat digerakan. Pembentukan kalus mulai mengalami penuangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah menyatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
d. Tahap remodeling
Tahap akhir perbaikan patahan tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan sebelumnya.
Tahap ini memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun, terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisimdengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya.
Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar x. imobilisasi harus memadai sampai adanya tanda –tanda adanya kalus tampak pada saat dilakukan pemeriksaan sinar x.
Kemajuan program terapi (dalam hal ini imobilisasi dapat digunakan dengan traksi skelet) ditentukan dengan adanya bukti penyembuhan tulang.
2.2 Konsep ORIF (Open Reduction Internal Fixation) 2.2.1 Definisi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Pasien yang memiliki masalah di bagian musculoskeletal memerlukan tindakan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerahan, stabilisasi, mengurangi nyeri, dan mencegah bertambah parahnya gangguan musculoskeletal. Salah satu prosedur pembedahan yang sering dilakukan yaitu dengan fiksasi interna atau disebut juga dengan pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) (Helmi, (2012).
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan
tipe fraktur transvers. Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Suriya & Zuriat, 2019).
Tindakan operatif seperti Open Reduction Internal Fixation (ORIF) dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Selain itu pada pasien yang mengalami fraktur terbuka bakteri dapat masuk dari luka pada kulit lalu masuk ke jaringan yang lebih dalam. Pasien fraktur lanjut usia merupakan kelompok usia rentan dimana resiko terjadi komplikasi pasca operasi yang tinggi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka pada fraktur yaitu: umur, jenis dan lokasi fraktur, banyaknya fragmen fraktur yang mengalami displacement, kondisi vaskularisasi pada daerah yang mengalami fraktur dan ada atau tidaknya penyakit penyerta. Beberapa faktor dapat mempengaruhi Iama perawatan di ruang bedah. Faktor–faktor tersebut yaitu: jenis operasi, infeksi Iuka operasi, komplikasi operasi, usia (Rozi & Gregorius, 2021).
2.2.2 Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif menurut Suriyat (2019), antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas.
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena.
5. Tidak ada kerusakan kulit.
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Indikasi tindakan pembedahan ORIF Menurut Suriyat (2019) yaitu:
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot tendon.
Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan 2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang 7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
2.2.4 Perawatan Post Operasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Menurut Suriyat (2019) untuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian yang sakit. Dapat dilakukan dengan cara :
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak 3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan) 4. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa
imobilisasi tulang, tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat latihan yang kurang.
5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien.
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur 2.3.1 Pengkajian
Menurut Padila (2012) pengkajian fokus pada asuhan keperawatan fraktur berfokus pada beberapa pemeriksaan fisik yaitu sebagai berikut :
Pengkajian : a. Anamnesis
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis .
2. Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan yaitu :
a. Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi factor presipitasi nyeri.
b. Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi kemampuan fungsinya e. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang.
4. Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu invasi predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan.
6. Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.
7. Pola-pola
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat menggangu invasivekalsium, pengonsumsian invasiv yang mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melaksanakan olahraga atau tidak.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia atau ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, mukosa kering karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa. Pada klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin untuk membantu proses penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan cairan.
c. Pola eliminasi
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine dapat disebabkan
oleh posisi berkemih yang tidak alamiah, pembesaran prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
d. Pola tidur dan istirahat
Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
Tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi simpatis.
e. Pola aktivitas
Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas.
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
g. Persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya yang salah.
h. Pola sensori dan kognitif
Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul gangguan begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
i. Pola reproduksi seksual
Klien tidak melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri. Selain itu, klien juga perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j. Pola penanggulangan stress
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor stress multiple seperti
masalah finansial, hubungan, gaya hidup.
k. Timbul kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien biasanya tidak efektif.
l. Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak dapat melakukan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
b. Pemeriksaan fisik antara lain : 1. Keadaan umum :
a. Kesadaran penderita : apatis, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
c. Pantau keseimbangan cairan.
d. Observasi resiko syok akibat kehilangan darah pada pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun, konfusi, dan gelisah).
e. Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital.
f. Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis.
g. Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas, tingkah laku, dan tingkat kesadaran.
h. Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya.
i. Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
Secara sistemik antara lain:
a. Sistem integument
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
edema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis.
f. Telinga
g. Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
h. Hidung
Tidak ada deformitas, pernafasan cuping hidung.
i. Mulut dan faring pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
j. Thorak pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
k. Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris raba sama
Perkusi : Suara ketok sonor, redup atau suara tambahan lainnya Auskultasi : Suara nafas normal, wheezing atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
l. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal mur-mur m. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak teraba Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : Kaji bising usus n. Inguinal-genetalis-anus
hernia, pembesaran lymphe, ada kesulitan buang air besar.
o. Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah merembes atau tidak.
p. Inguinal-genetalis-anus
hernia, pembesaran lymphe, ada kesulitan buang air besar.
q. Sistem muskuloskeletalTidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah merembes atau tidak.
Diagnosa keperawatan : 1. Nyeri akut
2. Gangguan integritas kulit dan jaringan 3. Gangguan mobilitas fisik
Intervensi :
Tabel 3.1 Intervensi Keperawatan NO Diagnosa
keperawatan
SLKI SIKI
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Tingkat nyeri (L. 08066) 1. Keluhan nyeri
menurun
2. Meringis menurun 3. Kesulitan tidur
menurun
Manajemen nyeri ( I. 08238) Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri 3. Identifikasi faktor yang
memperingan dan memperberat nyeri Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmokologis untuk mengurangi rasa nyeri 2. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa nyeri
3. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi
1. Jelaskan periode, penyebab, dan pemicu nyeri
2. Ajarkan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik
2 Gangguan integritas kulit dan jaringan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Integritas kulit dan jaringan ( L. 14125)
1. Kerusakan jaringan menurun
2. Kerusakan lapisan kulit menurun 3. Nyeri menurun
Perawatan Luka (I. 14564) Observasi :
1. Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna, ukuran, bau) 2. Monitor tanda-tanda
infeksi Terapeutik :
1. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik 2. Bersihkan jaringan
nekrotik
3. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi 4. Pasang balutan sesuai
jenis luka
5. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan
6. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
7. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Anjurkan
mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik
3 Gangguan mobilitas fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Mobilitas fisik (L.05042) 1. Pergerakan
ekstermitas meningkat
2. Kekuatan otot meningkat
3. Nyeri menurun 4. Kelemahan fisik
menurun
Dukungan mobilisasi (I. 05173) Observasi
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
3. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
1. Libatka keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan Edukasi
1. Anjurkan melakukan mobilisasi dini 2. Anjurkan mobilisasi
sederhana yang harus dilakukan(mis. Duduk ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)
.