• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP DASAR. Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak. dan otak. (Smeltzer, 2001:2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP DASAR. Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak. dan otak. (Smeltzer, 2001:2010)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak

dan otak. (Smeltzer, 2001:2010)

Cedera kepala adalah cedera kepala ( terbuka dan tertutup) yang terjadi karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar/ laserasi) dan perdarahan serebral (sub arakhnoid, subdural, epidural, intra serebral dan batang otak). (Doenges, 1999: 270)

Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan/ benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.

(Tucker, 1998)

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995: 1015)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

(2)

Macam- macam cedera kepala Cedera kepala dibagi menjadi: 1. Cedera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak. 2. Cedera kepala tertutup

Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak, cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komosio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.

(Smelzer, 2001: 2211; Long, 1996: 203) Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:

1. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/ hematoma.

(3)

2. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

(Hudak dan Gallo, 1996: 226)

B. ANATOMI FISIOLOGI TENGKORAK

Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/ fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).

MENINGEN

Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang berfungsi sebagai pelindung, meningen terdiri dari:

1. Durameter (lapisan sebelah luar)

Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak.

(4)

2. Arakhnoid (lapisan tengah)

Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.

3. Piameter (lapisan sebelah dalam)

Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur- struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. (Ganong, 2002) OTAK

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: a. Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri 3 bagian:

Serebrum atau otak besar terdiri dari 2 bagian hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap hemispher di bagi dalam 4 lobus yang terdiri dari: lobus frontal, oksipital, temporal dan parietal, yang masing- masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:

Lobus frontalis : Kontrol motorik gerakan volunter, terutama fungsi bicara, kontrol berbagai emosi, moral, tingkah laku dan etika.

Lobus temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi, dan memori. Lobus oksipitalis : Visual senter, mengenal obyek.

(5)
(6)

KERUSAKAN PADA BAGIAN- BAGIAN OTAK

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi. 1. Kerusakan lobus frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

Kerusakan yang kecil jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apatis, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.

Kerusakan lobus parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu

(7)

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari.

2. Kerusakan lobus temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. ( Mediastone. Com)

(8)

b. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menempati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aksi yaitu merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.

c. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak tengah (midbrain/ ensefalon) menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik. medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat- pusat otonom yang mengatur fungsi- fungsi vital seperti pernapasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek gag, batuk dan bersin.

(Ganong, 2002; Price, 2005)

SARAF- SARAF OTAK: a. Nervus I (Olfaktorius)

Sifatnya sensorik menyerupai hidung membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak. Fungsinya: saraf pembau.

(9)

b. Nervus II (Optikus)

Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke otak.

Fungsinya: saraf mata yang serabut-serabut sarafnya keluar dari bukit IV. c. Nervus III (Okulomotorius)

Sifatnya motorik, mensarafi otot- otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsinya: sebagai saraf penggerak bola mata.

d. Nervus IV (Troklearis)

Sifatnya motorik, , fungsinya: saraf memutar mata/ sebagai penggerak mata. e. Nervus V (Trigerminal)

Sifatnya majemuk, fungsinya: sebagai saraf kembar f. Nervus VI (Abdusen)

Sifatnya motorik, mensarafi otot- otot orbital, fungsinya: sebagai saraf penggoyang bola mata

g. Nervus VII (Fasialis)

Sifatnya majemuk, serabut- serabut motorisnya mensarafi otot- otot lidah dan selaput lendir rongga mulut. Fungsinya: sebagai mimik wajah dan menghantarkan rasa pengecap.

h. Nervus VIII (Auditorius)

Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: sebagai saraf pendengar.

i. Nervus IX (Glosofaringeus)

(10)

j. Nervus X (Vagus)

Sifatnya majemuk, fungsinya: sebagai saraf perasa. k. Nervus XI (Assesoris)

Sifatnya motorik, fungsinya: sebagai saraf tambahan. l. Nervus XII (Hipoglosus)

Sifatnya motoris, mensarafi otot- otot lidah.

(Syaifuddin, 1997)

FISIOLOGI

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi.

(11)

Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

1. Hematoma epidural

Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak yang telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.

Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

2. Hematoma subdural

Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah :

(12)

- rasa mengantuk yang hilang- timbul - linglung

- perubahan ingatan

- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

-

(Mediascom)

C. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI 1. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya tertembak peluru/ benda tajam.

2. Trauma tumpul

(13)

3. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjaan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.

4. Kontak benturan ( Gonjatan langsung)

Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek 5. Kecelakaan lalu lintas

6. Jatuh

7. Kecelakaan industri

8. Serangan yang disebabkan karena olah raga 9. Perkelahian

(Smeltzer, 2001: 2210; Long, 1996: 203)

D. PATOFISIOLOGI

Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi cedera robekan/ hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan/ kenaikan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat. Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak.

(14)

Edema akan terus bertambah menekan/ mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. (Price, 1996)

Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang akan menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera kepala:

1. Pola pernapasan

Trauma serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan biasanyan menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau resiko ketidak efektifan bersihan jalan napas yang akan menyebabkan laju mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernapasan chyne stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi neurogenik central. (Long, 1996; Smeltzer, 2001; Price, 1996) 2. Mobilitas Fisik

Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh, sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik. ( Donges, 2000;Price, 1996)

(15)

3. Keseimbangan Cairan

Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis makin banyak hormon antideuretik dan makin banyak aldosteron diproduksi sehingga mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak, dan akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis/ hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi disfungsi pada produksi dan penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan menimbulkan dehidrasi. (Price,1996) 4. Akivitas menelan

Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang di pengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan geakan pipi dan.Selain reflek menelan dan batang otak mungkin hiperaktif/menurun sampai hilang sama sekali. (Smeltzer, 2001;Price,1996) 5. kemampuan komunikasi

Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi, disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer cerebral dominan dapat menunjukan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam beberaa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat menyebabkan gangguan komunikasi verbal. (Price,1996)

(16)

6. Gastrointestinal

Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang di temukan, tapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang berbeda dan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulasi vagus yang dapat menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan kartikosteroid dalam menangani cedera cerebral. Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. (Price,1996)

E. MANIFESTASI KLINIK 1. Cedera kepala ringan

a) Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. b) Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya

berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.

(www. Mediastore) 2. Cedera kepala sedang

a) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma.

b) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

(17)

3. Cedera kepala berat

a) Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. (www. Mediastore)

b) Pupil tak ekual, pemeriksaan mototik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik. (www. Angelfive)

F. KOMPLIKASI

Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah:

1. Peningkatan TIK 2. Iskemia

3. Infark

4. Kerusakan otak irreversibel 5. Kematian

6. Paralisis saraf fokal sepertio anomsia (tidak dapat mencium bau- bauan) 7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)

8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak)

9. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi- sendi)

(18)

G. PENATALAKSANAAN

1. Dexamethason/kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,dosis sesai dengan berat ringanya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi. 3. Pemberian anal getik.

4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. 7. Pembedahan

(Smeltzer, 2001; Long, 1996)

H. PENGKAJIAN FOKUS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Pengkajian fokus menurut Doenges 2000 dan Engram 1998:

1. Aktivitas dan istirahat

Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan spastik otot.

2. Sirkulasi

Gejala: perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan disritmia)

(19)

3. Integritas Ego

Gejala: perubahan tingkah laku / kepribadian (demam),.

Tanda: cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impuksif.

4. Eliminasi

Gejala: inkontinensia kandung kemih 5. Makanan / Cairan

Gejala: mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan

Tanda: muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dan disfagia)

6. Neurosensorik

Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Tanda: perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/ tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak ada/ lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia, postur (dekortikasi

(20)

deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan posisi tubuh.

7. Nyeri / Kenyamanan

Gejala: sakit kepal;a dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan biasanya lama.

Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih)

8. Pernapasan

Tanda: perubahan pola napas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi), napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi) 9. Keamanan

Gejala: trauma karena kecelakaan. Tanda: fraktur/ dislokasi dan gangguan penglihatan.

Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna seperti ”racoon eye” rasa gatal disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga / hidung.

Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Demam gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

10. Interaksi Sosial

Tanda: afasia motorik/ sensorik, bicara tanpa arti dan bicara berulang- ulang. 11. Penyuluhan / Pembelajaran

(21)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. MRI: sama dengan CT Scan dengan/ tanpa kontras

3. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma.

4. EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.

5. Sinar X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya frakmen tulang. 6. BAEK (Brain Auditon Euoked Respon): menentukan fungsi korteks dan

batang otak.

7. PET (Positron Emmision Tomografi): menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme batang otak.

8. Fungsi lumbal, CSS (cairan serebro spinalis): dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.

9. GDA (Gas Darah Arteri): mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK

10. Kimia/ elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/ perubahan mental.

11. Pemeriksaan toksikologi: mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.

(22)

12. Kadar anti konvulsan darah: dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

(23)

I. PATHWAYS KEPERAWATAN DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN Pathways Keperawatan Benturan kepala deselerasi/akselerasi Trauma pada jaringan lunak Robekan (distorsi) Rusaknya jaringan / pembuluh darah Trauma kepala Cidera jaringan otak

Hematoma Trauma kepala

Luka terbuka

Perdarahan Jaringan sekitar

tertekan pe↑ TIK Perubahan perfusi jaringan serebral Rangsangan aktivitas ke hipotalamus Hipotalamus terfiksasi

pe↑ produksi ADH & aldesteron Retensi Na + H2O Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

- Perubahan pada cairan intra dengan ekstra sel Æ edema - Peningkatan suplai darah ke

darah trauma Peningkatan permeabilitas kapiler Edema otak Gangguan suplai darah Iskemik Hipoksia Nekrosis Kematian Resiko infeksi Merangsang anferior hipofisis Mengeluarkan kortukusteroid pe↑ asam lambung

Mual, muntah, anoreksia Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Gangguan hemisfer motorik Penurunan kesadaran

dan tonus otot Gangguan mobilitas fisik Hipoksia jaringan Kesadaran menurun Hipoventilasi - pernafasan dangkal - Perubahan tekanan darah Kerusakan pertukaran gas Penurunan kesadaran Kekacauan pola bahasa Tidak mampu menyampaikan kata-kata Gangguan komunikasi verbal Gangguan persepsi sensori Vasodilatasi arterial Penekanan vaskuler Gangguan rasa nyaman nyeri Pola nafas tidak efektif

(24)

Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral

(Doenges, 1999).

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan

neurovaskuler (Doenges, 1999).

3. Gg keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH dan aldesteron, retensi cairan dan natrium (Carpenito, 2000)

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia (Carpenito, 2000)

5. Gg rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral dan edema

otak (Engram, 1998)

6. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ( Doenges, 1999)

7. Gg mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan

kesadaran (Doenges, 1999)

8. Gg persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran

(Doenges, 1999)

9. Gg komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan kesadaran

(25)

J. FOKUS INTERVENSI

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral

(Doenges, 1999)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran membaik

KH: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, tanda- tanda vital (TTV) kembali normal dan tak ada tanda- tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK)

Intervensi:

a) Tentukan faktor- faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

R: Untuk mengetahui penyebab cedera b) Pantau status neurologik secara teratur

R: Untuk mengetahui perubahan nilai GCS c) Pantau TTV

R: Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran. d) Pertahankan kepala pada posisi tengah

R: Mengurangi resiko injuri/ nyeri

e) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat

R: Adanya gelisah mengidentifikasikan adanya peningkatan TIK f) Kolab batasi pemberian cairan sesuai indikasi

R: Pembatasan cairan dapat menurunkan edema serebral. g) Berikan obat sesuai indikasi

(26)

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi dan obstruksi trakeobronkial (Doenges, 1999)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola napas kembali normal

KH: Napas normal (16- 24 x/mnt), irama regular, bunyi napas normal, GDA normal, PH darah normal (7,35- 7, 45), PaO2 (80- 100 mmHg), PaCO2 (35- 40 mmHg), HCO3 (22-26), Saturasi oksigen (95- 98%)

Intervensi:

a) Pantau frekuensi pernapasan, irama dan kedalaman pernapasan R: Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi

b) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan R: Untuk memudahkan ekspansi paru

c) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati- hati R: Untuk membersihkan jalan napas

d) Auskultasi bunyi napas

R: Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru e) Kolaborasi pemberian oksigen

R: Menentukan kecukupan pernapasan

3. Gg keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH dan aldesteron, retensi cairan dan natrium (Carpenito, 2000)

Tujuan: Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan.

(27)

Intervensi:

a) Pantau berat badan (BB)

R: Satu liter retensi sama dengan penambahan satu kg berat badan b) Pantau kecepatan infus

R: Pemberian berlebihan menimbulkan kelebihan cairan c) Pantau input dan output cairan

R: Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema d) Berikan cairan oral dengan hati- hati

R: Untuk mengatasi edema serebral e) Kolaborasi pemberian diuresis

R: Untuk menstabilkan cairan

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia (Carpenito, 2000)

Tujuan: Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu

KH: BB meningkat, tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi, nilai laboratorium dalam batas normal

Intervensi:

a) Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi. R: Faktor ini dapat menentukan pemilihan terhadap jenis makanan

b) Auskultasi bising usus.

R: Fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus cedera kepala c) Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT

(28)

d) Tingkatkan kenyamanan

R: Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan e) Kolaborasi pemberian makan lewat NGT

R: Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian

5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan penekanan vaskuler serebral dan edema otak (Engram, 1998)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang atau hilang KH: Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal

Intervensi:

a) Kaji karakteristik nyeri (p,q, r, s, t)

R: Untuk mengetahui letak nyeri dan cara mengatasinya b) Buat posisi senyaman mungkin

R: Menurunkan tingkat nyeri c) Pertahankan tirah baring

R: Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan menurunkan resiko meningkatnya TIK

d) Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri

R: Strees dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan kejang e) Kolaborasi pemberian obat- analgetik

R: Menurunkan rasa nyeri

6. Resiko tinggi infeksi Berhubungan dengan perdarahan serebral (Doenges, 1999) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda- tanda infeksi

(29)

Intervensi:

a) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan R: Untuk menurunkan terjadinya infeksi

b) Observasi daerah yang mengalami luka/ kerusakan R: Deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi c) Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran

R: Suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi d) Kolaborasi pemberian obat anti biotic

R: Menurunkan terjadinya infeksi e) Kolaborasi pemeriksaan laboritorium

R: Untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil laboratorium darah 7. Gg mobilitas fisik Berhubungan dengan nyeri kepala, pusing dan vertigo (Doenges,

1998).

Tujuan: Mempertahankan posisi yang optimal

KH: Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. Intervensi:

a) Kaji derajat imobilisasi pasien

R: Untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien b) Ubah posisi pasien secara teratur

R: Perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh. c) Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak

R: Mempertahankan mobilisasi d) Sokong kepala dan badan

(30)

R: Mempertahankan kenyamanan

8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran (Doenges, 1999).

Tujuan: Kesadaran mulai membaik

KH: Kesadaran mulai membaik dan nilai GCS meningkat. Intervensi:

a) Kaji kesadaran pasien

R: Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien b) Pantau perubahan orientasi klien

R: Fungsi serebral bagian atas biasanya berpengaruh adanya gangguan sirkulasi c) Catat adanya perubahan spesifik yang terjadi pada pasien

R: Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan d) Berikan stimulasi yang bermanfaat bagi klien

R: Untuk menstimulasi pasien.

9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan edema otak (Carpenito, 2000)

Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi

KH: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan pasien dapat menunjukkan komunikasi dengan baik

Intervensi:

a) Kaji derajat disfungsi

R: Membantu menentukan daerah/ derajat kerusakan serebral b) Bedakan antara afasia dengan disastria

(31)

R: Intervensi yang dipilih tergantung tipe kerusakan c) Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana

R: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik d) Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan pasien

Referensi

Dokumen terkait