8 A.Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau mengafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Pada awal pembelajaran seorang guru hendaknya mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang sosial ekonomisnya, dan lain sebagainya.
Pada kegiatan belajar di sekolah, siswa akan melakukan interaksi dengan guru, siswa lain, dan juga dengan sumber belajar. Kegiatan interaksi siswa tersebut disebut pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa memperoleh ilmu pengetahuan, pembentukan sikap, dan mengolah keterampilan.
Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pembelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembankan kemampuan pemecahan masalah siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan yang matang dari guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Jerome Bruner (dalam Pratika, 2013, hlm.16) mengatakan bahwa perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas.
Matematika adalah matapelajaran yang diajarkan dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika merupakan suatu
ilmu yang penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Matematika juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Ini berarti matematika berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Kemajuan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan penerapan matematika oleh kelompok manusia itu sendiri. Dengan kata lain, suatu bangsa yang menguasai matematika dengan baik akan mampu bersaing dengan bangsa lain. Dalam kenyataannya, dapat dikatakan bahwa matematika memiliki peranan besar sebagai alat latihan otak agar dapat berpikir logis, analitis, dan sistematis sehingga mampu membawa seseorang, masyarakat, ataupun bangsa menuju keberhasilan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah kegiatan belajar dan mengajar yang mempelajari ilmu matematika dengan tujuan membangun pengetahuan matematika agar bermanfaat dan mampu mempraktekkan hasil belajar matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Model Pembelajaran PBL merupakan salah satu model yang digunakan pendidik di sekolah menurut kurikulum 2013. Menurut Sitanggang (dalam Rusman, 2010, hlm. 229) mendefinisikan bahwa pembelajaran PBL merupakan inovasi dalam pembelajaran karena di dalam PBL kemampuan berfikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.
Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu bentuk strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di kelas. Dalam pembelajran, strategi merupakan salah satu cara untuk membuat pembelajaran di kelas lebih diterima oleh siswa. Strategi dalam pembelajaran memiliki peranan untuk menyesuaikan keadaan siswa di kelas agar pembelajaran yang berlangsung dapat diterima oleh siswa dan diserap secara maksimal. Strategi dalam
pembelajran adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa (Tim MKPBM, 2001:6). Problem Based Learning (PBL) merupakan strategi dalam pembelajaran matematika untuk menuntun siswa agar lebih memaksimalkan fungsi kerja otak dalam brpikir memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam keseharian siswa.
Menurut Arends (dalam Fernando, 2014, hlm. 13 secara garis besar langkah-langkah dalam model Problem Based Learning (PBL) ditinjau dari indikator kegiatan siswa, yaitu:
a) Memberikan orientasi terhadap permasalahan kepada siswa b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
c) Membimbing penyelidikan secara individual maupun kelompok d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah.
Menurut Runi (Yulianti, 2013:23) kelebihan dari pembelajaran Problem Based Learning (PBL) diantaranya:
a) Meningkatkan motivasi belajar siswa melalui pengaplikasian konsep pada masalah.
b) Menjadikan siswa aktif dan belajar lebih mendalam (deep learn).
c) Memungkinkan siswa untuk membangun keterampilan dan pemecahan masalah.
d) Meningkatkan pemahaman melalui dialog dan diskusi dalam kelompok. e) Menjadikan pembelajaran yang mandiri.
3. Model Pembelajaran Probing-Prompting
Pembelajaran akan berlangsung baik jika didukung oleh semua pihak, baik guru, siswa, maupun lingkungan. Dari segi guru, guru haruslah mampu menyuguhkan kegiatan pembelajaran yang dapat menarik minat siswa untuk mengikuti pembelajaran, termasuk pembelajaran matematika. Guru yang dapat mengemas matematika kedalam kegiatan pembelajaran yang menyenangkan tentu akan lebih mudah bagi siswa untuk memahami isi dari pelajaran. Sedangkan guru
yang tidak pandai membuat matematika menjadi pelajaran yang menyenangkan, tentu akan sulit membuat siswa memahami pelajaran.
Dalam pembelajaran, guru haruslah menggunakan berbagai model pembelajaran agar siswa tidak bosan dengan kegiatan pembelajaran konvensional yang cenderung monoton dan membosankan. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk dapat mengemas matematika agar lebih mudah dipahami oleh siswa adalah model pembelajaran Probing-Prompting. Berdasarkan arti katanya, probing berarti menyelidiki, dan Prompting berarti menuntun. Menurut Dahar (dalam Megariatati, 2014, hlm. 77) “pengertian probing dalam pembelajaran di kelas didefinisikan sebagai suatu teknik membimbing dengan mengajukan satu seri pertanyaan pada seorang siswa”. Model pembelajaran Probing-Prompting sangat erat kaitannya dengan pertanyaan. Dalam pembelajaran Probing-Prompting, guru mengajukan pertanyaan kepada siswa yang sifatnya menggali pengetahuan siswa dan menuntun siswa untuk mengaitkan pengetahuan baru yang didapatnya dengan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dalam pembelajaran Probing-Prompting terdapat dua bentuk pertanyaan, yaitu Probing question dan Prompting question. Mayasari (2014, hlm. 57) mengutip pendapat Suherman mengenai Probing question dan Prompting question, yaitu sebagai berikut. Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban yang lebih lanjut dari siswa yang bermaksud mengembangkan kualitas jawaban, sehingga jawaban berikutnya lebih jelas, akurat serta lebih beralasan, sedangkan Prompting question, pertanyaan ini bermaksud untuk menuntun siswa agar ia dapat menemukan jawaban yang lebih benar.
Menurut Suyatno (dalam Swarjawa, 2013, hlm. 84) “Praktik pembelajaran menggunakan Probing-Prompting disajikan melalui serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang menggali pengetahuan siswa serta membimbing ke arah perkembangan yang diharapkan”. Dalam pembelajaran Probing-Prompting guru secara mendadak menunjuk siswa secara acak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Karena proses tanya jawab yang dilakukan secara tiba-tiba dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus selalu konsentrasi dalam pembelajaran, siswa tidak bisa menghindar dari proses
pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Hal tersebut memungkinkan siswa untuk selalu fokus terhadap kegiatan pembelajaran karena mau tidak mau siswa suatu saat akan diajukan pertanyaan oleh guru dan harus menjawabnya. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tegang tersebut, saat mengajukan pertanyaan guru hendaknya bersikap ramah kepada siswa. Juga menghargai setiap jawaban siswa. Jika jawaban siswa salah guru sebaiknya menuntun siswa tersebut menuju jawaban yang benar bukan malah merendahkannya. Hal tersebut dilakukan agar siswa tidak takut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya juga agar siswa mau ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Suherman (2008, hlm. 116), model pembelajaran probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya, siswa mengontruksi konsep-prinsip dan aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Langkah-langkah pembelajaran probing-prompting dijabarkan melalui tujuh tahapan teknik probing yang dikembangkan dengan prompting adalah sebagai berikut:
1) Guru menghadapkan siswa pada situasi, misalkan dengan memperhatikan gambar, atau situasi lainnya yang mengandung permasalahan.
2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban.
3) Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban. 5) Meminta salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan.
6) Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan, bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kesulitan menjawab dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban. Lalu, dilanjutkan
dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan kepada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan probing-prompting.
7) Guru mengajukan pertanyaan akhir kepada siswa yang berbeda untuk lebih memastikan bahwa indikator yang dicapai telah dipahami oleh siswa.
Pembelajaran menggunakan model Probing-Prompting ini menurut Suherman (dalam Widyastuti, 2014, hlm. 24) memiliki kelebihan, yaitu:
1) Mendorong siswa berpikir aktif.
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas sehingga guru dapat menjelaskannya kembali.
3) Perbedaan pendapat para siswa dapat diarahkan pada diskusi. 4) Pertanyaan yang menarik dapat memusatkan perhatian siswa. 5) Sebagai cara meninjau kembali bahan pelajaran yang lampau.
6) Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.
Sedangkan kelemahan model pembelajaran Probing-Prompting yaitu: 1) Siswa merasa takut, apalagi bila guru kurang dapat mendorong siswa untuk
berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab. 2) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkatan berpikir dan
mudah dipahami siswa.
3) Waktu sering banyak terbuang apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang.
4) Dalam jumlah siswa yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap siswa.
5) Dapat menghambat cara berpikir anak bila tidak/kurang pandai membawakan, misalnya guru meminta siswanya menjawab persi seperti yang dia kehendaki, kalau tidak dinilai salah.
4. Kemampuan Pemecahan Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringakali dihadapkan pada masalah. Ketika seseorang dihadapkan pada masalah, orang tersebut segera menyelesaikannya. Akan tetapi, tidak semua orang dapat segera menyelesaikan masalahnya, ada langkah-langkah yang harus dilakukan agar masalah tersebut dapat diselesaikan. Namun, sebagian orang terkadang tidak tahu langkah-langkah apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Menurut Ruseffendi (2010:13) “Masalah adalah sesuatu yang mengganjal yang bila kita pecahkan akan memberi manfaat yang lebih baik”. Masalah tidak hanya hadir dalam kehidupan sehari-hari tetapi muncul dalam sebuah pembelajaran, di antaranya pembelajaran tersebut.
Walaupun kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang tidak mudah dicapai, tapi karena kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah ini hendaknya diajarkan kepada siswa pada semua tingkat.
Masalah tidak hanya hadir dalam kehidupan sehari-hari tetapi muncul dalam sebuah pembelajaran, diantaranya pembelajaran matematika. Sejalan dengan Suherman (Kanty, 2014, hlm. 14) menyatakan, “Masalah dalam matematika adalah ketika sesorang dihadapkan pada suatu persoalan matematika, tetapi dia tidak langsung mencari solusinya”. Untuk itu dibutuhkan penalaran, menduga atau memprediksi, mecari rumusan yang sederhana, baru kemudian membuktikan kebenarannya.
Gagne (Ruseffendi, 2006, hlm. 335) mengatakan “Pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya”. Suatu persoalan dikatakan masalah, jika persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa, dan dituntut untuk berpikir dengan menemukan suatu solusi yang sesuai untuk memecahkan masalah tersebut.
Setiawan (Amalina, 2013, hlm. 16) mengemukakan, “Pemecahan masalah sebagai tujuan merujuk pada kemampuan siswa dalam menggunakan segenap pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan persoalan dalam situasi yang baru atau yang tidak seperti biasanya (non routine)”. Permasalahan dalam proses pemecahan masalah dirancang agar siswa mampu menyelesaikan masalahnya,
meskipun siswa tidak tahu langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah proses dimana seseorang dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses dimana sesorang dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses berpikir, permasalahan tersebut bisa jadi pertama kali dialami, dan memerlukan waktu yang relatif lama dalam menyelesaikannya. Kemampuan pemecahan masalah ini sangat penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang kegiatan pembelajaran sedemikian rupa untuk menarik minat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Soal-soal yang diberikanpun haruslah beragam, hal ini untuk merangsang kemampuan berpikir siswa yang mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah.
Indikator kemampuan pemecahan masalah menurut NCTM (Riyanti, 2015, hlm. 18) adalah:
a) Menyelidiki dan mengerti isi matematik
b) Menerapkan penggabungan strategi pemecahan masalah matematika c) Mengenal dan merumuskan permasalahan dari situasi yang diberikan d) Menerapkan proses dari model matematika untuk situasi dunia nyata
Menurut Sumarmo (2013, hlm. 348), indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang meliputi:
a) Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah;
b) Membuat model matematika dari suatu masalah dan menyelesaikannya;
c) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika;
d) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban;
e) Menerapkan matematika secara bermakna.
Proses yang dilakukan setiap langkah pemecahan masalah ini dijelaskan sebagai berikut (Yuanari, 2011, hlm. 16):
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.
b) Merencanakan penyelesaian
Kemampuan pada merencanakan penyelesaian ini sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya, semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah.
c) Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan langkah-langkah yang telah direncanakan.
d) Melakukan pengecekan kembali
Pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan dari fase pertama sampai fase penyelesaian ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Dari kedua pendapat mengenai indikator pemecehan maslah, dalam penelitian ini indikator yang digunakan adalah indikator yang dikemukakan oleh Sumarmo, dimana indikator pemecahan masalah matematis terdiri dari lima indikator.
5. Self-Confidence
Definisi self-confidence menurut Cambridge Dictionaries Online (dalam Fitriani, 2012, hlm. 5) yaitu “behaving calmly because you have no doubts about your ability or knowledge”, maknanya adalah bersikap tenang karena tidak memiliki keraguan tentang kemampuan atau pengetahuan.
Menurut Ignoffo (dalam Megawati, 2010:3), terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan individu yang memiliki self-confidence yaitu memiliki cara pandang yang positif terhadap diri, yakin dengan kemampuan yang dimiliki, melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan, berpikir positif dalam kehidupan, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki potensi dan kemampuan.
Menurut Hakim (dalam Megawati, 2010:3) mengungkapkan beberapa ciri-ciri orang yang memiliki self-confidence adalah:
Selalu bersikap tenang dan tidak mudah menyerah, mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, mampu menetralisasi ketegangan yang muncul pada situasi tertentu, memiliki kondisi mental dan fisik cukup menunjang penampilan, memiliki kecerdasan yang cukup, memiliki kemampuan sosialisasi, selalu bersikap positif dalam menghadapi berbagai masalah, mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi dalam berbagai situasi.
Self-confidence adalah suatu sikap yakin akan kemampuan diri sendiri dan memandang diri sendiri sebagai pribadi yang utuh dengan mengacu pada konsep diri (Yudhanegara & Lestari, 2015, hlm. 44). Indikator self-confidence adalah: a) Percaya pada kemampuan sendiri.
b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan. c) Memiliki konsep diri yang positif.
d) Berani mengemukakan pendapat.
B.Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016, hlm. 122) meneliti tentang penerapan model pembelajaran probing prompting untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematika siswa SMK memperoleh hasil terdapat peningkatan kemampuan pemahaman matematika dan disposisi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan model pembelajaran Probing Prompting lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Penelitian yang dilakukan Atikah (2016, hlm. 52) tentang pembelajaran matematika dengan teknik probing prompting untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa sekolah menengah atas memperoleh hasil adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan teknik Probing-Prompting lebih baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran biasa dan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan teknik Probing-Prompting tergolong positif.
C.Kerangka Pemikiran
Untuk menggambarkan paradigma penelitian, maka kerangka pemikiran ini selanjutnya disajikan dalam bentuk diagram.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
D.Asumsi dan Hipotesis 1. Asumsi
Asumsi adalah titik tolak pemikiran yang kebenarannya tidak perlu diuji lagi. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Model pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah dan self-confidence siswa.
b) Pembelajaran dengan Probing-Prompting memberikan kesempatan untuk siswa memahami dan bertindak positif dalam bermatematika.
2. Hipotesis
a) Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran Probing-Prompting lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran Problem Based Learning (PBL).
a) Self-confidence siswa yang memperoleh model pembelajaran Probing-Prompting lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran Problem Based Learning (PBL).
E.Analisis dan Pengembangan Materi Pelajaran Yang Diteliti 1. Keluasan dan Kedalaman Materi
Mengacu pada kurikulum 2013 materi pelajaran matematika wajib SMA kelas X semester 2, membahas tentang materi Matriks. Peneliti dalam penelitiannya akan menggunakan materi Matriks sebagai materi pembelajaran. Materi prasyarat untuk mempelajari materi Matriks adalah Sistem Persamaan Linear. Karena peneliti menekankan penelitian kepada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, maka materi Matriks ini diaplikasikan ke dalam kemampuan tersebut, sehingga dalam instrument tes berisikan pertanyaan mengenai kemampuan pemecahan masalah matematisnya, dan pada sistem evaluasinya.
Di dalam peta konsep materi Matriks terdapat empat sub materi yaitu, jenis-jenis matriks, relasi, unsur-unsur matriks dan operasi hitung pada matriks. Dan berikut disajikan peta konsep tentang materi Matriks.
Gambar 2.2
Peta Konsep Matriks. Sumber: (kemdikbud 2014)
Kompetensi inti dan kompetensi dasar pencapaian materi Matriks ini disajikan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kompetensi Inti Kompetensi Dasar KI 1. Mengahayati dan mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya. KI 2. Menghayati dan mengamalkan
perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 3.5 Mendeskripsikan operasi sederhana matriks serta menerapkannya dalam pemecahan masalah.
KI 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
4.6 Menyajikan model matematika dari suatu masalah nyata yang berkitan dengan matriks.
2. Karakteristik Materi a. Matriks
Matriks adalah kelompok bilangan yang disusun dalam suatu jajaran bentuk persegi atau persegi panjang yang terdiri atas baris-baris dan kolom-kolom. b. Operasi Hitung Pada Matriks
1) Penjumlahan dua matriks
Jika matriks A = (aij)dan B = (bij)merupakan dua buah matriks yang berordo
m x n, maka jumlah kedua matriks yang dinotasikan dengan A + B adalah suatu matriks baru C = (cij)yang juga berordo m x n dengan cij aij bijuntuk setiap i dan j. Dengan demikian: Jika 23 22 21 13 12 11 a a a a a a A dan 23 22 21 13 12 11 b b b b b b B , maka 23 23 22 22 21 21 13 13 12 12 11 11 b a b a b a b a b a b a B A
2) Pengurangan dua matriks
Rumusan penjumlahan dua matriks dapat kita terapkan untuk memahami konsep pengurangan dua matriks. Misalkan A dan B adalah matriks yang berordo m x n, maka pengurangan matriks A dengan B didefinisikan sebagai jumlah antara matriks A dengan lawan dari matriks B yang dinotasikan A = - B, ditulis : A – B = A + (– B). Dengan demikian: Jika 23 22 21 13 12 11 a a a a a a A dan 23 22 21 13 12 11 b b b b b b B , maka ) ( B A B A 23 22 21 13 12 11 a a a a a a 23 22 21 13 12 11 b b b b b b 23 23 22 22 21 21 13 13 12 12 11 11 b a b a b a b a b a b a
3) Perkalian bilangan real dengan matriks
Andaikan A = (aij) dan k adalah skalar, maka perkalian skalar k dengan matriks A = (aij) adalah : k A = k(aij) = (k aij) untuk semua i dan j.
Dengan demikian: Jika , 22 21 12 11 a a a a A maka 22 21 12 11 . a a a a k A k 22 21 12 11 ka ka ka ka
Sifat – sifat perkalian bilangan real dengan matriks:
Jika k dan s adalah bilangan-bilangan real dan matriks-matriks A dan B yang berordo sama, berlaku:
k A = A k k (A + B) = kA + kB (k + s) A = kA + sA . k (s A) = (k s) A 1.A = A 0.A = 0
4) Perkalian dua matriks.
Misalkan matriks A n x m dan matriks B m x p matriks A dapat dikalikan dengan matriks B jika Banyak kolom matriks A sama dengan banyak baris matriks B. Hasil perkalian matriks A berordo n x m terhadap matriks B berordo m x p adalah suatu matriks berordo n x p proses menentukanelemen-elemen hasil perkalian dua matriks dipaparkan sebagai berikut:
nm n n n n n n n m x n a a a a a a a a a a a a a a a a a A 4 3 2 1 3 33 32 31 2 23 22 21 1 13 12 11 : : : : : ... ... ... ,dan mp m m m n n m p x m b b b b b b b b b b b b b b b b B ... : : : : : ... ... ... 3 2 1 3 33 32 31 2 23 22 21 1 13 12 11
Jika C adalah matriks hasil perkalian matriks A n x m dan matriks B m x p dinotasikan C = A x B, maka
Elemen-elemen matriks C pada baris ke i dan kolom ke j, dinotasikan Cij diperoleh dengan cara mengalikan elemen baris ke I matriks A dengan elemen kolom ke j matriks B, kemudian dijumlahkan. Dinotasikan c ij = a i1 b 1j + a i2 b 2j + a i3 b 3j +… +a in b nj.
3. Bahan dan Media
Gintings (dalam Munandar, 2016, hlm. 31) menjelaskan “bahan pembelajaran adalah rangkuman materi yang diajarkan kepada siswa dalam bentuk bahan tercetak atau dalam bentuk yang tersimpan dalam file elektronik baik verbal maupun tertulis”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan pembelajaran merupakan rangkuman materi ajar yang disiapkan guru untuk diberikan kepada siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran peneliti menggunakan bahan ajar berupa LKS (Lembar Kerja Siswa).