• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

(Studi Kasus pada Pemerintah Kota Tasikmalaya)

ABSTRAK

Oleh :

RINA MADYASARI NIM : 128334045

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh langsung variabel kinerja keuangan yang berupa rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan, untuk melihat pengaruh langsung pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran dan kemiskinan serta untuk melihat pengaruh langsung pengangguran terhadap kemiskinan. Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tasikmalaya, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan pada Kota Tasikmalaya. Sampel dalam penelitian ini adalah Kota Tasikmalaya mulai tahun 2008 sampai tahun 2013. Dari hasil penelitian dengan menggunakan analisis jalur (path analysis) menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang berupa rasio kemandirian mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan rasio efektifitas dan rasio efisiensi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Rasio Kemandirian juga memiliki pengaruh negatif terhadap pengangguran dan kemiskinan. Rasio efektifitas dan rasio efisiensi memiliki pengaruh positif terhadap pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap pengangguran dan kemiskinan, serta pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan.

Kata kunci : kinerja keuangan, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan

(2)

1. Latar Belakang

Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangannya secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab. Pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (PP No. 58 tahun 2005, pasal 4). Tolak ukur kinerja anggaran belanja dalam suatu organisasi termasuk Pemerintah Daerah adalah value for money yakni efisiensi, efektivitas dan ekonomis (Bastian, 2001 : 335 dalam Andita, 2011 : 3). Efisien berarti penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang maksimal. Efektifitas berarti penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan untuk kepentingan publik dan ekonomis berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada tingkat harga yang paling murah (Mardiasmo, 2002 : 182 dalam Andika 2011 : 3).

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian mampu menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat dalam suatu periode tertentu (Sukirno, 2006:423). Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, berarti secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi jumlah pengangguran yang merupakan keadaan dimana sesorang yang tergolong angkatan kerja namun tidak memliki pekerjaan (Nanga, 2005: 249) serta menurunkan tingkat kemiskinan, dimana kemiskinan adalah

(3)

ketidakmampuan dalam memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang baik itu kebutuhan makan maupun non makan (BPS, 2008).

Dalam teori fiscal federalism dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai dengan deesetralisasi fiskal melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dimana desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002), yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik jangka panjang (Faridi, 2011). Aristovnik (2012) mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat dibagi menjadi dua luas kategori yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii) pentingnya fiskal pemerintah daerah. Dengan menerapkan sistem pemerintahan terdesentralisasi, pemerintah daerah akan dikejar untuk meningkatkan usahanya dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya (Suhardjanto,dkk., 2009). Penthury (2011) menyatakan bahwa pemerintah daerah harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik dengan baik untuk seluruh masyarakat lokal, karena infrastruktur adalah kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Modebe et al. (2012).

Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah cenderung mendorong terjadinya marginalisasi dan peningkatan permasalahan sosial. Hal ini selain akibat dari partisipasi angkatan kerja yang rendah dan lapangan kerja yang tersedia belum mampu menyerap tenaga kerja yang semakin bertambah. Kondisi ini mendorong terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di perkotaan. Walaupun pertumbuhan ekonomi masih mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk, namun persebaran pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akhirnya mendorong terjadinya

(4)

kesenjangan antar sektor pertanian dan industri, antar desa dan kota. Daerah yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat partisipasi angkatan kerjanya cenderung rendah. Hal ini berkaitan dengan adanya daerah-daerah yang pesat pertumbuhan penduduknya, namun penduduk usia kerja yang ada belum terserap dalam sektor pekerjaan yang berkembang di wilayah tersebut. Di lain pihak pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkorelasi negatif dengan tingkat partisipasi angkatan kerja dan tidak berkorelasi nyata dengan penurunan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi sampai saat ini masih menjadi indikator keberhasilan pembangunan dan familiar bagi masyarakat umum. Pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan pendapatan dari daerahnya itu sendiri tanpa memandang kenaikan itu besar atau kecil. Pertumbuhan harus berjalan secara berdampingan dan berencana, mengupayakan pemerataan kesempatan kerja dan yang lainnya. Jika hal ini berlangsung terus maka daerah-daerah lain ikut terpacu untuk berkembang dan memajukan daerahnya, (Wahyu, 2012).

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Usman (1998: 63), mengatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan.

(5)

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Menurut PP Nomor 8 Tahun 2006 (pasal 2) kinerja merupakan keluaran / hasil dari kegiatan / program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat baik. Begitupun sebaliknya apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya dapat dikatakan sangat buruk.

Menurut Halim (2004 : 24) kinerja keuangan daerah atau kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah.

Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia (Abdul Halim, 2007 : 231). Beberapa rasio keuangan yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas/ rasio keserasian, rasio pertumbuhan keuangan daerah (Halim, 2007: 233).

(6)

Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain : Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil bukan Pajak sumber daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Alokasi Khusus, Dana Darurat dan pinjaman (Widodo, 2001 : 262). Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio kemandiriaan adalah sebagai berikut :

Pendapatan Asli Daerah

Rasio Kemandirian = --- x 100% Total Penerimaan Daerah

Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya.

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibanding dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah ( Abdul Halim : 234). Adapun rumus untuk Rasio Efektivitas adalah sebagai berikut

Realisasi Pendapatan Asli Daerah

Rasio Efektivitas = --- x 100% Target Penerimaan PAD berdasar potensi daerah

(7)

Kemampuan daerah dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 atau 100%, dan semakin tinggi rasio yang dicapai menunjukkan kemampuan yang semakin efektif dan mengambarkan kemampuan daerah semakin baik.

Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah daerah yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:30). Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Rasio efisiensi diukur dengan rumus sebagai berikut (Halim, 2007: 234) :

Realisasi Belanja Daerah

Efisiensi = --- x 100% Realisasi Penerimaan Daerah

Pengertian pertumbuhan ekonomi seringkali dibedakan dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bersangkut-paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sementara pembangunan mengandung arti yang lebih luas. Proses pembangunan mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan (alokasi) sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono,1999 dalam Wahyu, 2012).

Dalam menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah BPS (Badan Pusat Statistik) menggunakan rumus sebagai berikut :

(8)

Y

it

=

𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡1−PDRBt0

PDRBt0

x 100%

dimana :

Yit = Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota i tahun t 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡1= PDRB Kabupaten/kota i tahun t

PDRBt0 = PDRB Kabupaten/kota i tahun t-1

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

Dalam standar pengertian yang sudah ditentukan secara internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya.

Dalam penelitian ini saya menggunakan data pengangguran terbuka yakni orang-orang yang benar-benar tidak bekerja, baik secara sukarela maupun terpaksa. Rumus yang digunakan menurut Badan Pusat Statistik adalah :

TPT = 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑔𝑔𝑢𝑟

𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 x 100% TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka

Kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup layak, kebebasan, harga diri, dan rasa dihormati seperti orang lain.

Secara teori BPS (Badan Pusat Statistik) dalam menghitung tingkat garis kemiskinan yaitu dengan rumus sebagai berikut :

(9)

GK = Garis kemiskinan

GKM = Garis kemiskinan makanan GKNM= Garis kemiskinan non makanan

Keterkaitan Antara Kinerja Keuangan Dengan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan.

Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Pengelolaan daerah yang dilakukan secara ekonomis, efektif, dan efisiensi atau memenuhi value for money serta partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Hal ini dikarenakan kurang atau tidak adanya intervensi dalam hal kebijakan terkait dengan pengelolaan daerah tersebut. Di samping itu, aparatur daerah dapat secara inisiatif dan kreatif dalam mengelola daerah untuk mendorong pertumbuhan daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan pada daerah tersebut (Hamzah, dalam Simposium Nasional Akuntansi Ke-XI Pontianak, 23-24 Juli 2008). Kerangka Pemikiran Pengangguran Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Kinerja Keuangan Rasio Kemandirian Rasio Efektifitas

Rasio Efisiensi

(10)

Hipotesis

Berdasarkan kerangka fikir di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif deskriptif, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1 : Kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio

efisiensi secara langsung berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

H2 : Kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi secara langsung dan tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap pengangguran.

H3 : Kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi secara langsung dan tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

H4 : Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh signifikan terhadap pengangguran.

H5 : Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

H6 : Pengangguran secara langsung berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

3. Metode Analisis.

Metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kuantitatif. Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif dan regresi linier untuk melakukan analisis jalur (path analysis) terhadap variabel-variabel penelitian.

(11)

Popolasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laju Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Garis Kemiskinan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2013.

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang karakteristiknya diuji dan dianggap dapat mewakili populasi (Sekaran 2003 dalam Mirza, 2012 : 54 ). Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sensus atau sampling jenuh. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laju Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengagguran dan Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya tahun 2008-2013.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif sebagai satu-satunya jenis data. Data kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk angka, dapat diukur, dan dilakukan perhitungan serta perlu ditafsirkan terlebih dahulu agar menjadi suatu informasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah ada dari dokumen resmi pemerintah daerah kota Tasikmalaya. Data sekunder ini terdiri atas : Laporan Realisasi Anggaran kota Tasikmalaya yaitu untuk tahun 2008-2013, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Tasikmalaya dan data realisasi Pendapatan Asli Daerah kota Tasikmalaya dari Dinas Pendapatan Kota Tasikmalaya. Data Laju Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya tahun 2008-2013 yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik)

(12)

Kota Tasikmalaya. Data juga diperoleh dari jurnal-jurnal ilmiah serta literatur-literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

Paradigma Penelitian

Bertitik tolak dari judul penelitian, maka berikut digambarkan paradigma penelitian berikut indikator-indikator setiap variabel penelitian, baik indikator variabel eksogen yaitu kinerja keuangan (X1), variabel endogen intervening yaitu pertumbuhan ekonomi (Y1) maupun variabel endogen yaitu Pengangguran (Y2) dan Kemiskinan (Y3).

an

Gambar : Paradigma Penelitian Kinerja Keuangan (X1) Indikatornya : rasio kemandirian , rasio efektifitas, rasio efisiensi Pertumbuhan Ekonomi (Y1), indikatornya : PDRB Pengangguran (Y2), indikatornya : Jumlah pengangguran dan angkatan kerja Kemiskinan (Y3), indikatornya : Jumlah kemiskinan

(13)

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Kinerja Keuangan Kota Tasikmalaya

Tabel 4.1

Target dan Realisasi Pendapatan Kota Tasikmalaya Tahun Anggaran 2008-2013 Tahun Pendapatan Bertambah/ (%) (Rp) (Berkurang) Target Realisasi (Rp) 2008 607.484.462.000,00 617.040.309.495,61 9.555.847.495,61 101% 2009 656.395.387.000,00 709.019.451.793,19 52.624.064.793,19 108% 2010 823.160.158.000,00 829.347.403.378,70 6.187.245.378,70 101% 2011 916.055.793.000,00 915.696.936.770,03 (358.856.229,97) 100% 2012 1.067.473.778.151,00 1.061.433.837.805,00 (6.039.940.346,00) 99% 2013 1.350.407.419.111,00 1.365.593.492.674,06 15.186.073.563,06 101% Jumlah 4.813.492.535.262,00 4.881.091.122.420,98 67598587158,98 101%

Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya, 2014

Dari tabel 4.1 diatas menunjukan bahwa selama kurun waktu 6 tahun, Pemerintah Kota Tasikmalaya telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam pencapaian realisasi pendapatan daerah. Hal ini terlihat dari realisasi pendapatan daerah dari tahun 2008 sebesar Rp. 617.040.309.495,61 atau 101,57% dari target yang ditetapkan, kemudian naik pada tahun 2009 sebesar Rp. 709.019.451.793,19 atau 108% dari target yang ditetapkan, kemudian meningkat di tahun 2010 dengan realisasi pendapatan sebesar Rp. 829.347.403.378,70 atau 101% dari target yang ditetapkan. Pada tahun 2011 realisasi mencapai 100% dari target yang ditetapkan, tetapi pada tahun 2012 pemerintah kota Tasikmalaya hanya dapat merealisasikan 99% pendapatan dari target yang ditetapkan, namun demikian besarnya nominal jumlah realisasi pendapatan yang diperoleh pada tahun 2012 meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

(14)

Penurunan hanya terjadi pada persentase antara target dan realisasi. Sampai dengan tahun 2013 realisasi pendapatan Kota Tasikmalaya selalu mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 1.365.593.492.674,06 atau 101% dari target yang ditetapkan.

a. Analisis Kemandirian

Tabel 4.2

Rasio Tingkat Kemandirian Kota Tasikmalaya Tahun 2008-2013

Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya, 2014

Kota Tasikmalaya dengan rasio kemandirian daerah rata-rata dalam enam tahun terakhir yaitu tahun 2008- 2013 yang mencapai 12,20% mengintrepetasikan pola kemandirian yang masih instruktif. Pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah. Pola instruktif tersebut yang membuat ketergantungan pemerintah daerah kota Tasikmalaya dari sisi finansial terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi. Hal itu diperkuat dengan pendapatan transfer kota Tasikmalaya yang bersumber dari

Tahun Keterangan PAD Penerimaan Daerah Rasio Kemandirian Kemampuan Keuangan 2008 65.715.623.638,61 617.040.309.495,61 10,65 Sangat Rendah 2009 76.503.523.370,19 709.019.451.793,19 10,79 Sangat Rendah 2010 104.787.914.974,70 829.347.403.378,70 12,63 Sangat Rendah 2011 110.369.865.905,03 915.696.936.770,03 12,05 Sangat Rendah 2012 153.009.410.135,00 1.061.433.837.805,00 14,42 Sangat Rendah 2013 172.883.279.898,06 1.365.593.492.674,06 12,66 Sangat Rendah Rata-Rata 113.878.269.653,60 916.355.238.652,77 12,20 Sangat Rendah

(15)

Transfer Pemerintah Pusat/Dana Perimbangan, pendapatan bagi hasil pajak, pendapatan bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam), Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, transfer pemerintah pusat-lainya, dana otonomi khusus, dana penyesuaian, transfer pemerintah propinsi, pendapatan bagi hasil pajak, dan pendapatan bagi hasil lainya yang mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun 2008-2013. Berdasarkan hasil analisis data yang tersaji pada tabel diatas pada dasarnya pendapatan transfer daerah kota Tasikmalaya didominasi oleh perolehan transfer pemerintah pusat atau yang sering disebut sebagai dana perimbangan dan Dana Alokasi Umum (DAU).

b. Analisis Efektifitas

Tabel 4.3

Rasio Efektifitas Pendapatan Kota Tasikmalaya Tahun 2008-2013

Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya, 2014

Dari tabel perhitungan rasio efektifitas diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2008-2013 rasio efektifitas keuangan daerah kota Tasikmalaya yang

rata-Tahun Keterangan Realisasi PAD (Rp) Target PAD (Rp) Rasio Efektifitas (%) 2008 65.715.623.638,61 58.684.055.000,00 111,98 2009 76.503.523.370 69.337.990.000 110,33 2010 104.787.914.974 95.412.668.000 109,83 2011 110.369.865.905 104.897.749.000 105,22 2012 153.009.410.135 137.853.811.629 110,99 2013 172.883.279.898 170.101.109.996 101,64 Rata-Rata 113.878.269.653,44 106.047.897.270,83 108,33

(16)

rata mencapai 108,33% dapat dikatakan efektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa selama enam tahun terakhir, Kota Tasikmalaya dapat mengefektifkan realisasi PAD yang bersumber dari pendapatan pajak, pendapatan retribusi, pendapatan hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah dengan baik.

c. Analisis Efisiensi

Rasio Efisiensi Kota Tasikmalaya Tahun 2008-2013

Tahun

Keterangan

Realisasi Belanja Realisasi Pendapatan Rasio

(Rp) (Rp) Efisiensi (%) 2008 687.947.280.646,19 709.019.451.793,19 97,03 2009 687.947.280.646 709.019.451.793 97,03 2010 880.339.919.311 829.347.403.378 106,15 2011 917.531.043.950 915.696.936.770 100,20 2012 1.035.028.120.491 1.061.433.837.805 97,51 2013 1.311.030.641.333 1.365.593.492.674 96,00 Rata-Rata 919.970.714.396,20 931.685.095.702,20 98,99 Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya, 2014

Dari tabel diatas menunjukan bahwa selama 6 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008-2013 menggambarkan bahwa Kota Tasikmalaya masuk dalam kategori efisien dengan rata-rata 98,99%. Komponen dari total belanja ini terdiri dari belanja operasi, belanja modal, belanja tidak terduga dan belanja transfer.

4.2.Pembahasan

4.2.1 Uji Regresi dengan Metode Path Analysis

4.2.1.1 Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Kota Tasikmalaya

(17)

Berdasarkan hasil pengujian antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.12

Persamaan Regresi Model I

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 7,167 ,438 16,362 ,004 Rasio Kemandirian ,042 ,009 ,628 4,578 ,045 Rasio Efektifitas -,009 ,003 -,399 -2,689 ,115 Rasio Efisiensi -,009 ,004 -,367 -2,472 ,132

a. Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi

Sumber : Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 7,167 + 0,042 X1 – 0,009 X2 – 0,009 X3

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar 7,167 diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi ketika variabel eksogen seperti kinerja keuangan berupa rasio kemnadirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi adalah nol. Nilai koefisien regresi linear b1 sebesar 0,042 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio

kemandirian (variabel X1) sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

sebesar 4,2% dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Koefisien regresi linear b2 sebesar -0,009 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efektifitas

(variabel X2) sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9%

dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Sementara itu, koefisien regresi linear b3 sebesar -0.009 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efisiensi

(18)

(variabel X3) sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9%

dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan.

Berdasarkan tabel 4.12 hasil pengujian regresi antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio kemandirian terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,042 dengan signifikansi sebesar 0,045 lebih kecil dari 0,05, maka Ha.1 diterima atau dengan kata lain penelitian ini mendukung hipotesis yang diajukan. Hasil ini berarti bahwa rasio kemandirian berpengaruh positif dan secara statistik signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Hal ini mendukung hasil penelitian Hamzah (2008) yang menyatakan bahwa rasio kemandirian berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin besar PAD yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah serta semakin kecil pinjaman dan bantuan pusat, maka semakin mandiri daerah tersebut. Dengan semakin mandiri daerah tersebut, maka pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dapat mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan daerah tersebut mampu mengelola dengan ekonomis, efisien, dan efektif serta kurangnya campur tangan kebijakan yang dilakukan olehpemerintah pusat.

2) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio efektifitas terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang negatif sebesar -0,009 dengan signifikansi sebesar 0,115 lebih besar dari 0,05, maka Ha.1 ditolak. Ini berarti bahwa rasio

(19)

efektivitas tidak berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan target penerimaan PAD belum memenuhi ekonomis, efisien, dan efektif (value for money). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam merealisasikan penerimaannya jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan belum maksimal sehingga rasio efektivitas belum mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Hamzah (2008) dan penelitian Ni Luh dan Dwirandra yang menyatakan bahwa rasio efektivitas keuangan tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

3) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio efisiensi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang negatif sebesar -0,009 dengan signifikansi sebesar 0,132 lebih besar dari 0,05 maka Ha.1 ditolak. Ini berarti bahwa rasio efisiensi tidak berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan realisasi belanja yang dikeluarkan belum cukup mampu dialokasikan untuk belanja modal. Dengan belum efisiennya penggunaan anggaran belanja modal maka belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Kinerja keuangan daerah yang dapat dilihat dari rasio-rasio tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga dengan adanya kemandirian daerah dan pengelolaan daerah secara ekonomis, efektif, dan efisiensi dalam hal sumberdaya yang terdapat di dalam daerah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Hal ini dikarenakan kurang atau tidak adanya intervensi dalam hal kebijakan terkait dengan pengelolaan daerah tersebut. Di samping itu,

(20)

aparatur daerah dapat secara inisiatif dan kreatif dalam mengelola daerah untuk mendorong pertumbuhan daerah yang selanjutnya akan menurunkan tingkat ketimpangan pada daerah tersebut (Yuana, 2014).

4.2.1.2 Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pengangguran di Kota Tasikmalaya

Berdasarkan hasil pengujian antara kinerja keuangan terhadap pengangguran diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.15

Persamaan Regresi Model II

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pengangguran Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -6,200 18,823 -,329 ,773 Rasio Kemandirian -,714 ,395 -,640 -1,808 ,212 Rasio Efektifitas ,099 ,148 ,258 ,672 ,571 Rasio Efisiensi ,125 ,154 ,312 ,814 ,501

a. Dependent Variable: Pengangguran

Sumber : Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = -6,200 – 0,714 X1 + 0,099 X2 + 0,125 X3

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar -6,200 diartikan sebagai pengangguran ketika variabel independen seperti kinerja keuangan berupa rasio kemnadirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi adalah nol. Nilai koefisien regresi linear b1 sebesar -0,714 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio

kemandirian (variabel X1) sebesar 1% akan menurunkan pengangguran sebesar

(21)

sebesar 0,099 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efektifitas (variabel X2)

sebesar 1% akan meningkatkan pengangguran sebesar 9,9% dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Sementara itu, koefisien regresi linear b3 sebesar

0,125 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efisiensi (variabel X3) sebesar

1% akan meningkatkan pengangguran sebesar 12,5% dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan.

Berdasarkan Tabel 4.15, hasil pengujian hipotesis antara kinerja keuangan terhadap pengangguran dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio kemandirian terhadap pengangguran menunjukkan nilai yang negatif sebesar -0,714 dengan signifikansi sebesar 0,212 lebih besar dari 0,05, maka Ha.2 ditolak. Ini berarti bahwa rasio kemandirian tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini dikarenakan pada sektor riil PAD yang ditunjang dari pembayaran pajak dan retribusi, dimana daerah memiliki usaha mikro kecil dan menengah yang seharusnya mampu meningkatkan pembayaran pajak dan retribusi ternyata kurang berkembang dengan baik, yang menyebabkan kecilnya sumbangan PAD terhadap pendapatan sehingga kurang atau tidak menyerap jumlah pengangguran.

2) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio efektifitas terhadap pengangguran menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,099 dengan signifikansi sebesar 0,571 lebih besar dari 0,05, maka Ha.2 ditolak. Ini berarti bahwa rasio efektivitas tidak berpengaruh signifikan pada pengangguran. Hal ini dikarenakan oleh realisasi penerimaan daerah dari yang ditargetkan tidak

(22)

terlalu besar atau adanya kesenjangan anggaran dalam penyusunan anggaran, sehingga tidak mampu mendorong pengembangan program-program yang dapat dialokasikan untuk menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.

3) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio kemandirian terhadap pengangguran menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,125 dengan signifikansi sebesar 0,501 lebih besar dari 0,05, maka Ha.2 ditolak. Ini berarti bahwa rasio efisiensi tidak berpengaruh signifikan pada pengangguran. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah dalam penggunaan belanja daerah lebih besar pada alokasi belanja operasi dari pada alokasi belanja modal. Sehingga penerimaan yang seharusnya dialokasikan untuk membuat lapangan pekerjaan yang lebih banyak hanya mampu digunakan untuk membiayai belanja operasi dan menutupi kekurangan yang disebabkan oleh banyaknya pengeluran daerah, sehingga hal tersebut tidak dapat mengurangi jumlah pengangguran.

4.2.1.3 Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Kemiskinan di Kota Tasikmalaya

Berdasarkan hasil pengujian antara kinerja keuangan terhadap pengangguran diperoleh hasil sebagai berikut :

(23)

Tabel 4.18

Persamaan Regresi Model III

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Kemiskinan Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -12,620 12,687 -,995 ,425 Rasio Kemandirian -1,599 ,266 -,691 -6,010 ,027 Rasio Efektifitas ,474 ,100 ,591 4,761 ,041 Rasio Efisiensi ,018 ,104 ,022 ,175 ,877

a. Dependent Variable: Kemiskinan

Sumber : Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = -12,620 – 1,599 X1 + 0,474 X2 + 0,018 X3

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar -12,620 diartikan sebagai kemiskinan ketika variabel independen seperti kinerja keuangan berupa rasio kemnadirian, rasio efektifitas dan rasio efisiensi adalah nol. Nilai koefisien regresi linear b1 sebesar -1,599 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio

kemandirian (variabel X1) sebesar 1% akan menurukkan kemiskinan 1,599

sebesar 159,9% dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Koefisien regresi linear b2 sebesar 0,474 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efektifitas

(variabel X2) sebesar 1% akan meningkatkan kemiskinan sebesar 47,4% dengan

asumsi variabel lainnya adalah konstan. Sementara itu, koefisien regresi linear b3

sebesar 0,018 menyatakan bahwa setiap peningkatan rasio efisiensi (variabel X3)

sebesar 1% akan meningkatkan kemiskinan sebesar 1,8% dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan.

(24)

Berdasarkan Tabel 4.18, hasil pengujian hipotesis antara kinerja keuangan terhadap kemiskinan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio kemandirian terhadap kemiskinan menunjukkan nilai yang negatif sebesar -1,599 dengan signifikansi sebesar 0,027 lebih kecil dari 0,05, maka Ha.3 diterima. Ini berarti bahwa rasio kemandirian berpengaruh secara signifikan pada tingkat kemiskinan. Ini menunjukkan semakin besarnya sumbangan PAD terhadap pendapatan daerah maka akan semakin menurunkan tingkat kemiskinan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2008) yang menyatakan bahwa rasio kemandirian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi selanjutnya pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.

2) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio efektifitas terhadap kemiskinan menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,474 dengan signifikansi sebesar 0,041 lebih kecil dari 0,05, maka Ha.3 diterima. Ini berarti bahwa rasio efektivitas berpengaruh secara signifikan pada kemiskinan. Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tasikmalaya selama enam tahun terakir selalu melebihi target yang ditetapkan sehingga telah efektif untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah Kota Tasikmalaya.

3) Nilai koefisien regresi untuk variabel rasio efisiensi terhadap kemiskinan menunjukkan nilai yang positif sebesar 0,018 dengan signifikansi sebesar 0,877 lebih besar dari 0,05, maka Ha.3 ditolak. Ini berarti bahwa rasio efisiensi tidak berpengaruh signifikan pada kemiskinan. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja operasi

(25)

dari pada belanja modal. Hal tersebut menyebabkan kurang efisiennya pengeluaran yang dilakukan pemerintah sehingga tidak dapat digunakan untuk membantu meningkatkan program-progam dalam menanggulangi tingkat kemiskinan. Realisasi penerimaan pemerintah daerah belum mampu atau belum teralokasi pada peningkatan program-program untuk menanggulangi kemiskinan seperti belum adanya gerakan pembangunan desa terpadu, belum mendorong permodalan untuk UMKM yang ada di wilayah kota Tasikmalaya sehingga belum mampu mengurangi kemiskinan.

4.2.1.4 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Kota Tasikmalaya

Berdasarkan hasil pengujian antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.21

Persamaan Regresi Model IV

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 84,366 29,644 2,846 ,047 Pertumbuhan Ekonomi -13,117 5,115 -,789 -2,564 ,062

a. Dependent Variable: Pengangguran

Sumber :Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y2 = 84,366 – 13,117 Y1

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar 84,366 diartikan sebagai pengangguran ketika variabel independen pertumbuhan ekonomi adalah

(26)

nol. Nilai koefisien regresi linear b1 sebesar -13,117 menyatakan bahwa setiap

peningkatan pertumbuhan ekonomi (variabel Y1) sebesar 1% akan menurukkan

pengangguran sebesar 13,117 dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Berdasarkan Tabel 4.13, hasil pengujian hipotesis antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang negatif yaitu sebesar -13,117 dan signifikasinya 0,062 yang lebih besar dari 0,05 maka Ha.4 ditolak. Ini berarti bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran. Apabila pertumbuhan ekonomi meningkat berarti telah terjadi kenaikan terhadap produksi barang dan jasa karena kenaikan produksi barang dan jasa akan menyebabkan kenaikan terhadap faktor-faktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. Kenaikan permintaan terhadap tenaga kerja ini akan berakibat terhadap menurunnya tingkat pengangguran. Begitu sebaliknya, apabila pertumbuhan ekonomi turun berarti telah terjadi penurunan terhadap produksi barang dan jasa karena penurunan produksi barang dan jasa akan menyebabkan penurunan terhadap faktor-faktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. Penurunan permintaan terhadap tenaga kerja ini akan berakibat terhadap meningkatnya tingkat pengangguran.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan pengangguran. Hasil penelitian ini juga didukung oleh Hukum Okun (Mankiw, 2003:36) dan Abel dan Bernanke (2005) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang berbanding terbalik atau negatif antara GDP dengan pengangguran. Kenaikan pertumbuhan

(27)

ekonomi akan mengurangi pengangguran sedangkan penurunan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pengangguran.

4.2.1.5 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan di Kota Tasikmalaya

Berdasarkan hasil pengujian antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.24

Persamaan Regresi Model V

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 199,114 45,841 4,344 ,012 Pertumbuhan Ekonomi -30,723 7,910 -,889 -3,884 ,018

a. Dependent Variable: Kemiskinan

Sumber :Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y3 = 199,114 - 30,723 Y1

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar 199,114 diartikan sebagai kemiskinan ketika variabel eksogen pertumbuhan ekonomi adalah nol. Nilai koefisien regresi linear b1 sebesar -30,723 menyatakan bahwa setiap

peningkatan pertumbuhan ekonomi (variabel Y1) sebesar 1% akan menurukkan

kemiskinan sebesar 30,723 dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan. Berdasarkan Tabel 4.24, hasil pengujian hipotesis antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang negatif yaitu

(28)

sebesar -30,723 dan signifikasinya 0,018 yang lebih kecil dari 0,05 maka Ha.5 diterima. Ini berarti bahwa terdapat pengaruh negatif pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Artinya apabila terjadi peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% maka akan mengakibatkan kemiskinan menurun sebesar 30,723%. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat laju pertumbuhan ekonomi semakin berkurang tingkat kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Syaratnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut menyebar disetiap golongan masyarakat, termasuk di golongan penduduk miskin (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti dalam Achmad Khabhibi, 2010:46).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati dalam Adit Agus Prastyo (2009: 24), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

4.2.1.6 Pengaruh Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Kota Tasikmalaya Berdasarkan hasil pengujian antara pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran diperoleh hasil sebagai berikut :

(29)

Tabel 4.27

Persamaan Regresi Model VI

Pengaruh Pengangguran Terhadap Kemiskinan Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 5,943 4,315 1,377 ,241

Pengangguran 1,811 ,509 ,872 3,556 ,024

a. Dependent Variable: Kemiskinan

Sumber : Hasil pengolahan data dengan SPSS Statistics 21

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y3 = 5,943 + 1,811 Y2

Persamaan diatas menjelaskan bahwa intersep sebesar 5,943 diartikan sebagai kemiskinan ketika variabel independen pengangguran adalah nol. Nilai koefisien regresi linear b2 sebesar 1,811 menyatakan bahwa setiap peningkatan

pengangguran (variabel Y2) sebesar 1% akan menaikan kemiskinan sebesar 1,811

dengan asumsi variabel lainnya adalah konstan.

Berdasarkan Tabel 4.27, hasil pengujian hipotesis antara pengangguran terhadap kemiskinan dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel pengangguran menunjukkan nilai yang positif yaitu sebesar 1,811 dan signifikasinya 0,024 yang lebih kecil dari 0,05 maka Ha.6 diterima. Ini berarti

bahwa terdapat pengaruh positif pengangguran terhadap kemiskinan. Artinya apabila terjadi peningkatan terhadap pengangguran sebesar 1% maka akan mengakibatkan kemiskinan meningkat sebesar 1,811%. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pengangguran maka semakin tinggi pula tingkat kemiskinan.

(30)

Hubungan pengangguran dan kemiskinan sangat erat sekali, jika suatu masyarakat sudah bekerja pasti masyarakat atau orang tersebut berkecukupan atau kesejahteraanya tinggi, namun di dalam masyarakat ada juga yang belum bekerja atau menganggur, pengangguran secara otomatis akan mengurangi kesejahteraan suatu masyarakat yang secara otomatis juga akan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Pengangguran akan mengurangi kesejahteraan suatu masyarakat yang secara otomatis juga akan mempengaruhi tingkat kemiskinan (Sukirno dalam I Made Yogatama, 2010: 34). Efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang dicapai seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan.

4.2.2 Uji Validitas Model

Terdapat dua indikator validitas model di dalam analisis jalur (path analysis) yaitu koefisien determinan total dan trimming theory. Untuk koefisien determinan total merupakan total keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model yang diukur dengan :

Rm2= 1- Pe12 . Pe22. Pe32 Dimana :

R2m = total keragaman data

Pe12= nilai kuadrat residu pada pertumbuhan ekonomi

Pe22 = nilai kuadrat residu pada pengangguran

(31)

Maka koefisien determinannya:

Rm2 = 1 – (0,09)2 x (0,603 + 0,378)2 x (0,064 + 0,21 + 0,24)2 = 1 – (0,0081) (0,962361) (0,264196)

= 1 – 0,002059

= 0,997941 atau 99,79%

Besarnya Rm2 sebesar 99,79% artinya keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model tersebut adalah sebesar 99,79% atau dengan kata lain informasi yang terkandung dalam data 99,79% dapat dijelaskan oleh model tersebut, sedangkan sisanya sebesar 0,2059% dijelaskan oleh variabel lain yang belum dimasukkan dalam model penelitian.

Berdasarkan teori trimming, maka jalur-jalur yang tidak signifikan dibuang sehingga diperoleh model yang didukung oleh data empirik. Adapun model dalam bentuk diagram jalur berdasarkan teori trimming adalah sebagai berikut : 0,042;ρ=0,045 -30,723;ρ=0,018 -1,599 ; ρ=0,027 0,474 ; ρ=0,041 1,811 ; ρ=0,024 Gambar 4.7 X X1 X2 Y1 Y2 Y3 ε1 Ε3

(32)

Diagram Jalur Persamaan Substruktur

Berdasarkan Gambar 4.7 diperoleh pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel eksogen terhadap variabel endogen.Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.30 berikut

Tabel 4.30

Rangkuman Dekomposisi dari Koefisien Jalur, Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung, dan Pengaruh Total X1, X2 Terhadap Y1 dan Y3 Pengaruh Variabel

Pengaruh

Total Langsung Tidak Langsung

(Melalui Y1) X1  Y1 0,042 - 0,042 X1  Y3 -1,599 -1,29 2,889 X2  Y3 0,474 0,750 Y1  Y3 -30,723 - -30,723 Y2  Y3 1,811 - 1,811

Sumber : Data diolah, 2014

Berdasarkan Tabel 4.30 di atas, diperoleh informasi bahwa :

1. Kinerja keuangan berupa rasio kemandirian berpengaruh positif sebesar 0,042. Hasil ini sesuai hipotesis yang diajukan. Ini menunjukkan rasio kemandirian secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Pada pengaruh tidak langsung rasio kemandirian ke kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0,042 X -30,723 = -1,29. Hasil ini sesuai hipotesis yang diajukan. Ini menunjukkan rasio kemandirian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi selanjutnya pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.

(33)

3. Kinerja keuangan berupa rasio kemandirian berpengaruh negatif sebesar -1,599. Hasil ini sesuai hipotesis yang diajukan. Ini menunjukkan rasio kemandirian secara langsung berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan.

4. Kinerja keuangan berupa rasio efektifitas berpengaruh positif sebesar 0,474. Hasil ini sesuai hipotesis yang diajukan. Ini menunjukkan rasio efektifitas secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan. 5. Pengangguran berpengaruh positif sebesar 1,811. Hasil ini sesuai hipotesis

yang diajukan. Ini menunjukkan pengangguran secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan.

5.Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kinerja keuangan daerah yang terdiri dari rasio kemandirian secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektivitas dan rasio efisiensi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Kinerja keuangan daerah yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi secara langsung tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran.

3. Kinerja keuangan daerah yang terdiri dari rasio kemandirian dan rasio efektivitas secara langsung berpengaruh dan signifikan terhadap

(34)

kemiskinan, sedangkan rasio efisiensi secara langsung tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

4. Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh negatif terhadap pengangguran.

5. Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan.

6. Pengangguran secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan.

Berdasarkan uraian kesimpulan tersebut diatas, maka saran yang dapat diajukan secara khusus bagi pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

1. Peran pemerintah daerah harus lebih dioptimalkan dari pada pemerintah pusat agar lebih sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan kebijakan yang akan diambil dapat diaplikasikan dengan baik, serta akan berdampak positif terhadap Kota Tasikmalaya pada tahun berikutnya.

2. Pemerintah diharapkan dapat cepat mengambil langkah dengan melihat kontribusi yang dihasilkan pada variabel-variabel di dalam penelitian yang lebih menekankan pada kemandirian, efektifitas dan efisiensi daerah apabila ingin menekan pengangguran serta kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Kebijakan yang diberikan pemerintah daerah ialah kebijakan yang dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maupun meningkatkan kesejahteraan daerah. Dalam hal ini sangat berpengaruh di bidang keuangan daerahnya, sebab keuangan daerah yang diolah secara baik akan mendukung

(35)

potensi daerah yang dimilikinya. Kebijakan otonomi daerah merupakan upaya pemerintah dalam peningkatkan kemampuan perekonomian daerah dan juga untuk mengurangi pengangguran serta kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BPFE. ---. 2006. Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga. Halim, Abdul. 2002. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Penerbit UPP

Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.

---. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta : Salemba Empat.

Hamzah, Ardi. 2008. Analisis Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan: Pendekatan Analisis Jalur (Studi Pada 29 Kabupaten dan 9 Kota Di Provinsi Jawa Timur Periode 2001-2006). Simposium Nasional Akuntansi XI.

Mahmudi. 2007. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Panduan Bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial dan Politik. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi.

Ni Luh Nana Putri Ani dan A.A.N.B. Dwirandra. 2014. Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Pada Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Bali. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.3 (2014):481-497.

Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Wahyu, Arief. 2013. Analisa Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan (Studi Kasus Pada Seluruh Kabupaten Se Jawa Tengah Periode 2007-2009). Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

(36)

Gambar

Gambar : Paradigma Penelitian Kinerja Keuangan (X1) Indikatornya  : rasio kemandirian , rasio efektifitas, rasio efisiensi Pertumbuhan Ekonomi (Y1), indikatornya : PDRB  Pengangguran (Y2),  indikatornya : Jumlah pengangguran dan angkatan kerja Kemiskinan (
Diagram Jalur Persamaan Substruktur

Referensi

Dokumen terkait

Bolango”, yang disusun oleh Rahmawaty Singgili Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo, 2013. Penelitian ini membahas tentang dampak

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini hanya beberapa faktor saja yang mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu pengungkapan Kinerja keuangan,

Rancangan ini akan menjadi bahan untuk membangun sebuah aplikasi yang akan membantu hal-hal yang menjadi tujuan dibuatnya rancangan ini yaitu dapat memberikan informasi

Berdasarkan pada modul tervalidasi, dari 17 siswa SMA Negeri 1 Jorong, Kabupaten Tanah Laut yang terdiri atas 10 perempuan dan 7 laki-laki dari kelas Xdan XI

[r]

Judul Skripsi : Pengaruh Service Quality dan Perceived Value terhadap Brand Loyalty melalui Customer Satisfaction pada Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia di

Dengan demikian tanaman tomat yang mendapatkan aplikasi PGPR dan bakteri merah selama pertumbuhan cenderung lebih sedikit serangan hama dan penyakitnya, begitu

Data kuantitatif untuk menjawab rumusan masalah pada nomor 1 yaitu gambaran persentase bidang masalah mahasiswa di program studi Fakultas Ilmu Keolahragaan