• Tidak ada hasil yang ditemukan

Governasaun Aberta Mengapa Ditentang?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Governasaun Aberta Mengapa Ditentang?"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA

Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Perkumpulan HAK

24

Edisi 24 - APRIL 2003

Governasaun Aberta

Mengapa Ditentang?

D A F T A R I S I

DIREITO UTAMA: Governasaun Aberta Ditentang? Hal. 1 - 2

Hak Asasi tentang Pemerintahan Hal. 3 Pemerintahan Terbuka dan Tertutup Hal. 4 - 5 DIALOG: Nuno Rodriguez Hal. 6

JUSTIÇA: Buruh Bisa Diperbudak Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Kelompok Liquilua Ekspor Kopi ke Jepang Hal. 8 - 9

TEROPONG KEBIJAKAN: Pengadilan Lamban & Tidak Menjamin Kepastian Hukum Hal. 10 -11

HAK ASASI: Amnesty International: Polisi Harus Didukung Hal. 12

INSTRUMEN HAM: Instrumen Hak Asasi Manusia sebagai Norma Hukum Hal. 13 Pemerintahan dan Hak Asasi Manusia Hal. 14 GUGAT: Belum Ada Kebijakan Transportasi Umum Hal. 15

SERBA-SERBI: Pelatihan Advokasi di Oecusse Hal. 16

AMI LIAN: Kami Mengharapkan Pemerintahan Terbuka Hal. 16

S

ejak memegang kekuasaan pada 20 Mei 2002 lalu, Dewan Menteri RDTL yang dipimpin Perdana Menteri Marí Alkatiri, tidak pernah lepas dari kritik. Kritik semakin meningkat baik dari partai-partai politik oposisi maupun kalangan lain ketika pemerintah menjalankan programnya yang dikenal sebagai “governasaun aberta” (pemerintahan terbuka) di distrik-distrik. Kegiatan ini tidak lain adalah serangkaian kegiatan dialog yang melibatkan sebagian besar anggota Dewan Menteri dengan rakyat di sejumlah distrik. Program ini kali pertama dilakukan di Distrik Viqueque pada Februari 2003, dilanjutkan lagi di Maliana dan Manufahi, dan sekarang masih berlangsung di distrik-distrik lain.

Yang dibicarakan dalam program governasaun aberta itu beragam, mulai dari kesulitan ekonomi sehari-hari yang dihadapi rakyat hingga persoalan-persoalan politik tingkat nasional yang oleh rakyat dianggap sering memperkeruh suasana di desa-desa. Dalam kegiatan itu, rakyat mengungkapkan masalahnya dan pemerintah menanggapinya sambil menyampaikan informasi tentang perkembangan pemerintah.

Tetapi dengan adanya kegiatan itu, golongan oposisi di Parlemen Nasional bereaksi sinis. “Kegiatan ini hanya menghambur-hamburkan uang dan tenaga,” kata Fernando Araújo (Lasama), ketua Partido Democratico. Pemerintah juga dituduh telah mengurangi peran pemerintah lokal di tingkat distrik ke bawah. Menurut golongan oposisi, asas desentralisasi yang dijamin dalam konstitusi telah

Demonstrasi mempertanyakan peran Pemerintah RDTL. Foto: Rogério Soares/Direito

(2)

2 edisi 24 - April 2003

DIREITO UTAMA

K

egiatan pemerintah mengadakan dialog dengan rakyat di desa-desa mendapat-kan tentangan dari kalangan oposisi. Berba-gai alasan dikemukakan, mulai dari pembo-rosan uang negara, mengganggu rakyat yang sedang bekerja, hingga tuduhan bahwa pe-merintah melakukan kampanye terselubung untuk pemilihan umum tiga tahun lagi.

Alasan oposisi mungkin ada benarnya. Tetapi dari sudut pandang demokrasi, kesem-patan yang dibuka oleh pemerintah seharus-nya dimanfaatkan dengan sebaik-baikseharus-nya, bukan sekadar untuk menjatuhkan pemerin-tah, tetapi untuk membangun demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukanlah barang jadi, tetapi adalah suatu hasil dari proses pergu-mulan terus-menerus antara berbagai keku-atan dan kepentingan dalam masyarakat.

Demokrasi di negeri kita baru ada dalam pengertian formal saja. Sistem demokrasi ne-geri didirikan oleh UNTAET dengan pem-bentukan partai-partai politik, penyelengga-raan pemilihan umum anggota Majelis Kon-stituante (yang kemudian ditransformasikan menjadi Parlemen Nasional) dan pemilihan umum Presiden Republik, dan pendidikan kewarganegaraan. Kalau setelah semua itu di-jalankan dianggap demokrasi telah berdiri di Timor Leste, ini pikiran yang salah.

Sikap sebagian anggota eksekutif peme-rintahan dan parlemen yang menganggap ti-dak perlu mendengar pihak lain karena me-reka yang dipilih rakyat bukanlah khas Ti-mor Leste. Di Amerika Serikat pemerintah juga bersikap demikian (lihat tulisan “Peme-rintahan Terbuka vs Peme“Peme-rintahan Tertu-tup”). Masalahnya, sistem demokrasi perwa-kilan memang memungkinkan terjadinya pe-merintahan yang “tertutup.”

Program yang oleh pemerintah diberi nama “pemerintahan terbuka” seharusnya di-manfaatkan sebaik-baiknya untuk membuka demokrasi itu sendiri, untuk mengatasi kele-mahan demokrasi perwakilan. Caranya ada-lah dengan memanfaatkan pertemuan-perte-muan tersebut dengan mendialogkan masa-lah-masalah rakyat, dan menemukan jalan ke-luarnya, serta memperkuat rakyat dengan mendesak kepada pemerintah untuk mem-berikan wewenang kepada rakyat di tingkat desa untuk mengelola urusan-urusan yang bisa mereka tangani. Dengan cara ini, oposi-si bisa menyumbang sesuatu untuk mewu-judkan demokrasi di negeri ini.

Menggugah Oposisi

dilanggar oleh pemerintah. Bahkan oposisi yakin kalau pemerintah tidak akan mampu menghasilkan apa-apa dari kegiatan tersebut. Karena, kegiatan itu lebih mirip dengan kampanye partai politik ketimbang sebuah dialog partisipatif antara pemerintah dengan rakyat. Sebagian bahkan menyamakan kegiatan governasaun aberta dengan “Safari Ramadhan” yang dulu di Indonesia dilakukan oleh pemimpin Golkar untuk mencari dukungan jauh sebelum masa kampanye dimulai.

Pemerintah pun langsung menanggapi semua kritikan yang datang. “Fernando Lasama ne’e hemu tua botir hira ona mak koalia arbiru deit ne’e,” begitu serangan balik Perdana Menteri terhadap kaum oposisi. Sementara salah seorang pengurus teras FRETILIN, José Reis, dalam konferensi pers Comite Central FRETILIN (7/4/ 03) untuk menangapi kritik terhadap pemerintah mengatakan, “Jika oposisi bisa melakukan mujizat, maka FRETILIN akan segera menyerahkan kekuasaan kepada oposisi,” katanya. Menurut Reis yang juga anggota Parlemen Nasional itu, siapapun yang menguasai pemerintah sekarang tidak akan secara cepat dan gampang memecahkan semua persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Sambil merujuk pada pengalaman negara lain, Reis menyebutkan bahwa proses pemecahan atas semua persoalan itu memakan waktu dan tenaga.

Kritik yang disampaikan kalangan oposisi dan tanggapan balik dari pihak pemerintah malah keluar dari permasalahan. Dalam hal governasaun aberta, masalahnya bukanlah apakah pemerintah yang dikuasai FRETILIN mampu atau tidak dan apakah partai-partai oposisi akan lebih baik nantinya. Masalah intinya adalah apakah kegiatan tersebut cocok dengan keinginan kita bersama tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dijalankan. Dalam hal ini, apakah pemerintah seharusnya dijalankan dengan membangun dialog terus-menerus dengan rakyat atau apakah rakyat cukup menyuarakan keinginannya melalui pemilihan umum dan setelah itu semua persoalan bangsa dan negara menjadi urusan pemerintah, dalam hal ini Dewan Menteri, Parlemen Nasional, dan Presiden Republik saja.

Dari segi ini, pendapat yang dikemukakan Nuno Rodriguez, koordinator Sahe Institute for Liberation, perlu kita perhatikan. Dalam wawancara dengan Rogério Soares dari Direito, ia mengatakan bahwa kegiatan governasaun aberta cukup baik karena terjadinya pertemuan langsung antara pemerintah dengan rakyat. “Sejak masa pemerintahan transisi UNTAET, hubungan rakyat dengan pemerintah sudah cukup timpang. Karena itulah kegiatan governasaun aberta sangat penting dalam konteks memecahkan masalah ketimpangan itu,” kata Rodriguez.

Hal senada juga dikatakan Drs.Valentin Ximenes MA, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universidade Nasional Timor Lorosae (UNTL). Pakar ilmu politik yang cukup kritis terhadap perkembangan politik tanah air itu mengatakan bahwa kegiatan governasaun aberta adalah satu langkah awal yang baik dalam memperkuat hubungan antara pemerintah dengan rakyat (Timor Post, 1/3/03). Menurutnya melalui governasaun aberta, pemerintah menunjukkan komitmennya dan sadar bahwa sebagai sebuah institusi yang berasal dari rakyat, pemerintah harus mengabdi kepada rakyat.

Duarte Baros, seorang penduduk Distrik Bobonaro yang ditemui Direito di Maliana juga berpendapat bahwa program governasaun aberta adalah hal yang baik. “Menurut kami, ini hal yang baik, karena pemerintah datang kepada rakyat dan mengatakan apa yang sedang dilakukan pemerintah. Itu sangat kami harapkan karena kami rakyat kecil di basis sangat perlu mengetahui perkembangan pemerintah sekarang,” katanya. Menurutnya, banyak orang desa selama ini terus bekerja sambil menunggu program pemerintah. “Sekarang datang kesempatan untuk menyampaikan kesulitan yang kami hadapi kepada pemerintah,” ucapnya. Hal itu memang jelas, sejak awal dicetuskan dan dilaksanakannya program governasaun aberta, pemerintah memang sudah menjelaskan tentang tujuan dan maksudnya. Menurut pemerintah, kegiatan governasaun aberta dilakukan untuk melihat dan mendengarkan langsung realitas kehidupan dan tuntutan rakyat. Fakta yang ditemukan dalam kegiatan tersebut, akan digunakan pemerintah sebagai referensi dalam menentukan program prioritas pembangunan yang akan dibuat pemerintah. Dengan begitu, prioritas pembangunan yang akan ditentukan, berpijak pada hasil temuan lewat program governasaun aberta itu. Rui Viana

(3)

DIREITO UTAMA

Masyarakat Hatubuilico: membuka ruang partisipasi Foto: R. Soares/Direito

Pemerintahan dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Dalam ketentuan hak asasi manusia internasional, rakyat dijamin haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Lebih jauh lagi, keinginan rakyatlah yang merupakan sumber dari otoritas pemerintah, bukan keinginan presiden atau perdana menteri atau partai mayoritas yang terpilih dalam pemilihan umum. Bagaimana mewujudkan prinsip hak asasi manusia ini dalam pemerintahan?

D

alam demokrasi, pemerin tahan adalah suatu kegiatan mengur us kepentingan umum seluruh rakyat yang dilaksa-nakan oleh suatu badan yang terben-tuk melalui pemilihan umum. Pen-gertian seperti ini terkait langsung dengan gagasan tentang kekuasan negara. Di dalam demokrasi, kekua-saan negara dianggap bersumber dari rakyat.

Prinsip hak asasi manusia yang terkait dengan kekuasaan negara a-dalah hak tentang pemerintahan. Deklarasi Semesta Hak Asasi Manu-sia secara khusus menyebut masalah ini dalam pasal 21, yang isi lengkap-nya adalah:

1. Setiap orang berhak ambil bagian da-lam pemerintahan negaranya, secara langsung maupun melalui wakil-wa-kil yang dipilih secara bebas

2. Setiap orang berhak atas akses yang sama pada dinas publik di negaranya 3. Keinginan rakyat harus menjadi dasar otoritas pemerintah; keinginan ini ha-rus dinyatakan dalam pemilihan umum berkala dan sejati yang harus berlaku hak pilih yang sama untuk semua orang dan harus diselenggara-kan melalui pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara yang sama bebasnya.

Dengan kata-kata yang sedikit berbeda, prinsip tersebut tercantum dalam pasal 26 Konvenan Hak Sipil dan Politik yang pada tahun lalu te-lah diratifikasi oleh negara kita.

Deklarasi ini menyatakan bahwa rakyat punya hak partisipasi dalam pemerintahan. Dipandang dari sisi pemerintah, ini berarti bahwa peme-rintah harus membuka pintu lebar-lebar kepada rakyat agar rakyat ikut ambil bagian dalam pemerintahan. Bagaimana partisipasi itu dilaksana-kan? Partisipasi bisa dilakukan seca-ra langsung. Salan satu bentuknya adalah referendum, yaitu pemungut-an suara untuk menentukpemungut-an politik negara tentang sesuatu. Misalnya, di Inggris tahun lalu diadakan

referen-dum untuk menentukan apakah ne-gara Inggris akan mengganti mata uangnya dengan mata uang yang ber-laku untuk seluruh Eropa (Euro). Wujud lain dipraktekkan di negara bagian Rio Grande dos Sul (Brazil), yaitu rakyat ambil bagian dalam pe-rencanaan anggaran negara bagian. Dalam skala lebih kecil negara kita mempraktekkanya ketika menyusun rencana pembangunan nasional. Konsultasi dilaksanakan di desa-desa untuk menampung pendapat rakyat

yang selanjutnya disusun menjadi Rencana Pembangunan Nasional oleh Komisi Perencanaan Nasional. Rakyat sebagai “sumber” kekua-saan ditegaskan dalam ayat tiga yang disebut di atas. Dasar otoritas pe-merintah adalah keinginan rakyat, bukan keinginan presiden atau perdana menteri. Bisa dikatakan bahwa pemerintah dan parlemen yang terpilih melalui pemilihan umum tidak lebih adalah semacam kontraktor yang dikontrak oleh rak-yat untuk melaksanakan keinginan rakyat dalam jangka waktu tertentu. Dengan memilih para politisi dalam pemilihan umum, rakyat tidak

mem-berikan kekuasaannya kepada poli-tisi tersebut atau partainya. Rakyat hanya meminjamkan kekuasaannya. Menurut teori, rakyat bisa menarik kembali kekuasaan yang dipinjam-kannya jika jangka waktunya habis atau jika yang dipinjami tidak lagi menjalankan keinginan rakyat.

Agar rakyat bisa menyampaikan keinginannya, harus ada pemilihan umum berkala yang bebas untuk se-mua orang. Tetapi di sini ada masa-lah. Pemilihan umum kalau hanya

dijalankan sekali dalam empat atau lima tahun, maka rakyat hanya bisa menyatakan keinginan hanya sekali saja dalam empat atau lima tahun.

Masalah lain, dalam kebebasan itu, rakyat bisa saja tidak bisa me-nyatakan keinginannya. Sebabnya, rakyat tidak mengetahui cara untuk menyampaikan keinginan. Sebab lain, adanya manipulasi dari pihak-pihak yang menginginkan kedudu-kan dalam pemerintahan.

Karena itu jika kita menginginkan keinginan rakyat bisa menjadi dasar otoritas pemerintah, governasaun aber-ta harus didorong sampai seterbuka-terbukanya bagi rakyat.

(4)

4 edisi 24 - April 2003

DIREITO UTAMA

PEMERINTAHAN TERBUKA VS

PEMERINTAHAN TERTUTUP

Demonstrasi di Lapangan Demokrasi, Dili. Foto: Rogério Soares

Oposisi dan pemerintah berbeda pendapat tentang pemerintahan terbuka. Oposisi menyebut kriteria transparansi, pertanggungjawaban, dan hukum. Sedang pemerintah menyebut kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sebagai

inti pemerintah terbuka. Mana yang benar?

P

erdebatan antara pemerintah dan oposisi tentang pemerin tahan terbuka sebenarnya tidak mengejutkan. Sejak awal terbentuk-nya Dewan Menteri setelah UNTA-ET menyerahkan kekuasaannya, su-dah muncul tuduhan dari partai-par-tai oposisi bahwa pemerintah yang dipimpin Mari Alkatiri bersifat ter-tutup. Seiring dengan berjalannya waktu, tuduhan itu mereda begitu saja, tanpa ada hasil konkret. Peme-rintah berjalan terus. Sementara o-posisi pindah mengangkat masalah lain lagi, tanpa memperjuangkan se-cara tuntas masalah yang sudah di-angkat.

Belakangan setelah pemerintah menggelar program governasaun aber-ta, isu tentang pemerintahan terbu-ka kembali mengedepan. Dengan alasan yang sama, golongan oposisi menuduh pemerintah dijalankan se-cara tertutup, walaupun telah digelar program governasaun aberta. Sebalik-nya menurut pemerintah, dengan menyelenggarakan program governa-saun aberta, pemerintah telah menja-lankan pemerintahan terbuka.

Betulkah pemerintah di Timor Leste telah menjalankan pemerintah-annya secara tertutup? Untuk men-dapatkan jawabannya, yang perlu diketahui lebih dulu adalah apa itu sistem pemerintahan terbuka. Opo-sisi mengartikan pemerintahan ter-buka sebagai pemerintahan yang di-jalankan secara partisipatif, transpa-ran, bertanggungjawab, dan selalu berdasarkan pada semua aturan hu-kum yang berlaku. Sayangnya opo-sisi kurang menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan “partisipatif.” Tetapi dari sikap sebagian pemim-pin mereka sejak pembentukan De-wan Menteri, yang mereka maksud-kan adalah partai-partai yang seka-rang beroposisi itu seharusnya diberi kedudukan penting dalam Dewan Menteri.

Pengertian ini kurang lebih sama dengan pengertian yang digunakan

Bank Dunia dalam kampanyenya tentang pemerintahan yang baik dan bersih atau good and clean governance.

Versi pemerintah lain lagi. Me-nurut mereka, interaksi antara pe-merintah dengan rakyat, dimana rak-yat dengan bebas menyampaikan pendapat dan kritik terhadap peme-rintah, adalah inti dari pemerintah-an terbuka. Pendapat ini belum me-nyentuh masalah sesungguhnya dari pemerintahan. Karena dalam de-mokrasi, masalahnya adalah bagai-mana menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan asas dari rakyat dan oleh rakyat, yang merupakan inti dari demokrasi.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat (AS) rakyat mendapatkan ke-bebasan yang sebebas-bebasnya da-lam menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Pada saat pemerintah AS memutuskan untuk menyerbu Irak jika Irak tidak me-nyerahkan senjata pemusnah massal yang oleh AS dianggap dimiliki Irak, jutaan rakyat AS berdemonstrasi me-nentang sikap pemerintahnya. Tetapi pemerintah tetap melanjutkan kein-ginannya dan Irak pun diserang

habis-habisan oleh AS dan diduduki hingga sekarang. Jadi di AS ada ke-bebasan besar bagi siapa saja untuk mengemukakan pendapat, termasu-k melalui demonstrasi besar-besaran yang memprotes politik pemerintah. Tetapi pendapat mereka tidak didengar sama sekali oleh Presiden dan DPR AS. Dari segi ini bisa dikatakan bahwa Pemerintah dan DPR AS telah menjalankan peme-rintahan secara tertutup.

Pendapat oposisi juga tidak de-ngan sendirinya mengarah pada pe-merintahan terbuka. Jika yang di-maksudkan dengan “partisipatif ” oleh oposisi adalah partisipasi par-tai-partai bukan pemenang pemili-han umum dalam kabinet, ini belum berarti kabinet pemerintah akan menjalankan pemerintahan yang ter-buka terhadap keinginan rakyat. Para politisi partai bukan pemenang pe-milihan umum bisa sama tertutup-nya dengan partai pemenang pemi-lihan umum. Apalagi sekarang ini di kalangan orang berpendidikan ting-gi sangat luas pendapat bahwa rak-yat kecil itu bodoh dan tidak tahu apa-apa, orang berpendidikanlah

(5)

DIREITO UTAMA

Penduduk berdagang di Pasar Maubisse. Foto: Rogério Soares/Direito.

yang pintar. Suatu sikap elitis yang merupakan bibit bagi ketertutupan. Bagaimana dengan transparansi dan pertanggungjawaban? Ini juga bukan jaminan bagi pemerintahan terbuka. Kembali perhatikan kasus AS. Pengambilan keputusan untuk memerangi Irak dilakukan secara transparan oleh Pemerintah AS. Pre-siden bahkan menunjukkan secara terbuka bukti-bukti intelijen bahwa Irak sedang mengembangkan senja-ta pemusnah massal. Keputusan berperang diambil secara bertang-gungjawab dengan terlebih dahulu meminta persetujuan Senat, bagian dari DPR AS yang berwenang mengenai masalah ini. Senat pun mengadakan pemungutan suara se-cara bebas dan terbuka, dengan ha-sil hanya satu orang menentang ke-putusan tersebut.

Keputusan tersebut juga sesuai dengan hukum yang berlaku. Yaitu bahwa Presiden berwenang menya-takan perang dengan negara lain dan bahwa keputusan itu harus menda-patkan persetujuan dari Senat.

Jadi partisipasi dalam pemerin-tahan, transparansi, pertanggungja-waban, dan hukum saja bukan me-rupakan jaminan bahwa pemerintah-an berlpemerintah-angsung secara terbuka.

De-mikian pula kebebasan berpendapat dan berdemonstrasi.

Bukan berarti kita tidak perlu transparansi, pertanggungjawaban, hukum, kebebasan berpendapat dan berkumpul. Tetapi itu saja tidak cukup atau tidak lengkap. Karena be-lum menyentuh masalah dasar pe-merintahan, yaitu kekuasaan. Pada dasarnya kegiatan pemerintahan

a-dalah kegiatan menjalankan kekua- Rui Viana & Nug Katjasungkana

saan negara. Dalam negara demok-ratis, ini berarti suatu pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat. Demok-rasi sendiri pengertian dasarnya a-dalah “kekuasaan rakyat” atau “pe-merintahan rakyat.”

Pengertian dasar inilah yang justru telah diselewengkan di banyak negara yang mengaku demokratis. Seperti dikemukakan oleh Andrew Heywood dalam bukunya Political Ideologies (Macmillan, 1993, hal. 277), “Demokrasi dewasa ini adalah de-mokrasi perwakilan; tanggungjawab untuk memerintah bukan dijalankan oleh semua warganegara yang sudah dewasa, tetapi dipercayakan kepada satu kelompok elit politisi profesi-onal.” Partisipasi rakyat dalam pe-merintahan dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan memilih wa-kil-wakilnya dalam badan perwakilan dan memilih pejabat-pejabat ekseku-tif. Akibatnya ide dasar demokrasi tentang pemerintahan rakyat diting-galkan, yang dikemukakan adalah peraturan yang mengatur proses pe-milihan umum. Demokrasi hanya berarti pemilihan umum bebas dan rahasia untuk menjamin hak pilih warganegara serta kompetisi partai-partai politik untuk menjamin pilihan. Partisipasi warganegara

terbatas pada memberikan suara pada hari pemilihan umum.

Demokrasi semacam inilah yang disebut “demokrasi perwakilan.” Hasilnya adalah pemerintahan seper-ti di Amerika Serikat. Pemerintahan yang dijalankan oleh para politisi yang dipilih rakyat melalui pemili-han umum yang bebas dan rahasia, tetapi yang bisa mengabaikan begi-tu saja keinginan rakyat.

Kalau mau menerapkan peme-rintahan yang benar-benar terbuka, yang harus diadopsi adalah suatu sis-tem demokrasi partisipatoris, bukan sis-tem demokrasi perwakilan. Yaitu suatu sistem dalam mana rakyat ber-partisipasi semaksimal mungkin da-lam urusan pengelolaan pemerintah-an dpemerintah-an uruspemerintah-an kenegarapemerintah-an. Rakyat setiap saat dan di mana saja bisa mengajukan usulan dan kritik terha-dap pemerintah karena mekanisme untuk itu ada. Dalam sistem demok-rasi perwakilan, hal itu tidak akan mudah terjadi karena, urusan sehari-hari pemerintahan negara menjadi wewenang parlemen dan pemerin-tah saja.

Merujuk pada pendapat alterna-tif itu, bisa ditarik kesimpulan bah-wa sistem pemerintahan terbuka ha-rus memenuhi syarat-syarat penting berikut:

(1) Pemerintah harus bisa men-jamin partisipasi aktif rakyat dalam setiap proses pengambilan keputu-san pemerintah. Misalnya dalam pe-nyusunan anggaran negara, rakyat harus aktif terlibat di dalam proses penentuan perencanaannya dengan ikut menentukan sektor mana yang harus diprioritaskan dan harus di-biayai oleh pemerintah dan mana yang diserahkan kepada masyarakat. Rakyat juga berpartisipasi dalam pelaksanaannya dengan melakukan pemantauan dan kontrol.

(2) Pemerintah harus memberi-kan tempat kepada rakyat untuk praktek langsung dalam menjalankan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan untuk membaca data, berdiskusi dan membentuk komisi-komisi kontrol. Ringkasnya membe-rikan semua hal yang diperlukan untuk mengambil keputusan.

(3) Pengorganisasian rakyat oleh rakyat sendiri, dalam mana rakyat mengatur kehidupannya dan meng-gunakan dengan baik kedaulatan yang dimilikinya. Pengalaman ini sa-ngat penting sebagai sarana rakyat untuk memajukan kehidupan dan mewujudkan kekuasaan atas dirinya sendiri. Misalnya di tingkat desa, rak-yat berorganisasi yang aktif melaku-kan kegiatan untuk kepentingan ber-sama, seperti mengelola saluran irigasi, sekolah, sistem transportasi. Ide seperti ini bukanlah mimpi. di beberapa tempat seperti Kerala di India dan Rio Grande do Sul di Brasil, ini sudah bertahun-tahun dipraktekkan. Hasilnya? Rakyat le-bih sejahtera!

(6)

DIALOG

6 edisi 24 - April 2003

Nuno Rudriques. Foto: Rogério Soares

Nuno Rodriguez: Pemerintahan

Terbuka Diharapkan Rakyat

Pemerintah dan oposisi berbantahan tentang “pemerintahan terbuka.” Namun menurut Nuno Rodrigues, kemungkinan keduanya tidak paham tentang yang diperlukan oleh bangsa ini. Berikut petikan wawancaranya dengan Rogério Soares dari Direito.

Bagaimana tangapan Anda ten-tang pemerintahan terbuka?

Dulu pada masa perjuangan selalu ada hubungan antara pemimpin dan rakyat, sehingga rakyat tahu apa yang dilakukannya untuk membebaskan bangsa ini. Setelah kemerdekaan, te-rutama pada pemerintahan transisi ti-dak ada lagi hubungan itu. Pemertahan lebih terkonsentrasi di Dili, in-formasi tidak sampai ke basis. Setelah UNTAET keluar, kita memegang sen-diri pemerintahan. Rakyat tetap ber-harap para pemimpin turun ke basis untuk memberikan informasi, supaya rakyat bisa mengerti proses sekarang ini. Dari segi ini, upaya pemerintah ke desa-desa bisa menjawab apa yang diharapkan oleh rakyat. Ini baik, kare-na rakyat bisa tahu dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari segi lain, pemerintah harus banyak men-dengar dari rakyat, supaya tahu ma-salah dan apa yang dirasakan rakyat. Kalau tidak, seolah-olah pemerintah

yang tahu segalanya. Rakyat hanya menerima dan menunggu. Ini akan membuat pemerintah tidak tahu pas-ti keadaan rakyat.

Tetapi oposisi mengkritik peme-rintahan terbuka ...

Dulu semua menuntut pemerintah turun ke basis. Banyak pihak, teruta-ma partai-partai oposisi mengkritik pemerintah yang hanya terpusat di Dili. Sekarang, pemerintah yang dipe-gang oleh Fretilin, turun ke basis un-tuk mendengarkan dan melihat lang-sung keadaan rakyat, partai-partai oposisi protes lagi. Mereka khawatir dan menuduh Fretilin memulai kampa-nye sebelum waktunya untuk pemili-han umum mendatang.

Kemungkinan partai-partai oposi-si maupun pemerintah belum mema-hami demokrasi partisipatif. Semua harus duduk bersama untuk meru-muskan konsep demokrasi partisipa-tif yang harus kita terapkan untuk membangun bangsa. Pembangunan yang baik harus melalui demok-rasi partisipatif, karena seluruh rakyat terlibat langsung dalam semua proses pembangunan.

Satu hal yang perlu diingat, sistem sekarang ini semuat diciptakan oleh UNTAET. Kita ha-nya melanjutkan. Karena itu, kita harus duduk bersama merumus-kan sistem pemerintahan kita. Demokrasi partisipatif adalah konsep yang sangat cocok den-gan kita. Konsep ini sangat dekat dengan pengertian ukun rasik an.

Oposisi mengatakan bahwa pe-merintahan terbuka hanya meng-habiskan biaya dan mengurangi kekuasaan pemerintah lokal?

Kalau mengajukan kritik harus jelas, jangan hanya asal berbe-da dengan pemerintah, tetapi ti-dak ada alasan yang jelas. Seper-tinya mereka tidak tahu apa yang baik bagi rakyat. Apa saja yang dibuat pemerintah mereka tidak setujui, termasuk pemerintahan terbuka. Padahal kita memerlu-kan pemerintahan terbuka, bumemerlu-kan

pe-merintahan yang tertutup. Mereka katakan menghabiskan biaya, tetapi saya kira semua telah dialokasikan se-belumnya. Mengenai pengurangan kekuasaan pemerintah lokal, saya kira jelas bahwa struktur pemerintahan tingkat lokal masih belum tersusun baik. Sekarang baru memilih koordina-tor subdistrik dan baru memikirkan untuk pemilihan chefe suco dan alde-ia. Saya kira pada kondisi sekarang tidak mengurangi kekuasaan peme-rintah lokal, apa lagi menghilangkan-nya.

Seperti apa gambaran pemerin-tahan terbuka yang bisa membu-at bangsa ini sejahtera?

Mendengarkan rakyat di desa-desa itu jangan dijadikan seperti pro-yek. Sekali pergi ke desa-desa sele-sai. Pergi berdialog ke desdesa a-dalah tahap awal. Yang harus dilan-jutkan pemerintah dengan menyusun dan menjalankan program yang bisa menjawab masalah-masalah rakyat. Tetapi bukan berarti pemerintah yang harus menjawab semua masalah, sedang rakyat tinggal menunggu saja. Pemerintah harus mengidentifikasi masalah dan mencarikan jalan keluar dengan melibatkan rakyat. Rakyat harus aktif dalam menyelesaikan ma-salah. Kalau tidak seperti itu, bukan pemerintah terbuka.

Pemerintahan terbuka adalah su-atu proses yang setiap hari kita lakukan, bukan satu bulan ke satu trik kemudian satu bulan lagi ke dis-trik lain. Yang terpenting adalah ada-nya proses pemerintahan dalam mana semua orang bisa partisipasi. Dialog dengan penduduk desa harus dilaku-kan agar pemerintah bisa mengiden-tifikasi masalah dan apa yang menja-di prioritas menurut rakyat. Selanjut-nya pemerintah melibatkan semua pi-hak menyusun dan menjalankan pro-gram.

Yang terpenting sekarang bukan-lah Dewan Menteri harus terus-me-nerus ke desa, tetapi bagaimana kita menciptakan sistem di desa-desa yang memungkinkan penduduk desa bisa mengambil keputusan dan mela-kukan sesuatu untuk menjawab ma-salah mereka sendiri. Inilah hal yang terpenting dari pemerintahan terbu-ka. Harus ada suatu sistem yang me-mungkinkan rakyat mengambil kepu-tusan untuk memajukan kehidupan mereka, terlibat dalam pelaksanaan dan pemantauannya. Sistem ini dasar-nya adalah dialog. Rogério Soares

(7)

JUSTIÇA

HATI-HATI: BURUH BISA DIPERBUDAK ...

Rogério Soares

Meskipun Timor Leste telah merdeka, kehidupan kaum buruh belum mengalami perbaikan berarti. Ketentuan-ketentuan internasional yang melindungi buruh berlaku di negeri ini. Tetapi organisasi buruh masih lemah, sedang proses pengadilan berjalan lamban, dan para penegak hukum belum menguasai ketentuan-ketentuan itu.

H

ampir bisa dipastikan jika setiap manusia di jaman sekarang ini tidak pernah mau menjadi budak bagi sesamanya. Ini adalah sebuah kei-nginan yang normal dan manusiawi. Tetapi dalam kenyataanya yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak sekali orang yang dengan cara-cara tertentu sesungguhnya masih diperbudak oleh sesamanya. Buruh, yaitu orang yang memperoleh nafkah dengan menjual tenaga kepa-da orang lain untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, seringkali berada dalam keadaan diperbudak oleh orang lain.

Buruh yang dirugikan sering kita jumpai dalam relasinya dengan perusahaan-perusahaan yang mempe-kerjakan mereka. Para pemilik perusahaan sering meng-anggap orang yang bekerja di perusahaannya sebagai pekerja yang bisa diperintah apa saja tanpa memperha-tikan bahwa buruh memiliki hak-hak tertentu. Meskipun tidak sama betul dengan budak, karena untuk kerja yang dilakukannya buruh mendapatkan imbalan berupa uang sedang budak tidak, perlakuan terhadap buruh sangat mirip dengan budak. Karena para majikan membeli tenaga kerja buruh, mereka bisa mengharuskan buruh untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang. Majikan sering tidak memperhatikan bahwa buruh adalah ma-nusia yang perlu istirahat.

Apa yang terjadi dengan kaum buruh di negeri kita, pada kenyataannya tidaklah jauh dari gambaran di atas. Sejak masa transisi sampai sekarang terjadi banyak sekali tindakan sewenang-wenang oleh kaum majikan (pemi-lik perusahaan) terhadap para buruh. Jika kita mengun-jungi sejumlah lembaga advokasi hak asasi manusia atupun lembaga-lembaga bantuan hukum di kota Dili, kita akan temukan bahwa dari daftar kasus yang masuk, sebagian besar terdiri dari kasus perburuhan. Mulai dari perlakuan semena-mena para majikan lewat tindakan pemecatan tanpa alasan yang jelas dan tanpa uang pesangon, sampai pada soal kondisi kerja dan besarnya upah yang tidak memadai. Juga soal beban kerja yang melebihi kemampuan buruh dan waktu kerja yang me-lampaui standar delapan jam kerja sehari atau 48 jam seminggu.

Dengan modal yang dimiliki, perusahaan-perusaha-an yperusahaan-perusaha-ang mempekerjakperusahaan-perusaha-an para buruh itu merendahkperusahaan-perusaha-an martabat kemanusiaan para buruh sebagai sesama ma-nusia yang berderajat sama. Keadaan menjadi lebih me-nyedihkan karena buruh yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan atau pimpinan perusahaan tem-pat kerjanya, tidak bisa mendatem-patkan keadilan secara cepat ketika kasusnya diajukan ke pengadilan. Karena sistem peradilan kita saat ini masih berjalan lamban de-ngan berbagai persoalan yang dihadapinya, seperti kurangnya hakim, jaksa, dan pembela umum serta kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai hukum perburuhan, termasuk standar perburuhan in-ternasional.

Jika kita melihat keluar maka nasib kaum buruh di negara-negara maju sedikit lebih baik karena aturan hu-kum untuk menjamin hak mereka ada dan jelas. Se-mentara di pihak buruh sendiri kesadaran berorgani-sasi dan pembentukan serikat buruh juga tinggi diban-dingkan perkembangan kaum buruh di negeri kita se-karang ini. Walaupun demikian, keadaan buruh di negeri-negeri maju sekarang juga memburuk karena pemberlakuan kebijakan liberalisasi dan swastanisasi yang diterapkan banyak pemerintah untuk mendorong investasi. Dengan liberalisasi, banyak peraturan yang melindungi buruh dicabut karena dianggap tidak sesu-ai dengan tuntutan pasar. Peraturan yang melarang dipekerjakannya buruh secara kontrak untuk jenis pe-kerjaan yang tetap telah membuat banyak buruh kehilangan jaminan kerja. Demikian pula swastanisasi menyebabkan banyak buruh kehilangan pekerjaan ka-rena dianggap tidak produktif. Juga banyak keluarga buruh tidak lagi bisa menikmati pelayanan kesehatan gratis, karena sistem kesehatan diswastakan.

Perlindungan hukum untuk buruh di Timor Leste sejak masa transisi sampai sekarang belum memperli-hatkan perkembangan. Pengadilan secara umum berja-lan lamban, sehingga kasus-kasus perburuhan yang masuk tidak dengan cepat mendapatkan penyelesaian. Misalnya, sejumlah mantan pegawai Perusahaan Listrik Negara (sekarang Elestrisidade de Timor Leste) menggugat pemecatan yang dilakukan terhadap diri mereka dan mendaftarkan gugatan tersebut kepada Pen-gadilan Distrik Dili sejak masa transisi (tahun 2001). Gugatan tersebut sampai sekarang belum disidangkan. Menurut informasi yang kami peroleh, sebabnya ada-lah Pengadilan Distrik memberikan prioritas pada per-kara pidana, sedang gugatan tersebut adalah perper-kara perdata.

Kelemahan lain pengadilan adalah kenyataan bah-wa hakim dan para penegak hukum yang lain belum memahami dengan baik ketentuan-ketentuan perburuh-an internasional. Padahal menurut Regulasi UNTAET No. 1/1999 standar hak asasi manusia internasional ber-laku di Timor Leste, sehingga ketentuan-ketentuan per-buruhan yang dikeluarkan Organisasi Perper-buruhan Sedunia (International Labour Organization, ILO) berlaku di negeri ini karena merupakan bagian dari standar hak asasi manusia. Yang diatur oleh ketentuan ini antara lain mengenai upah dan kondisi kerja.

Karena kelemahan para penegak hukum ini, meski-pun menurut hukum hak kaum buruh dilindungi, da-lam kenyataan perlindungan ini hampir tidak ada. Jika demikian, bisa-bisa tidak lama lagi Timor Leste akan menjadi negeri yang paling banyak memberikan kebe-basan kepada para pemilik modal untuk mengeksploi-tasi rakyatnya. Apalagi banyak pemimpin, termasuk dari kalangan oposisi, yang berlomba-lomba mengundang investor.

(8)

PEMBERDAYAANRAKYAT

8 edisi 24 - April 2003

Anggota kelompok Liquilua menggarap kebun. Foto: Rogério Soares/Direito.

MENGEKSPOR KOPI KE JEPANG

Kelompok tani di Liquilua membuktikan bahwa dengan kerja keras secara bersama mereka bisa meningkatkan penghasilan dari pertanian. Kopi hasil mereka bahkan sudah diekspor ke Jepang melalui jalur perdagangan yang adil (fair trade) yang merupakan alternatif terhadap perdagangan kopi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, yang justru tidak menguntungkan petani.

S

ecara umum kehidupan pendu duk Maubisse tergantung pada pertanian. Maubisse dikenal se-bagai penghasil sayur-sayuran dan kopi. Setelah terjadi penghancuran besar 1999, petani di sana sulit un-tuk bertani karena alat-alat pertani-an dpertani-an bibit habis dibakar oleh milisi. Menghadapi keadaan itu, ada o-rang-orang yang berusaha mencari jalan agar penduduk bisa keluar dari kebingungan dan bekerja untuk membangun bangsa. Adolfo Men-donça Tilman, adalah seorang pen-duduk Maubisse yang setelah peng-hancuran, bekerja sebagai petugas keamanan disalah satu organisasi non-pemerintah (NGO) asing di Ma-ubisse. Di sela-sela tugasnya, ia se-ring bertukar pikiran dengan para staf Rumah Rakyat II Maubisse

(cabang dari Perkumpulan HAK di Maubisse yang wilayah kerjanya me-liputi distrik Aileu, Ainaro, dan Suai). Dalam pembicaraan-pembica-raan, muncul ide untuk mengorga-nisasikan kelompok tani.

Sebagai langkah awal, pertengah-an 2000 Adolfo bersama Maripertengah-ano da Silva Ferreira (saat itu menjadi kepala Rumah Rakyat) berdiskusi de-ngan penduduk Aldeia Liquilua (Maubisse), kampung halaman istri Adolfo. Mariano da Silva menyam-paikan pengalaman pengorganisasi-an petpengorganisasi-ani di Alas (Distrik Mpengorganisasi-anufa- Manufa-hi) dan Luro (Distrik Lautem), yang

mendapat dukungan dari Perkum-pulan HAK (saat itu masih berna-ma Yayasan HAK). Penduduk Liqui-loa pun menjadi terdorong untuk mengerjakan pertanian seperti yang telah dikerjakan di Alas dan Luro, yaitu mengolah lahan pertanian se-cara berkelompok, dengan peralata-n yaperalata-ng masih tersisa daperalata-n bibit apa adanya.

Sejak Agustus 2000 para petani Liquilua mulai membentuk kelom-pok. “Kami membentuk regu kerja yang terdiri dari 7-8 orang yang ber-tugas membersihkan ladang dan ke-bun milik pribadi setiap anggota,” kata salah seorang anggota kelom-pok, Raimundo Alberto Carlos, ke-pada Rogério Soares dari Direito. Lahan pribadi setiap anggota kelom-pok dikerjakan secara kolektif, sedang hasilnya tetap menjadi milik pribadi. Kelompok petani yang awalnya beranggotakan 18 orang ini diberi nama “Kelompok Tani Liqui-loa.” Adolfo Mendonça Tilman menjadi ketuanya. Perkumpulan HAK memberikan bantuan dengan mencarikan bibit kol (kubis), kentang, ka-cang merah, wortel, sela-da, bawang, tomat, dan sayuran lainnya. Semua bibit ini bukan bibit hibrida, karena kalau bibit hibrida maka hasilnya ti-dak akan bisa dijadikan bibit lagi. Kemudian juga didapatkan bantu-an alat pertbantu-anibantu-an, seperti parbantu-ang, cangkul, linggis, dan ganco.

Kerja kelompok ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Lahan pertanian yang cukup luas dikerja-kan dalam waktu yang cepat tanpa mengeluarkan uang. Dengan demi-kian, tidak ada lahan yang tidak di-manfaatkan karena keluarga yang memilikinya kekurangan tenaga ker-ja. Pemikiran anggota kelompok pun berkembang. Mulai Februari 2001, mereka menggarap kebun milik ber-sama (komunal), bukan hanya lahan milik pribadi anggota. Penghasilan

dari kebun komunal ini masuk ke kas kelompok yang akan digunakan un-tuk keperluan bersama, misalnya membangun balai pertemuan dan membeli alat-alat pertanian milik bersama kelompok.

Kelompok tani ini menjadi se-makin berkembang ketika sebuah organisasi non-pemerintah dari Je-pang mengajak bekerjasama. PARC (Pacific Asia Resource Center) yang dulu terlibat dalam kampanye men-dukung kemerdekaan Timor Leste, mengirim aktivisnya ke Timor Les-te untuk melanjutkan solidaritas de-ngan membangun hubude-ngan perda-gangan yang adil (fair trade) antara petani Timor Leste dengan konsu-men di Jepang.

Perdagangan yang adil adalah u-paya yang dibuat sebagai alterna-tif terhadap pola perdagangan dunia yang tidak menguntungkan petani maupun konsumen, tetapi mengun-tungkan perusahaan besar dari ne-gara-negara maju. Misalnya dalam perdagangan kopi, petani kopi mendapat harga yang rendah. Peru-sahaan-perusahaan yang membeli kopi dan kemudian mengolahnya menjadi produk jadi berupa kopi bubuk dan menjualnya di negara-negara maju, seperti Amerika, Prancis, dan Jepang mengambil keuntungan sangat besar. Konsumen juga tidak untung karena harga kopi di restoran sangat tinggi. Kalau har-ga kopi dunia turun, karena produk-si kopi yang meningkat, yang rugi adalah petani. Harga yang diterima petani samakin turun, sementara perusahaan besar tetap untung. Dari segi risiko, bagi petani turunnya har-ga bisa membuat kebutuhan keluar-ga tidak bisa dipenuhi. Sementara bagi perusahaan besar, jika perda-gangan kopi tidak lagi menguntung-kan, mereka bisa mengalihkan modalnya untuk usaha lain. Pola per-dagangan yang tidak adil ini berlaku di seluruh dunia sekarang.

Di dunia ini ada banyak organi-sasi non-pemerintah yang mengupa-yakan perdagangan yang adil. Mere-ka membangun jaringan sendiri yang

(9)

PEMBERDAYAANRAKYAT

Kelompok tani Liquilua dan kemasan kopi yang diolah dan dipasarkan di Jepang. Foto: R. Soares/Direito

Rogério Soares

bekerja memasarkan barang produ-sen di negara-negara sedang berkem-bang ke konsumen di negara-negara maju. Prinsipnya adalah saling men-guntungkan antara produsen dan konsumen, dan tidak merusak ling-kungan. PARC adalah salah satu ganisasi di Jepang yang bersama or-ganisasi-organisasi lain mendirikan Alter Trade Japan (ATJ) untuk men-jalankan perdagangan yang adil. ATJ membeli produk para petani dan mengolahnya kemudian menjual ha-sil yang sudah diolah kepada konsu-men di Jepang dengan harga yang relatif murah.

Di Timor Leste, PARC mendu-kung Kelompok Tani Liquilua yang semuanya memiliki tanaman kopi. Pada bulan Agustus 2002, dengan bantuan PARC, Kelompok Tani Liquilua mengolah kopi dalam per-siapan untuk dikirim ke Jepang. Para petani harus memilih kopi dengan ukuran tertentu dan membersihkan-nya, selanjutnya diangkut ke Dili untuk diekspor melalui laut. Penga-palan dari Dili ke Jepang masih di-tangani oleh PARC. “Dalam kerja-sama kami dengan PARC dan ATJ di Jepang, tahun lalu kami mengi-rim enam ton lebih kopi bersih,” kata Francisco da Silva Borbosa, ketua umum kelompok tani ini kepada Rogério Soares dari Direito. Kopi sebanyak itu adalah hasil olahan dari 50 ton kopi kulit merah.

Di Jepang, ATJ menangani pen-golahannya menjadi kopi bubuk.

Kopi bubuk dibungkus dengan kemasan bagus diberi cap bendara nasional RDTL dan diberi merk Cafe Rai Timor. Pada kemasan juga ditulis keterangan bahwa kopi ini di-olah dari biji kopi produksi kelom-pok petani di Maubisse. “Meskipun ada kekurangan dalam proses panen, para konsumen kopi kami di Jepang puas dengan kualitasnya,” kata Bor-bosa.

Bantuan PARC ini hanya bersifat sementara, di masa mendatang pe-nyiapan kopi sampai pengirimannya ke Jepang menjadi tanggungjawab kelompok tani. Dengan demikian semakin banyak keuntungan yang akan didapatkan petani karena sema-kin besar kontrolnya atas perdagang-an produknya.

Memperbaiki kehidupan petani perlu usaha yang keras. Meskipun sebagian dari produk mereka sudah diekspor, Kelompok Tani Liquilua masih harus melakukan banyak usaha. “Kerja kelompok kami sudah berjalan dengan baik, tetapi pengha-silannya masih untuk dikonsumsi sendiri,” kata Vitor Maria Carlos (35 tahun), sekretaris Kelompok Tani Liquilua. Tetapi, menurut Barbosa, kebutuhan sehari-hari keluarga ang-gota kelompok sekarang sudah bisa dipenuhi.

Untuk meningkatkan wawasan, kelompok petani ini juga mengikuti kegiatan jaringan pengembangan pertanian berkelanjutan HASATIL (Hadomi Sustainabilidade

Agrikul-tura Timor Lorosae). “Saya berha-rap kelompok bekerja lebih baik lagi untuk mengembangkan pertanian organik,” kata Francisco. Pertanian ini cocok dengan keadaan Timor Leste karena sejalan dengan perta-nian berkelanjutan dan tidak meru-sak lingkungan alam. “Pertanian yang kami kembangkan ini bisa memberikan kesejahteraan kepada petani sekarang dan di masa yang akan datang,” lanjutnya.

Kelompon Tani Liquilua tidak menjadikan kopi sebagai satu-satu-nya produk unggulan. “Kami juga menghasilkan sayuran seperti ken-tang, wortel, kacang merah, selada, bawang merah, dan bawah putih. Karena pemasarannya masih sulit, kami belum memproduksinya dalam jumlah banyak,” katanya. Kelompok yang sekarang sudah membesar den-gan anggota lebih dari tiga puluh keluarga ini bertekad memperluas ladang garapan.

Untuk mengatasi masalah pema-saran, kelompok ini akan memban-gun jaringan dengan kelompok-ke-lompok tani di tempat-tempat lain seperti Maubara, Alas, dan Luro. Mereka akan menukar hasil pertani-an mereka dengpertani-an hasil pertpertani-anipertani-an kelompok tani lain yang mereka perlukan seperti padi, jagung, dan kelapa. Mereka juga mencari ke-mungkinan untuk membangun ja-ringan untuk memasarkan produk selain kopi ke luar negeri.

(10)

TEROPONGKEBIJAKAN

10 edisi 24 - April 2003

Banyak perkara yang masuk ke pengadilan ditangani dengan sangat lamban. Tersangka yang diadili maupun para pihak yang bersengketa tidak mendapatkan kepastian hukum dalam waktu yang cukup lama. Pelanggaran hak asasi manusia pun bisa terjadi.

Pengadilan Lamban dan Tidak

Memberikan Kepastian Hukum

M

enurut standar penanganan perkara, penyelesaian perka ra (pidana maupun perdata) melalui pengadilan harus berlang-sung dengan cepat, efektif, dengan biaya yang murah, serta dengan ke-pastian hokum. Namun menurut pengamatan Divisi Penanganan Ka-sus Perkumpulan HAK, asas-asas ini belum terwujud dalam badan pera-dilan Timor Leste yang sedang da-lam proses pembentukan ini. Aki-batnya, para terdakwa (dalam per-kara pidana) atau penggugat dan ter-gugat (dalam perkara perdata) tidak mendapatkan kepastian hukum. Da-lam kasus perdata, sekalipun terdak-wa tidak ditahan, ia tidak bisa bebas bepergian karena sewaktu-waktu di-panggil untuk menghadiri sidang. Sedang di bidang perdata, sengketa yang berlarut-larut akan merugikan semua pihak, baik secara moril mau-pun materil.

Berikut ini adalah sebagian dari kasus yang ditangani penasehat hu-kum Perhu-kumpulan HAK yang mem-perlihatkan hal tersebut. Kasus-ka-sus ini diangkat agar pihak-pihak yang berwenang bisa segera menga-mbil tindakan perbaikan.

Dakwaan Penghasutan

TMC, seorang mahasiswa Univer-sitas Nasionan Timor Lorosae di-dakwa melakukan tindakan pidana menghasut untuk melakukan penye-rangan terhadap dua orang reporter TVTL (Televisi Timor Leste) pada 20 Oktober 2001. Yang bersangkut-an didakwa melakukbersangkut-an tindak pidbersangkut-ana yang diatur oleh pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan hukuman maksi-mal enam tahun penjara.

Kasus ini diproses peradilan sejak akhir 2001, jadi sudah dua ta-hun lebih. Tetapi sekarang masih dalam tahap pemeriksaan saksi dan barang bukti. Penundaan ini berle-bihan. Sebabnya bermacam-macam: berhentinya kontrak aparat penegak hukum pada tahun lalu, jaksa yang terlalu sibuk, tidak hadirnya saksi, pergantian jaksa, kesibukan

penase-hat hukum, dan hambatan-hambatan teknis lainnya.

Selain tidak efisien dan tidak e-fektif, akibatnya kasus ini kehilangan nilai hukumnya. Tim pembela hu-kum dari Perhu-kumpulan HAK telah meminta Majelis Hakim atas lama-nya proses persidangan dan penu-ndaan ini. Tetapi belum ada tinda-kan untuk menanggapinya. Apabila diukur dari standar normal pena-nganan perkara, sebuah perkara pidana biasa membutuhkan waktu paling cepat tiga bulan dan paling lambat enam bulan. Akibat berlarut-larutnya proses peradilan kasus ini, selain kepastian hukum menjadi kehilangan maknanya, terdakwa praktis menjadi kehilangan kebebas-an bergerak untuk waktu ykebebas-ang tidak tentu. Walaupun tidak ditahan, TMC tidak bisa bebas ke luar kota apalagi ke luar negeri karena sewaktu-wak-tu bisa dipanggil unsewaktu-wak-tuk menghadiri sidang.

Bila ditinjau substansi dakwaan pada kasus ini, pasal yang digunaka-n sesudigunaka-ngguhdigunaka-nya bermasalah dari sudut hak asasi manusia. Pasal ini menghambat pelaksanaan hak me-nyampaikan pendapat karena orang yang sedang melaksanakan hak ini bisa ditafsirkan melakukan pengha-sutan. Misalnya, ajakan melakukan demonstrasi dan mogok rentan un-tuk didakwa dengan pasal ini. Jika terdakwa kasus ini diputus bersalah, maka perkara ini bisa dijadikan preseden penggunaan pasal ini un-tuk kasus-kasus yang lain. Hal ini patut diperhatikan karena menurut Regulasi UNTAET 1/1999 di Ti-mor Leste berlaku standar hak asasi manusia internasional, sementara kebebasan menyatakan pendapat a-dalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin internasional.

Kasus Tanah Dewan Solidari-tas

Selain banyak jumlahnya, masa-lah tanah sekarang semakin terlihat kompleksitasnya. Selain terhambat oleh hal-hal yang disebutkan di atas, kasus pertanahan juga terhambat

oleh lemahnya substansi hukum. Salah satu kasus pertahanan yang ditangani Perkumpulan HAK ada-lah sengketa atas tanah seluas 8.400 meter persegi yang terletak di kawa-san Villa Verde, Dili. Perkumpulan HAK menjadi pehasehat hukum pi-hak tergugat (Dewan Solidaritas Ma-hasiswa Timor Leste) yang digugat menempati rumah dan lahan milik orang lain secara ilegal. Dewan So-lidaritas tinggal di gedung bekas Ajenrem Kodam Udayana yang ter-letak di atas tanah tersebut setelah mendapatkan izin dari pemerintah transisi UNTAET.

Dalam areal tanah tersebut ting-gal sekitar 15 keluarga dan terdapat beberapa gedung (termasuk gedung Pengadilan Distrik Dili, yang diban-gun pada masa pendudukan Indo-nesia). Penggugat, João José do Ro-sario dos Martires, yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut telah meninggalkan rumah dan tanah ter-sebut sejak tahun 1975. Ia menga-jukan gugatan dengan dasar doku-men alvara da conceição yang diterbit-kan pemerintah Portugis pada 1955. Semula kasus ini dilaporkan ke-pada jaksa dengan tuduhan tindakan kriminal (merampas hak milik orang lain). Tetapi, entah mengapa aspek pidana ini diabaikan dan diajukan gugatan perdata. Gugatan dimulai sejak pertengahan 2000, dan hingga sekarang pemeriksaan perkara me-masuki tahap pemeriksaan saksi ahli. Secara substansial ada beberapa faktor yang mempengaruhi penye-lesaian kasus ini, seperti faktor ba-hasa (dokumen alvara da conceição berbahasa Portugis sementara hakim dan pengacara umumnya tidak menguasai bahasa ini), rendahnya pengetahuan tentang sistem hukum (pertanahan) zaman Portugis, infor-masi dan dokumentasi hukum dan administrasi pertanahan Portugis. Jika ini tidak ditangani maka akan sulit menangani sengketa pertanah-an ypertanah-ang menurut pengamatpertanah-an Per-kumpulan HAK jumlahnya akan se-makin banyak di masa mendatang.

Selain itu, kebijakan negara da-lam penyelesaian pertanahan dan perumahan mengandung kontradik-si. Di satu sisi, pemerintah member-lakukan kekosongan dengan tidak menerbitkan dokumen hak atas tanah. Di sisi lain, pengadilan dalam keputusannya dapat memastikan hak atas tanah bagi pihak pemenang per-kara. Ini dapat memperparah perso-alan tanah di masa mendatang.

(11)

TEROPONGKEBIJAKAN

Sengketa tanah yang berlarut-larut di pengadilan. Foto: R. Soares/Direito

Sengketa Hotel Turismo

Hotel Turismo dibangun pada masa kekuasaan Portugis di Timor Leste. Pada zaman Indonesia, hotel ini dijual oleh pemiliknya kepada seorang pengusaha asal Indonesia. Pada saat Timor Leste memasuki transisi menuju kemerdekaan, pemi-liknya, Alex Tanjung Samara, yang tinggal di Timor Leste (dengan sta-tus penduduk jangka panjang menu-rut regulasi pemerintah transisi UNTAET) menyewakan hotel ini kepada perusahaan bernama Arafu-ra Hotel Pty. Ltd. yang berdomisili di Darwin, Australia. Transaksi yang dilakukan dengan sebuah perjanjian sewa-menyewa ini oleh pihak pemi-lik didaftarkan pada kantor registrasi UNTAET yang berwenang.

Persoalan muncul setelah Jaksa Agung Timor Leste mengeluarkan surat bertanggal 8 Juni 2002 yang memerintahkan agar pemilik men-galihkan obyek tersebut kepada pe-merintah, karena perjanjian tersebut dianggap bertentangan dengan Konstitusi RDTL pasal 54 dan Re-gulasi UNTAET 1/1999 pasal 7 ayat 2 jo Regulasi UNTAET 27/2000 pasal 3. Surat Jaksa Agung ini ber-arti membatalkan perjanjian sewa-menyewa hotel tersebut.

Pada 7 September 2002 pengaca-ra dari Perkumpulan HAK mengi-rimkan surat kepada Jaksa Agung menyatakan keberatan atas seluruh dasar hukum yang digunakan Jaksa Agung tersebut. Tetapi tanggapan dan klarifikasi dari Jaksa Agung be-lum juga datang. Yang beredar ha-nyalah desas-desus bahwa ada intervensi dari tangan-tangan ter-sembunyi di balik surat Jaksa Agung. Aset warganegara Indonesia me-mang bisa menjadi rebutan banyak orang setelah kepergian pemerintah pendudukan Indonesia. Dalam ke-nyataan, tanpa dasar hukum hanya dengan alasan politis kekejamah yang dilakukan aparat militer di masa Indonesia atau alasan rumah dibakar milisi, orang dapat mengu-asai aset-aset milik perorangan atau pemerintah Indonesia.

Alasan tersebut tidak bisa dija-dikan dasar tindakan dalam negara hukum. Dalam negara yang beradab, pemerintah punya tanggungjawab untuk menciptakan hukum dan me-kanisme yang pasti dan adil untuk perkara aset peninggalan wargane-gara perorangan dan pemerintah Indonesia maupun Portugis. Regu-lasi UNTAET 27/2000 pasal 13 ten-tang benda tidak bergerak dapat

membuka ruang bagi pemilik untuk melakukan klaim atas asetnya. Ka-sus Hotel Turisme sekarang sedang diupayakan melalui lembaga klaim yang diatur dalam regulasi tersebut. Sayangnya regulasi ini belum disertai dengan peraturan dan mekanisme yang konkret. Akibatnya, aset yang diklaim untuk sementara belum bisa direalisasikan dengan pemastian dan pemberian hak atas tanah melalui d o k u m e n yang legal dan defini-tif. U r a i a n kasus-kasus di atas m e n c e r -minkan sis-tem kekua-saan keha-kiman de-ngan pen-gadilan se-bagai ba-dan utama-nya yang masih be-lum bisa menjadi tempat pencarian

keadilan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Walaupun mungkin dalam beberapa kasus pengadilan bertindak efektif, tetapi dengan belum berfungsi efektifnya pengadilan tinggi kebutuhan akan penegakan hukum dan keadilan be-lum bisa dikatakan telah dipenuhi. Pembenahan institusi pengadilan itu sangat penting, mengingat keadaan nyata saat ini yang tidak menduku-ng para pencarian keadilan seperti kurangnya jumlah aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) dengan pengalaman yang cukup. Keberadaan pengadilan ting-gi sangat diperlukan untuk mengo-reksi dan mengontrol keputusan pengadilan pada tingkat pertama (pengadilan distrik).

Pemberhentian Sementara Administrator Baucau

MR diangkat menjadi administra-tor (bupati) untuk distrik Baucau pada masa pemerintahan transisi UNTAET. Namun ia dikenai pem-berhentian sementara (suspensaun) selama 150 hari dan gajinya dihenti-kan pembayarannya. Setelah Inspek-tur Jenderal mengadakan investiga-si, Departemen Administrasi Dalam Negeri pemerintahan transisi

meng-anggapnya melakukan tindakan in-disipliner.

Dari informasi yang dikumpul-kan, bisa disimpulkan bahwa sum-ber persoalannya adalah rehabilitasi sebuah hotel yang terletak di kota Baucau. Masa pemberhentian se-mentara telah berlalu dan Perkum-pulan HAK telah meminta klarifi-kasi dari Departemen Administrasi Dalam Negeri. Namun sejauh ini

belum diterima tanggapan resmi dari Departemen ini.

MR dinilai indisipliner karena ti-dak mematuhi prosedur yang dimin-ta oleh pemerindimin-tah pusat tendimin-tang rehabilitasi dan pengelolaan gedung tersebut. Perkumpulan HAK men-dapatkan informasi bahwa setelah masa pemberhentian sementara ber-akhir, MR diminta bekerja kembali tetapi tidak pada kedudukannya semula sebagai administrator distrik, dan kemungkinan tingkatan (level) kepegawaiannya diturunkan.

Yang menjadi persoalan, pembe-rian sanksi tersebut dijatuhkan ber-dasarkan investigasi sebuah tim yang dibentuk untuk itu yang hasilnya ti-dak disampaikan kepada yang ber-sangkutan dan tidak dipublikasikan. Seharusnya hasil investigasi juga diberikan kepada yang bersangkut-an supaya bisa mempelajari dbersangkut-an mengecek kebenaran fakta dan kaitannya dengan ketentuan yang menjadi dasar pengambilan keputu-san pemberian keputu-sanksi tersebut. Bisa dikatakan, pengambilan keputusan itu tidak transparan. Selain itu, pi-hak yang dikenai sanksi tidak men-dapat kesempatan untuk memberi-kan penjelasan atau pun untuk mem-bela diri. Lito Exposto

(12)

edisi 24 - April 2003 12

Amnesty International Merekomendasikan

Dukungan Besar Bagi PNTL

HAK ASASI

K

epolisian Timor Leste kem bali mendapat sorotan. Kali ini dari organisasi hak asasi manusia terkemuka di dunia, Am-nesty International, yang pada akhir tahun 2002 mengirim sebuah dele-gasi dengan tujuan untuk mengkaji kemajuan dalam pembentukan dinas kepolisian dan sejauh mana standar hak asasi manusia diintegrasikan da-lam pengembangan dan operasinya. Dalam briefing yang disampaikan kepada Dewan Keamanan pada bulan Maret 2003, organisasi yang berpusat di London, Inggris ini nyatakan bahwa delegasi yang me-reka kirim tersebut berkesimpulan bahwa meskipun terjadi kemajuan yang berarti dan perwira-perwira ter-tentu memperlihatkan profesional-isme dan komitmen yang jelas, Policia Nacional de Timor-Leste (PNTL) masih merupakan suatu lembaga yang rentan dan belum ber-kembang yang belum cukup diper-siapkan, diperlengkapi, atau didu-kung dengan baik untuk tugas menjaga hukum dan ketertiban de-ngan cara yang sesuai dede-ngan hak asasi manusia.

Amnesty International menilai bahwa PNTL belum berpengalaman dan belum mampu menangani keadaan ketidaktertiban umum. Contoh paling menonjol tentang ketidakmampuan ini adalah pada saat terjadinya bentrokan antara polisi dan pemrotes di Baucau tanggal 18 dan 25 November 2002 dan kekacauan di Dili pada 3 dan 4 De-sember 2002. Dalam peristiwa-peristiwa ini tiga orang ditembak, dan sejumlah lainnya luka, yang pe-lakunya diduga polisi. Juga ada laporan yang bisa dipercaya bahwa 80 orang yang ditangkap di Dili dipukuli oleh petugas polisi.

Menurut Amnesty International, dalam sejumlah kejadian PNTL menggunakan kekuatan secara ber-lebihan dan bertindak dengan cara yang tidak sesuai dan ini mencer-minkan persoalan yang lebih men-dalam di men-dalam tubuh kepolisian dan sistem peradilan pidana yang lebih luas.

Meskin demikian, Amnesty Inter-national mengakui bahwa dinas ke-polisian Timor Leste yang baru di-bentuk itu juga menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Seki-tar 1.800 petugas kepolisian telah direkrut dan dilatih pada hari penyerahan kedaulatan Timor Leste dan sasaran 2.830 petugas akan tercapai pada bulan Juni 2003. Ha-nya saja, desakan untuk memenuhi target jumlah anggota kepolisian dan pengurangan petugas Kepolisi-an PBB (UN Police) menyebabkKepolisi-an lebih diutamakannya kuantitas daripada kualitas.

Untuk mengembangkan dan memperkuat PNTL, Amnesty Inter-national mengusulkan agar diberi-kan dukungan finansial dan teknis yang besar pada tahun-tahun men-datang. “Agar PNTL bisa berkem-bang menjadi badan kepolisian yang efektif dan demokratis yang mempu menegakkan hukum dan ketertiban dalam cara yang sejalan dengan standar hak asasi manusia internasi-onal,” kata Amnesty International. Juga dikemukakan perlunya komit-men jangka panjang dan koordinas iantara PBB dan negara-negara do-nor agar proyek pembentukan kepo-lisian bisa berhasil. Sedang dalam penugasan perwira UN Police yang bekerja bersama PNTL, direkomen-dasikan agar mereka diseleksai sesu-ai bidang keahlian tugas mereka. Se-lain itu, mereka harus telah memi-liki pengalaman dalam penerapan standar hak asasi manusia dalam pe-kerjaan kepolisian.

Amnesty International menga-mati beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian khusus:

Tidak adanya kejelasan mengenai hukum yang berlaku, kesenjangan antara legislasi dan peraturan pelak-sanaannya, dan adanya ketidakkon-sistenan dengan hukum hak asasi manusia internasional

Ketidakmemihakan dan pemisah-an pemisah-antara fungsi polisi dengpemisah-an militer. Amnesty International mengkhawatirkan terancamnya ketidakmemihakan dan legitimasi

ke-polisian karena ketegangan seputar masalah rekrutmen.

Standar hak asasi manusia inter-nasional belum dimasukkan dalam pendidikan kepolisian

Rendahnya mekanisme pengawa-san dan pertanggungjawaban PNTL

Satuan Polisi Khusus kualitas pe-latihannya kurang memadai, khusus-nya dalam hal penggunaan senjata, struktur komando dan kontrolnya tidak jelas, pengawasan dan pertang-gungjawaban anggotanya tidak jelas.

Sistem peradilan sangat lemah se-hingga administrasi keadilan sebe-narnya lumpuh, yang berakibat pada masa depan keamanan dan stabiltias Timor Leste dan kepercayaan pub-lik pada sistem rendah.

Khusus mengenai sistem peradi-lan, Amnesty International mengu-sulkan agar empat hal berikut ini segera ditangani secepat mungkin:

a. Politik - Klarifikasi tentang peran dan hubungan yang tepat an-tara pejabat pemerintah dengan ba-dan peradilan yang menegaskan penghormatan pada kebebasan ba-dan peradilan.

b. Kelembagaan - Rendahnya ka-pasitas dan pengalaman para hakim, jaksa penuntut, dan pembela umum. Kejelasan tentang peran dan tang-gungjawab masing-masing dan ten-tang hubungannya dengan petugas penegak hukum. Kurangnya mana-jemen dan sistem administrasi yang efektif. Tidak memadainya fasilitas dan dukungan.

c. Pelaksanaan - Kurangnya kesadaran di kalangan pejabat badan peradilan, dan kegagalan menjalan-kan perlindungan hak asasi manusia yang sudah ada, termasuk hak ter-sangka dan kaum perempuan serta anak-anak dalam sistem peradilan pidana.

d. Hukum - Tidak lengkapnya ke-rangka hukum untuk melindungi hak asasi manusia dan ketidakjelasan di kalangan pejabat badan peradilan dan pejabat lainnya yang terkait mengenai undang-undang yang ber-laku, termasuk standar dan hukum hak asasi manusia internasional.

(13)

Ratifikasi beberapa konvensi internasional. Foto: R. Soares/Direito. INSTRUMEN HAM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Untuk menjamin hak semua manusia maka perlu adanya ketentuan atau norma yang digunakan untuk menjaminnya. Konvensi-konvensi internasional merupakan

instrumen untuk menjamin hak-hak itu.

INSTRUMEN HAM SEBAGAI NORMA HUKUM

H

ak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia, untuk bisa men-gembangkan kehidupannya. Sebagai hak dasar yang ada pada makhluk ciptaan Tuhan yang berjenis manu-sia, maka setiap manusia harus me-miliki hak itu dan tidak bisa dibata-si, dirampas, didiskriminasi atas da-sar jenis kelamin, suku bangsa atau ras, status sosial (kaya-miskin, ber-pendidikan-tidak berpendidikan, bu-ruh-majikan, anak-orang tua, rakyat biasa dan pejabat).

Hak asasi manusia terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok hak sipil dan politik, dan kedua, ke-lompok hak ekonomi, sosial, dan bu-daya. Hak sipil contohnya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas bergerak. Sedang-kan contoh hak politik adalah hak untuk mengemukakan pendapat atau ide, hak untuk berorganisasi. Contoh hak ekonomi adalah hak untuk men-dapatkan upah yang layak. Hak sosial contohnya adalah hak atas pe-layanan kesehatan, hak atas bantuan kemanusiaan bagi orang yang meng-alami musibah. Sedangkan contoh hak budaya adalah hak untuk me-nikmati hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hak un-tuk mengembangkan kebudayaan. Bila seseorang dengan kekuasaannya, merampas atau membatasi hak o-rang lain, maka tindakan ini meru-pakan pelanggaran hak asasi manu-sia.

Negara mempunyai tanggungja-wab utama dan berkewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik, dan mengembangkan hak ekonomi, so-sial, dan budaya warganegaranya. Bila negara tidak bisa memenuhi tanggungjawab ini, maka dapat di-katakan negara telah melakukan pe-langgaran hak asasi manusia. Misal-nya, apabila tindakan kriminal me-rajalela terhadap penduduk. Tidak ada sarana pelanyanan sosial seperti pusat pelayanan kesehatan untuk

masyarakat dan sekolah, maka nega-ra sedang melakukan pelangganega-ran hak asasi manusia.

“Ideologi” hak asasi manusia muncul karena persoalan kemanu-siaan yang terjadi pada saat Perang Dunia Kedua dan pada masa sebe-lumnya. Deklarasi Semesta tentang Hak Asasi Manusia dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948, sehingga setiap tanggal 10 Desember diperi-ngati sebagai Hari Hak Asasi Ma-nusia Internasional.

Tujuan hukum internasional hak asasi manusia adalah memberikan perlindungan internasional pada hak asasi pribadi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dan da-lam hal tertentu juga oleh pribadi, kelompok, organisasi lain untuk mengusahakan serta menjamin kea-daan kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia.

Instrumen hak asasi manusia a-dalah norma hukum internasional. Setiap negara anggota PBB terikat pada norma-norma tersebut. Instru-men hak asasi manusia terdiri dari deklarasi, kovenan, dan konvensi. Instrumen pokok hak asasi manusia

adalah Deklarasi Semesta Hak Asa-si ManuAsa-sia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia adalah hukum kebiasaan bagi anggota PBB. Sebagai hukum kebiasaan, maka anggota PBB tidak terikat pada isi deklarasi tersebut.

Kovenan dan konvensi yang ka-dang-kadang disebut sebagai “per-janjian internasional” mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (le-gally-binding). Tetapi ikatan ini ter-jadi setelah negara bersangkutan ikut dalam perjanjian internasional ber-sangkutan, yaitu dengan menanda-tangani dan menjadikannya sebagai undang-undang nasional (ratifikasi). Misalnya, suatu negera terikat untuk mematuhi isi Konvensi Hak Anak setelah negara bersangkutan menan-datangani konvensi ini dan menja-dikannya sebagai undang-undang nasionalnya. Negara RDTL, yang ta-hun lalu telah menjadi anggota PBB dan telah meratifikasi beberapa ko-venan, harus menjalankannya de-ngan mewujudkan isinya demi ke-majuan rakyat Timor Leste dan rak-yat dunia.

(14)

GUGAT

edisi 24 - April 2003 14

Presiden bersama Dewan Menteri RDTL. Foto: Rogério Soares/Direito.

PEMERINTAHAN DAN HAK ASASI

MANUSIA

Pengakuan pada hak asasi manusia membawa konsekuensi pada proses pemerintahan di suatu negara. Pemerintah memiliki kewajiban menjalankan kebijakan yang manjamin hak politik rakyat.

INSTRUMEN HAM

Aniceto Guró Berteni Neves

P

roses pemerintahan di Timor Lorosae pada tahun-tahun pertama ini dapat dikatakan sebagai suatu proses pada tingkat konsolidasi mekanisme, strategi dan sistem pemerintahan negara. Para ahli politik kontemporer berangga-pan bahwa pemerintahan yang baru dibentuk akan dimulai dengan usaha-usaha pencarian model, ben-tuk dan sistem atau mekanisme pe-layanan. Selama proses ini, sebagai suatu pemerintahan yang baru, pas-ti pas-tidak kuat. Apalagi faktor ini dihadapkan pada tantangan globali-sasi, investasi modal asing, kebijakan pasar bebas, demokratisasi modern, dan penegakan hak asasi manusia yang biasanya dijadikan paradigma oleh kebanyakan negara maju untuk ditawarkan kepada pemerintahan ne-gara berkembang termasuk Timor Lorosae.

Biasanya negara-negara maju menggunakan paradigma

demokra-tisasi dan hak asasi manusia sebagai model pembangunan dan penerapan sistem ketatanegaraan. Ini dipaksa-kan kepada negara-negara berkem-bang untuk dijadikan dasar berpijak-nya pembangunan. Biasaberpijak-nya ini menjadi prasyarat utama untuk memberi dukungan baik politik maupun ekonomi kepada negara se-dang berkembang. Panse-dangan ini sangat tepat sekali melihat potret pemerintahan RDTL sekarang ini.

Tanpa meniru kebijakan global tersebut, Timor Lorosae memba-ngun negara ini berdasarkan para-digma yang sama sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang disusun dan disahkan oleh Majelis Konstituante.

Dalam konstitusi ini dikemuka-kan prinsip tentang proses penye-lenggaraan pemerintahan yang men-junjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan sistem demokrasi partisipatif. Pada usia-nya yang muda, Ti-mor Lorosa-e dihadap-kan pada kondisi ha-rus bersaing dengan ne-gara-negara lainnya. Ke-bijakan ini d i d u k u n g d e n g a n langkah me-ratifikasi 12 konvesni in-ternasional tentang hak asasi manu-sia untuk di-j a d i k a n bagian dari Hukum Na-sional Ti-mor Lorosa-e. Termasu-k Konvensi

Internasional Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu kebijakan dasar.

Proses penyelenggaraan pemerin-tahan dengan berlandaskan pada hak asasi manusia ditegaskan di dalam pasal 62 dan 63 konstitusi RDTL yang secara eksplisit merupakan indikator bagi penyelenggaraan pe-merintahan yang menjunjung ting-gi hak-hak politik warganegara se-bagai pemilik kekuasaan politik dan untuk berpartisipasi secara sama di dalam pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 62 tentang sumber dan kekuasaan politik, ke-kuasaan politik adalah milik rakyat dan digunakan sesuai dengan kete-tapan konstitusi. Kemudian ditegas-kan lebih lanjut di dalam pasal 63 tentang keikutsertaan warganegara dalam kehidupan politik.

Intinya bahwa sumber kekuasa-an politik adalah rakyat ykekuasa-ang proses penyelenggaraan pemerintahan de-ngan mengacu pada prinsip partisi-pasi aktif secara langsung dari selu-ruh warganegara dengan memajukan persamaan dalam penggunaan hak-hak sipil dan politik serta tidak ada-nya diskriminasi berdasarkan unsur-unsur jenis kelamin, umur, etnis, agama dan aliran kepercayaan, dan lain-lainnya.

Dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik tertulis prinsip dasar bahwa proses penyelenggaraan pemerintah-an negara dilakspemerintah-anakpemerintah-an dengpemerintah-an men-junjung tinggi hak setiap orang un-tuk berpartisipasi di dalam kehidup-an politik dkehidup-an pemerintahkehidup-an dalam arti yang luas dan mempunyai ke-sempatan yang sama. Seperti hak politik setiap warganegara untuk; bebas memberikan pendapat, bebas untuk mencari, menerima dan mem-berikan informasi tanpa batas, ikut pemilu untuk memilih dan dipilih, dan seterusnya.

Untuk itu pemerintah mempu-nyai kewajiban untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya ke-pada setiap warganegara untuk me-nikmati dan mengetahui perkemban-gan pelaksanaan hak-hak tersebut. Terutama mengenai sejauhmana proses pemerintahan itu berjalan. Sebagai negara yang meratifikasi konvensi ini, Timor Leste memiliki kewajiban internasional untuk melaporkan pelaksanaan konvensi ini kepada PBB dan masyarakat Timor Lorosae.

(15)

GUGAT

Angkutan umum di kota Dili.Foto: Rogério Soares/Direito.

BELUM ADA KEBIJAKAN PEMERINTAH

DI SEKTOR TRANSPORTASI UMUM

Angkutan umum dan jalan raya adalah dua hal yang perlu perhatian dalam pembangunan bangsa ini karena sangat menentukan pembangunan ekonomi rakyat. Angkutan umum yang belum menjakau daerah-daerah pelosok saat ini mempersulit pengembangan ekonomi rakyat yang merata.

P

ada era kemerdekaan ini, di Dili kita melihat angkutan umum dari berbagai jenis kenderaan seperti mikrolet, bus kota dan mo-bil sedan yang dijadikan taxi. Seper-tinya angkutan umum sekarang le-bih baik dibandingkan dengan masa kolonial. Sejak masa transisi, masuk para pengusaha dari berbagai nega-ra menjual mobil-mobil bekas yang harganya relatif murah. Karena ba-nyak orang yang membeli mobil, kota Dili pun dibanjiri mobil bekas. Tetapi mobil angkutan umum ternyata hanya berdesak-desakan di kota Dili. Banyak desa tidak dijang-kau oleh angkutan umum. Menurut mereka, hasil pertanian tidak bisa di-jual karena kesulitan mencari alat transportasi. Apalagi banyak wilayah belum dilalui oleh jalan. Misalnya para perempuan penduduk Hatu-Builico harus berjalan kaki lebih dari empat jam mengangkut hasil perta-nian mereka untuk dijual di Ermera. Angkutan umum dan jalan raya adalah dua masalah transportasi yang memerlukan perhatian serius peme-rintah. Jika kebutuhan transportasi ditangani dengan baik oleh pemerin-tah, pengaruhnya akan baik bagi ke-hidupan rakyat. Perekonomian rak-yat bisa tumbuh, tercipta keseim-bangan pendapatan antar wilayah, dan angka kemiskinan bisa diku-rangi.

Anggaran negara tahun 2001-2002 (masa transisi) untuk infra-struktur, termasuk sektor transpor-tasi besarnya mencapai USD 16.585 juta. Sementara dalam laporan pem-belanjaan pemerintah tahun 2002-2003, pengeluaran pemerintah un-tuk infrastruktur totalnya adalah USD 16,7 juta, dengan nilai kapital sebesar USD 1,46 juta.

Uang sebesar ini seharusnya pe-merintah dapat menjamin adanya angkutan umum untuk melayani masyarakat di pelosok dengan biaya murah. Atau paling tidak jalan raya untuk angkutan umum bisa

diper-baiki. Anggaran yang dialokasikan di atas berasal dari TFET (Trust fund for East Timor), CFET (Consolida-tion fund for East Timor), Bdan bi-lateral serta UN Assessed Fund. Se-bagian dari anggaran tersebut juga digunakan pemerintah untuk menye-wa kapal jurusan Dili-Atauro-Oecu-sse. Oecusse dan Atauro menjadi prioritas karena keduanya dipisah-kan oleh laut dari wilayah utama Ti-mor Leste dan hanya bisa dijangkau dengan angkutan laut. Tetapi mun-cul kritik karena penyewaan kapal ini dianggap memboroskan dan diusul-kan agar pemerintah membeli dan mengoperasikan kapal sendiri saja.

Pemikiran agar pemerintah men-goperasikan angkutan umum ada di kalangan pemerintah. Pada masa “Transisi II” yang kebanyakan posisi sudah dipegang orang Timor Leste sendiri, Kabinet Transisi di bawah Ketua Menteri Marí Alkatiri pernah mengajukan usulan agar pemerintah mendirikan semacam perusahaan angkutan umum yang melayani desa-desa agar penduduk desa-desa bisa men-gangkut hasil pertaniannya untuk dijual di kota. Tetapi usulan ini

ti-dak disetujui oleh Bank Dunia ka-rena menurut Bank Dunia transpor-tasi adalah urusan swasta dan peme-rintah tidak boleh campur tangan karena hanya akan menimbulkan korupsi dan inefisiensi ekonomi. Ka-rena Bank Dunia yang mengelola dana anggaran pembangunan yang uangnya berasal dari negara-negara donor, Bank Dunia lebih kuat posi-sinya dalam menentukan kebijakan dibandingkan Dewan Menteri saat itu. Keadaan ini berlanjut sampai sekarang. Meskipun RDTL telah resmi merdeka, yang mengelola dana bantuan dari donor-donor untuk Timor Leste masih Bank Dunia. Aggaran pembangunan dan angga-ran rutin pemerintah masih berada di tangan Bank Dunia.

Transportasi begitu penting bagi kehidupan rakyat Timor Leste. Ka-lau urusan ini diserahkan kepada swasta, maka akan banyak desa yang tidak bisa mendapatkannya karena di manapun usaha swasta hanya memi-kirkan keuntungannya sendiri, bukan kepentingan seluruh rakyat. Apala-gi rakyat miskin di desa-desa.

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PENGUASAAN PENGETAHUAN HASIL PENYULUHAN PEND EWASAAN USIA PERKAWINAN D ALAM PROGRAM GENERASI BERENCANA PAD A REMAJA D I SMP NEGERI 39 BAND UNG.. Universitas

66 Layanan Tridharma di Perguruan Alat Pendidikan Pendu- Pengadaan Buku Perpustakaan 1 THN Pekanbaru 500.000.000 APBN Kemdikbud PBJ Maret 2012 9 Bulan. Tinggi kung Pembelajaran

Hal ini dapat dilihat dari pembuktian pada persoalan TSP (persoalan dengan banyak aplikasi pada bidang teknik) dan Teorema Empat Warna (yang sebelumnya tidak

Karena target utama dari buku ini adalah mahasiswa, sistematikanya telah disesuaikan dengan materi yang pada umumnya disampaikan dalam perkulihan-perkulihan metode ilmiah

Surga memang benar-benar ada.   5.. Neraka juga

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan kulit satwa langka berdasarkan putusan nomor : 277/Pid.Sus/2016/PN.Kot merupakan hal yang harus

Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang

Ucapan ribuan syukur penulis panjatkan atas semua karunia-Nya ini, karena hanya dengan izin-Nya penulis akhirnya bisa menyelesaikan tesis yang berjudu l “ Hubungan