• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01096

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01096"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MODAL SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN

1

Daru Purnomo2

Program Studi Sosiologi FISKOM Univ. Kristen Satya Wacana Salatiga

daru.purnomo@staff.uksw.edu

“Nenek Moyangku seorang pelaut ……” , pada masa kanak-kanak lagu ini begitu lekat dan mudah diingat karena liriknya sederhana sehingga mudah dihafal dengan nada yang tidak begitu rumit. Tentunya lagu ini tidak hanya sekedar sebagai hiburan bagai anak-anak, tetapi memiliki makna bahwa Indonesia merupakan negeri yang dibangun melalui suatu proses sejarah yang panjang, dimana sejak zaman kerajaan-kerajaan jauh sebelum Indonesia merdeka, semangat maritim sudah menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan beberapa kerajaan zaman itu mampu menguasai lautan dengan armada perang dan dagang yang besar. Namun semangat maritim tersebut menjadi luntur tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh pemerintah kolonial belanda. Pola hidup dan orientasi bangsa “berubah” dari maritime ke agraris. Masyarakat nelayan identik dengan kemiskinan, berdasarkan data kemiskinan di Indonesia sebagian besar kantong-kantong kemiskinan di Indonesia adalah desa-desa yang berada di wilayah pesisir atau dengan kata lain sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang menggantunngkan hidupnya dari hasil tangkapan laut. Hal ini merupakan suatu ironi, di satu sisi Indonesia merupakan Negara dengan potensi sumberdaya laut yang begitu besar, tetapi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang miskin. Kondisi ini tentunya merupakan warning bagi pemegang kekuasaan maupun para pihak yang bergerak dalam pengembangan masyarakat terkait dalam pemberdayaan untuk pengentasan kemiskinan masayarakat nelayan. Sebagai fondasi dalam pemberdayaan masyarakat nelayan, tidak bisa dilepaskan dengan modal sosial yang ada pada masyarakat bersangkutan. Social capital merupakan salah satu factor penting yang dapat menyumbang pada pembangunan ekonomi masyarakat nelayan karena adanya jaringan, norma, dan kepercayaan didalamnya. Aspek kerjasama (cooperation) menjadi unsur penting dalam berusaha, dan untuk bekerjasama diperlukan kepercayaan diantara anggota kelompok yang bekerjasama. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan dan perubahan global yang tidak terelakkan, modal sosial menjadi salah satu aspek vital agar mereka mampu keluar dari jerat kemiskinan dan memiliki ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks sebagai dampak dari dunia yang semakin meng-global.

Kata Kunci: masyarakat nelayan, pemberdayaan, kemiskinan, modal sosial.

1 Disajikan Dalam Seminar Nasional “Masyarakat Maritim Di Indonesia: Kendala, Peluang Dan tantangan

pengembangan” Yang diselenggarakan Dalam Rangka Konferensi Nasional Sosiologi II Kerjasama Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia Dengan Jurusan Sosiologi Fisipol Univ. Hasanuddin Makasar Pada tanggal 12-14

Nopember 2013

2

(2)

PENDAHULUAN

Masyarakat wilayah pesisir yang sebagian besar didominasi berprofesi sebagai nelayan

hingga kini masih memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kemiskinan. Badan Pusat

Statistik (BPS) tahun 2010 melansir angka kemiskinan mencapai 35 juta orang atau 13,33

persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa. Sementara, Bank Dunia

melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta. Dari data-data itu,

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa terdapat sekitar 7,87 juta

masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat miskin di seluruh wilayah

Indonesia. Nelayan miskin tersebut tersebar di 10.640 desa nelayan di pesisir. 14 Jumlah

nelayan miskin ini lebih dari 25% dari total penduduk Indonesia yang berada dibawah garis

kemiskinan di Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Jumlah

ini juga memperlihatkan trend peningkatan penduduk miskin tidak kurang dari 4,7 juta jiwa

dibandingkan pada tahun 20083. Tentunya ini merupakan suatu ironi jika dibandingkan dengan

potensi maritim Indonesia yang jika dikelola secara maksimal diperkirakan mampu

menghasilkan 1.2 triliun dolas AS per tahun, atau setara dengan 10 kali APBN 2012. Perkiraan

ini merujuk dari luas laut NKRI yang mencapai 5.8 juta km2 , yang terdiri dari 0.3 juta km2

perairan territorial, 2.8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2.7 juta km2 Zona Ekonomi

Ekslusif (ZEE), serta 17.504 pulau. Namun potensi tersebut hingga sekarang ini baru

dikembangkan kurang dari 10 persen saja.

Menurut Hasbullah (2006) dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat,

keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari berbagai modal masyarakat (community capital)

yang meliputi: human capital (berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,

kesehatan, keahlian dan lain-lain); Natural resources capital (berupa sumberdaya alam seperti,

sumberdaya hutan, sumberdaya air, perairan laut, mineral, dll); Produced economic capital

(berupa pengembangan asset ekonomi dan financial, serta asset lainnya; Social capital (meliputi

norma/nilai, trust, dan jaringan).

Dalam berbagai program pembangunan di Indonesia (sejak Orba – reformasi)

menunjukkan bahwa pembangunan yang terkait dengan modal manusia, modal sumberdaya

3

(3)

alam, dan modal ekonomi produktif telah banyak digarap dan dikembangkan oleh pemerintah,

namun untuk modal social cenderung terabaikan dalam dalam konteks pembangunan yang

berbasis masyarakat.

Kegagalan dan atau ketidakberhasilan pembangunan saat ini disebabkan karena adanya

kecenderungan pembangunan yang hanya mengejar pada pertumbuhan ekonomi saja, dan

mengabaikan system social masyarakat yang harusnya ditempatkan baik sebagai obyek dan

subyek pembangunan. Tidak terperhatikannya system social masyarakat berimplikasi pada

tidak dipahaminya dan termanfaatkannya modal social masyarakat secara maksimal, dan akibat

lebih jauhnya hasil pembangunan bersifat semu dan tidak menyentuh substansi dari

pembangunan itu sendiri.

Ketergantungan yang tinggi masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan,

merupakan salah satu cirri kebergantungan mereka terhadap lingkungannya. Kondisi ini

menyebabkan nelayan sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi disekitarnya,

sehingga kehidupan mereka senantiasa terpinggirkan dibanding kelompok masyarakat lain.

Oleh karena itu, penguatan dan pemanfaatan modal social pada masyarakat nelayan

merupakan alternative yang sangat vital dan mendesak dalam rangka meningkatkan posisi

tawar mereka agar lebih berdaya dalam menghadapi alam lingkungannya dan berbagai

tantangan hidup lainnya.

Masyarakat Nelayan dan Akar Kemiskinan

Dalam masyarakat nelayan kemiskinan dan tantangan-tantangan hidup lainnya

merupakan siklus peristiwa social-ekonomi yang senantiasa berulang setiap tahun bahkan

sepanjang tahun. Menurut Kusnadi (2002, 4-12) di samping persoalan lingkungan pesisir laut,

kemiskinan merupakan isu besar yang terjadi karena factor-faktor yang kompleks.

Dari perspektif sosiologis, masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang khas dan

berbeda dari masyarakat lain, misalnya masyarakat petani, masyarakat urban, dan sebagainya.

Perspektif sosiologis didasarkan pada realitas social masyarakat yang menempati pada ruang

tertentu. Masyarakat nelayan merupakan suatu komunitas yang memiliki pola-pola interaksi

(4)

dengan lingkungan alamnya beserta segala sumberdaya yang ada didalamnya, yaitu wilayah

laut. Pola-pola interakdi dan budaya itu menjadi referensi ber-perilaku masyarakat nelayan

dalam menjalani kehidupannya.

Dari interaksi hubungan yang dinamik antara masyarakat nelayan dengan lingkungan

tempat tinggalnya dapat menimbulkan suatu bentuk aktivitas atau kegiatan, dan sekaligus

membentuk adanya pranata-pranata social yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan khusus

dalam masyarakat nelayan. Berkembang-tidaknya pranata social akan sangat tergantung dari

dinamika aktivitas yang terjadi pada masyarakat nelayan. Adapun bentuk aktivitas sebagai hasil

interaksi masyarakt nelayan dengan lingkungannya akan menimbulkan beberapa perubahan,

baik itu perubahan perkembangan, perubahan lokasi, dan perubahan perilaku. Untuk

memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan tidak dapat dilepaskan dari pranata

social ekonomi, yaitu penangkapan ikan (system bagi hasil, pemasaran hasil tangkapan, dll),

pranata ini bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan

struktural pada masyarakat nelayan (Kusnadi, 2003, 4). Dalam perspektif Geertz (1973),

keberadaan pranata sosial ekonomi tersebut telah menempatkan masyarakat nelayan terpintal

ke dalam jaring-jaring kebudayaan yang mereka tenun sendiri, yaitu kebudayaan kemiskinan.

Bagan: Interaksi Manusia – Lingkungan dan Perubahan

Manusia Lingkungan

Aktivitas

Pranata Sosial Budaya

Change

(5)

Dalam perspektif masyarakat nelayan, adanya pranata sosial ekonomi tersebut tidak

dipersoalkan secara negative. Mereka cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang memang

seharusnya seperti itu (to given) dan sebagai bagian dari suatu dinamika dalam kehidupan

social ekonomi masyarakat. Bahkan mungkin mereka menyadari bahwa hubungan patron-klien

dalam pranata social ekonomi yang terbentuk merupakan suatu kewajaran, walaupun bagian

yang mereka terima relative paling kecil bila dibanding pemilik modal dan pedagang perantara.

Pembagian tersebut dinilai telah sesuai dengan kontribusi, biaya dan resiko ekonomi yang harus

ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi yang demikian,

terbentuk karena faktor keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan

oleh nelayan. Mereka, khususnya nelayan buruh, tidak memiliki cukup kekuatan untuk

mengubah pranata tersebut agar lebih memihak pada nelayan, yang disebabkan lemahnya

posisi tawar mereka.

Akar kemiskinan masyarakat nelayan lainnya adalah sifat ketergantungan mereka yang

tinggi terhadap aktivitas penangkapan ikan. Kemiskinan mungkin bisa diurai apabila tersedia

alternative lapangan kerja selain penangkapan ikan, namun karena rendahnya dan

keterbatasan ketrampilan nelayan dalam diversifikasi kegiatan penangkapan maka hal ini

menjadi salah satu kontribusi penyebab kemiskinan.

Modal Sosial Masyarakat Nelayan

Istilah "modal sosial" (social capital) pertama kali muncul dalam kajian masyarakat

(community studies) untuk menunjukkan pentingnya jaringan hubungan pribadi yang kuat dan

dalam (crosscutting), yang berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya,

kerjasama, dan tindakan kolektif dari komunitas yang bersangkutan. Jaringan ini menentukan

bertahannya dan berfungsinya sebuah kelompok masyarakat. Walaupun pada awalnya kajian

tentang modal sosial ini lebih merupakan upaya untuk memahami kehidupan

kelompok-kelompok penduduk perkotaan dan para penghuni daerah-daerah kumuh (slums), dalam

perkembangan selanjutnya teori tentang modal sosial banyak membantu para peneliti kajian

organisasi (organization studies) dan praktisi bisnis.

Teori tentang modal sosial menyatakan bahwa jaringan hubungan merupakan sebuah

(6)

jaringan memiliki "modal", misalnya dalam bentuk hak istimewa (credential) yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, akses ke informasi, ketersediaan peluang, dan status

social. Lebih lanjut, Coleman (1988) membedakan antara modal sosial dengan modak fisik dan

juga modal manusia. Dari berbagai hasil kajian terhadap proyek pembangunan di dunia ketiga,

menurut Ostrom (1992), menyimpulkan bahwa modal sosial merupakan prasyarat bagi

keberhasilan suatu pembangunan.

Munculnya berbagai tulisan tentang modal sosial merupakan suatu respon terhadap

semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya ketidakpedulian

terhadap sesama masyarakat. Hal ini diperkuat oleh kekuatiran Fukuyama (1995) tentang masa

depan komunitas manusia yang diutarakannya sebagai berikut: ”We no longer have realistic

hopes that we can create a ’great society’ through large government program” (p.4).

selanjutnya Fukuyama (2000) menyatakan bahwa transisi masyarakat dari masyarakat industri

menuju masyarakat informasi akan semakin memperenggang ikatan sosial dan melahirkan

banyaknaya penyakit sosial seperti meningkatnya kejahatan, anak-anak lahir diluar nikah dan

menurunnya kepercayaan pada sesama komponen masyarakat.

Dalam upaya membangun masyarakt nelayan yang kompetitif dan memiliki

ketangguhan dalam menghadapi segala tantangan kehidupan, peranan modal sosial menjadi

sangat penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk menuju kesuksesan suatu masyarakat.

Bahkan dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak berhadapan muka

(face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan

semakin menonjol peranannya.

Seperti telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, dimana dalam berbagai

pengalaman pembangunan, aspek modal sosial cenderung terabaikan dan tidak disentuh,

sehingga berakibat pada tidak dipahaminya dan tidak termanfaatkannya modal sosial

masyarakat terkait. Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat

berkorelasi dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik

apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarakat: (1) Hadirnya hubungan yang erat antar

anggota masyarakatnya; (2) adanya para pemimpin yang jujur dan egaliter yang

(7)

saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat. Putnam menemukan dalam

penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan di wilayah utara Italia

berkorelasi dengan kehadiran ciri-ciri di atas.

Pentingnya modal sosial dalam pembangunan disebabkan karena modal sosial dapat

memberikan manfaat pada masyarakat itu sendiri; dasar dari terbentuknya modal sosial adalah

rasa percaya (trust). Kepercayaan (trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada masyarakat yang

‘low-trust’ ikatan kelembagaan / institusi diikat oleh keanggotaan dalam keluarga. Karena

dalam ikatan keluarga trust tidak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian dari

diri sendiri. Modal social juga mampu member manfaat pada organisasi, dari berbagai hasil

penelitian menunjukkan bahwa semangat kerjasama, rasa saling percaya, berkorelasi dengan

intensitas kerjasama yang selanjutnya mempengaruhi kualitas sinergi kerja organisasi.

Selanjutnya bahwa modal sosial mampu memberikan manfaat pada individu; Gabbay &

Zukerman (1998) juga melaporkan bahwa individu yang memiliki modal sosial yang tinggi

ternyata lebih maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang modal sosialnya rendah.

Demikian pula suksesnya seseorang di dalam memperoleh pekerjaan juga dipengaruhi modal

sosial yang dimilikinya (Lin & Dumin, 1996).

Potensi Modal social sebagai modal pembangunan masyarakat pedesaan (termasuk

masyarakat nelayan) ditemukan dalam berbagai penelitian sebagai berikut;

1. Komunitas Nelayan “Mina Bahari 45” di Depok Parangtritis Bantul Yogyakarta, yang

berdiri tahun 1998 saat ini mampu mengembangkan jaringan dalam diversifikasi usaha

penagngkapan ikan, dan bahkan melalui Koperasi Usaha Bersama (KUB) saat ini telah

terkumpul uang kas sebesar Rp. 40.000.000,-.

2. Dari kelompok induk “Mina Bahari 45” kemudian dikembangkan dalam

kelompok-kelompok usaha lain seperti KUB Pengolah dan Pedagang Ikan Mina Bahari 45, KUB

Pedagang Ikan Mina Lestari. Berkembangnya KUB ini tidak terlepas dari penguatan

modal social yang dikembangkan secara terus menerus.

3. Pengembangan “Credit Union” diwilayah pedesaan hutan (Beny K.,Daru, P : 2013),

menunjukkan bahwa modal social merupakan factor kunci berkembangnya CU di

(8)

Pemberdayaan dan Ketak-berdayaan Masyarakat Nelayan

Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu strategi mengembangkan masyarakat

dengan memulainya lewat penyadaran, pencerahan, dan pemberdayaan pada para pelaksana

pemberdaya, atau lewat kelompok elite pemimpin rakyat, atau dimulai dengan

memberdayakan institusi yang ada di sebelah atas (Cook, Sarah dan Macaulay, 1996). Berdasar

pendapat tersebut jelas bahwa makna pemberdayaan bukan lagi melihat masyarakat sebagai

obyek atau sasaran yang harus diutamakan untuk diberdayakan, tetapi justru para agen atau

“pelaksana” pemberdayaan itu sendiri. Pencerahan dan penyadaran harus dimulai dan

dilakukan dalam hal ini adalah para pihak yang terlibat dalam pemberdayaan.

Masyarakat nelayan (pedesaan) tidak dapat lagi dianggap sebagai sasaran

pemberdayaan yang kondisinya lemah, tidak berdaya, tidak mau berkembang, bodoh, miskin,

kolot, dan sebagainya (Arif: 2000; Escobar:1995). Masyarakat nelayan harus diberi kesempatan

dan kewenangan untuk mandiri dan memutuskannya sendiri terhadap apa yang

dikehendakinya tanpa diintervensi. Selain itu masyarakat nelayan juga diberi ruang untuk

mengembangkan civil society-nya sendiri secara partisipatif dan demokratis.

Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan merupakan pencerminan

ketidakberdayaan nelayan dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Makna ketidak-berdayaan

sebenarnya lebih merupakan pandangan pihak lain tentang kemampuan untuk mandiri dan

mengembangkan hidupnya. Oleh karena itu dalam menetapkan apakah suatu masyarakat itu

dalam ketidak-berdayaan atau tidak, maka kegiatan penelitian, penetapan tolok ukur

keberdayaan, dan mencari kesepakatan dengan pihak lain merupakan langkah strategis yang

harus dilakukan sebelum melakukan kegiatan pemberdayaan. Terkait dengan masyarakat

nelayan, permasalahannya adalah bagaimana bentuk-bentuk ketidak-berdayaan masyarakat

nelayan ? Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebab ketidak-berdayaan masyarakat

pesisir ?

Berdasarkan analisis situasional dari aspek social politik, maka bentuk-bentuk

ketidak-berdayaan masyarakat di pesisir dan pedesaan adalah sebagai berikut (Suwondo, 2002):

1. Kemiskinan structural. Ketidak-berdayaan di bidang ekonomi ini menyebabkan

masyarakat pesisir dan pedesaan selalu tidak mempunyai kemampuan untuk

(9)

2. Ketidak-Tahuan Hukum Struktural. Ketidak-berdayaan di bidang hukum dapat

terwujud dalam bentuk penindasan, pembodohan, dan kekalahan dihampir setiap

sengketa hukum dengan pihak lain terutama pihak penguasa dan pihak yang

mempunyai uang.

3. Pendiskriminasian Kaum Minoritas. Keadaan ini bisa terjadi karena

ketidak-berdayaan di bidang budaya yang menyebabkan terjadinya diskriminasi

social-budaya terhadap kaum minoritas (termasuk masyarakat marjinal) sesama Negara

baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, agama, budaya, dll.

4. Pemacetan Partisipasi Publik. Ketidak-berdayaan dibidang politik menyebabkan

partisipasi terutama dalam proses pengambilan keputusan ditentukan oleh pihak

lain, sehingga hamper semua kebijakan yang ada bukan merupakan kebijakan rakyat

pesisir dan pedesaan.

5. Pelemahan Perkembangan Civil Society. Ketidak-berdayaan di bidang social-politik

menyebabkan tidak terciptanya ruang public yang ideal yang memungkinkan

individu dan kelompok masyarakat dapat berdialog dengan bebas, mandiri dan

terjamin keselamatannya dengan baik.

Pertanyaan selanjutnya adalah faktor-faktor apa yang menyebapkan ketidakberdayaan

masyarakat pesisir? Bila dilihat dari berbagai program pembangunan yang telah digulirkan

ternyata kebijakan pengentasan kemiskinan mulai tahun 2006 sampai 2010 belum mampu

mengurangi angka kemiskinan nelayan, bahkan justru semakin bertambah. Kemiskinan nelayan

seiring dengan Nilai Tukar Nelayan yang sampai sekarang juga semakin mengenaskan. Kalau di

petani ada Nilai tukar petani sekarang mulai menunjukkan kenaikan, di nelayan menunjukkan

kemunduran. Menurut data DKP 2001 Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang

dengan pendapatan kotor per KK per tahun = Rp 4.750.000. Pendapatan kotor per KK per bulan

= Rp 395.383. Data statistik yang lain menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang

buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika

dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan

mandor) Rp. 48.301,- per hari.4

4

(10)

Dengan berlandaskan makna pemberdayaan seperti yang telah disampaikan, maka

berdasarkan analisa situasional dari aspek sosial-politik paling tidak ada empat faktor yang

menyebabkan ketidak-berdayaan pada masyarakat nelayan,

1. Banyaknya Intervensi dan Penyeragaman. Berbagai kasus banyak kebijakan terkait

dengan pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir

terjadi intervensi dan penyeragaman oleh pihak-pihak terkait tanpa menyertakan

masyarakat sebagai basisnya, sehingga berakibat pada kebebasan, kemandirian,

partisipasi, dan pengembangan civil society oleh masyarakat pesisir dan pedesaan

menjadi tidak berkembang.

2. Kesadaran Yang salah dari Para Agen Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Sangat

tragis apabila agen pemberdayaan melakukan pekerjaanya hanya berorientasi oleh

sistem target (harus mencapai sasaran tertentu) dan waktu penyelesaian tertentu.

Bahkan masih sering dijumpai pandangan bahwa kalau berhadapan dengan

masyarakat tertinggal harus dipaksa terlebih dahulu dan pada akhirnya tentu akan

melaksanakan apa yang diinginkan oleh agen pemberdayaan tersebut. Pandangan

ini tentunya bertentangan dengan prinsip pemberdayaan itu sendiri.

3. Pengembangan Institusi Lokal yang Demokratis. Banyak institusi-institusi lokal

dibangun tanpa didasarkan pada kebutuhan, tetapi dibangun atas dasar pesanan

atau proyek. Biasanya institusi tersebut hanya bertahan sesaat saja, pada saaat

proyek selesai dan agen pembangunan pergi, maka mati pula institusi tersebut.

4. Sistem Politik Lokal Yang Belum Berfungsi. Hal ini bisa dilihat pada komunikasi politik

dalam penyampaian aspirasi dari rakyat apakah langsung ke eksekutif atau ke

legislatif. Dalam banyak kasus, usaha ”jemput bola” dari legislatif ke rakyat hampir

tidak terlihat. Akibatnya dari tidak berfungsinya sistem politik lokal ini menyebabkan

banyak aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan, sehingga banyak

permasalahan-permasalahan pembangunan khususnya pada masyarakat pesisir menjadi

(11)

Penutup

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa akar kemiskinan pada masyarakat

nelayan merupakan wujud dari ketidak-berdayaan masyarakat pada hampir semua aspek baik

aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Ketidak-berdayaan masyarakat nelayan

tersebut terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor internal dari masyarakatnya itu sendiri,

tetapi lebih pada faktor eksternal dalam hal ini adalah para agen pembangunan (termasuk para

pemimpin) maupun institusi lokal (termasuk pemerintahan) yang ada. Penguatan aksi kolektif

dalam tingkat komunitas yang terbangun melalui pilar-pilar modal sosial, akan memperkuat

posisi tawar komunitas terhadap kekuatan-kekuatan eksternal yang mencoba melakukan

eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Melalui potensi modal sosial yang ada, komunitas

nelayan dapat memanfaatkan sumberdaya alam secara efektif tanpa merusak habitat laut demi

kelangsungan kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena modal sosial merupakan infrastruktur

sosial yang terbangun dari interaksi warga yang didasarkan rasasaling percaya, bekerjasama

untuk mencapai tujuan dan menghasilkan kehidupan yang berkeadaban (civic culture).

Daftar Bacaan:

Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium ke Tiga. Psikologika, No. 6, 5-17.

Arif,Saiful, 2000. Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Bintarto, 1983, Interaksi Desa-Kota: Dan Permasalahannya, Jakarta, Ghalia Indonesia

Cook, Sarah dan Macaulay, 1996, The Perfect Impowerment, Jakarta, Indografi

Coleman, James, 1988, Foundations of Social Theory, Cambridge: Harvard University Press.

Escobar,Arturo, 1995, Encountering Development, Princeton University Press

Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. London: Hamish Hamilton.

Fukuyama, F. (2000). The Great Depression: Human Nature and the Recosntitution of Social Order. London: Profile Book.

(12)

Hasbullah, J. 2006, Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia), Jakarta, MR-United Press.

Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan perebutan Sumber Daya Perikanan, Yogyakarta, LKiS.

Lin, N.& Dumin, M.(1996). Access to occupation through social ties. Social Networks. vol.8, 365-385.

Putnam, R.D (1993). The prosperous community: Social capital and public life. The American Prospect. Vol.4, no. 13.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji f diperoleh f hitung >f tabel ,yakni 5,405>3,200sehingga hipotesis yang diajukan bahwa struktur modal dan profitabilitas secara simultan

Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke adalah suatu kondisi yang

Uji persentase daya hambat dilakukan pada media agar dengan cara menginokulasikan isolat bakteri dan patogen yang ada secara berpasangan dalam cawan petri berdiameter 9 cm..

Implementasi Metode Ummi Untuk Mengatasi Kesulitan Membaca Al-Quran Di TPQ Sirojudin Tulangan Sidoarjo.. Mohammad Irsyadul Umam

Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Hidayat, 2008) bahwa subprime mortgage ini terjadi karena dalam beberapa tahun terkahir cukup banyak kredit perumahan di Amerika

atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. M enunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai menurut Peraturan Perundang-undangan tidak

USULAN TUNJANGAN KUALIFIKASI

Jika membahas masalah etika dan sopan santun maka kita tidak bisa melapas dari tradisi atau budayamasyarakat. Mengapa demikian, karena etika dan sopan santun setoap daerah