KOMPOSISI FLORA MANGROVE DI PANTAI SUNGAI GAMTA, DISTRIK MISOOL
BARAT, KABUPATEN RAJA AMPAT
Abdul Manaf Wihel1*, Soenarto Notosudarmo1, Martanto Martosupono1
1Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro No. 52 – 60, Salatiga 50711 Telp.: +62 (0)298-321212, Fax.: +62 (0)298-321443
*E-mail: manafwihel@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah pesisir yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar. Potensi sumber daya pesisir memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi daerah, karena secara sosial ekonomi semua penduduk Raja Ampat mendiami daerah pesisir dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Secara geografis Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten Kepulauan dengan gugus pulau berjumlah 610, yang terdiri dari 4 pulau besar yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool, dengan sisanya lebih dari 600 merupakan pulau-pulau kecil dan hanya 34 pulau di antaranya yang berpenghuni. Daerah ini memiliki batu karang dengan panjang garis pantai 4.860km dan perbandingan wilayah darat dan laut adalah 1 : 6 atau 86% luas wilayah terdiri dari perairan (DKP-KRA 2006).
Berdasarkan hasil survai dan analisis citra digital, luas ekosistem mangrove di kepulauan Raja Ampat lebih kurang 27.180 ha. Ekosistem mangrove di kepalauan Raja Ampat cukup luas terdapat di wilayah pantai Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Teluk Mayalibit, pantai Batanta, pantai timur pulau Salawati, dan pantai utara dan timur pulau Misool. Sampai saat ini belum ada penelitian pada tingkat mikro yang khusus meneliti tentang Komposis Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta Distrik Misool Barat.
PERUMUSAN MASALAH
Salah satu ciri perkembangan suatu daerah kabupaten atau kota adalah peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkampungan. Kota Sorong merupakan kota utama bagi aneka kepentingan warga Kabupaten Raja Ampat juga mengalami hal yang sama. Kenyataan ini sekaligus mengidentifikasi berbagai aneka fasilitas (pendidikan, bisnis, dan lapangan kerja) yang tersedia di kota ini menjadi daya tarik masyarakat sehingga terjadi arus urbanisasi. Pertambahan jumlah penduduk di satu sisi akan diikuti pula oleh peningkatan kebutuhan akan bahan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan yang menonjol adalah meningkatnya kebutuhan akan lahan khususnya untuk pemukiman penduduk.
Kebutuhan lahan pemukiman bagi penduduk secara tidak langsung merusak ekosistem mangrove, karena berdampak besar terhadap ekologi, ekonomi, dan maupun sosial.Pengambilan kayu sebagai bahan bakar dan bahan
bangunan seperti tiang, balok dan papan dari jenis Rhizophoraapiculata (bahan bakar), Ceriops decandra (tiang dan
balok), dan Xylocarpus sp (papan). Bila terjadi eksploitasi yang berlebihan maka akan mengancam kelestarian hutan
mangrove.
Pantai sungai Gamta merupakan kawasan konservasi cagar Alam Misool (84.000 ha berdasarkan SK Menhut No.716/Kpts-/Um/1992), sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk menjamin kelestarian ekosistem mangrove.Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitian tentang komposisi flora mangrove.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui komposisi, kerapatan, dan frekuensi mangrove di Sungai Gamta wilayah Distrik Misool Barat, sebab Sungai Gamta merupakan salah satu ekosistem mangrove yang ada di pulau Misool dan mempunyai lebih dari sepuluh jenis mangrove.Hasil penelitian ini mempunyai arti penting terutama sebagai acuan dalam mempelajari ekosistem hutan mangrove di pantai Sungai Gamta.
TINJAUAN PUSTAKA
Mangrove menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan (Macnae 1968) Mangrove yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas atau pasang surut air laut (Macnae 1968 dalam Supriharyono, 2009).
Mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangal dan bahasa Inggris grove.Dalam bahasa
Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.Sedangkan dalam bahasa
Portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakn individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk menyatakan
komunitas tumbuhan tersebut.Food and Agricultural Organization FAO (2003 dalam Kustanti, 2011).
Menurut Harahab (2010), mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Saputro dkk
(2009) dalam Kordi (2012) mengatakan bahwa, mangrove adalah sekelompok tumbuhan, terutama golongan halopit
yang terdiri dari beragam jenis, dari suku tumbuhan yang berbeda-beda tetapi mempunyai persamaan dalam hal adaptasi morfologi terhadap habitat tumbuhannya dan genangan pasang surut air laut.
Keberadaan Mangrove
Indonesia memiliki kawasan mangrove terluas di dunia, yaitu 25% dari luas mangrove dunia dan 75% dari luas mangrove di kawasan Asia Tenggara. Selain itu ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman jenis tertinggi di dunia. Kawasan mangrove di Indonesia: Papua dan Maluku (38%), Kalimantan (28%), Sumatra (19%), dan selebihnya di daerah lain seperti Sulawesi dan pulau Jawa (Dahuri dalam Matatula 2010).
Provinsi Papua dan Papua Barat mempunyai hutan mangrove seluas sekitar 1,6 juta ha. Karakteristik ekosistem mangrove di Papua berada dalam lingkungan daratan lumpur dan delta. Kedua lingkungan ini dicirikan adanya aliran sungai yang besar yang bermuara ke laut membentuk dataran lumpur yang luas dan delta-delta di muara sungai yang besar. Demikian pula karakteristik mangrove yang berada dilingkungan dataran pantai dan dataran pulau dalam skala yang tidak terlalu luas (Kordi, 2012).
Berdasarkan hasil survai dan analitik citra digital, luas ekosistem mangrove di Kepulauan Raja Ampat, enam tahun lalu lebih kurang 27.180 ha (DKP-KPA Kabupaten Raja Ampat 2006). Ekosistem mangrove cukup luas terdapat di wilayah pantai Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Teluk Mayalibit, pantai Batanta, pantai timur pulau Salawati, dan
pantai utara dan pantai timur pulau Misool. Ekosistem mangrove tersebut didominasi oleh famili Rhizophoraceae dan
Sonneratiaceae.Pulau Misool merupakan pulau yang memiliki sebaran mangrove terbesar, kemudian diikuti pulau
Waigeo, Salawati, dan Batanta. Pulau Kofiau merupakan kawasan yang memiliki sebaran mangrove lebih sedikit dibandingkan dengan pulau lainya (DKP-KRA Kabupaten Raja Ampat 2006).
Fungsi Mangrove
1. Fungsi Fisis, pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi
serta hara.
2. Fungsi Biologis, sebagai tempat bertelur dan sebagai tempat asuhan berbagai biota, tempat bersarang burung dan
sebagai habitat alami berbagai biota.
3. Fungsi Ekonomis, sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan bangunan (balok, atap, dan
sebagainya), perikanan, pertanian, makanan, minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain (Nontji dalam Kordi 2012).
HIPOTESIS
Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian, dan tinjauan pustaka, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
1. Di Sungai Gamta memilikiberbagai spesies mangrove yang lebih didominasi oleh familia Rhizophoraceae.
2. Komposisi mangrove di Sungai Gamta memiliki peranan ekologi dan ekonomi yang cukup besar.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan di kawasan konservasi hutan mangrove di pantai Sungai Gamta Distrik Misool Barat Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Geografis Kabupaten Raja Ampat
berada pada 01015’LU-2015’LS dan 129010-1210-100 BT dengan luas wilayah 46.000 km2 terdiri dari wilayah laut
40.000 km2 dan luas daratannya 6.000 km2.Dapat dikatakan bahwa sekitar 85% dari luasnya tersebut adalah
Gamta awalnya adalah hutan mangrove yang dibuka oleh warga setempat sebagai tempat pemukiman penduduk hingga kini.
Waktu
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, dari bulan Juli sampai bulan September 2013, yaitu saat musim panas.Pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan pasang surut air laut dari jam 07.00 sampai dengan 11.00 WIT.
Gambar 1. Lokasi penelitian di pantai Sungai Gamta, Distrik Misol Barat, Kabupaten Raja Aampat
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : parang, meter, tali rafia, kamera,(daftar jenis mangrove), buku identifikasi (atau referensi yang berhubungandengan) mangrove (dan kalkulator serta alat-alat lain yang diperlukan dalam penelitian ini seperti motor tempel 15 pk). Motor tempel 15 pk dipakai sebagai sarana transportasi dari kampung Gamta ke lokasi penelitian. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tambahan penyusun vegetasi mangrove dan selain vegetasi mangrove.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode petak dengan menggunakan petak ganda secara acak, dan wawancara dengan masyarakat tentang manfaat mangrove bagi penduduk kampung.
Prosedur Penelitian
Penentuan Letak Petak
Petak diletakkan mulai dari tepi sungai (laut) menuju ke darat dengan meletakkan plot secara acak.
Gambar 2. Skema penempatan plot Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan dilakukan dengan menggunakan sistem garis berpetak antara lain:
1. Meletakkan plot secara acak, setiap plot dibuat petak-petak ukuran 5 x 5 m2, 20 x 20 m2, dan plot 30 x 30 m2
2. Petak berukuran 5 x 5 m2 digunakan untuk menghitung tingkat semai/anakan
C
B
B AA = 5 m2
B = 20 m2
3. Petak berukuran 20 x 20 m2 digunakan untuk menghitung tingkat tiang
4. Petak berukuran 30 x 30 m2 digunakan untuk menghitung tingkat pohon
5. Parameter yangakan diketahui dan dihitung adalah nama jenis tumbuhan, kerapatan jenis tumbuhan, dan
frekuensi tumbuhan.
Analisis Data
Data yang dikumpulkan di lapangan kemudian diolah untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP).Parameter vegetasi yang diukur secara kuantitatif meliputi densitas dan frekuensi.Dari nilai ini dapat diketahui nilai penting atau diversitas.Untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut digunakan rumus analisis vegetasi sebagai berikut (Setyawan dkk 2005).
ni
1. KMi = --- Persamaan ………
A Keterangan:
KMi = Kerapatan Mutlak jenis ke-I (ind/m2)
ni = Jumlah total individu dari jenis ke-I (ind)
A = Luas areal total pengambilan sampel (m2)
KMi
2. KRi = --- X % Persamaan ………
∑ KMi
Keterangan:
KRi = Kerapatan relatif jenis ke-I (%)
KMi = Kerapatan mutlak jenis ke-I (ind/m2)
Pi = Jumlah plot sampel tempat ditemukan jenis ke-I (%)
∑P = Jumlah total plot sampel yang diamati (%)
∑FMi = Jumlah frekuensi mutlak seluruh jenis (%)
Keanekaragaman Vegetasi Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh
jenis mangrove tersebut adalah Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata,
Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Acrostichum aureum, A. speciosum, Acanthusilicifolius, dan Hibiscus
tiliaceus.H.tiliaceus meskipum bukan mangrove sejati, tetapi selalu ada pada komunitas mangrove (Bengen 2004).
Tabel 1. Jenis- jenis mangrove dan namanya dilokasi penelitian.
No. Nama lokal Nama ilmiah Familia Gambar
1. Watpin B. gymnorrhiza Rhizophoraceae
2. Bam C. decandra Rhizophoraceae
Tabel 1. Jenis- jenis mangrove dan namanya dilokasi penelitian (Lanjutan)
No. Nama lokal Nama ilmiah Familia Gambar
3. Lataf N. fruticans Arecaceae
4. Watman R. apiculata Rhizophoraceae
6. Tapisnyal X. moluccensis Meliaceae
7. Serem A.aureum Pteridaceae
Tabel 1. Jenis- jenis mangrove dan namanya dilokasi penelitian (Lanjutan)
No. Nama lokal Nama ilmiah Familia Gambar
8. Karlat A.speciosum Pteridaceae
9. Karlat pin A.ilicifolius Acanthaceae
10. Kacaf H.tiliaceus Malvaceae
Sumber: Noor, dkk (2006) dan koleksi pribadi.
Struktur Vegetasi Mangrove
Gambar 3. Histogram Kerapatan Mutlak (ind/m2) pada seluruh plot
Pada gambar 1 spesies R. apiculata (0,50 Ind/m2) mempunyai nilai kerapatan tertinggi pada petak ukur 5x5 m,
(0,35 Ind/m2) pada petak ukur 20x20 m, dan (1,44 Ind/m2). Spesies yang terendah adalah A. aureum, A. speciosum,A.
ilicifolius, dan H. tiliaceus (0,01 Ind/m2).
Gambar 4. Histogram frekuensi Mutlak (%) pada seluruh plot
Sementara nilai frekuensi yang tertinggi terdapat di petak ukur 5x5 m dan 30x30 m (gambar 2) adalah N.
fruticans dan R. apiculata (100%), dan nilai frekuensi terendah adalah A. aureum, A. speciosum, A. ilicifolius, dan H.
tiliaceus (1,37%) pada petak ukur 5x5m.
Pembahasan
Keragaman Vegetasi Mangrove
Dari 10 jenis mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian, digolongkan kedalam 6 familia yakni: familia
Rhizophoraceae, Arecaceae, Meliaceae, Pteridaceae, Acanthaceae, dan Malvaceae. Familia Rhizophoraceae merupakan
familia yang dominan diantara vegetasi mangrove yang ditemukan. Sembilan jenis diantaranya kategori mangrove mayor (mangrove sejati), 1 jenis mangrove minor (mangrove ikutan) Tomlinson (1986) mengatakan jika kategori mangrove mayor mampu membentuk tegakan murni dan mendeskripsikan air garam sehingga dapat tumbuh pada air tergenang, mangrove minor tumbuh pada tepi habitat mangrove dan tidak membentuk tegakan murni.
Perbedaan antara spesies yang satu dengan yang lainnya disebabkan faktor ekologi dari flora mangrove. Kondisi tanah di daerah penelitian adalah tanah berlumpur, dapat menyebabkan kesepuluh spesies mangrove
tersebut pertumbuhannya berbeda pada stuktur tanahnya.Ada yang tumbuh pada tanah berlumpur seperti (R.
apiculata, B. gymnorrhiza, C. decandra, dan Xylocarpusspp) dan ada juga yang tumbuh pada tumpukan tanah kering
bagaikan rumah kepiting bakau (Sycilla sp) seperti (A. aureum, A. speiosu, A. ilicifolius, dan H. tiliaceus).
Lebih lanjut Bengen (2001) menguraikan jika adaptasi fisiologi dilakukan beberapa hal sebagai berikut (1)
kadar oksigen rendah dengan membentuk perakaran yang memiliki pneumatofora (seperti Avicennia spp, Xylocarpus
sp, dan Sonneratia spp) serta lentisel (seperti Rhizophora spp), (2) konsentrasi garam tinggi dengan memiliki stomata
khusus untuk mengurangi penguapan, dan daun yang kuat dan tebal dan sel-sel khusus pada daun untuk menyimpan garam, dan (3) stabilitas tanah dan kondisi pasang surut dengan mengembangkan struktur parekaran eksentif yang berfungsi memperkokoh, mengambil unsur hara serta menahan sedimen.
Struktur Vegetasi Mangrove
Struktur vegetasi mangrove yang terdapat di daerah penelitian dapat dilihat dari nilai kerapatan relatif (Gambar 3).
Gambar 5. Kerapatan relatif (%)
Nilai Kerapatan Relatif
Nilai kerapatan relatif vegetasi mangrove pada tingkat anakan, tiang, dan pohon (gambar 4). pada histogram
tersebut terlihat bahwa kerapatan spesies didominasi oleh R. apiculata dengan kerapatan relatif tingkat anakan
(27,258%), tingkat tiang (41,126%), dan tingkat pohon (79,722%), itu berarti R. apiculata memilikiki nilai kerapatan
tinggi dan pola penyesuaian yang besar. Fachrul (2012) mengatakan bahwa nilai kerapatan tinggi dapat menggambarkan jenis mangrove tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar, sebab karapatan dapat ditaksir dengan menghitung individu setiap jenis dengan kuadrat yang luasnya ditentukan, kemudian perhitungannya diulang
ditempat yang tersebar secara acak. Dan spesies yang memiliki tingkat kerapatan rendah adalah (Acrosthicum
aureum) 0,325%, (Acanthus ilicifolius) 0,320%, dan (Hibiscus tiliaceus) 0,280%. A.aureum dan A. ilicifolius termasuk
mangrove mayor, namun tidak membentuk tegakan murni dan H. tiliaceus kategori mangrove minor Tomlinson
(1986) menguraikan jika kategori mangrove mayor (mangrove sejati) mampu membentuk tegakan murni dan mensekresikan air garam sehinga dapat tumbuh pada air tergenang, dan mangrove minor tumbuh pada tepi habitat mangrove dan tidak membentuk tegakan murni.
Struktur vegetasi mangrove yang terdapat di daerah penelitian dapat dilihat pada nilai frekuensi relatif (gambar 4).
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00
JUMLAH 5 X 5 M
JUMLAH 20 X 20 M
Gambar 6. Nilai frekuensi relatif (%)
Nilai Frekuensi Relatif
Nilai frekuensi relatif pada tingkat anakan, tiang, dan pohon (gambar 3.) nilai frekuensi pada tingkat anakan (0,171%), tingkat tiang (0,226%), dan tingkat pohon (0,346%). Nilai frekuensi dapat menunjukkan distribusi jenis dalam ekosistem. Fachrul (2012) mengatakan bahwa nilai yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan berdaptasi pada ekosistem mangrove.
Dari nilai frekuensi yang ditemukan dalam ketiga plot tersebut, spesies yang memdominasi adalah R. apiculata,
sebab di lokasi penelitain terdapat dipinggiran sungai dan struktur tanah berlumpur. Noor dkk (2006) menguraikan
bahwa R. apiculata lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir, dan umumnya tumbuh dalam
kelompok yang dekat atau pada pematang sungai, pasang surut dan di muara sungai, dan jarang sekali tumbuh pada
daerah yang jauh dari pasang surut. Lebih lanjut Nontji (1987) jenis R. apiculata termasuk jenis unik karena
mempunyai akar yang mencuat dari batang, bercabang-cabang mengarah ke bawah dan menggantung kemudian masuk ke tanah. Menurut Polunin (1990) akar yang menggantung atau muncul di permukaan tanah merupakan akar nafas (pneomatofara). Akar-akar ini mempunyai liang-liang pernapasan dan mengandung banyak sekali ruang-ruang berisi udara yang berfungsi menyalurkan oksigen ke bagian-bagian sistem perakaran yang terdapat di dalam tanah.
Masyarakat kampung Gamta memanfaatkan mangrove sebagai kayu api/bahan bakar untuk memasak. Jenis yang diambil sebagai bahan bakar bermacam-macam, namun pada umumnya jenis yang disukai masyarakat lokal
adalah jenis R. apiculata, sebab memiliki kulit kayu licin/rata dibandingkan B. gymnorrhiza yang kasar/kurap, serta
juga mudah terbelah bila dibandingkan dengan B. gymnorrhiza. Ukuran yang ditebang untuk kebutuhan bahan bakar
adalah tingkat pohon, yaitu dengan diameter berukuran 1-1,5 m.
Selain kebutuhan masyarakat untuk bahan bakar, mangrove juga digunakan sebagai tiang rumah.Mangrove
yang digunakan adalah jenis Ceriops decandra, karena persepsi masyarakat lokal bahwa jenis ini tahan dalam lumpur
dan dapat bertahan lebih dari 5 tahun. Selain itu, mangrove juga digunakan oleh masyarakat lokal sebagai dinding rumah atau keperluan rumah tangga seperti meja dan kursi, dan dijual dalam bentuk papan.Jenis mangrove ini
adalah Xylocarpus granatum.
Rhizophora apiculata pada tingkat anakan dan tiang memiliki generasi yang sangat cepat, sehingga walaupun
ditebang masyarakat sebagai bahan bakar, jenis ini tetap mendominasi komposis flora mangrove di pantai Sungai Gamta.
Menurut Noor, dkk (2006) R. apiculata dapat bertahan karena tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dan
tergenang pada saat pasang normal dan tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir.Selain itu tingkat dominansi dapat mencapai 90% (tabel 3.) dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi.Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Selain itu, percabangan kayu dapat tumbuh abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting bakau
(Scyllasp) dapat juga sebagai penghambat pertumbuhan karena mengganggu kulit akar anakan.
Selain faktor ekologi, beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan penting terhadap kehidupan ekosistem mangrove. Bengen (2004) mengatakan bahwa sifat fisik estuaria terbagi atas 5 bagian antara lain:
1. Salinitas, estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama tergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut.
2. Substrat, sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang di bawah
melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat tersebut kaya akan bahan organik.
3. Sirkulasi air, selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui air pasang
surut menciptakan suatu gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi didalam air.
4. Pasang surut, air pasang surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton, disamping berperan
untuk mengencerkan dan menggelontarkan limbah di estuaria.
5. Penyimpan zat hara, peran estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta
gangguan lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani lainnya.
Selain R. apiculata, C. decandra, B. gymnorrhiza, X. granatum, dan X. moluccensis, terdapat beberapa spesies yang
jumlahnya sangat sedikit dijumpai di lokasi penelitian diantaranya: A. aureum, A.speciosum, A. ilicifolius, dan H.
tiliaceus. Spesies-spesies ini hanya ditemukan dalam petak ukur tingkat anakan/sapihan. Spesies tersebut hanya
dapat ditemukan pada tempat kering yang tidak menyukai air atau lumpur, yaitu pada tempat gundukan tanah liat
rumah kepiting bakau (Scylla sp) atau biakodok (Gelonia sp).
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993 dalam Noor, dkk 2006) menyatakan bahwa mangrove daratan adalah mangrove yang berada pada zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang
sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Instia bijuga,
Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, dan Pandanus sp.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Beasiswa Unggulan DIKTI – Biro Perencanaan & Kerjasama
Luar Negeri (BPKLN), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang telah memberikan beasiswa melalui Program Studi Magister Biologi, Universitas Satya Wacana, Salatiga.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelola. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor. Bogor.
DKP – KRA. 2006. Atlas Sumber Daya Pesisir. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara: Jakarta.
Harahab, N. 2010. Penilaian Ekosistem Hatan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu: Yogyakarta. Irwan, Z. J. 2012. Prinsip-Prinsip Ekologi. Bumi Aksara: Jakarta.
Jazanul, A., Sengli, J. D., Nazaruddin, H. & Anthony, J. W. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada University Press.: Yogyakarta. Kordi, K. M. G. H. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Rineka Cipta: Jakarta.
Kustanti. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. PT Penerbit IPB Press Kampus IPB Taman Kencana. Bogor.
Matatula. J. 2010. Kajian Kualitas Mangrove Berdasarkan Pertumbuhan Tanaman Rehabilitasi di Kawasan Pantai Teluk Kupang Nusa
Tenggara. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
Noor, Y. R., Khazali, M. & Suryadiputra, I. N. N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove diIndonesia. PHKA/WI-IP. Bogor. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jambatan: Jakarta.
Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
Saputro, G. B. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Jakarta.
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Setyawan, A. D, Indrowuryanto, Wiryanto, Winarno, K. & Susilowati, A. 2005. Tumbhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2,
Komposisi dan dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6: 194 – 198. FMIPA UNS. Surabaya.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional: Surabaya. Tomlinson, P. B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Cambridge: UK.