• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Akad Wākalah Dalam Pembelian Hunian Berdasarkan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelaksanaan Akad Wākalah Dalam Pembelian Hunian Berdasarkan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN AKAD WĀKALAH DALAM PEMBELIAN HUNIAN BERDASARKAN PRINSIP HUKUM EKONOMI SYARIAH

DWI ALFIANA, HALIM TALLI

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Abstrak

Pelaksanaan Akad Wākalah dalam Pembelian Hunian Pada Bank Tabungan Negara Syariah memang sesuai dengan akad dalam Hukum Ekonomi Syariah dan Rukun serta Syarat dalam akad Wākalah pada Bank Tabungan Negara Syariah sudah memenuhi Prinsip Hukum Ekonomi Syariah. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga menjelaskan tentang pemberian kuasa untuk pembelian terdapat pada pasal 475 sampai dengan pasal 491. Upaya penyelamatan nasabah yang mengalami masalah itu ada dua. Pertama, mengajukan perpanjangan jangka waktu atau penundaan pembayaran beberapa bulan. Kedua, pihak bank menawarkan lelang kepada nasabah.

Kata Kunci : Akad Wakalah, Hukum Ekonomi Syariah, Pembelian Hunian.

Abstract

The implementation of the Wākalah Agreement in the Purchase of Occupancy at the Sharia State Savings Bank is indeed in accordance with the agreement in Sharia and Pillars of Economic Law and the Requirements in the Wākalah contract at the Sharia State Savings Bank have fulfilled the Sharia Economic Law Principles. In the Compilation of Sharia Economic Law also explains about granting power of attorney for purchases contained in article 475 through article 491. There are two attempts to rescue customers who experience the problem. First, submit an extension of the term or delay in payment by several months. Second, the bank offers auctions to customers.

(2)

A. PENDAHULUAN

Masyarakat di Negara maju dan berkembang sangat membutuhkan bank sebagai tempat untuk melakukan transaksi keuangannya. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mengembangkan pembangunan nasional. Kegiatan utama dari perbankan mengenal dua sistem, yaitu sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah. Sistem ekonomi konvensional terdapat Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.1

Bank Syariah sebagai lembaga keuangan mempunyai mekanisme dasar, yaitu menerima deposito dari pemilik modal (depositor) dan mempunyai kewajiban (liability) untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisa asetnya, dengan pola dan/atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-fee current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor, sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai prinsip atau standar syariah, seperti mudharabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.

Bank syariah memiliki sistem operasional yang berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Dalam sistem operasional bank syariah, pembayaran dan penarikan bunga di larang dalam semua bentuk transaksi. Bank syariah tidak mengenal sistem bunga, baik bunga yang diperoleh dari nasabah yang meminjam uang atau bunga yang dibayar kepada penyimpan dana di bank syariah.2

Secara yuridis formal dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan selanjutnya disebut UUP. Pengertian bank umum sendiri dijabarkan dalam Pasal 1 angka 3 UUP yang mengemukakan, Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.3 Seperti halnya bank umum, terminologi bank Perkreditan rakyat dapat ditemui pada Pasal 5 Ayat (1) UUP. Sedangkan pengertian bank perkreditan rakyat dijabarkan dalam Pasal 1 Angka 4 UUP yang menyatakan, bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Mencermati pengertian yang diberikan dalam UUP sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok antara bank umum dengan bank perkreditan rakyat (BPR), kecuali dalam bidang usaha layanan jasa dalam lalu lintas pembayaran hanya diberikan kepada bank umum.4

Secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 10 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum Perbankan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah baru hadir pada tahun 1992 di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia.

1

Ismail, Perbankan Syariah (Cet. V; Jakarta: Kencana, 2017), h. 29.

2

Ismail, Perbankan Syariah, h. 31.

3 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, (Bandung: Mandar Maju, 2012), h.5. 4

(3)

Saat awal pelaksanaan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil, asas hukumnya ada pada Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1992. Namun itu belum cukup, karena perbankan syariah tersendat jalannya dan terbukti dalam enam tahun pertama kemudian hanya satu bank syariah yang muncul yakni Bank Muamalat pada tahun 1992. Sistem ekonomi syariah sekarang ini semakin berkembang bila dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya bank konvensional yang membuka bank dengan sistem syariah. Selain itu pertumbuhan ekonomi syariah juga dapat diliat dari banyaknya perbankan syariah dan lembaga syariah di Indonesia. Salah satu faktor pendukungnya adalah permintaan Islamic product dari penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Perbankan syariah semakin marak sejak memungkinkan bank menjelaskan dual banking system atau bank konvensional yang dapat mendirikan divisi syariah, dengan adanya undang-undang tersebut konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syariah.

Setelah berjalannya peraturan perbankan yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, akhirnya diterbitkan undang-undang yang lebih spesifik menerangkan tentang Perbankan syariah secara eksplisit yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Undang-undang ini menjadikan perbankan syariah sebagai landasan hukum yang jelas dari sisi kelembagaan dan sistem operasionalnya, paling tidak terdapat enam hal baru dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS).

Dengan kehadiran undang-undang tersebut memicu peluang yang lebih besar yang diberikan kepada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan perbankan sepenuhnya yang sesuai dengan syarat islam. Salah satunya adalah perbankan syariah menawarkan transaksi yang tidak berlandaskan pada konsep bunga, dapat diharapkan untuk lebih optimal melayani kalangan masyarakat yang belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional, dan memberikan pembiayaan dalam pengembangan usaha berdasarkan sistem syariat Islam.

Konsep ekonomi syariah (Islamic economic) itu sendiri menurut M. Yasir Nasution mengemukakan bahwa ekonomi syariah mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler). Perbedaan yang paling mendasar adalah pada landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi syariah dibangun atas empat filosofinya, yakni pertama ketauhidan, dengan pengertian bahwa semua yang ada dialam ini merupakan ciptaan Allah SWT dan hanya Allah-lah yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, cara memperoleh rezki dan melakukan transaksi bisnis serta kegiatan ekonomi lainnya; kedua, keadilan dan keseimbangan, dalam pengertian kedua hal ini harus digunakan sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan umat manusia.

Oleh sebab itu, seluruh kegiatan ekonomi harus dilandasi kepada paham keadilan dan keseimbangan sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ketiga, kebebasan dalam arti bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya dan Keempat; pertanggung jawaban, dalam arti manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala putusan-putusan yang diambilnya.5 Bisa disimpulkan secara garis besar ekonomi

5 M. Yasir Nasution, Ekonomi Islam Pada Millenium Ketiga, Dalam Prospek Bank Syariah Pada

(4)

konvensional berorientasi kepada hal-hal yang bersifat dunia, sedangkan ekonomi syariah berorientasi tidak hanya dunia saja tetapi juga kepada hal-hal yang bersifat ukhrawl sebagai ibadah kepada Allah SWT.

Dengan bermunculannya berbagai perusahaan lembaga keuangan syariah, semakin berkembang juga produk yang ditawarkan dan salah satu dari berbagai akad yang ditawarkan kepada nasabah adalah akad Wākalah. Wākalah (perwakilan) adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat atau power of attorner akad petimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak yang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Akad Wākalah ini biasanya digunakan oleh perbankan atau non-bank seperti perusahaan asuransi. Dalam dunia lembaga keuangan pada prakteknya mengharuskan adanya, muwakil atau yang mewakili, wakil dalam hal bank ini dan taukil atau objek atau wewenang yang diwakilkan.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian field research kualitatif deskriptif dengan pendekatan penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yaitu pendekatan yang menulusuri pendekatan undang-undang. Adapun sumber data penelitian ini adalah Kantor Cabang Bank BTN Syariah Makassar. Selanjutnya, metode pengumpulan data yang digunakan adalah Observasi, dokumentasi dan wawancara. lalu, teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu: editing data, Klasifikasi data, Analisis data dan Kesimpulan.

C. PEMBAHASAN

1. Prinsip Hukum Ekonomi Syariah tentang Wakalah

Prinsip Hukum Ekonomi Syariah secara umum sebagai berikut:

1. Prinsip Tauhid, Islam melandaskan segala kegiatan ekonomi sebagai suatu usaha untuk ibadah kepada Allah swt., sehingga tujuannya bukan hanya semata-mata mencari keuntungan dan kepentingan pribadi melainkan mencari keridhaan Allah swt.

2. Prinsip Keadilan, keadilan adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Alam diciptakan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam ekonomi bisa diterapkan dalam penentuan harga, kualitas produksi, perlakuan terhadap pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan. Penegakan keadilan dalam rangka menghapus diskriminasi yang telah diatur dalam al-Qur’an bahkan menjadi satu tujuan utama risalah kenabian yaitu untuk menegakan keadilan.

3. Prinsip Al-maslahah, kemaslahatan adalah mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat dengan mengambil manfaat dan menolak kemadharatan. Kemaslahatan memiliki 3 sifat, yaitu: (a) Dharuriyyat, adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya kebaikan didunia dan akhirat dan apabila tidak ada maka kebaikan akan sirna. Sesuatu tersebut terkumpul dalam maqasid al-syari’ah, yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan, kekayaan, dan akal. Mencari rizki termasuk pada

dharuriyyat karena bertujuan memelihara keturunan dan harta. (b) Hajiyyat, adalah

sesuatu yang dibutuhkan masyarakat untuk menghilangkan kesulitan tetapi tidak adanya hajiyyat tidak menyebabkan rusaknya kehidupan. (c) Tahsiniyyat, adalah mempergunakan sesuatu yang layak dan dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik. Pada bidang muamalah seperti larangan menjual barang najis.

(5)

4. Prinsip Pewakilan (khalifah), manusia adalah khilafah (wakil) Tuhan dimuka bumi. Manusia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan spiritual serta materi untuk memungkinkan hidup dan mengemban misinya secara efektif. Kehidupan manusia senantiasa dibarengi pedoman-pedoman hidup dalam bentuk kitab-kitab suci dan shuhuf dari Allah SWT., yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia guna kebaikannya sendiri selama didunia maupun akhirat.

5. Prinsip Amar Ma’ruf Nahy Munkar, Amar Ma’ruf yaitu keharusan mempergunakan prinsip hukum islam dalam kegiatan usaha sedangkan Prinsip Nahy Munkar direalisasikan dalam bentuk larangan dalam kegiatan usaha yang mengandung unsur riba’, Garar, maisyir, dan haram.

6. Prinsip kejujuran dan kebenaran, prinsip ini tercermin dalam setiap transaksi harus tegas, jelas, dan pasti baik barang maupun harga. Transaksi yang merugikan dilarang, mengutangkan kepentingan sosial. objek transaksi harus memiliki manfaat. Transaksi tidak mengandung riba, transaksi atas dasar suka sama suka, dan transaksi tidak ada unsur paksaan.

7. Prinsip Kebaikan (Ihsan), prinsip ini mengajarkan bahwa dalam ekonomi, setiap muslim diajarkan untuk senantiasa bermanfaat untuk orang banyak, baik seagama, senegara, maupun sesama manusia.

8. Prinsip Pertanggungjawaban (al-Mas’uliyah), prinsip ini meliputi pertanggung jawaban dalam masyarakat. Manusia dalam masyarakat diwajibkan melaksanakan kewajibannya demi terciptanya kesejahteraan anggota masyarakat secara keseluruhan, serta tanggungjawab pemerintah, tanggungjawab ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara atau kas negara (bait al-maal) dan kebijakan moneter serta fiskal.

9. Prinsip Kifayah, prinsip ini terkait kewajiban setiap muslim untuk peduli terhadap sesamanya. Tujuan prinsip ini adalah untuk membasmi kefakiran dan mencukupi kebutuhan seluruh anggota masyarakat agar terhindar dari kekufuran.

10. Prinsip Keseimbangan (wasathiyah/I’tidal), syariat Islam mengakui hak-hak pribadi dengan batas-batas tertentu. Hukum Islam menentukan keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi.

2. Implementasi Akad Wakalah Dalam Pembelian Hunian di Bank BTN Syariah Makassar

1. Analisis Akad yang diterapkan pada Bank BTN Syariah Makassar dalam Pembelian Hunian

Wakalah merupakan salah satu perjanjian perwakilan, penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat (power of attorney) dengan kata lain akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak ke pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Lembaga keuangan syariah mengharuskan dalam praktek Wākalah, muwakil (nasabah atau investor), wakil (bank), dan taukil (obyek atau wewenang yang diwakilkan).

“Dalam pembelian hunian di Bank BTN Syariah diberlakukan 2 akad yakni akad

Murabahah dan akad Wākalah. Kalau akad murabahah jelas perjanjian jual-beli.

Sedangkan akad Wākalah adalah bentuk perwakilan dari pihak bank untuk mencarikan hunian yang diinginkan Nasabah”.6

6 Muhammad Akbar Wahid, Pihak Bank, PT. Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara,

(6)

Keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pada Bank BTN Syariah terdapat 2 macam akad, yaitu Akad Murabahah berfungsi sebagai akad Jual-beli, dan akad Wākalah berfungsi sebagai akad perwakilan.

“Akad Wākalah adalah Akad penunjang yang berfungsi untuk memberikan hak kepada bank untuk mewakili nasabah untuk membeli kepada pihak pengembang. Akad Murabahah sebagai akad penjualan rumah secara tunai ataupun cicilan kepada nasabah.”7

Akad ini bisa disebut juga dengan Murabahah bil Wākalah. Murabahah bil Wākalah adalah Jual beli dengan sistem Wākalah. Dalam sistem ini pihak penjual mewakilkan pembeliannya kepada nasabah, dengan demikian akad pertama adalah akad Wākalah, berakhirnya Akad Wākalah yang ditandai dengan penyerahan barang dari nasabah ke Lembaga Keuangan Syariah kemudian lembaga memberikan akad murabahah.

Sesuai dengan ketentuan fatwa DSN-MUI No:04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 1 ayat 9 “jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.”8

“Pihak Bank BTN Syariah Menjelaskan tentang persyaratan, proses, biaya-biaya, dan jangka waktu angsurannya mengenai Akad”9

Dalam hal ini uang muka atau DP pada Bank BTN Syariah itu tergantung harga rumahnya misalkan Rp. 300.000.000,- maka uang muka 10% dari harga rumah tersebut. Kebanyakan rumah bersubsidi sekarang harganya Rp. 136.000.000,- maka uang mukanya 5% yaitu Rp.6.800.000,- mengenai margin keuntungan Akad KPR yang berlaku pada ditentukan dari kesepakatan kedua belah pihak dan jangka waktu angsuran.

“Kalau Saya itu angsurannya tiap bulan tetap dari awal penandatangan berkas dan penyerahan barang. Bagus sekali ini karena tidak berubah-berubah bayarannya” Pelaksanaan akad pembiayaan murabahah KPR Syariah pada Bank BTN Syariah adalah Tahapan-tahapan yang dilalui oleh kedua pihak dalam akad ini guna berlangsungnya pembiayaan murabahah perumahan yang diberikan oleh bank kepada nasabah. Akad yang terbentuk tersebut harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan.

Pelaksanaan pembiayaan murabahah perumahan (KPR Syariah) pada Bank BTN Syariah diatur dan dilaksanakan menurut ketentuan dan persyaratan sebagai berikut:10 a. Nasabah membutuhkan rumah dan meminta kepada Bank untuk memberikan

pembiayaan murabahah untuk pembelian rumah.

b. Bank bersedia menjual rumah dan menyediakan pembiayaan murabahah sesuai dengan permohonan nasabah.

c. Nasabah bersedia membayar harga jual sesuai akad, dan harga jual yang tidak dapat berubah selama akad.

d. Bank mewakilkan secara penuh kepada nasabah untuk membeli dan menerima rumah dari pengembang/pemasok secara langsung serta memberi hak melakukan pembuatan akta jual-beli untuk dan atas nama nasabah sendiri sebagai wakil bank.

7 Muhammad Akbar Wahid, Pihak Bank, PT. Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara,

Makassar,11 Oktober 2018.

8

DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI No:04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, h.4.

9

Faida, Nasabah Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara, Gowa, 20 November 2018.

10 Ketentuan dan persyaratan pelaksanaan diambil dari Akad Pembiayaan Murabahah KPR BTN

(7)

e. Setelah bank secara prinsip memiliki barang murabahah selanjutnya dilaksanakan penandatanganan akad pembiayaan murabahah antara bank dan nasabah.

f. Nasabah menyerahkan kepada Bank BTN Syariah seluruh dokumen yang disyaratkan bank, tetapi tidak terbatas pada diri nasabah, dokumen kepemilikan jaminan dan atau surat lainnya yang berkaitan dengan akad ini.

g. Guna menjamin pembayaran kembali utang murabahah, nasabah wajib menyerahkan rumah yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan murabahah sebagai jaminan.

h. Menyetorkan uang muka pembelian dan atau biaya-biaya yang disyaratkan oleh bank. Uang muka tersebut menjadi bagian pelunasan utang murabahah apabila pembiayaan

murabahah dilaksanakan. Apabila nasabah membatalkan akad ini, maka uang

dikembalikan kepada nasabah dikurangi dengan kerugian atau biaya yang telah dikeluarkan oleh bank dan bank dapat meminta tambahan kepada nasabah.

i. Kewajiban angsuran yang tidak dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran merupakan tunggakan angsuran. Atas tunggakan dikenakan denda sebesar presentase yang telah disepakati dalam akad atas angsuran yang tertunggak perhitungan sejak jatuh tempo pembayaran angsuran sampai saat dimana seluruh tunggakan dilunasi.

Dari penjelasan di atas yang patut diperhatikan dalam pembiayaan KPR Perumahan BTN Syariah ini ada 3 tahapan akad, pertama Akad Wākalah, kedua akad murabahah dengan sistem tunai dan ketiga akad murabahah dengan sistem pembayaran cicilan.

Dalam Pasal 475 sampai Pasal 491 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah mengatur tentang Pemberian Kuasa untuk Pembelian. Berdasarkan hasil wawancara penelitian dan kompilasi hukum ekonomi syariah dapat disimpulkan bahwa pada Bank BTN Syariah menggunakan Akad Wākalah dapat dilihat dengan proses yang dijelaskan. Dan Akad Murabahah dilakukan setelah Akad Wākalah berakhir.

Di dalam ketentuan hukum Islam jangka waktu penandatanganan akad antara

Wākalah dan Murabahah terjadi tenggang waktu satu minggu, alasannya adanya jangka

waktu ini karena Wākalah tidak bisa terjadi jika belum ada kesepakatan antara nasabah dan bank sebagai penerima kuasa untuk membelikan sebuah barang yang disepakati oleh kedua belah pihak dan adanya penambahan harga untuk penentuan margin/bagi hasil.

Rukun dan Syarat Akad Wākalah pada Bank BTN Syariah Mengenai Rukun dan Syarat pada akad Wākalah pada Bank BTN Syariah.

a. Adanya Al-Aqidain (Subjek Perikatan) adalah para pihak yang melakukan akad. Pada Bank BTN Syariah sudah jelas bahwa orang yang melakukan akad adalah Nasabah dengan pihak Bank BTN Syariah. Syarat dari seseorang yang melakukan akad adalah

mukallaf (orang yang telah mampu bertindak secara hukum) yang menjadi ukuran

adalah orang yang telah baliq dan berakal sehat.

b. Mahallul’Aqd (Objek Perikatan) yaitu objek akad, bentuk objek perikatan bisa benda

bergerak ataupun benda yang tidak bergerak. Dalam hal ini yang menjadi objek akad adalah rumah yang dibiayai oleh bank kepada nasabah.

c. Ijab-Qabul (Sighat al-Aqd) Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama untuk

melakukan atau tidak melakukan. Qabul suatu pernyataan menerima dari pihak kedua. Dalam akad ini dilakukan secara lisan dan tulisan. Lisan berarti bahwa para pihak yang akan melakukan penandatanganan akad, harus hadir serta berada satu majelis/tempat dan waktu yang sama untuk mengungkapkan kehendak masing-masing. Tulisan berarti bahwa pengungkapan kehendak untuk bekerjasama juga dilakukan dengan membuat suatu perjanjian tertulis. Maka terciptalah kejelasan dan

(8)

kepastian mengenai Ijab dan Qabul dan juga terdapat kerelaan masing-masing pihak dalam melakukan akad dapat terlihat.

Ada pula ketentuan umum dalam Pembelian Hunian yang diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Murabahah yaitu sebagai berikut:

a) Jaminan

Dalam fatwa DSN ini jaminan murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya dan bank juga meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

b) Utang dalam murabahah

1) Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam tansaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya pada bank.

2) Jika nasabah menjual barang sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

c) Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1) Nasabah memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. 2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu

pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. d) Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup, atau berdasarkan kesepakatan. 2. Upaya Penyelamatan Terhadap Nasabah Pembelian Hunian yang Bermasalah.

Penyelamatan pembiayaan (restrukturisasi pembiayaan) adalah istilah teknis yang biasa dipergunakan dari kalangan perbankan terhadap upaya dan langkah-langkah yang dilakukan bank dalam mengatasi pembiayaan bermasalah. Dalam suatu akad tidak dipungkiri akan ada masalah yang dapat terjadi, sedangkan dalam akad ini yang penulis olah dari pihak nasabah. Pihak bank memberikan solusi.

“Pihak bank bertanya dulu kendala yang dihadapi nasabah ini seperti apa. Misalnya dia sudah tidak mampu karena penghasilannya yang kurang dari awal kalau nasabah sudah dapat KPR, bank sudah menghitung penghasilannya berapa, pengeluarannya berapa, dan angsurannya berapa. Itu diyakini bahwa kalau nasabah tidak ada penurunan penghasilan maka nasabah bisa membayar. Kalau ternyata dalam perjalanan KPR ini nasabah ada masalah dalam artian penghasilannya berkurang atau nasabah sudah tidak berpenghasilan lagi. Maka bank memberikan solusi sebagai berikut:”11

1) Bank mengajukan perpanjangan jangka waktu dan/atau penundaan pembayaran beberapa bulan. Tapi setelah itu diharapkan kepada nasabah sudah memiliki pekerjaan baru. Ada juga perpanjangan jangka waktu itu nasabah masih memiliki pekerjaan tapi penghasilannya turun. Misalnya penghasilan nasabah dulu Rp.2.000.000,- sampai Rp.

11 Muhammad Akbar Wahid, Pihak Bank, PT. Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara,

(9)

3.000.000,- tapi sekarang penghasilannya hanya Rp. 1.000.000,- secara hitungankan nasabah ada biaya hidup secara tidak langsung nasabah tidak bisa membayar angsuran dengan nominal yang sama pada saat awal. Maka itu bisa diperpanjang selama syarat-syaratnya memenuhi. Seperti usia masih memenuhi dan masih punya penghasilan walaupun sudah berkurang nilainya.12

2) Lelang, pihak bank menawarkan kepada nasabah untuk ikut lelang. Bisa melalui balai lelang yaitu KPKNL dari pemerintah. Nasabah mengikuti lelang kalau sudah lelang untuk menutupi dan melunasi KPR di Bank BTN Syariah dan selebihnya bisa diambil oleh nasabah yang memiliki rumah yang dilelang.13 Misalnya nasabah mengikuti lelang, dan mendapatkan harga dari hasil penjualan tersebut tidak sepenuhnya milik bank yang menyalurkan pembiayaan. Tetapi, dari hasil penjualan tersebut bank hanya mengambil berdasarkan sisa harga pokok yang mesti dibayarkan nasabah kepada bank. Apabila rumah tersebut dijual dengan harga lebih tinggi melebihi harga pokok, maka sisa dari penjual tersebut tetap menjadi hak milik nasabah. Sedangkan jika penjual rumah tersebut lebih rendah dari harga pokok, maka sisa pembiayaan tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara pihak bank dan nasabah.”

Mengenai cara yang diberikan oleh bank terdapat pada peraturan Bank Indonesia yang berlaku bagi BUS dan UUS dalam melakukan penyelamatan pembiayaan yang bermasalah, yaitu:

1. Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Restukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011 pada tanggal 8 Februari 2011.

2. Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana telah diubah dengan SEBI No. 13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011.

Penyelesaian non Litigasi tersebut bertujuan agar nasabah yang mengalami pembiayaan macet dapat merelakan jaminannya untuk dijual guna menutupi pembiayaan yang tidak sanggup dibayar.

Terjemahannya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Penerapan ayat surat Al Baqarah ayat 280 menjelaskan dalam penanggulangan atau penyelamatan pembiayaan macet yang ada pada Bank BTN Syariah menunjukkan bahwa secara sistematis dan teoritis sudah sesuai dengan syariat islam yaitu memberikan

12

Muhammad Akbar Wahid, Pihak Bank, PT. Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara

Makassar,11 Oktober 2018.

13 Muhammad Akbar Wahid, Pihak Bank, PT. Bank BTN Syariah Makassar. Wawancara,

(10)

kelapangan atau kemudahan bagi Nasabah yang akan mengembalikan sisa pembayaran pembiayaan yang telah disepakati.

Berdasarkan hadits dijelaskan bersikap tolong menolong dan membantu melepaskan kesusahan dan kesulitan yang diterima orang lain termasuk akhlak muliah atau terpuji. Rasullah SAW bersabda: “Barang Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahanya di hari kiamat” (HR. Muslim).

D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis mengambil kesimpulan:

1. Konsep Wākalah dalam Hukum Ekonomi Syariah itu dilihat dari akad yang ingin diajukan ke Bank. Seperti al-Wākalah bi al-Ujrah, Transfer, Letter of Credit (L/C)

Import Syariah dan Letter Of Credit (L/C) Eksport Syariah. Prinsip Hukum

Ekonomi Syariah Mengenai Wākalah. Dalam hal ini Penulis melihat bahwa Akad

Wākalah dalam pembelian hunian sudah sesuai dengan Prinsip Hukum Ekonomi

Syariah.

2. Pelaksanaan Akad Wākalah dalam Pembelian Hunian sudah sesuai dengan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah. Ketika penerapan Sistem pembelian hunian bisa diliat dari aspek akad, uang muka dan iuran perbulan. Sebab akad pada pembiayaan telah jelas akadnya dengan akad Murabahah bi al Wākalah. pihak penjual mewakilkan nasabah dalam pembelian Hunian, dengan demikian akad Pertama adalah akad

Wākalah, berakhirnya Akad Wākalah yang ditandai dengan penyerahan barang ke

Nasabah dan kemudian lembaga memberikan akad murabahah. Nasabah membayar secara angsuran kepada bank dengan marjin keuntungan yang telah disepakati antara nasabah dan pihak bank.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Al- Qalyishy, Ali Ahmad. Fiqh Al- Muamalat al Maliyah Fi Syariah Al Islam.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2009.

Basyir, Ahmad Azhar. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Dalam Beberapa Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: P3EI-FE-UII. Tiara Wacana, 1992.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk. Ensiklopedia Hukum Islam, 1996.

Dewi, Gemala et al. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum UI dan Prenada Media, 2018.

Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ismail. Perbankan syariah, Jakarta: Kencana, 2017.

Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Marathon, Said Sa’ad. Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zkrul Hakim, 2004.

Nasution, M. Yasir. Ekonomi Islam Pada Millenium Ketiga, Dalam Prospek Bank Syariah Pada Millenium Ketiga, Peluang dan Tantangan. Medan: IAIN Sumatera Utara, 2002.

Perwataatmadja, Karnaen. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Jakarta: Dana Bhakti, 1999. Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju, 2012. Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam Dan Kedudukannya dalam Tata Hukum

Perbankan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2012.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskipsi dan Ilustrasi. Jakarta: Ekonisia, 2004.

Suhendi, Hendi. FiqhMuamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BUMI dan Takaful). Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996.

Supramono, Gatot. Perbankan dan MasalahKredit. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Wirdyaningsih. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sistem informasi keluar masuk gabah dengan algoritma FIFO (First In First Out) menggunakan Visual Basic 2010 di Gudang

tentang materi menjelaskan pengertian komunikasi interpersonal dan menjelaskan asas-asas komunikasi interpersonal; dosen membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok,

Diantara pemikirannya adalah mengenai konsep falah, hayyah thayyibah, dan tantangan ekonomi umat Islam, kebijakan moneter, lembaga keuangan syariah yang lebih ditekankan kepada

Dalam hal ini, BPRS harus dapat mengatur strategi promosi yang baik agar dapat mempengaruhi minat masyarakat untuk menabung di BPRS.BPRS juga harus mampu memperkenalkan

◦ Kegiatan PPL yang telah dilaksanakan oleh praktikan di SMA Negeri 1 Pakem berjalan dengan lancar dan baik, sehingga telah memberikan pengalaman, menjadi seorang guru atau tenaga

Di Indonesia, perbanyakan tanaman dengan teknik okulasi dini belum banyak diterapkan di lapangan. Ada beberapa alasan mengapa perbanyakan tanaman dengan teknik okulasi

Alasan penulis merancang kampanye digital sebagai media promosi Sanggar Anak Alam karena konsep atau sistem pendidikan yang diterapkan oleh Sanggar Anak Alam

Produk yang diharapkan akan dihasilkan melalui penelitian pengembangan berupa model sarana pembelajaran atletik alat lempar cakram melalui modifikasi ukuran berat,