• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01722

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01722"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

PARENTING CLASS BAGI ORANG TUA BERPENDIDIKAN

RENDAH DALAM PENGASUHAN ANAK DI DESA

Ratriana Yuliastuti E.Kusumiati. M.Si., Psi. Wahyuni Kristinawati, M.Si., Psi.

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola pengasuhan (parenting) pada orang tua berpendidikan rendah dengan metode pengumpulan data berupa diskusi kelompok terarah. Subjek adalah 20 pasang suami istri yang memiliki anak usia 7 bulan – 13 tahun, berpendidikan maksimal SMP, dan tinggal di dusun Kopeng, desa Kopen, Kecamatan Geasan, Kab. Semarang. Berdasar data diketahuia bahwa keterbatasan pendidikan orang tua berpotensi menjadi kendala dalam pola pengasuhan. Responsivitas dan kontrol orang tua cenderung menekankan pengembangan aspek perkembangan yang sifatnya konkrit, yaitu perkembangan fisik dan perkembangan sosial, sementara perkembangan emosi dan kognitif masih belum memperoleh perhatian yang memadai. Bentuk-bentuk respon juga masih miskin oleh keterbatasan wawassan dan pengetahuan orang tua. Budaya di desa memberi keuntungan dalam pengembangan aspek sosial karena sejak kecil turut menghidupi budaya kolektivism dalam hal saling menolong.

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(2)

2 yaitu: Perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan emosi-kepribadian, dan perkembangan psikososial.

Pada masyarakat desa, menjadi orang tua yang trampil memiliki tantangan yang berbeda dari orang tua di kota. Di Kopeng, misalnya, sebuah desa di Kabupaten Semarang ini, sekitar 80% penduduknya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (profil desa Kopeng, 2008). Keterbatasan pendidikan ini diduga memiliki pengaruh terhadap cara masyarakat melaksanakan fungsi berorang tua (parenting). Selain kemampuan mereka yang masih sederhana, keterbatasan akses membuat orang tua kurang trampil mengevaluasi gaya pengasuhan yang mereka terapkan. Di sisi lain orang tua dari kelompok sosial bawah (termasuk mereka dengan pendidikan rendah) memiliki ambisi untuk mendorong anak-anak bersekolah lebih tinggi dari mereka sendiri. Hal ini membuat anak-anak dari orang tua berpendidikan rendah dituntut mengadopsi nilai dan perilaku yang berbeda dari yang mereka lihat pada orang tua (Lamanna dan Riedmann, 1994).

Uraian di atas mengindikasikan bahwa upaya mendorong pola parenting yang adekuat selalu menjadi tindakan penting yang layak diperhitungkan, suatu lompatan yang terpenting dalam kehidupan anak-anak kita, dan jika upaya ini dikerjakan, evaluasi atas efektivitas usaha itu merupakan kunci utama dalam rangka memperoleh tinjauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menemukan metode yang sehat bagi anak dalam proses parenting adalah upaya yang memerlukan waktu,biaya, dan energi cukup besar sekaligus bernilai guna tinggi. Karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti tentang Efektivitas Parenting Class Bagi Orangtua Berpendidikan Rendah dalam Pengasuhan Anak di Desa.

B. Tujuan Khusus

1. Memperoleh gambaran pola pengasuhan orang tua berpendidikan rendash di desa. 2. Menerapkan ilmu psikologi dalam bentuk modul strategi parenting khususnya

(3)

3

C. Urgensi Penelitian

Penelitian ini memiliki urgensi bagi pengembangan institusi dan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan non formal bagi orangtua berpendidikan rendah . Adapun urgensi penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Memperkaya kajian ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan

psikologi keluarga.

2. Membekali orang tua berpendidikan rendah dalam hal pengasuhan anak yang meliputi: mengenali pola pengasuhan yang salah dan yang tepat, pengaruh relasi suami-istri dalam pembentukan perilaku anak, model-model modifikasi perilaku dalam pengasuhan sehari-hari.

3. Meningkatkan peran ayah dan ibu sebagai mitra sejajar dalam pengasuhan anak. 4. Menciptakan „agent of change’ dalam masyarakat desa terkait hal menjadi orang

tua yang bertanggung jawab.

BAB II. TINJAUAN

A. Psikologi Belajar

Belajar merupakan proses perubahan suatu rangkaian tingkah laku yang sifatnya menetap. Menurut Gunarsa (1981), pada dasarnya setiap anak mengalami dua proses belajar, yaitu:

1) Belajar melalui kondisioning, yaitu memberikan penguatan dan hukuman dalam proses pembentukan, penghilangan, atau modifikasi perilaku.

2) Belajar melalui pengamatan terhadap model-model perilaku di luar dirinya. Pihak yang menjadi model bisa berasal dari kelompok anak usia sebaya, guru, dan model yang intensif memaparkan contoh perilaku adalah orang tua.

(4)

4 keluarga, status sosial ekonomi, dan budaya setempat (Papalia, Olds, dan Feldman, 2004).

B. Parenting

Parenting (menjadi orang tua) adalah proses meningkatkan dan mendorong

perkembangan fisik, sosial, emosional, dan intelektual anak dari masa bayi hingga dewasa. Parenting menunjuk pada aktivitas mengasuh anak daripada hubungan biologikal (http://en.wikipedia.org/wiki/Parenting).

Menjadi orang tua merupakan suatu titik penting dalam perkembangan hidup. Ketergantungan anak yang baru lahir mampu mengubah individu dan mengubah hubungan relasional. Dalam proses ini, anak berkembang dan orang tua pun berkembang ((Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Kualitas interaksi antara orang tua dan anak akan menentukan kualitas anak baik secara fisik, sosial, dan emosional anak; sekaligus juga berpengaruh pada kepuasan pernikahan suami dan istri.

C. Dimensi- Dimensi Parenting

Dimensi pola asuh menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) terdiri dari 2 dimensi yaitu responsiveness dan demandingness. Dimensi responsiveness mengacu pada derajat atau kadar orangtua dalam memperhatikan kebutuhan dalam suatu bentuk atau cara penerimaan, dukungan, kehangatan dan dorongan. Adapun dimensi demandingness mengacu pada pola orangtua dalam mengontrol perilaku anak untuk mencapai perilaku yang diharapkan, kematangan dan perilaku tanggung jawab. Keseimbangan antara dua dimensi tersebut menghasilkan pengaruh positif terhadap perkembangan anak hingga dewasa.

D. Aspek Perkembangan Anak

Aspek perkembangan pada anak meliputi perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognitif (intelektual) dan perkembangan psikososial.

1. Perkembangan Fisik

(5)

5 anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus, keduanya berkembang sesuai usia anak. Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan melompat termasuk contoh perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya. Adapun perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting, dan menyusun balok termasuk contoh gerakan motorik halus.

2. Perkembangan Emosi

Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.

3. Perkembangan Kognitif

Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara.

4. Perkembangan Sosial

(6)

6 Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dapat memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut berkembang secara seimbang. Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memerhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.

E. Krisis Keluarga dan Kemampuan Adaptasi

Berkeluarga tentu tidak lepas dari permasalahan dan keterbatasan. Berbagai jenis masalah ini menimbulkan krisis bagi keluarga. Di Indonesia, semakin banyaknya jumah orang miskin mengindikasikan semakin banyak pula keluarga yang menghadapi persoalan. Sumber stress dan kesulitan hidup menuntut orang tua dan anggota keluarga untuk mengatasinya. Keluarga yang memandang masalah sebagai akibat kesalahan mereka sendiri akan merasa lebih menderita daripada keluarga yang berpandangan bahwa masalah yang terjadi berasal dari luar dirinya.

Keterbatasan pendidikan orang tua merupakan salah satu sumber krisis potensial keluarga. Yang terpenting adalah reaksi orang tua terhadap krisis yang terjadi dan bagaimana orang tua mampu beradaptasi. Keluarga yang mampu mengatasi masalah yang dihadapi adalah keluarga yang kuat, di mana satu anggota saling memberi dukungan dengan anggota yang lain. Sebaliknya keluarga yang lemah akan lebih rentan terhadap akibat yang tidak menguntungkan jika menghadapi kejadian pemicu krisis (Lamanna dan Riedmann, 1994). Orang tua pada keluarga lemah ini memiliki potensi menerapkan pola asuh yang keliru. Jika perlakuan orang tua pada anak keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak (Ramadhan dalam http://tarmizi.wordpress.com/2009).

F. Parenting pada Orang Tua Berpendidikan Rendah

(7)

7 mampu menggunakan penalaran dan semakin fleksibel dan memegang komitmen dan tata nilai yang dipilihnya secara bebas.

Menurut Lamanna dan Riedmann (1994) orang tua dengan status sosial rendah memperoleh pendapatan dan jaminan kehidupan yang tergantung pada pemberi kerja. Pada orang tua status social rendah, masalah ekonomi dan penggunaan waktu lebih banyak dihadapi sekalipun suami dan istri keduanya bekerja. LeMaster dan DeFrain (dalam Lamanna dan Riedmann, 1994) menyatakan bahwa masalah pada orang tua ini bahwa lebih buruk oleh keinginan untuk memenuhi standard hidup yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan uraian sebelumnya, pendidikan rendah memberi peluang lebih besar bagi orang tua untuk menerapkan pengasuhan yang keliru terkait keterbatasan wawasan dan akses informasi.

Selanjutnya orang tua dengan status social rendah memiliki ambisi untuk mengupayakan pendidikan anak yang lebih tinggi dari mereka. Hal ini membuat anak mengadopsi nilai dan perilaku yang berbeda: masa kecil orang tua semula memiliki banyak waktu luang, sedangkan saat ini anak dituntut memenuhi tujuan orang tua. Perubahan ini juga mampu menjadi potensi masalah antar generasi dalam keluarga.

Fungsi keluarga untuk bereproduksi, memberi dukungan ekonomi, dan memberikan keamanan emosi bagi anggotanya memang lebih dimungkinkan pada keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah di mana umumnya memiliki orang tua dengan pendidikan yang memadai (paling tidak melewati syarat pendidikan dasar). Oleh karena itu diperlukan adanya dukungan bagi orang tua berpendidikan rendah untuk memiliki wawasan yang lebih baik dari sebelumnya khususnya terkait bagaimana mendidik anak yang efektif.

.

B. Roadmap Penelitian

(8)

8 dilakukan sebagai bentuk pengabdian masyarakat dengan pengembangan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa, tanpa dilakukan evaluasi yang berkesinambungan.

Kami melihat bahwa kebutuhan masyarakat tentang bagaimana memberi pengasuhan yang sesuai dengan tumbuh kembang anak di era globalisasi ini semakin diperlukan khususnya pada kelompok masyarakat desa dengan pendidikan yang rendah. Hal ini merupakan bentuk pemberdayaan orang tua, masyarakat dalam rangka mempersiapkan masa depan anak. Materi parenting class ini disusun berdasar kajian teoritik, pelatihan dan pengalaman penanganan kasus anak, serta pertemuan-pertemuan bersama orang tua. Jika dapat diperoleh data empiris tentang efektivitas materi dan metode pelatihan parenting pada kelompok sasaran ini, maka replikasi sosialisasi parenting pada kelompok orang tua pendidikan rendah sebagai kelompok berisiko akan semakin terfokus dan tepat sasaran.

Disain tersebut memberi kesempatan orang tua berpartisipasi dalam parenting class sehingga akan terbuka wawasan orang tua dalam pengasuhan anak

di rumah dan mengopimalkan keberfungsian keluarga. Dengan mengikuti parenting class, orang tua memiliki kesempatan mengevaluasi pola pengasuhannya selama ini,

mengembangkan pola baru yang lebih positif, sehingga mampu mengantisipasi munculnya permasalahan dalam keluarga.

Kami yakin usaha ini berdampak pada deteksi dini gangguan perkembangan pada anak dan meningkatnya komunikasi antara guru dan orang tua untuk mengantisipasi kesulitan belajar pada anak. Dengan demikian potensi terjadinya masalah dalam perkembangan anak dapat diminimalisir. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang memperoleh bekal dari parenting class memiliki kualitas hidup yang lebih baik sehingga secara ekonomi maupun sosial ia lebih mampu menjadi individu yang bertanggung jawab.. Berbagai masalah remaja (narkoba, hubungan seksual pra dan ekstra marital, konsumsi minuman keras) dan gangguan perkembangan dapat diatisipasi dan dideteksi lebih dini.

(9)

9 model orang tua yang menerapkan pengasuhan yang relatif lebih sehat dalam komunitasnya.

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Ruang lingkup

Desa Kopeng adalah sebuah desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang dengan luas wilayah 136,20 ha. Desa Kopeng bukan sebuah desa yang terisolasi di mana jarak desa dengan ibukota kecamatan adalah 3 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Beberapa pusat fasilitasi umum (puskesmas, bidan, sekolah dasar dan sekolah menengah) dapat dijangkau masyarakat dengan cukup cepat. Berikut lokasi desa Kopeng dalam peta Jawa Tengah:

Sebagian besar penduduk di desa Kopeng mengandalkan pertanian dan peternakan sebagai mata pencarian utama. Menurut data Profil Desa Kopeng tahun 2008, terdapat 6.186 jiwa penduduk desa kopeng dengan + 40% diantaranya bekerja di sektor pertanian tanaman pangan dan +21% bekerja di sektor peternakan.

Berdasar sumber data yang sama diketahui bahwa kualitas penduduk berdasar tingkat pendidikan masih sangat rendah. Penduduk usia dewasa di desa Kopeng didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (80,7%) dan diikuti tamatan Sekolah Menengah Pertama (10,7%). Sebagian lainnya tersebar dengan tingkat pendidikan

(10)

10 Sekolah Menengah Atas hingga Sarjana, dan masih ada 2,5 % penduduk yang buta aksara.

B. Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 20 pasang orang tua sehingga total subjek adalah 40 orang. Kriteria subjek penelitian sebagai berikut:

1. Berpendidikan maksimal SMP.

2. Memiliki anak berusia maksimal 12 tahun. 3. Anak, ibu, dan ayah tinggal di rumah yang sama.

C. Disain Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah parenting (pola pengasuhan orang tua) terdiri dari 2 dimensi yaitu responsiveness dan demandingness dalam empat aspek perkembangan anak yang dilakukan oleh ayah, ibu, dan ayah-ibu secara bersama-sama. Data pola pengasuhan dilakukan dalam parenting class yang direncanakan dilakukan dalam 10 kali tatap muka ( empat kali tatap muka bersama ibu, empat tatap muka bersama ayah, dan dua kali tatap muka bersama-sama). Sebelum pertemuan pertama terlebih dahulu dilakukan pembicaraan informal dengan Kepala Dusun Kopeng. Metode yang digunakan adalah bentuk diskusi kelompok terarah yang dipimpin seorang fasilitator pada tiap kelompok dan dua orang pencatat proses.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif berdasar catatan proses yang dilakukan dalam kegiatan diskusi kelompok terarah.

D. Disain Analisis Data

(11)

11

BAB IV. ANALISA DATA

A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 40 orang tua (20 pasang suami istri) berusia 20-40 orang berpendidikan maksimal SMP atau sederajat. Mereka memiliki 1-2 anak yang saat ini dalam range usia 7 bulan – 13 tahun. Sebagian besar subjek bekerja sebagai petani dan/atau peternak sapi, dan satu orang sebagai bidan sapi. Terdapat satu pasang suami istri yang bekerja di bidang seni: istri sebagai penyanyi, suami seorang penari. Seluruh subjek adalah warga Dusun Kopeng Desa Kopeng Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.

Pemilihan subjek diserahkan kepada Kepala Dusun Kopeng Desa Kopeng berdasar kriteria yang ditetapkan peneliti sebelumnya. Sebagai pengganti atas waktu dan keikutsertaan dalam penelitian ini, subjek memperoleh reward berupa training kit (tas, buku, dan alat tulis), lauk pada setiap pertemuan, dan beberapa hadiah kecil dalam forum diskusi.

Dalam observasi ditemukan bahwa terdapat variasi dalam hal tingkat partisipasi subjek. Ada yang berperan sebagai penghangat suasana, partisipasi aktif, dan ada pula yang memerlukan dorongan untuk berbicara di depan umum. Pada kelompok ibu, 16 orang dari 20 ibu hadir penuh, dan 11 dari 20 ayah hadir di setiap pertemuan. Terdapat satu ibu yang dua kali absen dari pertemuan karena selain ibu rumah tangga, ia memenuhi undangan sebagai penyanyi panggilan; sementara pada kelompok ayah, taerdapat dua orang yang hanya datang satu kali dalam seluruh pertemuan.

B. Pola Pengasuhan Ayah Berdasar Aspek Perkembangan Anak

1. Perkembangan Fisik

National Parent Teacher Asosiation (2002) yang mendasarkan hasil-hasil

penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio-emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan (http://exc09dharmautomo.wordpress.com/ 2009/ 06/25/peran-ayah-dalam-kepribadian-anak/).

(12)

12 kasar, nampak bahwa sebagian besar ayah dapat memahami bahwa anak adalah individu yang mengalami pertumbuhan pesat terutama di masa bayi dan kanak-kanak awal.

Dalam mengasuh anak terutama berkaitan dengan pertumbuhan fisik, ayah berusaha memahami anak dengan memberi dorongan dan dukungan agar anak berani untuk bertumbuh seperti melakukan kegiatan yang melibatkan kemampuan fisik baik motorik halus maupun kasar. Jika anak mulai senang melempar-lempar, ayah berusaha melibatkan diri tetapi ketika mulai membahayakan, cenderung akan diarahkan dengan kegiatan yang lain sebagai pengganti. Demikian pula ketika anak mulai suka menggunting maka ayah akan berusaha untuk mengawasi dan mengarahkan. Ketika melakukan sesuatu yang dianggap berbahaya, seperti bermain api maka ayah cenderung melarang dan mengajak anak untuk bermain sesuatu yang lain yang dianggap tidak mengandung resiko membahayakan.

Dari ke duapuluh subjek penelitian, mereka berusaha untuk melibatkan diri terutama dalam kegiatan yang melibatkan permainan-permainan fisik karena bagi sebagian besar ayah, hal itulah yang dapat dilakukan dibandingkan jika melakukan kegiatan yang lebih bersifat merawat seperti menyuapi, menggendong, memandikan dimana hal ini lebih banyak dilakukan oleh kaum ibu. Hal ini senada dengan pendapat dari Santrock (2002) yang mengatakan bahwa ayah lebih sering melibatkan diri dengan anak dalam kegiatan yang bersifat fisik seperti berguling-guling, bermain bola. Ada kecenderungan para Subjek masih membedakan antara hal yang umumnya dilakukan ibu dan umumnya dilakukan ayah dalam mengasuh anak karena mereka beranggapan bahwa ayah lebih banyak berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.

2. Perkembangan Kognitif

(13)

13 Pada umumnya, para ayah memberikan motivasi berupa “iming-iming” hadiah jika anaknya naik kelas atau memiliki prestasi belajar yang baik. Ada juga ayah yang menakut-nakuti anak dengan mengatakan bahwa ia akan segera disusul adiknya jika tidak naik kelas. Umumnya ayah tidak terlalu mempermasalahkan nilai yang diperoleh asal mereka dapat naik kelas.

Kesulitan yang dialami adalah adanya kendala anak kurang memiliki motivasi belajar dan lebih senang menonton televisi. Para ayah mengalami kesulitan untuk mendorong anaknya belajar karena mereka sendiri juga kurang memahami bagaimana cara membuat anak dapat tekun belajar. Mereka juga jarang membacakan cerita atau mendongeng sehingga anak kurang memiliki kebiasaan membaca. Ada beberapa ayah yang berusaha memanfaatkan kesenangan anak menonton televisi dengan mendampingi mereka dan memberikan penjelasan maupun belajar bersama melalui acara televisi yang mereka tonton.

Berdasar hasil diskusi diketahui bahwa anak lebih sering dibelikan mainan daripada buku bacaan, hanya sedikit ayah yang membelikan buku bacaan untuk anak. Adapun mainan yang diberikan juga terbatas pada mainan yang disukai anak tetapi ada juga ayah yang berusaha memanfaatkan alat-alat sederhana untuk belajar seperti misalnya karet gelang atau kelereng untuk belajar berhitung.

Inisiatif dari ayah untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak terlihat masih kurang karena mereka merasa kurang memiliki kemampuan dalam hal itu dan motivasi untuk membuat anak bisa mencapa prestasi yang optimal juga rendah.

3. Perkembangan Emosi

(14)

14 Ketika anak mengalami permasalahan atau perasaan tidak nyaman, sebagian besar ayah masih kurang dapat memberi tanggapan yang berkaitan dengan ekspresi emosi anak sehingga cenderung memberikan respon supaya anak segera diam, tidak menangis, atau bersabar.

Ketika berhubungan dengan anak, ayah cenderung lebih sering hanya menanyakan kegiatan anak sehari-hari dibandingkan menanyakan perasaan anak termasuk ketika anak menunjukkan raut sedih atau diam saja sepulang sekolah. Orangtua, dalam hal ini ayah kurang menggali perasaan yang dialami anak. Disisi lain ayah juga memahami bahwa mereka dapat menjadi model bagi anak dalam mengekspresikan emosinya kepada orang lain. Hal ini pulalah yang membuat beberapa ayah mengaku menyesal ketika mereka marah kepada anak-anak mereka sampai memukul dan membuat anak mereka bersedih.

4. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial anak, dimulai dengan relasi anak dalam keluarga lalu meluas kepada lingkungan disekitar, terutama teman-teman sebaya sebelum pada akhirnya mereka akan terjun bermasyarakat sebagai makhluk sosial. Pada pembahasan mengenai perkembangan sosial anak, diketahui bahwa para umumnya ayah berusaha untuk aktif di lingkungan agar anak juga dapat meniru terutama ketika kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan positif seperti misalnya kegiatan keagamaan.

Ayah juga berusaha mengetahui teman sepermainan anak dan mengetahui pula apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Pada umumnya orangtua (ayah) memberi kebebasan bagi anak untuk bermain kecuali bermain petasan dan kartu remi karena di daerah tersebut biasanya kartu remi digunakan untuk berjudi. Dalam berhubungan dengan orang lain, ayah memberi kebebasan kepada anak untuk bermain dengan siapa saja tanpa membedakan suku atau agama. Anak juga sering diajak mengikuti pertemuan atau kegiatan meski terkadang anak melakukan sesuatu yang dianggap mengganggu seperti memecahkan gelas atau membuat keributan.

(15)

15 dirinya mengalami kesulitan juga akan ada teman yang menolong. Pemahaman ayah terhadap perkembangan sosial anak bertujuan agar anak dapat menyesuaikan diri hidup di masyarakat.

C. Pola Pengasuhan Ibu Berdasar Aspek Perkembangan Anak

1. Perkembangan Fisik

Pola pengasuhan dalam aspek perkembangan fisik adalah aspek yang paling mendapat perhatian oleh para ibu, mungkin karena sifatnya yang konkrit dan kasat mata. Sebagian besar ibu mengupayakan pemberian ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi dan memberikan makanan bayi jika anak telah menginjak usia 6 bulan. Pada anak-anak yang aktif, saat mereka sudah mulai bermain keluar rumah, gerakan motorik kasar dikembangkan dengan baik karena geografis desa yang luas, banyaknya anak-anak dengan usia sebaya, dan orang tua sering membawa anak ke ladang. Perkembangan motorik halus tidak mendapat perhatian sebanyak perkembangan motorik kasar. Jika anak menggunakan gunting, sisir, dan benda stimulan motorik halus lainnya, hal itu lebih karena minta anak sendiri, bukan karena orang tua dengan sengaja hendak mengembangkan ketrampilan motorik halus anak.

Pembedaan jenis mainan masih didasarkan pada jenis kelamin anak, dan hingga akhir diskusi, pendapat ini masih dipertahankan. Anak laki-laki boleh bermain laying-layang, memanjat, dan semacmnya; sementara anak perempuan dianggap lebih baik jika tenang, bermain peran, atau jenis permainan yang tidak memerlukan kekuatan fisik. Ada kekawatiran bahwa perkembangan emosi anak dapat menyimpang jika mereka bermain dengan mainan yang dianggap tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

(16)

16

2. Perkembangan Kognitif

Keadaan sebagai ibu yang berpendidikan rendah membatasi ruang gerak ibu dalam mengembangkan perkembangan kognitif anak. Ibu merasa bahwa mereka tidak mampu memahami mata pelajaran yang dipelajari anak di sekolah.

Sejauh ini mengembangkan rasa ingin tahu anak secara kognitif masih dipahami ibu dalam batasan pengembangan kemampuan akademis. Adalah hal baru bagi ibu bahwa daya pikir anak dapat dikembangkan sejak usia sangat dini dan melalui peristiwa apapun di sekitarnya. Ibu-ibu yang lebih muda memiliki dorongan lebih kuat untuk memberi stimulasi pada anak seperti mengajarkan anak lagu, membimbing penggenalan huruf dan angka, dan membelikan buku mewarnai, namun pada ibu dengan anak yang lebih besar, interaksi untuk mengembangkan kemampuan berpikir lebih minimal. Buku cerita atau bacaan anak-anak tidak populer di kalangan para ibu. Selain karena kegiatan anak didominasi aktivitas fisik dan televisi, membeli buku bacaan dianggap merupakan pengeluaran ekstra. Hanya satu ibu yang mengatakan kerap membacakan buku cerita sebelum anak tidur.

3. Perkembangan Emosi

Pada saat diskusi dilakukan, para ibu belum memiliki pemahaman tentang makna emosi yang benar. Pemahaman mereka terbatas pada perkembangan emosi negatif (marah) sebagaimana penggunaan kata dalam pembicaraan sehari-hari.

Berdasar hasil diskusi diketahui bahwa respon emosi ibu terhadap anak sangat terbatas. Meskipun ekspresi emosi ibu lebih bebas terhadap anak daripada terhadap suaminya, misal dalam menyatakan kasih sayang, namun ibu masih minimal dalam mengemukakan respon emosi yang positif terhadap anak. Ibu lebih banyak menggali ingatan dan pengalaman fisik dalam suatu kejadian daripada menggali perasaan dan emosi anak terkait suatu peristiwa. Kritik masih lebih mendominasi relasi ibu dengan anak dibandingkan pujian dan dorongan.

(17)

17 bertengkar dengan suami di hadapan anak, tetapi lebih bnayak yang tidak berpendapat dengan hal itu. Namun secara umum para ibu menyetujui bahwa orang tua (termasuk ibu) dapat menjadi model bagi anak dalam mengekspresikan emosinya pada orang lain.

4. Perkembangan Sosial

Secara umum ibu mengetahui bagaimana mengembangkan kemampuan social anak. Sebagai masyarakat tradisional dengan budaya kolektivisme, sebagaimana ibu lainnya, responden terbiasa untuk terlibat dalam aktivitas social di desa. Hal ini juga mendorong anak untuk melakukan aktivitas (terutama bermain) bersama-sama dalam kelompok. Sebagian ibu terkesan berusaha berelasi dengan anak tetapi secara umum mereke menyetujui tema yang dingkat dalam pembicaraan dengan anak. Dalam pembicaraan yang dianggap tabu (Jawa: saru), ibu berpendapat bahwa pertanyaan anak tidak perlu dijawab dan lebih baik

dialihkan ke pembicaraan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tema-tema seksualitas tidak akan diangkat dalam pembicaraan anak dengan ibu, sehingga anak berpotensi mencari informasi dari sumber lain.

(18)

18 Ibu di rumah memegang peran sangat penting dalam hal pengasuhan anak. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam setiap sesi diskusi, anak selalu berdekatan dengan ibu, sementara saat ayah berdiskusi sangat jarang anak mendekati ayah. Pada orang tua dengan anak usia bayi (di bawah dua tahun), anak selalu bersama ibu. Saat anak menangis, ibu yang menemani dan mengalihkan perhatian anak. Hal ini sesuai dengan pengakuan subjek yang menyatakan bahwa anak adalah urusan ibu, ayah mencari nafkah. Saat diminta menyebutkan kuantifikasi, ibu menyatakan bahwa peran ayah sebesar 10-20% saja dalam perkembangan anak.

D. Pola Pengasuhan Anak pada Orang Tua Berpendidikan Rendah

Responsivitas (dimensi responsiveness) Subjek di Desa Kopeng cenderung menekankan pengembangan aspek perkembangan yang sifatnya konkrit. Respon para ibu dan ayah lebih banyak dilakukan pada aspek perkembangan fisik dan sosial (pergaulan) daripada pengembangan aspek emosi dan kognitif. Secara umum bentuk-bentuk respon juga masih miskin oleh keterbatasan pemahaman orang tua. Perkembangan emosi, misalnya, dimaknai sebagai emosi negatif saja.

Dalam hal kontrol terhadap pengembangan anak (dimensi demandingness) Subjek ayah maupun ibu lebih banyak memberikan nasihat kepada anak. Hal ini terjadi karena sebagian besar Subjek merasa tidak mampu memberi pendampingan langsung kepada anak. Kebutuhan pemberdayaan mereka sebagai orang tua, dalam hal ini perluasan wawasan dan informasi, sangat perlu dilakukan. Bagi orang tua dengan pendidikan rendah, aplaagi tinggal di desa, tantang untuk melakukan parenting yang efektif lebih terkendala karena wawasan yang terbatas akan turut membatasi kemampuan mengembangkan harapan yang jelas pada anak dan konsistensi untuk memberikan konsekuensi positif dan negative.

(19)

19 belum memberi perhatian pada kualitas aktivitas, meski baik ibu maupun ayah menyetujui bahwa keingintahuan yang besar di masa kanak-kanak sangat penting bagi perkembangan kognitif anak. Respon ibu masih terbatas pada anjuran untuk belajar. Sementara sebagian ibu mengandalkan ayah untuk mendampingi anak belajar, para ayah justru mengakui bahwa mereka lebih banyak sekedar memberikan nasihat karena keterbatasan waktu dan pengetahuan sehingga kurang dapat memberikan pendampingan dalam belajar.

Responsivitas dan kontrol dalam hal aspek perkembangan sosial berjalan cukup lancar. Lepas dari rendahnya tingkat pendidikan, pola kehidupan budaya desa yang menekankan kebersamaan memberi peran besar sehingga anak mendapatkan model-model dalam kehidupan berbagi dan saling menolong tanpa pamrih. Baik ibu maupun ayah juga memberi kebebasan anak bergaul dengan teman dari budaya, agama, dan status sosial yang berbeda. Namun ketidakadilan berespon pada anak sulung dan anak berikutnya diakui masih terjadi. Selanjutnya peran ibu (pekerjaan domestik) dan peran ayah (mencari nafkah) masih terpisahkan jelas. Hal ini juga membawa pengaruh dalam hal pengasuhan anak. Orang tua membuat pembedaan tajam antara apa yang seharusnya dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Pengasuhan androgini masih menjadi hal asing bagi Subjek. Ibu khususnya, masih menganggap bahwa tema yang „tabu‟ tidak perlu dibicarakan bersama anak, hal ini dapat berpotensi memunculkan permasalahan terkait tema yang sensitif, misalnya seksualitas.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

(20)

20 desa memberi keuntungan dalam pengembangan aspek sosial karena sejak kecil turut menghidupi budaya kolektivism dalam hal saling menolong.

B. Saran

1. Saran bagi Aparat Desa dan Pemerintah Daerah

Aparat dusun, aparat desa, dan pemerintah daerah hendaknya melakukan lebih banyak program pemberdayaan masyarakat sehingga anggota masyarakat berpendidikan rendah dapat mengejar ketertinggalannya. Akses informasi hendaknya didorong untuk dapat dinikmati seluruh anggota masyarakat, tua maupun muda. Diskusi pengasuhan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilanjutkan bagi kelompok orang tua lainnya.

2. Saran bagi Peneliti Selanjutnya

(21)

21

VI. DAFTAR PUSTAKA

Data Dasar Profil Desa Kopeng. (2008). Semarang: Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.

Gunarsa, S. (1981). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lamanna, M.A., dan Riedmann, A. (1994). Marriages and Families, Making Choices and Facing Change. California: Wadsworth Inc.

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2004). Human Development. Boston: McGraw Hill.

Patton, M. Q. (2006). Metode evaluasi kualitatif. (Budi Priyo Priyadi. Trans). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poerwandari, K. E. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ramadhan, T. Pola Asuh Orang Tua dalam Mengarahkan Perilaku Anak.

http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/26/pola-asuh-orang-tua-dalam-mengarahkan-perilaku-anak/. Diunduh 27 Maret 2009.

Sandjaja, S. Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Baca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stres Lingkungan. www.unika.ac.id/fakultas/psikologi/ss1-1.pdf). Diunduh 24 Maret 2009.

Santrock, W. J. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup jilid 2 Jakarta : Erlangga.

Utomo, D. (2002). Peran Ayah Dalam Keluarga: Ayah Adalah Seorang Pejuang yang patut dikasihi dan dicintai juga. Diunduh dari http://exc09

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tugas Akhir dengan judul “Analisis Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pembagian Deviden di Indonesia ( Studi empiris pada Industri Manufaktur yang terdaftar di

Apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan dalam penyusunan skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi dari pihak Fakultas. Bandung, 21

Waduk Cirata merupakan waduk yang juga digunakan untuk pembangkitan listrik terletak kurang lebih 51 km di hilir Waduk Saguling. Waduk Cirata dengan luas DAS 4.119 km 2 dan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tokoh dalam Dwilogi novel Padang Bulan dan novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata sudah

Lisa Marlina, M.Si Selaku dosen wali yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Maka seharusnya seorang muslim hendaknya beriman – dengan keimanan yang benar dan terlihat dampaknya pada anggota tubuh dan hati- dengan keadilan dan kemuliaanNya. Dan bahwa

Tujuan dalam kegiatan pengabdian ini adalah melatih penyusunan perangkat pembelajaran kurikulum 2013 di Madrasah Aliyah se-Kota Semarang dan memberikan pendampingan bagi

Selain itu, penelitian Prastiya (2016) memperlihatkan tingkat kepuasan pemustaka perlu untuk diukur dengan melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar manfaat