3
II. TELAAH PUSTAKA
Cherax quadricarinatus berasal dari family Parastacidae yang penyebarannya
berada di daerah Australia dan Irian. Beberapa jenis lobster yang berada di Australia
sudah mulai banyak dibudidayakan, diantaranya C. tenuimanus (marron), C.
destruktor (yabbie) dan C. quadricarinus (red claw) (Merrick, 1993). Lobster jantan
dewasa memiliki warna tubuh biru kehijauan dengan kedua capit yang berwarna
merah, oleh karena itu lobster ini disebut juga red claw (Belle dan Yeo, 2010).
Pemijahan lobster diawali dengan seleksi induk. Calon induk dipilih dari kolam
pembesaran yang memiliki pertumbuhan paling baik, tidak cacat dan tidak
berkelaminganda. Pemijahan terjadi pada malam hari, setelah pemijahan induk betina
akan bertelur dan melekatkan telur yang telah dibuahi pada kaki renang dibawah
perut. Menurut Susanto (2008), selama masa inkubasi telur C. quadricarinatus
mengalami empat kali perubahan warna yaitu hijau, kuning, coklat/maron kemudian
orange. Telur selanjutnya memasuki tahap embriogenesis hingga menetas menjadi
larva stadium satu. Masa inkubasi telur hingga menetas menjadi larva berlangsung
selama 26-32 hari pada suhu 25-27oC.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan
hewan air, seperti suhu, pH, kandungan oksigen terlarut, dan amoniak. Menurut
Holdich dan Lowery (1988), lobster akan mengalami pertumbuhan terbaik pada suhu
24 – 29oC. Lobster dapat hidup di perairan yang memiliki pH 6,5 – 9. Kadar pH
yang tinggi dapat menjaga kandungan kalsium terlarut agar tetap tinggi. Oksigen
terlarut pada pemeliharaan lobster harus lebih dari 1 ppm dan konsentrasi
amoniaknya kurang dari 1 ppm.
Lobster air tawar memiliki beberapa sifat seperti, mencari makan saat malam
hari (nocturnal), mengalami pergantian kulit (moulting) yang merupakan proses
alami lobster dimana proses pergantian kulit terjadi karena pertambahan ukuran
lobster yang semakin besar sementara ukuran kulit yang tetap, sehingga untuk
menyesuaikan ukuran tubuh, maka kulit yang lama dilepaskan dan diganti dengan
pembentukan kulit baru dengan bantuan kalsium (Wickins & Lee, 2002). Lobster air
tawar juga dikenal mempunyai sifat kanibal apabila jumlah pakan yang tersedia habis
atau kurang, selain itu umumnya lobster yang sedang ganti kulit juga sangat lemah
dan rentan terhadap serangan kanibalisme. Menurut Jones (1990), kemungkinan
4
yang ditimbulkan dari zat kalsium yang dikeluarkan lobster pada saat proses ganti
kulit sehingga memancing lobster lain untuk memakannya.
Proses pertumbuhan pada bangsa Crustacea menurut Asbar (1994), Crustacea
berganti kulit dengan melepaskan diri dari kulit luarnya yang keras, lalu air diserap
sehingga ukuran udang menjadi lebih besar, kemudian kulit luar yang baru akan
tumbuh dan secara bertahap diganti oleh jaringan yang baru. Menurut Holdich dan
Lowery (1988), pertumbuhan Crustacea adalah pertambahan berat dan panjang
tubuh yang terjadi secara berkala saat setelah pergantian kulit, jadi pertambahan
berat dan panjang tubuh tidak akan terjadi tanpa didahului proses ganti kulit.
Menurut Sofiandi (2002), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan sintasan benih lobster adalah adanya tempat berlindung, pakan
yang cukup dan padat penebaran. Tempat berlindung (shelter) pada pemeliharaan
lobster perlu disediakan karena berhubungan dengan sifat lobster yang mengalami
ganti kulit, kanibalisme dan teritorial.
Trijoko dan Madyaningrana (2004), menyatakan bahwa pertambahan panjang
tubuh mutlak diperoleh dari selisih panjang tubuh pada akhir dan awal penelitian.
Pertumbuhan pada lobster juga ditandai dengan bertambahnya panjang. Pertambahan
panjang rata - rata pada lobster air tawar yang diberi perlakuan pakan yang berbeda
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Nilai
pertambahan panjang yang diperoleh jika dikaitkan dengan nilai pertambahan berat,
maka terdapat kesesuaian antara pertambahan panjang dan pertambahan berat.
Effendie (1997), mengatakan kelulushidupan atau sintasan merupakan suatu
peluang untuk hidup pada saat tertentu. Umumnya kelulushidupan dilihat dari jumlah
individu yang masih hidup dan dibandingkan dengan jumlah awal individu pada
suatu penelitian.
Lobster dalam merespon makanan melakukan gerakan yang dapat
dikelompokan dalam tiga perilaku makan yaitu gerakan orientasi, gerakan mencari
makan dan gerakan mendekati pakan yang disertai dengan gerakan menemukan dan
memakan pakan. Chemoreseptor merupakan alat indera yang bereaksi terhadap
zat-zat kimia, seperti pakan. Chemoreseptor digunakan untuk mengenali stimulus yang
dari sumber yang jauh dari tubuh. Chemoreseptor berfungsi untuk mendeteksi dan
mengetahui adanya makanan, keberadaan musuh dan tempat hidupnya. Antennula
memiliki sel-sel yang dapat membaui adanya rangsang kimia dari lingkungan
5
Mekanisme stimulus (pakan) sampai pada organ chemoreseptor lobster yaitu
makanan yang dimasukkan ke dalam akuarium akan berdifusi ke dalam air dalam
bentuk ion-ion, kemudian ion-ion tersebut akan diterima oleh sel-sel chemoreseptor
pada antenulla. Impuls dari antenulla akan ditransfer menuju otak oleh neuron
afferen. Impuls ini oleh otak diproses menjadi tanggapan dan diteruskan ke organ
reseptor melalui neuron efferen. Organ reseptor kemudian melakukan gerakan sesuai
dengan informasi dari otak (Ville et al., 1988). Faktor yang mempengaruhi lobster
mendekati pakan antara lain sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, rangsangan
mekanik dan adanya chemoatractant yang dikeluarkan oleh pelet/pakan (Harpaz,
1990).
Sulistiowati (2008), menyatakan frekuensi pemberian pakan pada lobster air
tawar tidak memberikan pengaruh terhadap kelulushidupan, laju pertumbuhan
spesifik, rasio konversi pakan dan rasio efisiensi protein. Ardiansyah (2008),
menunjukan bahwa perlakuan variasi pola pemberian pakan dengan bahan wortel,
pelet dan cacing tanah tidak berpengaruh secara nyata terhadap kelulushidupan dan
laju pertumbuhan lobster air tawar (C. quadricarinatus). Hasil penelitian Sunarto
(2009), juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan lobster air tawar yang diberi
pakan pelet, pelet dan Tubifex, pelet dan kecambah tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata.
Menurut Hastuti (2006), pemberian pakan pelet udang, pelet lele, pakan
formulasi, kombinasi pelet udang dan pelet lele, kombinasi pelet udang dan pakan
formulasi, serta kombinasi pelet lele dan pakan formulasi tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar. Namun,
pemberian kombinasi pakan pelet dan pakan formulasi memberikan pertumbuhan
yang lebih tinggi dibanding pemberian pakan lainnya, sedangkan pemberian pakan
pelet udang memberikan sintasan yang lebih tinggi pada lobster air tawar
dibandingkan pemberian pakan lainnya.
Kakam et al. (2008), menyatakan pemberian pakan yang berbeda yaitu pelet,
ikan tongkol, cacing Tubifex, beserta kombinasinya pada lobster air tawar (C.
quadricarinatus) yang dipelihara dengan sistem botol tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pertumbuhan.
Lobster C. quadricarinatus dapat tumbuh dalam kolam yang diberikan pakan
yang mengandung protein 22% tanpa mengganggu pertumbuhan, kelangsungan
6
biaya pakan, dan dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan. (Thompson et
al., 2004).
Hipotesis yang dapat diambil berdasarkan perumusan masalah dan tujuan
adalah:
H1 : Pemberian pelet dengan perbedaan level dapat memberikan perbedaan efek
terhadap pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar (C. quadricarinatus).
H1 : Pemberian pelet dengan level 4% merupakan level yang baik untuk
meningkatkan pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar (C. quadricarinatus)
serta dapat menghasilkan ukuran benih yang seragam.