• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

URF

TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH

DENGAN SISTEM

BATA

DI DESA BRUDU KECAMATAN

SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

SKRIPSI Oleh:

SYAIFUDDIN ANAM NIM. C02210002

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “ Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” dan skripsi ini ditulis untuk menjawab

pertanyaan bagaimana mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dilakukan dengan cara, merubah satuan meter menjadi bata dengan perbulatan dan bagaimana analisis

‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jomnbang.

Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai field research (penelitian lapangan), proses sumber data primernya diperoleh dari pihak yang bersangkutan dalam praktik jual beli dengan sistem bata yaitu penjual dan pembeli, teknis pengumpulan datanya melalui observasi, interview dan dokumentasi. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dilapangan dan selanjutnya dianalisis dengan polapokir deduktif, yaitu berangkat dari hal yang bersifat umum mengenai teori jual beli dalam Islam beserta teori ‘urf kemudian digunakan untuk menganalisis temuan di lapangan dengan menggunakan ‘urf

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dilakukan dengan cara yaitu, merubah satuan meter menjadi bata dengan perbulatan luas yang awalnya 175 bata menjadi 200 bata. Menurut analisis ‘urf jual beli dengan menggunakan sistem bata dari segi perjanjian atau akad kerjanya dikategorikan sah dan dapat dibenarkan menurut hukum Islam, secara jelas objek dan subjeknya telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Karena di dalamnya tidak ada unsur yang dirugikan antara pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat disampaikan kepada pemilik tanah sawah dan pembeli tanah sawah, kedua belah pihak hendaknya lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam praktik jual beli tanah sawah yang sesuai dengan norma-norma agama atau syari’ah Islam.

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO. … ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KONSEP JUAL BELI DAN ‘URF DALAM ISLAM ... 19

A. Konsep Jual Beli dalam Islam ... 19

1. Definisi Jual Beli (Bai’) ... 19

2. Landasan Hukum Jual Beli (Bai’) ... 21

B. Rukun Dan Syarat Jual Beli ... 25

1. Rukun dalam jual beli ... 25

2. Syarat dalam Jual beli ... 27

(7)

1. Jual beli yang sahih ... 36

2. Jual beli yang batil ... 36

3. Jual beli yang fasid ... 37

D. Pengertian ‘Urf ... 39

E. Macam-Macam ‘Urf... 40

1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan ... 41

2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya ... 41

3. Dari segi penilaian baik dan buruk ... 42

F. Syarat-Syarat ‘Urf ... 43

1. ‘Urf itu berlaku umum ... 43

2. Tidak bertentangan dengan nash Syar’i... 43

3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama ... 44

4. Tidak berbenturan dengan tashri>h ... 44

5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati ... 44

G. Kedudukan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 45

BAB III MEKANISME JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG ... 48

A. Deskripsi tentang Lokasi Penelitian ... 48

1. Keadaan geografis ... 48

2. Kependudukan dan sosial ekonominya ... 50

3. Sarana pendidikan dan sarana peribadatan ... 53

4. Struktur kepemerintahan ... 54

B. Mekanisme terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 56

1. Pengertian sistem Bata dan definisi Bata menurut masyarakat Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 56

(8)

BAB IV ANALISIS MEKANISME TERHADAP JUAL BELI TANAH SAWAH DENGAN SISTEM BATA DI DESA BRUDU KECAMATAN

SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG ... 63

A. Mekanisme Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Jombang ... 63

1. Tradisi... 63

2. Keuntungan sistem bata ... 63

B. Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang ... 64

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang memiliki berbagai kebutuhan

hidup dan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, tidak mungkin diproduksi

sendiri. Manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk mencukupi

kebutuhan-kebutuhan hidupnya.1 Intinya hubungan manusia terhadap

manusia yang lain ialah saling membutuhkan satu sama lain, sebagaimana

yang Allah SWT perintahkan untuk saling tolong menolong, bahu-membahu

untuk mencapai sesuatu yang bisa direalisasikan lewat jual-beli ataupun

bentuk hubungan sosial yang lainnya.

Dalam hubungan sosial kita banyak melakukan aktivitas muamalah

yang terkadang dinafikan hukumnya karena sudah menjadi kebiasaan umum

di tengah kehidupan masyarakat. Sebenarnya kebiasaan umum tidak akan

bermasalah ketika sudah dibenarkan secara hukum. Hal ini berbeda ketika

kebiasaan itu kontradiksi dengan hukum akan tetapi dikenal umum di tengah

kehidupan masyarakat sehingga tidak melanggar hukum misalkan praktek

jual-beli dengan menggunakan sistem tradisi. Persoalan tradisi jual beli selalu

dinamis dan dalam dinamika tersebut, perlu diperhatikan segala sesuatu yang

berkaitan dengan sah atau tidaknya tradisi jual beli itu.

1

(10)

2

Dalam tradisi jual beli supaya tidak menimbulkan permasalahan,

kecurangan, penipuan, ketidakadilan yang menafikan kepentingan orang lain

dan sikap yang merugikan dari perbuatan yang merusak, dalam hal itu Islam

telah mengatur untuk mengantisipasi hal tersebut. Dengan demikian, dalam

tradisi jual-beli bisa dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah

digariskan dalam hukum Islam, sebagaimana Islam memberikan pengarahan

untuk melakukan sesuatu yang baik dan melarang yang merusak.

Sebenarnya, praktik jual-beli sudah ada semenjak manusia purba yang

kita kenal dengan sistem barter sebelum Islam atau sistem jual-belinya di

sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Tetapi tidak bisa dipungkiri dalam

praktik jual-beli sering ditemukan hal-hal yang merugikan masyarakat. Hal

ini disebabkan adanya asas kedekatan atau saling percaya yang berkembang

dalam tradisi masyarakat, sehingga mereka sering melupakan perjanjian

tertulis atau kontrak tertulis seperti bukti pembayaran yang memiliki esensi

dapat membantu apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.

Jual Beli (bai’) adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu atau barang

dengan uang sebagai alat tukarnya.2 Adapun jual beli menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah persetujuan saling mengikat antara penjual dan

pembeli. Penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai

pihak yang membayar harga yang dijual.3

Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh ajaran agama Islam

selama tidak bertentangan dengan Syara‟, Nabi Muhammaad SAW sendiri

2

Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 73.

3

(11)

3

selama hidupnya juga tidak lepas dari perniagaan atau beli. Hukum

jual-beli mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam

kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam

al-Qur‟an tidak menjangkau seluruh segi perkembangan yang berubah itu.

Dewasa ini, praktik jual-beli sangat beragam. Keberagaman itu terjadi

di masyarakat Desa Brudu dalam hal jual-beli tanah sawah, salah satunya

adalah menggunakan sistem Bata sebagai landasan jual beli yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya lahan yang berada di Desa

Brudu adalah lahan persawahan yang masih luas. Didalam sejarah yang

diketahui oleh masyarakat di Desa Brudu, bahwa untuk mendapatkan tanah

sawah seluas 1 Hektar yaitu melalui sistem undian, hal itu terjadi setelah

penjajahan belanda sekitar tahun 1949.4 Tapi waktu itu pemanfaatan lahan

masih belum maksimal seperti pada saat ini, bahkan tidak cukup buat

menunjang perekonomian sehari-hari. Karena waktu itu bahan pangan masih

sangat sulit didapatkan.

Heru Fuadzin mengatakan bahwa jual beli tanah sawah dengan sistem

Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang sudah lama

diterapkan, kurang lebih setelah penjajahan belanda sistem ini sudah ada, dan

sistem ini terus berlaku sampai sekarang, walaupun menurutnya ada sedikit

perbedaan dalam praktiknya, antara ukuran tanah dengan nilai jualnya, tapi

ini memang sudah menjadi tradisi, jadi praktik jual beli tanah sawah dengan

4

(12)

4

sistem Bata di Desa Brudu tidak mengacu pada luas tanah sebenarnya, tapi

mengacu pada hitungan tradisi, yaitu dengan sebutan Bata, 300 bata kalau

tanah yang berada di utara kampung dan 200 Bata kalau tanah di selatan

kampung. 1 (satu) bata sama dengan panjang 14 (empat belas) meter dan

lebarnya 1 (satu) meter, meski ukuran sebenarnya tidak sampai 200 atau 300

bata.5

Misalkan tanah yang berada di utara kampung dengan luas yang

tertera di sertifikat adalah 3990 meter, dalam hitungan bata yaitu 285 bata,

dalam hitungantradisi dibulatkan menjadi 300 bata. Sedangkan tanah yang

berada di selatan kampung luas yang tertera di sertifikat 2450 meter, dalam

hitungan bata yaitu 175 bata, dalam hitungan tradisi di bulatkan menjadi 200

bata. Dengan adanya tradisi ini, masyarakat Desa Brudu merasa beruntung

kalau tanahnya laku terjual, karena harganya yang relatif tinggi.

Pernyataan yang sama juga disampaikan Kasnadi kalau tradisi jual

beli tanah sawah di Desa Brudu memang sudah mengikuti tradisi dari nenek

moyang yang terdahulu. Jadi sampai kapanpun tradisi jual beli seperti ini

akan tetap ada bahkan sampai tujuh turunan lebih. Awal mulanya kurang tau

kenapa sampai ada tradisi seperti ini, mungkin saja tanah disini sangat

berpotensi untuk menunjang perekonomian ke depan, seperti pertanian dan

lain-lain. Dan tanah disini juga sudah bersertifikat semua. Harga jualnya

mulai Rp.1.500.000,00. sampai Rp.2.000.000,00. per batanya. Walau

5

(13)

5

terbilang lumayan mahal, tapi tidak henti-hentinya orang datang untuk

membeli tanah disini, bahkan tanpa ada tawar menawar sedikitpun.6

Seperti yang disampaikan Bapak Sadak, dia menjual sebagian

tanahnya kepada Bapak Jarkawiyang berada di selatan Desa atau selatan

perkampungan warga dengan luas sekitar 175 bata, harga 1 (satu)batanya

Rp.1000.000,00.- tapi dalam hitungan tradisinya dibulatkan menjadi 200

bata. Jadi semua jumlah uang yang diperoleh Bapak Sadak dari hasil

penjualan tahah sawah senilai Rp.200.000.000,00-.7

Melihat sistem jual beli tradisi Bata ini dalam hukum Islam

sebenarnya telah memiliki istilah yang di sebut dengan ‘urf. ‘Urf adalah

sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi

kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau

perkataan.8 Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung

dan mengakui adat atau tradisi, jika tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan

Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali

tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada

yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat

kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (

al-Mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum

Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat

6

Kasnadi,Wawancara, Jombang, 30 Agustus 2014.

7

Sadak,Wawancara, Jombang, 29 September 2014.

8

(14)

6

istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana

memenuhi beberapa persyaratan.

1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat

tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan

khusus.

2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.

3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam

suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara

jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara

‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim,

maka dalam kasus seperti ini ‘urf tidak berlaku.

4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang

dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. „Urf seperti ini tidak dapat

dijadikan dalil syara‟ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila

tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang di hadapi.9

Dari penggambaran sistem jual beli dan „Urf pada latar belakang di

atas, maka penulis tertarik meneliti, dan yang akan diteliti dalam skripsi yang

berjudul “Analisis Urf Terhadap Jual Beli Tanah Sawah Dengan Sistem

Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

9

(15)

7

Dari uraian latar belakang masalah di atas, masalah-masalah yang

dapat diidentifikasi yaitu :

1. Jual beli tanah sawah dengan sistem Bata

2. Jumlah luas tanah sawah berdasarkan sebutan Bata dan tidak berdasarkan

surat tanah (Sertifikat).

3. Tradisi jual beli tanah sawah merugikan salah satu pihak

4. Tidak adanya tawar menawar dalam praktik jual beli tanah sawah

5. Syarat dan rukun jual beli

6. Sistem jual beli tanah sawah dalam hukum Islam

7. Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

8. Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di desa

tersebut.

Sedangkan batasan masalah yang sudah diuraikan pada latar belakang

di atas meliputi tentang :

1. Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa

(16)

8

C. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka

rumusan masalahnya adalah :

1. Bagaimana mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa

Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang?

2. Bagaimana analisis ‘Urf terhadap jual beli tanah sawah dengan sistem

Bata di Desa tersebut?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.10

Setelah penulis menelusuri kajian sebelumnya, penulis menemukan

skripsi yang membahas kajian yang terkait dengan jual beli tanah sawah

yakni :

1. Skripsi yang di tulis oleh Siti Muniroh di IAIN Sunan Ampel Surabaya

pada tahun 2004 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap kasus

Praktik Adol Sawah di Desa Widang Kecamatan Widang Kabupaten

Tuban”. Dalam skripsi ini Muniroh menggunakan metode deskriptif

analitik yaitu dengan memaparkan data dan informasi tentang praktik Adol

Sawah di Desa Widang. Penelitian ini membahas tentang permasalahan

10

(17)

9

“Apakah praktik Adol sawah yang telah mentradisi di kalangan

masyarakat Widang sejalan dengan ketentuan Hukum Islam”. Karena

praktik Adol sawah penjual menjual sawah dengan ketentuan waktu dan

pembayarannya menggunakan emas, dengan ketentuan jika waktu tersebut

telah selesai, maka emas akan kembali kepada pembeli dan sebaliknya

sawah tersebut akan kembali kepada penjual, dan kepemilikan di sini

bukan kepemilikan benda dan bukan pula kepemilikan penuh.11

Sedangkan dalam skripsi yang akan di teliti ini lebih menerangkan

pada Mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dan di Analisis dengan Hukum

Islam.

2. Skripsi yang ditulis oleh Muhaimin di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

pada tahun 2014 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik

Jual Beli Tanah di Lahan Perhutani Di Desa Sidaurip Kecamatan

Gandrung Mangu Kabupaten Tuban”. Dalam skripsi Muhaimin

menekankan pada praktik jual beli tanah di lahan perhutani dan di tinjau

dari hukum Islam. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif yaitu

penilaian dan gambaran mengenai persoalan jual beli tanah di lahan

perhutani Desa Sidaurip. Dan penelitian ini hanya di fokuskan mengenai

jual beli tanah di lahan perhutani saja.12

11

Siti Muniroh, “Tinjauan Hukum Islam terhadap kasus Praktik Adol Sawah di Desa Widang

Kecamatan Widang Kabupaten Tuban” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004), 7.

12 Muhaimin, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Tanah di Lahan Perhutani di

(18)

10

Penelitian ini membahas tentang jual beli tanah di lahan perhutani

yang masih tersebut merupakan lahan sengketa dan lahan tersebut tidak di

lengkapi dengan surat tanah (sertifikat). Sedangkan yang akan di bahas

oleh penulis yaitu jual beli tanah sawah yang memang tanah tersebut milik

masyarakat Desa Brudu dan tanah tersebut sudah di lengkapi dengan surat

tanah (sertifikat) hanya saja dalam tradisi jual belinya menggunakan

sebutan Bata.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem Bata Di

Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan

(19)

11

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Skripsi dengan judul “Analisis ‘Urf Terhadap jual beli Tanah Sawah

dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten

Jombang” ini berguna untuk :

1. Secara teoritis : Merumuskan kaidah hukum Islam terkait dengan jual beli

khususnya tentang jual beli tanah sawah dengan sistem Bata.

2. Secara praktis : Menambah wawasan kepada pembaca untuk memahami

hukum jual beli yang diperbolehkan oleh Syara’ khususnya dalam jual beli

tanah sawah dengan sistem Bata di Desa Brudu Kecamatan Sumobito

Kabupaten Jombang. Agar mereka lebih tahu tentang jual beli dengan

sistem Bata yang dibolehkan dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam,

sehingga pada akhirnya mereka lebih bisa menilai tentang bagaimana

transaksi yang akan dilakukannya.

G. Definisi Operasional

Untuk memudahkan dalam memahami judul skripsi “Analisis ‘Urf

Terhadap Jual Beli Tanah Sawah dengan Sistem Bata di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang” maka penulis akan menjelaskan

beberapa unsur istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, diantaranya:

‘Urf : Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah

menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka

baik berupa perbuatan atau perkataan.13

13Muin

(20)

12

Jual beli : Suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang

mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak,

yang satu memberi benda dan pihak lain menerimanya.14

Sistem Bata : Sistem jual beli yang digunakan oleh masyarakat Brudu dalam

melakukan transaksi jual beli tanah sawah, yaitu dengan

mengubah satuan meter menjadi bata dan sistem ini tidak

berpedoman pada surat tanah (sertifikat). (satu) bata adalah

empat belas kali satu meter.15

H. Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah field research (penelitian

lapangan) dengan memakai metode penelitian kualitatif dengan konsep

peneliti akan memaparkan permasalahan yang sebenarnya sebagaimana

penelitian yang telah dilakukan dengan metode ilmiah lain sebagai

penunjang.16 Metode ilmiah lain yang dimanfaatkan untuk menunjang

terpenuhinya data adalah metode penelitian kepustakaan, yaitu penelitian

yang bertujuan untuk mengumpulkan data atau keterangan dengan bantuan

buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan kemudian akan dianalisis

dengan metode deskriptif analisis.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu mengenai

mekanisme jual beli tanah sawah dengan sistem bata di Desa Brudu

Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang dan data mengenai analisis urf

14

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. raja Grafindo Pustaka, 2002), 68

15

Heru Fuadzin, Wawancara. 16

(21)

13

terhadap jual beli tanah sawah di desa Brudu Kecamatan Sumobito

Kabupaten Jombang yang meliputi beberapa sumber data, diantaranya:

1. Sumber Data.

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah

subjek dari mana data dapat diperoleh, baik menggunakan kuisioner atau

wawancara dalam pengumpulan datanya, baik secara tertulis maupun

lisan.17 Secara garis besar, sumber data penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang langsung memberikan

informasi data kepada pengumpul data yang diambil dari pihak yang

melakukan praktik jual beli tanah sawah di Desa Brudu Kecamatan

Sumobito Kabupaten Jombang, meliputi orang yang bertransaksi seperti

Bapak Kasmari, Jalil, sebagai pemilik tanah sawah atau sebagai penjual

dan Bapak Mahmud, Sarbani, Teguh sebagai pembeli.

17

(22)

14

b. Sumber data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang secara tidak langsung

memberikan informasi kepada pengumpul data.18 Misalnya, melalui

orang lain atau dokumen, untuk memperoleh generalisasi yang bersifat

ilmiah atau memperoleh pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat pula

berguna sebagai pelengkap informasi.19

1. Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam, dikarang oleh Wahab Abdul

Khallaf. (Jakarta Pustaka Amani, 1977)

2. Fiqh Muamalat, dikarang oleh Abdul Rahman Ghazaly, et, al.

(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010)

3. Fiqh Muamalah, dikarang oleh Ahmad Wardi Muslich. (Jakarta :

Amzah 2010)

4. Asas-asas Hukum Muamalah, dikarang oleh Ahmad Azhar Basyir.

(Yogyakarta : UII Press, 2000)

5. Berbagai macam transaksi dalam Islam, dikarang oleh Ali Hasan

(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003)

6. Garis-garis besar Fiqh, dikarang oleh Amir Syamsuddin. (Jakarta

Timur : Prenada media, 2003)

7. Ushul Fikih 2, dikarang oleh Amir Syamsuddin. (Jakarta: Prenada

media Group 2011)

8. Hukum Perjanjian dalam Islam, dikarang oleh Chairuman Pasaribu.

(Jakarta : Sinar Grafika, 1994)

18

Ibid., 225.

19

(23)

15

9. Fiqh Muamalah, dikarang oleh Hendi Suhendi. (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Pustaka, 2002)

10. Ushul Fiqh, dikarang oleh Abd Rahman Dahlan. (Jakarta : Amzah

2011)

11. Ushul Fiqh 1, dikarang oleh Muin Umar, et al. (Jakarta : Depag RI

1986)

12. Fiqih Muamalah, dikarang oleh Nasrun Haroen (Jakarta : Gaya

Media Pratama, 2007)

13. Fiqih Muamalah, dikarang oleh Rachmat syafe‟i (Bandung : Pustaka

Setia, 2000)

14. Hukum Ekonomi Islam, dikarang oleh Suhrawardi K Lubis. (Jakarta

: Sinar Grafika, 2000)

15. Al-Fiqh al-Islami Wa-Adillatuhu, dikarang oleh Wahbah

Az-Zuhaily. (Damaskus : Dar al-Fiqh al-Mu‟asim, 2005)

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode

untuk menjawab problematika, mencapai tujuan dan membuktikan

hipotesis dalam penelitian ini, di antaranya :

a. Observasi, yaitu pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan

melihat langsung apa yang terjadi di lapangan, kemudian mencatat hasil

yang telah diperoleh di lapangan.20

20

(24)

16

b. Interview, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan

informasi secara langsung dengan mengungkapkan

pertanyaan-pertanyaan pada para responden.21

c. Dokumentasi, yaitu mencari data yang bersumber dari catatan, transkip,

buku, majalah, jurnal, blog, dan sebagainya.

3. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul maka dilakukan analisis data secara

kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:22

a. Editing, pemeriksaan kembali data yang diperoleh yaitu tentang proses

praktik tradisi jual beli di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten

Jombang.

b. Organizing, menyusun dan mensistematiskan data yang di peroleh baik

dari data primer maupun sekunder.

c. Analizing, setelah editing dan organizing dilakukan maka proses

pengolahan data selanjutnya adalah menganalisis data-data yang telah

ada dengan metode yang telah ditentukan.

4. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam

penelitian ini menggunakan metode:

a. Deskriptif, yaitu objek penelitian yang menggambarkan status

sekelompok manusia, kondisi sosial, suatu sistem pemikiran ataupun

21

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teoridan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,2007),3.

22

(25)

17

kebiasaan masyarakat di Desa Brudu dalam melakukan jual beli tanah

sawah.23

b. Pola pikir Deduktif yaitu mengemukakan teori jual beli secara umum,

kemudian digunakan untuk menganalisis teori jual beli secara khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini menjelaskan runtutan pembahasan

terhadap skripsi mulai bab pertama sampai bab ke lima, diantaranya:

Bab Pertama : Pendahuluan yang berisi tentang pokok-pokok pikiran

atau landasan permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, sehingga

memunculkan gambaran isi tulisan yang terkumpul dalam konteks penelitian,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, defenisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua : Merupakan deskripsi tentang bai’ (jual beli) menurut

hukum Islam yang terdiri dari, konsep bai’, landasan hukum bai’, rukun dan

syarat bai’, aspek penting dalam bai’ yang fasid, batil dan gharar, berakhirnya

akad bai’ dan deskripsi tentang ‘urf, meliputi. Konsep ‘urf, landasan hukum

‘urf, macam-macam ‘urf, syarat-syarat ‘urf yang shahih atau fasid dan

kedudukan ‘urf.

Bab Ketiga : Memuat tentang mekanisme jual beli tanah sawah

dengan sistem Bata di desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang,

23

(26)

18

mengenai deskripsi daerah, latar belakang terjadinya praktik tradisi jual beli

tanah sawah di Desa Brudu Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang

dengan sistem Bata, pendapat Ulama‟ setempat mengenai praktik tradisi jual

beli tanah sawah dengan sistem Bata di desa tersebut

Bab Keempat: Analisis ‘urf terhadap jual beli tanah sawah dengan

sistem Bata menurut tradisi setempat di lihat dari segi akadnya, dan ditinjau

dari segi prakteknya.

Bab Kelima: Bab ini merupakan bab penutup yang menyajikan

(27)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DAN URF DALAM ISLAM

A. Konsep Jual Beli dalam Islam

Dalam jual beli terdapat beberapa konsep yang perlu di pahami

sebelum terjadinya proses akad jual beli, diantaranya:

1. Definisi Jual Beli (Bai’)

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi Jual Beli yang

dikemukakan Ulama‟ fiqih, sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing

adalah sama. Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu

“jual dan beli”. Sebenarnya kata “jual dan beli” mempunyai arti yang satu

sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukan bahwa adanya

perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.1

Dengan demikian perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan

dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak yang lain

membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.2

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa dalam perjanjian jual beli itu

terlibat dua pihak yang saling menukar atau melakukan pertukaran.

Menurut pengertian Syari‟a>t, yang dimaksud dengan jual beli adalah

“pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan hal milik

1

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010), 173.

2

(28)

20

dengan ganti rugi yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang

sah).3

Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa

jual beli itu dapat terjadi dengan cara :

a. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela dan

b. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa

alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.

Dalam istilah lain pengertiannya dengan obyek hukum, yaitu

meliputi segala benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang dapat

dimanfaatkan atau berguna bagi subyek hukum. Pertama yaitu, pertukaran

harta atas dasar saling rela ini dapat dikemukakan bahwa jual beli yang

dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang (dapat

dikatakan bahwa jual beli ini adalah dalam bentuk pasar tradisional).4

Kedua, yaitu “memindahkan milik yang dengan ganti yang dapat

dibenarkan”, di sini berarti barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti

yang dapat dibenarkan, adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat

dibenarkan disini berarti milik/harta tersebut dipertukarkan dengan alat

pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya misalnya uang rupiah

dan lain-lain sebagainya.

3

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka, 2002), 67-68.

4

(29)

21

2. Landasan Hukum Jual Beli (Bai’)

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat

manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan sunnah

Rasulullah SAW. Tidak sedikit kaum muslimin yang lalai mempelajari

hukum jual beli, bahkan melupakannya, sehingga tidak meperdulikannya

apakah yang dilakukan dalam jual beli itu haram atau tidak. Keadaan

seperti itu merupakan kesalahan besar yang harus dicegah, agar semua

kalangan yang bergerak dibidang perdagangan mampu membedakan mana

yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Terdapat ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang jual beli, di

Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. al-Baqarah 275).5

(30)

22

dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu (Q.S. An-Nisa 29).6

menolak dari „arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‟arilharam dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagai yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang yang sesat. (Q.S. Al-Baqarah 198).7

Sedangkan menurut ijmak, ulama telah sepakat bahwa jual beli

diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu

mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun

demikian bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu,

harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Dari kandungan ayat-ayat Al-Quran di atas, para ulama fiqih

mengatakan bahwa hukum dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan

tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam asy-Syatibi (w. 790 H),

pakar fiqih Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib, Imam

6

Abdur Rahman Ghazaly, et al., Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 68.

7

(31)

23

Syatibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtika>r (penimbunan

barang sehingga stok hilang dari pasar sehingga harga melonjak naik).

1. Definisi jual beli menurut Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah,

jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk

pemindahan milik dan kepemilikan.8 Penekanan definisi jual beli

menurut 3 madzhab ulama di atas, adalah pada kata milik dan

kepemilikan dengan maksud untuk mebedakan antara transaksi jual beli

dan transaksi sewa menyewa (al-Ija>rah).

2. Definisi jual beli menurut ulama Hanafiyah adalah: Saling menukar

harta dengan harta dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu

yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara yang bermanfaat.

Yang dimaksud dengan cara khusus dalam definisi jual beli ulama

Hanafiyah di atas adalah harus ada ijab (ungkapan membeli dari

pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual). Selain itu,

barang yang perjualbelikan haruslah barang yang bermanfaat bagi

manusia, contoh bangkai, minuman keras adalah barang yang tidak

bermanfaat, maka menurut ulama Hanafiyah, jual beli barang tidak

bermanfaat tersebut hukumnya tidak sah.9

Apabila seseorang melakukan ihtika>r dan mengakibatkan

melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka

menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual

8

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa-Adillatu. Jilid IV (Bairut: Dara al-Fikr, 1989)

9

(32)

24

barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.

Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai

dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-Syatibi

bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya

boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan

boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa

mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya.

Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu

tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai, suka rela antara

kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain sesuai

dengan perjanjian atau ketentuan yang lebih dibenarkan oleh syara' dan

disepakati. Yang dimaksud dengan ketetapan hukum ialah memenuhi

persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lainnya yang ada

kaitannya dengan jual beli, maka syarat dan rukunnya tidak terpenuhi

berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'. Yang dimaksud benda yang

dapat mencakup pada pengert ian barang dan uang, sedangkan sifat benda

tersebut harus dapat dinilai, yakni benda yang berharga dan dapat

dibenarkan penggunaanya menurut syara', benda itu adakalanya bergerak

(dapat dipindahkan) dan ada kalahnya tetap (tidak dapat dipindahkan),

dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harta yang ada

(33)

25

yang lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak

dilarang oleh syara'.

B. Rukun dan Syarat Jual Beli

Sebelum terjadinya proses kegiatan jual beli, rukun dan syarat

hendaklah dipenuhi, sebab apabila terdapat rukun atau syarat yang tidak

terpenuhi, maka kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai

perbuatan jual beli.

1. Rukun dalam jual beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi,

sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara'. Dalam menentukan

rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan

jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu

ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari

penjual).10

Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah

kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan

tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk

diindera sehingga tidak kelihatan, maka perlu indikasi yang menunjukkan

kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan

kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual, menurut mereka, boleh

10

(34)

26

tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan

barang dan harga (ta'ati).11

Akan tetapi, jumhur ulama‟ menyatakan bahwa rukun jual beli itu

ada empat, yaitu:

a. Penjual

Penjual adalah seorang yang berakad atau muta>'aqidain (penjual

dan pembeli) benda atau barang kepada pihak lain atau pembeli baik

individu maupun kelompok.

b. Pembeli

Pembeli adalah seorang atau sekelompok orang yang membeli

benda/barang dari penjual baik individu maupun kelompok.

c. Shighat (Ijab-Qabul)

Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual beli adalah

(ijab-qabul) yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan

ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya (ijab qabul) dalam transaksi

ini merupakan indikasi adanya rasa suka sama suka dari pihak-pihak

yang mengadakan transaksi.12

Pernyataan transaksi adalah bentuknya yang dilaksanakan lewat

ijab qabul yang melibatkan komitmen kedua belah pihak, atau hanya

dengan ijab saja jika komitmen itu dari satu pihak. Semua syariat

menyepakati bahwa dianggap ada dan terealisasikannya sebuah

transaksi ditandai dengan adanya pernyataan yang menunjukkan

11

Ibid, 196

12

(35)

27

kerelaan dari kedua belah pihak untuk membangun komitmen bersama.

Adapun cara yang dianggap boleh oleh agama menurut Hanafi adalah

jual beli dapat terjadi dengan kata yang menunjukkan kerelaan untuk

perpindahan kepemilikan harta sesuai tradisi masyarakat tertentu.13

Ijab ataupun qabul tidak harus secara berurutan. Jika salah satu

dari keduanya, maka tidak mengharuskan pihak lain sebelum adanya

bagian terakhir. Hal terpenting adalah bahwa masing-masing dari kedua

belah pihak pada saat melakukan transaksi boleh memilih natara

menerima ataupun mengembalikan barang.14

d. Ma’qud ‘alaih (objek akad). adalah objek akad benda-benda yang

dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas dan barang

tersebut dapat berbentuk harta benda, sepeti barang dagangan, benda

bukan harta seperti dalam akad pernikahan dan dapat pula berbentuk

suatu kemanfaatan seperti dalam masalah upah-mengupah.15

2. Syarat dalam Jual Beli

Dalam transaksi jual beli harus terpenuhi empat syarat, yaitu syarat

terjadinya transaksi, syarat sah jual beli, syarat berlaku jual beli dan syarat

keharusan (komitmen) jual beli. Tujuan dari syarat-syarat ini secara umum

untuk menghindari terjadinya sengketa di antara manusia, melindungi

kepentingan kedua belah pihak, menghindari terjadinya (kemungkinan)

manipulasi dan menghilangkan kerugian karena faktor.16

13

Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 5. (Jakarta: Gema Insani, 2011), 29.

14

Ibid., 32.

15

Ibid, 33.

16

(36)

28

a. Syarat terjadinya transaksi jual beli (Syart al-in’iqa>d)

Syart al-in’iqa>d adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad

jual beli dipandang sah menurut syaria‟h. Apabila syarat ini tidak

terpenuhi, maka akad jual beli menjadi batal. Di kalangan ulama tidak

ada kesepakatan mengenai syarat in‟iqad ini.

Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan

jual beli:

1) Syarat untuk ‘a>qid (orang yang melakukan akad), yaitu penjual dan

pembeli ada tiga:

a) a>qid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang

dilakukan oleh orang gila dan anak yang belum berakal (belum

mumayyiz).

b) a>qid (orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak

sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu

orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali

apabila dilakukan oleh ayah yang membeli barang dari anaknya

yang masih di bawah umur dengan harga pasaran.17

c) dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), maksudnya adalah

dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak

tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan kepada pihak

lainnya, sehingga pihak yang lain tersebut melakukan perbuatan

jual beli bukan lagi disebabkan kemauannya sendiri, tapi

17

(37)

29

disebabkan adanya unsur paksaan, jual beli yang dilakukan bukan

atas dasar‚ kehendaknya sendiri adalah tidak sah.18

2) Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri

Syarat akad yang sangat penting adalah qabul yang harus

sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang

di-ijab-kan (dinyatadi-ijab-kan) oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan antara

qabul dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai

dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.

3) Syarat berkaitan dengan tempat akad

Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan

qabul harus terjadi dalam satu majlis. Apabila ijab dan qabul berbeda

majlisnya, maka akad jual beli tidak sah.

4) Syarat Berkaitan dengan Objek Akad (ma’qu>d ‘alaih).19

Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang

diperjualbelikan sebagai berikut:

a) Barang itu ada

b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia

c) Millik seseorang

d) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang

disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.20

18

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika,1994), 35.

19

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 187-189.

20

(38)

30

e) Barang yang diakadkan ada di tangan, yakni barang yang akan

diperjualbelikan sudah berada dalam penguasaan penjual atau

barang tersebut sudah diterima pembeli.21

b. Syarat Berlakunya Transaksi Jual Beli

Pertama, hak pemilikan dan hak wewenang. Hak milik adalah hak

memeliki barang di mana hanya orang yang memilkinya yang mampu

berkuasa penuh atas barang itu selama tidak ada halangan syar‟i.

Sementara hak wewenang adalah kekuasaan resmi yang diberikan oleh

agama agar bisa melegalkan ataupu melakukan sebuah transaksi. Ada

dua jenis hak wewenang, hak wewenang asli, yaitu seseorang memiliki

hak untuk mengurusi dirinya dengan dirinya sendiri ataupu hak

wewenang perwakilan, yaitu seseorang mengurusi orang lain yang tidak

sempurna hak kapasitasnya. Hak berkuasa tipe kedua ada dua macam,

yaitu mengganti hak pemilik dan disebut wakil, dan mewakili pemberi

kekuasaan dan perwakilan ini disebut wali. Mereka adalah bapak,

kakek, hakim, wali yang ditunjuk bapak, lalu walinya, kakek, lalu

walinya, hakim, lalu walinya.

Kedua, hendaknya pada barang yang dijual tidak ada hak milik

selain penjual. Jika saja pada barang yang dijual itu ada hak orang lain,

maka jual beli tertangguhkan belum terlaksana. Atas dasar ini pula, jual

beli orang pegadaian atas barang gadaian tidak bisa terlaksana, juga

21

(39)

31

tidak terlaksana jual beli orang yang menyewakan barang yang

disewakan.22

c. Syarat Sahnya Transaksi

Syarat sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan

syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap

jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara‟.

Secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam „aib : a.

Ketidakjelasan (jahalah), b. Pemaksaan (al-ikra>h), c. Pembatasan

dengan waktu (at-tauq>it), d. Penipuan (ghara>r), e. Syarat-syarat

yang merusak.23

a) Ketidakjelasan (al-jahalah)

Yang dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius yang

mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan.

Ketidakjelasan ini ada empat macam, yaitu:

1) Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya,

macamnya, atau kadarnya menurut pandangan pembeli.

2) Ketidakjelasan harga

3) Ketidakjelasan masa (tempo), seperti harga yang diangsur atau

dalam khiyar syarat. Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila

tidak jelas maka akad jual beli batal.

4) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya

penjual mensyaratkan diajukannya seorang kafil (penjamin).

22

Wahba Al-Zuhaili, Fiqih Islam, 48-49.

23

(40)

32

Dalam hal ini penjamin tersebut harus jelas. Apabila tidak jelas

maka akad jual beli menjadi batal.

b) Pemaksaan (Al-Ikra>h)

Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang

dipaksa) untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya.

Paksaan ini ada dua macam;

1) Paksaan Absolute ( ), yaitu paksaan dengan

ancaman yang sangat berat, seperti akan dibunuh atau dipotong

anggota badannya.

2) Paksaan Relative ( ), yaitu paksaan dengan

ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.

Kedua ancaman tersebut mempunyai pengaruh terhadap jual

beli, yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur

Hanafiah dan mauquf menurut Zufar.24

c) Pembatasan dengan Waktu (At-Tauq>it)

Pembatasan dengan waktu yaitu jual beli yang dibatasi

waktunya. Seperti, “Saya jual baju ini kepadamu untuk selama satu

bulan atau satu tahun”. Jual beli semacam ini hukumnya fa>sid,

karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa dibatasi dengan

waktu.

d) Penipuan (Gharar)

24

(41)

33

Penipuan yang dimaksud disini adalah gharar (penipuan)

dalam sifat barang, seperti, seseorang menjual sapi dengan

pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari sepulu liter, padahal

kenyataannya paling banyak dua liter, apabila dia menjual dengan

pernyataan bahwa air susunya lumayan banyak tanpa menyebutkan

kadarnya maka termasuk syarat yang sahi>h. Akan tetapi, apabila

gharar (penipuan) pada wujud (kadarnya) barang maka ini

membatalkan jual beli.

e) Syarat yang Merusak.

Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak

yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara‟ dan

adat kebiasaan atau tidak dikehendaki oleh akad atau tidak selaras

dengan tujuan akad. Seperti seseorang yang menjual mobil dengan

syarat ia (penjual) akan menggunakannya selama satu bulan

setelah terjadinya akad jual beli atau seseorang menjual rumah

dengan syarat ia (penjual) boleh tinggal di rumah itu selama masa

tertentu setelah terjadi akad jual beli itu.

Syarat yang fa>sid apabila terdapat dalam akad mu‟awadlah

maliyah, seperti jual beli atau ija>rah, akan menyebabkan akadnya

fasid, tetapi tidak dalam akad-akad yang lain, seperti akad tabarru‟

(hibah atau wasiat) dan akad nikah. Dalam akad-akad ini syarat yang

fasid tersebut tidak berpengaruh sehingga akadnya tetap sah.25

25

(42)

34

Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk jenis jual beli

adalah sebagai berikut:

1) Barang harus diterima.

2) Mengetahui harga pertama apabila jual belinya berbentuk

murabahah, tauliyah, wadhi’ah atau isyra>k.

3) Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah,

apabila jual belinya jual beli sharf (uang).

4) Dipenuhi syarat-syarat salam, apabila jual beli salam (pesanan).

5) Harus sama dalam penukarannya, apabila barangnya ribawi.

6) Harus diterima utang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti

muslam fih dan modal salam dan menjual sesuatu dengan untang

kepada selain penjual.26

d. Syarat Kelaziman Jual Beli

Syarat-syarat luzuum transaksi harus diperhatikan setelah

syarat-syarat sah dan berlakunya transaksi telah terpenuhi. Yang dimaksud

syarat luzuum transaksi adalah transaksi yang dilakukan oleh kedua

belah pihak lolos dari pemberlakuan hak untuk meneruskan atau

membatalkan transaksi oleh salah satu pelaku transaksi seperti hak

khiya>r al-syart (meneruskan atau membatalkan transaksi karena salah

seorang pelaku transaksi atau keduanya mensyaratkan adanya hak bagi

keduanya untuk membatalkan transaksi sampai waktu tertentu),

khiya>r al-naqd (syarat yang diberikan oleh penjual jika pembeli

26

(43)

35

menyerahkan harga pada waktu tertentu maka jual beli telah berlaku),

khiya>r ‘aib (hak yang dimiliki dan disepakati oleh kedua pelaku

transaksi jika ada cacat pada barang maka salah satunya bisa

meneruskan atau membatalkan transaksi), khiya>r al-ru’yah (hak yang

dimiliki oleh pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli

ketika selesai melihat barang), khiya>r al-ta’yi>n (hak yang dimiliki

pembeli untuk menetukan salah satu dari kedua barang yang telah di

tawarkan kepadanya untuk dibeli), khiya>r al-washfi (hak yang dimilik

pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli jika barang yang

dilihatnya tidak sesuai dengan kesepakatan), khiya>r al-ghubni (hak

yang dimiliki pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual beli

jika ternyata penjual menjual barang dengan harga yang lebih mahal

dari ketentuan pasar). Dengan demikian, jika pada jual beli yang

dilangsungkan oleh kedua belah pihak ada salah satu pihak yang

disebut di atas maka jual beli tidak berlaku pada pihak yang memiliki

hak pilih tersebut. Secara otomatis, ia berhak meneruskan atau

membatalkan transaksi itu, kalau terjadi halangan untuk

menerapkannya.27

C. Macam-Macam Jual Beli

27

(44)

36

Ditinjau dari segi hukumnya, jual-beli terbagi menjadi tiga jual-beli

sah menurut hukum Islam dan jual-beli yang tidak sah menurut hukum Islam,

diantaranya:

1. Jual Beli yang Sa>hih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual

beli itu disyari‟atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan

milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli seperti

ini dikatakan sebagai jual beli sahih.28

2. Jual Beli yang Ba>til

Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak

terpenuhi atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyariatkan

seperti jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau barang

yang diperjualbelikan tersebut merupakan barang yang diharamkan oleh

syara‟ seperti bangkai, darah, babi dan khamr. Adapun bentuk jual beli

yang batil itu sebagai berikut:

a. Jual beli sesuatu yang tidak jelas (Gharar)

b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan artinya menjual barang

yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, tidak sah (ba>til).

Misalnya, menjual barang yang hilang atau burung peliharaan yang

lepas dari sangkarnya.

28

(45)

37

c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan artinya menjual barang yang

ada unsur tipuan tidak sah (ba>til). Umpamanya, barang itu kelihatan

baik, sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik.

d. Jual beli benda najis hukumnya tidak sah, seperti menjual babi,

bangkai, darah dan khamr (semua benda yang memabukkan). Sebab

benda-benda tersebut tidak mengandung makna arti hakiki menurut

sayara‟.

e. Jual beli al-„urbun yaitu jual beli dengan sistem panjar yakni menjual

barang lalu pembeli membeli sejumlah uang kepada penjual sebagai

uang muka dengan syarat bentuk pembeli akan membeli/mengambil

barang tersebut, maka uang muka termasuk harga yang harus dibayar.

Jika pembeli tidak jadi membelinya maka uang menjadi milik penjual.

Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak

boleh dimiliki seseorang. Air yang disebutkan itu adalah milik

bersama umat manusia dan tidak untuk diperjualbelikan.29

3. Jual beli yang fa>sid

a. Ulama Hanfiyah yang membedakan jual beli fa>s}id dengan yang

batal. Apabila kerusakan dalam jual beli terkait dengan barang yang

dijualbelikan, maka hukumnya batal. Apabila kerusakan pada jual beli

itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, jual beli itu

dinamakan fa>sid. Di antara jual beli yang fa>sid, menurut ulama

Hanafiyah, adalah:

29

(46)

38

b. Jual beli al-majhu (benda atau barangnya secara global tidak

diketahuai) dengan syarat kemajhulannya itu menyeluruh.

c. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, apabila syaratnya

terpenuhi maka jual belinya dianggap sah.

d. Menjual barang yang gaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual

beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli.

e. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jumhur ulama mengatakan

bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta itu memiliki

hak khiya>r. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah tidak membolehkan

jual beli ini, kecuali jika barang yang dibeli itu telah ia lihat sebelumnya

buta.

f. Barter dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan

barang-barang yang diharamkan sebagai harga, seperti babi, khamr,

darah dan bangkai.

g. Jual beli anggur dan buh-buahan lain dengan tujuan pembuatan khamr,

apabila penjual mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen khamr.

h. Jual beli yang bergantung pada syarat.

i. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari

satuannya.

j. Jual beli buah-buahan dan padi-padian yang belum sempurna

matangnya untuk dipanen.30

30

(47)

39

D. Pengertian Urf

Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan

diterima oleh akal sehat. Adapun dari segi terminologi kata ‘urf mengandung

makna:

Artinya: sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-adah

(kebiasaan), yaitu:

Artinya: sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.31

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti sesuatu

yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan

mereka baik berupa perkataan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga

bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan

antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa

diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian

adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa

31

(48)

40

dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis,

sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.32

Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual

beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat

ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-wald secara mutlak berarti

anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan

mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk

dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun

tertentu. Berbeda dengan ijma‟, yang terbentuk dari kesepakatan para

mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.33

E. Macam-Macam Urf

‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang

rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak

bertentangan dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan yang haram dan tidak

membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang

dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara‟, menghalalkan

yang haram atau membatalkan kewajiban.34

Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari

beberapa segi:

1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua

macam:

32

Muin Umar, et al, Ushul Fiqh 1(Jakarta:Depag RI, 1986), 150.

33

Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum Islam(Jakarta:Pustaka Amani 1977), 117.

34

(49)

41

a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata

atau ucapan. Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya “anak”

yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata

tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus

untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annat). Penggunaan

kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenali waris

atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur‟an, seperti dalam surat an

-Nisa‟ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang

disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan

perempuan.

b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya:

(1) jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu

bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya

menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa

ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan

akad dalam jual beli.

(2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa

adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.

2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya

a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di

mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang

negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda

(50)

42

meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka

dianggap aneh atau ganjil.

b. Adat atau' urf'khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok

orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat

dan sembarang waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan kata

“paman” hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa

menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.

3. Dari segi penilaian baik dan buruk:

a. Adat yang shahi>h, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima

oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan

budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan

kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal

bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu

penghargaan atas suatu prestasi.

b. Adat yang fa>sid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun

merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama,

undang-undang negara daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan

suatu peristiwa; pesta dengan menghidangkan minuman haram;

membunuh anak perempuan yang baru lahir; kumpul kebo (hidup

bersama tanpa nikah).35

F. Syarat-Syarat Urf

35

(51)

43

Tidak semua ’urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus

memenuhi beberapa syarat, yaitu:

a. ‘Urf itu berlaku umum, yaitu ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan

masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh

karena itu, kalau hanya merupakan ’urf orang-orang tententu saja, tidak

bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.

b. Tidak bertentangan dengan nash Syar‟i, yaitu ‘urf yang selaras dengan

nash Syar‟i. ‘urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ‘urf,

akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya: ‘urf di masyarakat bahwa

seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘urf

semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah SWT berfirman:

 bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS. Al-Thala>q [65]:6)

c. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan

terjadi. Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya

(52)

44

tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi.

Lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging

adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan

daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya

karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.

d. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan

tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak

berlaku. Misalnya: Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji

bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji

ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur. Maka wajib

bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari maskipun ‘urf masyarakat

memberlakukan hari Ahad libur.

e. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati. Hal ini sangatlah

penting karena bila ada ‘urf yang bertentangan dengan apa yang telah

disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ‟Ijma) maka ‘urf menjadi tidak

berlaku, bila ‟urfnya bertentangan dengan dalil Syar‟i.36

G. Kedudukan Urf Sebagai Dalil Syara

Para ulama‟ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah

selama tidak bertentangan dengan Syara‟. Ulama‟ Malikiyyah terkenal

dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama‟ Madinah dapat dijadikan

36

al-A‟jam Rafiq,”Ushul Islamiyah Manhajuha wa-Ab’aduha”, dalam

Gambar

 Tabel 1
Tabel 2  Jumlah Penduduk Desa Brudu
Tabel 4 Sarana Pendidikan Desa Brudu
Tabel 5  Sarana Tempat Ibadah
+2

Referensi

Dokumen terkait

K dengan post operasi Hemikolektomi hari ke 5 et causa Tumor Sekum di Ruang Edelwais Rumah sakit Umum Banyumas pada tanggal 12 sampai 13 Juli 2012”.. Penulis menyadari

4 (a) The working capital cycle illustrates the changing make-up of working capital in the course of the trading operations of a business:.. 1 Purchases are made on credit and the

Beberapa hal yang diketjakan dalam tugas akhir ini antara lain adalah melakuk an penghitungan zinc anode yang dibutuhkan serta tekni s pemasa.ngannya, penghitungan biaya

Dari kesimpulan diatas penulis berpendapat bahwa pengolahan bahan pustaka buku merupakan proses mengolah bahan pustaka untuk membantu pemakai dalam menemukan

Menyikapi masalah-masalah baru dalam bidang politik, para ulama fikih berusaha mencarikan solusinya di antaranya dengan mengidentifikasi beberapa kasus yang mirip dan

Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: (1) Guru diharapkan semakin meningkatkan kreatifitasnya dalam menciptakan suatu situasi yang mampu

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Skema Kompensasi Denda terhadap Kinerja

5 Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data pada proses kegiatan belajar mengajar berlangsung