1
I.
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Seperti telah diketahui bahwa studi mengenai
kebudayaan-kebudayaan antropologi Papua sudah sering
dilakukan bahkan sudah banyak yang dipublikasikan
secara umum. Namun secara khusus studi-studi
mengenai kebudayaan tersebut belum cukup untuk
menjelaskan hubungan kekerabatan dari tiap suku yang
ada. Pada kenyataannya antropologi sendiri adalah ilmu
yang mempelajari semua makhluk yang ada di muka bumi
ini dari segala zaman bahkan pada semua tempat di muka
bumi.
Penggunaan karya-karya budaya atau apapun
sebagai penanda (marker) untuk mempelajari
pertanyaan-pertanyaan antropolis, apalagi pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan
yang terkait dengan sejarah kebudayaan, haruslah
memenuhi dua syarat utama, yaitu konservasi dan
diferensiasi. Penanda harus memenuhi syarat konservasi
artinya bahwa penanda tersebut haruslah membawa
berita tentang masa lampau dan berita itu terkonservasi
utuh dan dapat disingkap oleh sang peneliti (Karwur,
2
Penggunaan penanda hayati dalam mempelajari
asal-usul dan keanekaragaman manusia (termasuk
kebudayaan) telah dieksploitasi sejak awal berdirinya
antropologi. Landsteiner (1901) berhasil membangun
penggolongan darah sistem ABO yang menjadi
dasar-dasar dalam transfusi darah dan sebagai penanda genetik.
Sebagai penanda genetik, sistem ABO telah dieksploitasi
secara ekstensif untuk mempelajari struktur genetik
populasi manusia dalam studi-studi antropologi hayati
masyarakat-masyrakat suku (Harisson, 1977).
Demikian pula penanda serologis sistem MNS, yang
dibangun tahun 1927 telah dimanfaatkan untuk
membedakan antara masyarakat yang hidup di dataran
tengah Papua dan daerah sekitarnya, Asia Tenggara, dan
Australia. Masyarakat yang tinggal di Asia Tenggara
memiliki frekuensi gen M yang tinggi (Mourant, 1977).
Sebaliknya mereka yang tinggal di New Guinea dan
pulau-pulau disekitarnya memiliki frekuensi gen M yang sangat
rendah namun dengan N yang tinggi, suatu penanda yang
ditemukan di mana saja di dunia ini. Mereka yang tinggal
di dataran tengah New Guinea memiliki frekuensi N
tertinggi (hampir mencapai 90%) yang sama situasinya
dengan masyarakat Aborigin Australia. Uniknya, mereka
yang tinggal di dataran tinggi Papua memiliki gen lain
3
Salah satu studi yang dilakukan oleh Kayser et all
(2001), yang meneliti tentang sejarah hubungan populasi
antara Melanesia dan Australia dengan dengan
menggunakan penanda gen kromosom Y, dapat
menggambarkan bagaimana hubungan kekerabatan dan
evolusi dari rumpun populasi tersebut.
Hal-hal tersebut di atas menjadi cukup menarik
untuk dapat menelusuri kembali sejarah peradaban
masyrakat lampau berdasarkan kebudayaan masyarakat
sekarang sebagai penanda. Salah satu yang menarik
untuk dipelajari dan ditelusuri adalah sejarah asal-usul
masyarakat Papua berdasarkan dengan nila-nilai
kebudayaan dan keanekaragaman suku dan bahasa di
Papua. Dengan demikian dari keterangan serta hasil-hasil
penelitian dan juga sejarah kebudayaan yang menjadi
penanda (marker) maka akan sangat menarik untuk dapat
menelusuri kembali sejarah peradaban masyarakat Papua
berdasarkan dengan penanda (marker) yang sudah ada.
B.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini
bertujuan untuk :
Mengetahui hubungan kekerabatan serta evolusi antar
beberapa suku besar yang ada di Papua dengan
pendekatan molekuler menggunakan penanda molekuler
4
C.
Batasan Masalah
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda, maka
dilakukan pembatasan sebagai berikut :
1. Objek penelitian yang digunakan berupa
penanda molekuler kromosom Y yang berasal
dari darah manusia.
2. Suku-suku yang diambil sampelnya hanya tujuh
suku besar di Papua, antara lain: suku Ayamaru
dari Kabupaten Sorong, suku Danny dari
Kabupaten Wamena, suku Yally dari Kabupaten
Wamena, suku Mappi dari kabupaten Merauke,
suku Paniai dari kabupaten Nabire, suku Yapen
dari Kabupaten Yapen (Serui), dan suku Biak
dari kabupaten Biak.