• Tidak ada hasil yang ditemukan

laporan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "laporan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI

Oleh:

Oleh:

MEIRITA TIFFANY

MEIRITA TIFFANY

NIM.

NIM. 15505010711117

155050107111173

3

Kelompok F5

Kelompok F5

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

MALANG

2018

2018

(2)
(3)

KATA PENGANTAR  KATA PENGANTAR 

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulisan laporan akhir praktikum Epidemiologi 2018. Laporan ini merupakan salah sehingga penulisan laporan akhir praktikum Epidemiologi 2018. Laporan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan

satu syarat untuk memperoleh kelulusan menempuh mata kuliah epidemiologi.menempuh mata kuliah epidemiologi.

Dengan terselesaikannya laporan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya Dengan terselesaikannya laporan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat:

kepada yang terhormat: 1.

1. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas Peternakan UniversitasProf. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP., selaku Ketua Program Studi Peternakan Brawijaya dan Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP., selaku Ketua Program Studi Peternakan  beserta staff yang telah banyak membina kelancaran proses studi.

 beserta staff yang telah banyak membina kelancaran proses studi.

Prof. Dr. Drh. Pratiwi Trisunuwati, MS selaku Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Ita W Prof. Dr. Drh. Pratiwi Trisunuwati, MS selaku Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Ita W ahjuahju  Nursita, M.Sc., selaku Pembimbing Pend

 Nursita, M.Sc., selaku Pembimbing Pendamping atas saran dan bimbingannyamping atas saran dan bimbingannya.a. 2.

2. Arik Yuswati, S.Pt., selaku laboran Laboratorium Epidemiologi Fakultas PeternakanArik Yuswati, S.Pt., selaku laboran Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

Universitas Brawijaya

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi diberikan dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi  penulis dan pembaca.

 penulis dan pembaca.

Malang, April 2017 Malang, April 2017

Penulis Penulis

(4)

3 3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI Isi Halaman Isi Halaman KATA PENGANTAR  KATA PENGANTAR  ... ... iiii RINGKASAN RINGKASAN ... ... iviv DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... vi ... vi DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL ... viii ... viii DAFTAR GAMBAR 

DAFTAR GAMBAR   ... ix  ... ix DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xx

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1

1.1 Pengiriman Pengiriman spesimen spesimen bahan...bahan... ... 66 1.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

1.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

1.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 1.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 1.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

1.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

1.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 1.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 1.6 Pemeriksaan residu antibiotik

1.6 Pemeriksaan residu antibiotik

BAB II METODE

BAB II METODE KEGIATANKEGIATAN 2.1

2.1 Pengiriman Pengiriman spesimen spesimen bahan...bahan... ... 66 2.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

2.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

2.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 2.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 2.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

2.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

2.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 2.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 2.6 Pemeriksaan residu antibiotik

2.6 Pemeriksaan residu antibiotik

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1

3.1 Pengiriman Pengiriman spesimen spesimen bahan...bahan... ... 66 3.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

3.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

3.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 3.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 3.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

3.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

3.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 3.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 3.6 Pemeriksaan residu antibiotic

3.6 Pemeriksaan residu antibiotic BAB IV PENUTUP

BAB IV PENUTUP 4.1

4.1 Pengiriman Pengiriman spesimen spesimen bahan...bahan... ... 66 4.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

4.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

4.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 4.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 4.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

4.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

4.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 4.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 4.6 Pemeriksaan residu antibiotik

(5)

DAFTAR PUSTAKA

5.1 Pengiriman spesimen bahan... 6 5.2 Pengamatan endoparasit pada feses.

5.3 Pengamatan endoparasit pada kerokan mukosa usus 5.4 Pengamatan ektoparasit scabiosis

5.5 Pengamatan susu mastitis dan uji CMT 5.6 Pemeriksaan residu antibiotik

(6)

5

(7)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Pengambilan specimen atau bahan pemeriksaan merupakan langkah awal yang sangat menentukan hasil pemeriksaan dalam rangka memperoleh jawaban yang menentukan  penyebab infeksi. Dapat terjadi bahwa yang diisolasi bukan penyebab tetapi organisme flora normal sehingga akan memberikan intreprestasi hasil laboratorium yang keliru dan menyebabkan langkah terapi yang salah (Pinta Murni,dkk, 2015).

Terhindar dari kemungkinan kontaminasi baik dari alat, lingkungan, bagian tubuh lain, dan petugas pengambil. Alat dan tempat spesimen harus steril dan sesuai. Misalnya  pengambilan urine atau sputum sebaiknya dengan pot bermulut lebar. Setelah bahan ditampung hendaknya ditutup rapat dan dicegah adanya kebocoran untuk menghindari kontaminasi dan pencemaran dari dan pada lingkungan (Armedy Ronny,dkk, 2016).

Tinja dapat dikirim tanpa medium transport bila tidak terlalu lama. Apabila jarak  pengiriman jauh sehingga memerlukan waktu lebih dari 4 jam, maka perlu digunakan media transport yang sekaligus merupakan medium selektif bagi jenis kuman tertentu. Medium transport atau selektif ini berupa medium cair, misalknya : Air peptone alkali, Selenit Broth, dsb. Perlu diperhatikan suhu dan hindarkan dari kekeringan (Kartika Dewi,dkk,2013).

Penggunaan SOP sebagai salah satu pedoman di laboratorium ternyata masih belum dilakukan sepenuhnya, terutama bagi negara yang belum menerapkan prinsip biosafety laboratorium sebagai prioritas utama ( Drs. Chairlan, dkk, 2011).

Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati posisi penting dalam diagnosis invitro. Terdapat lima (5) alasan pemeriksaan laboratorium diperlukan, yaitu : skrining, diagnosis, pemantauan progresifitas penyakit, monitor pengobatan dan  prognosis penyakit. Oleh karena itu setiap laboratorium harus dapat memberikan data hasil

(8)

7 BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

Tinja atau isi usus :

 Jenis bahan yang dikirim  Pengawet

3.3 Prosedur Kerja

  Nama dan alamat dokter hewan, pejabat yang akan ditunjuk, atau alamat

kepada Laboratorium Diagnostik penyakit harus jelas

 Cantumkan gejala penyakit dengan tanda-tanda klinis

 Pemeriksaan yang diinginkan (bakteriologis, pathologis klinis, pathologi

anatomi yang lain)

 Keterangan tentang ternak yang terserang, misalnya umur, spesies, kelami n

dan bangsa

 Jumlah ternak yang terserang dalam populasi  Jumlah kematian

 Jenis bhan yang dikirim

 Pengawet yang digunakan sesuai dengan tujuan pemeriksaan

(9)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada saat praktikum dijelaskan bahwa pengiriman specimen barang harus melewati tahap pemeriksaan. Hal ini sebanding pernyataan dari Hartini. S (2016) yang menyatakan  bahwa pemeriksaan laboratorium tiap parameternya harus dilakukan segera. Akan tetapi  bila diperlakukan untuk penyimpanan spesimen, pengiriman dan penundaan pemeriksaan seperti pemadaman listrik, kerusakan alat, reagen yang habis dan jumlah sampel yang  banyak, maka sampel harus disimpan. Dalam Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik ada  beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas spesimen seperti kontaminan oleh kuman dan bahan kimia, terkena paparan sinar matahari, pengaruh suhu dan metabolisme dari sel-sel hidup seperti sel darah. Sehingga terdapat beberapa cara penyimpanan untuk sampel darah yaitu disimpan dalam bentuk serum di dalam lemari es dengan suhu 2-80C. Dengan begitu stabilitas serum akan bertahan selama 5-7 hari.

Dalam pengiriman kita harus memberikan keterngan alamt dokter dan penyakit yang  jelas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Chlairin (2013) yang menyatakan bahwa laboratorium perifer mengirim spesimen ke laboratorium rujukan atau laboratorium yang lebih spesialistik untuk pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak dapat dilakukan di laboratorium setempat. Sebagai contoh, pemeriksaan serologis untuk infeksi treponemal atau tifoid; kultur feses untuk deteksi Vibrio cholerae; dan pemeriksaan histologis bahan  biopsi.

Pengiriman bahan serta beberapa keterangan harus ditempelkan pada botol atau  pembungkus. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puspa.D, dkk, (2013) yang menyatakan bahwapemeriksaan konfirmasi rutin spesimen menjadi salah satu komponen yang penting dalam pemastian mutu pemeriksaan dalam jejaring laboratorium campak. Walau bagaimanapun, pengiriman spesimen serum dari laboratorium nasional ke laboratorium rujukan cukup mahal, khususnya saat pengiriman dengan cold chain.

Kegunaan SOP laboratorium sangat beragam, salah satunya berkaitan dengan tindakan  pencegahan dalam keselamatan (safety precaution). Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Rony Armedy,dkk (2016) yang menyatakan bahwa (Standar pembuatan SOP harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai standar GLP. Berbagai SOP dapat disusun asalkan sesuai dengan standar yang ada dan bertujuan untuk meningkatkan mutu laboratorium. Berbagai jenis SOP dapat dikembangkan diantaranya SOP pendaftaran,  pengambilan spesimen, penyimpanan spesimen, pengelolaan spesimen hingga penyerahan hasil pemeriksaan spesimen. SOP lainnya dapat berupa SOP penggunaan alat pemeriksaan, kecelakaan kerja, sistem pelaporan kecelakaan kerja dan lainnya. Untuk menjamin kualitas yang sudah ada maka SOP juga harus selalu dievaluasi secara berkala.

Pembungkus specimen untuk pengiriman harus melewati tahap pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Murni.P, dkk (2015) yang menyatakan bahwa engertian kedua dari herbarium adalah spesimen (koleksi tumbuhan), baik koleksi basah maupun kering. Spesimen kering pada umumnya telah dipres dan dikeringkan, serta ditempelkan  pada kertas (kertas mounting), diberi label berisi keterangan yang penting dan sulit dikenali

secara langsung dari spesimen kering tersebut, diawetkan serta disimpan dengan baik ditempat penyimpanan yang telah disediakan. Spesimen basah yaitu koleksi yang diawetkan dengan menggunakan larutan tertentu, seperti FAA atau alcohol.

(10)

9

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Penundaan pemeriksaan seperti pemadaman listrik, kerusakan alat, reagen yang habis dan jumlah sampel yang banyak, maka sampel harus disimpan. Dalam Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas spesimen seperti kontaminan oleh kuman dan bahan kimia, terkena paparan sinar matahari,  pengaruh suhu dan metabolisme dari sel-sel hidup seperti sel darah. Sehingga terdapat  beberapa cara penyimpanan untuk sampel darah yaitu disimpan dalam bentuk serum di dalam lemari es dengan suhu 2-80C. Dengan begitu stabilitas serum akan bertahan selama 5-7 hari.

5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Chairlan dan Lestari. E. 2011. Teknik Laboratorium Kesehatan. Buku Kedokteran EGC. Yogyakarta.

Hartini. S dan Eka. M. 2016. Uji Kualitas Serum Simpanan terhadap Kadar Kolestrol dalam Darah di Poltekkes Kemenkes KALTIM. Jurnal Ilmiah. Vol 2(1), 65-6.

Murni. P, Muswita, Harlis, Upik Yelianti dan Winda. D. W. 2015. Lokakarya Pembuatan Herbarium untuk Pengembangan Media Pembelajaran Biologi di MAN Cendekira Muaro Jambi. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat. Vol 3 (2): 1-23.

Puspa. D. K, Mursinah, Ratumas. R dan Budianto. 2013. Stabilitas Imunoglobulin M (IgM) Campak pada Dried Serum Spots. Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol 3.2.2013:46-51.

Ronny. M, Hasugian1 dan Vivi. L. 2016. Peran Standar Operasional Prosedur Penanganan Spesimen untuk Implementasi Keselamatan Biologik (Biosafety) di Laboratorium Klinik Mandiri. Jurnal Peran Standar Operasional Prosedur. 1-10.

(11)

PENGAMATAN ENDOPARASIT PADA FESES 1. Single egg of C. infudibulum

2. Ascaridia galli

(12)

11 BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Sampel kemudian disimpan dalam larutan formalin 4% untuk kemudian diperiksa ada tidaknya endoparasitnya. Pemeriksaan endoparasit dilakukan di Bidang Zoologi, Pusat ( Kartika dewi,2012).

Penyakit pada ternak akibat cacing parasit dapat merugikan secara ekonomis, karena dapat menurunkan produktifitas dari ternak tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan intensitas infeksi telur cacing parasit pada sapi potong (Novese Tantri,dkk, 2013).

Keberhasilan peternak sapi perah dipengaruhi oleh cara perawatan dan  pengawasannnya, sehingga kesehatan ternak sapi perah tersebut tetap terjaga (Resti

Puttama, dkk, 2017).

Faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas ternak adalah gangguan kesehatan yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit baik berupa ektoparasit maupun endoparasit (Rikardo Silaba,dkk,2011).

Feses sapi potong yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas dapat mengandung mikroorganisme endoparasit seperti cacing yang dapat menyebabkan gangguan sistem ekologis diantaranya penyebaran penyakit terhadap ternak maupun manusia (Nugraheni, dkk,2013).

(13)

BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

 Tinja baru (diambil dari rectum atau segar) 1 sdt  Cairan fisiologis atau air bersih

 Lidia tau gelas pengaduk  Obyek glass dan penutup  Mikroskop

3.3 Prosedur Kerja

 Ambil obyek glass dan penutup, bersihkan

 Ambil tinja sapu satu ujung korek api, lwtakkan pada obyek glass  Teteskan sediit air, aduk pelan dengan lidi, buang bagian yang kasar  Tutupkan gelas penutup, jangan sampai ada udara teroerangkap  Amati dibawah mikroskop

(14)

13 BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada saat praktikum dijelaskan bahwa telur cacing berkembang pada feses ternak. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Dewi.K (2013) bahwa secara perkembangan, telur  belum infektif ketika dikeluarkan inang melalui feses dan akan berkembang menjadi

infektif jika menemukan lingkungan yang menguntungkan. Tingkat prevalensi Ascaris pada  babi sangat dipengaruhi tercemarnya pakan oleh telur infektif tersebut. Selain hal tersebut  pada babi liar yang hidup dalam kelompok kecil dengan area jelajah yang luas akan memiliki prevalensi Ascaris yang lebih kecil dibandingkan kelompok besar dengan kepadatan yang tinggi

Pada saat praktikum dijelaskan bahwa telur yang berada di feses ayam buras salah satuny adalah  fasciolah hepatica. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari  Fasciola hepatica dapat menginfeksi inang melalui makanan, berupa rumput yang mengandung telur  parasit yang terbawa Lymnae sp. Infeksi dapat pula terjadi akibat sapi yang meminum air yang bersumber dari aliran air yang mengandung telur yang terbawa oleh siput tersebut. Setelah serkaria menemukan inang, serkaria tersebut bergerak menuju usus halus kemudian menjadi mirasidium yang akan berkembang dan menuju hati inang

Prevalensi tertinggi infeksi telur cacing parasit berasal dari kelas Nematoda dengan  persentase 100%, diikuti cacing parasit Trematoda 36,5% dan cacing parasit Cestoda 15%. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Tantri.N, dkk (2016) menyatakan bahwa  prevalensi dan intensitas telur cacing parasit yang ditemukan pada 80 sampel feses berbeda. Prevalensi tertinggi ditemukan pada Ascaris infertil (100%) dan terendah pada Taenia saginata (3,37%). Intensitas serangan tertinggi pada T. saginata (111 butir/ ind) dan terendah pada F. hepatica (1,31 butir/ ind

Ayam buras memiliki banyak parasite pada feses. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Silaban.R, dkk (2011) menyatakan bahwa ayam yang terserang parasit dapat mengalami penurunan berat badan. Ayam dapat terinfeksi oleh endoparasit melalui makanan. Endoparasit dapat ditularkan melalui makanan dengan kondisi yang kurang  bersih. Selain itu penyebaran endoparasit dapat melalui air dan peralatan yang digunakan  pada pemeliharaan ternak

Bakteri mesofilik dengan suhu antara 20ºC- 45ºC sedangkan cacing endoparasit tidak dapat bertahan hidup pada kondisi suhu melebihi 37ºC sehingga cacing tidak dapat  bertahan hidup dan akhirnya mati. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Nugraheni.  N, dkk (2015) menyatakan bahwa dari kelas Trematoda cacing yang teridentifikasi adalah Fasciola sp, dan Paramphistomum sp. Kedua cacing ini memerlukan siput sebagai hospes  perantara. Infeksi pada hospes definitif terjadi pada saat ternak memakan rumput atau

(15)

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Ayam dapat terinfeksi oleh endoparasit melalui makanan. Endoparasit dapat ditularkan melalui makanan dengan kondisi yang kurang bersih. Selain itu penyebaran endoparasit dapat melalui air dan peralatan yang digunakan pada pemeliharaan ternak. Dan pada saat melakukan  praktikum kelompok kai tidak menemukan telur cacing atau sejenisnya.

5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi.K dan Nugraha. 2012. ENDOPARASIT PADA FESES BABI KUTIL (Sus verrucosus) DAN PREVALENSINYA YANG BERADA DI KEBUN BINATANG SURABAYA. Jurnal Peternakan. Vol 4 (1): 67-78.

Irsya. P. R, Mairawita, dan Henny. JENIS-JENIS PARASIT PADA SAPI PERAH DI

KOTA PADANG PANJANG SUMATERA BARAT. JURNAL

METAMORFOSA IV (2): 189-19.

 Nugraheni. N, Eulis. T, dan Yuli. 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit pada Feses Sapi Potong Sebelum dan Sesudah Proses Pembentukan Biogas Digester Fixed-Dome. Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine. Vol. 1(1): 17-20.

Silaban. R, Febriansyah, dan Pulungan. 2013. Penyakit Menular Pada Intensifikasi Unggas Lokal dan Cara Penanggulangannya. Jurnal Peternakan. Vol 2(1): 57-75.

Tantri. N, Tri Rima dan Siti. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont . Vol 2 (2): 102 –  10.

(16)

15

PENGAMATAN ENDOPARASIT PADA KEROKAN MUKOSA USUS

1. Fasciola hepatica 2. Gaigeria pachycelis 3. Chabertia ovina

(17)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang (Afifah. D.S, 2016.) .

Rattus norvegicus perlu diwaspadai mengingat pasar merupakan tempat yang penuh aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena berpotensi menyebarkan berbagai penyakit parasite (Solomon. S, dkk, 2016).

Endoparasit dapat ditemukan pada otak, hati, paru-paru, jantung, ginjal, otot, kulit, darah dan saluran pencernaan ( Rismawati, dkk, 2009).

Ascaridia galli (A. galli) adalah cacing gelang bertubuh besar dan tergolong cacing nematoda. Investigasi epidemiologi ascaridiosis yang disebabkan oleh infestasi A. galli pada unggas tersebar hampir di seluruh dunia (Darmawi, dkk, 2013).

Larva stadium L3 A. galli diperoleh dari isi lumen dan mukosa usus halus ayam petelur yang telah diinfeksi dengan dosis 6000 telur infektif A. galli (Santos, et all, 2011).

(18)

17 BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

 Siapkan usus ayam buras, keroklah dengan scalpel  Cairan fisiologi atau air bersih

 Gelas obyek dan gelas penutup  Mikroskop

3.3 Prosedur Kerja

 Pisahkan menjadi 3 bagian : proventrikulus, usus halus dan caecum

 Buka tiap bagian dengan guntng, kemudian keroklah bagian mukosa dengan scalpel  Lakukan pemeriksaan seperti pada tugas II, tentukan apakah protozoa, larva cacing,

cacing dewasa atau telur cacing pada sampel

(19)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Endoparasit yang menyerang vertebrata adalah protozoa, virus, bakteri, trematoda, cestoda dan nematoda. Salah satu yang banyak diinfeksi oleh parasit adalah ungags. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Setyaningrum (2016) bahwa parasit helmint atau cacing secara alami ditemukan pada berbagai jenis unggas liar dan unggas peliharaan. Endoparasit yang sering menginfeksi unggas peliharaan seperti bebek, itik, burung dan ayam adalah  Nematoda. Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua umur. Ayam yang terinfeksi endoparasit memiliki gejala seperti lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan mengakibatkan kematian. Endoparasit dapat menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan  penurunan produksi ayam kampung.

Penyebaran endoparasit terhadap hewan ternak dapat melewati pakan, air dan peralatan ternak. Hal ini sebanding dengan Shufferaw. S,et all (2016) keberadaan parasit di dalam tubuh ayam kampung dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tertentu. Serangan parasit menimbulkan penyakit yang menyebabkan kerugian bagi peternak berupa kematian dan menurunkan hasil produksi telur dan daging. Ayam yang terserang penyakit ini akan mengalami penurunan berat badan sehingga ayam menjadi lemah dan kurus bahkan menyebabkan kematian.

Kebiasaan makan ayam kampung yang bersifat omnivora adalah sebagai sebab akibat ayam kampung terserang penyakit parasit. Hal ini sebanding dengan Rismawati, dkk (2011) menyatakan bahwa eimeria yang ditemukan diduga berasal dari air yang diminum pada ayam kampung. Eimeria merupakan penyebab terjadinya penyakit koksidiosis pada ayam umur muda.

Penyebab tingginya angka prevalensi pada ayam kampung ini diperkirakan karena sistem  pemeliharaan, masalah pakan tidak bersih dan faktor lingkungan. Hal ini sebanding dengan  pernyataan dari Darmawi (2013) yang menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ayam kampung secara tradisional yaitu pemeliharaan ayam yang dilepaskan pada siang hari dan  pada malam hari dikandangkan, mengakibatkan ayam kampung mempunyai peluang lebih  besar untuk terjangkit parasit.

Trematoda yang ditemukan pada usus ayam kampung adalah Echinostoma (4%) dan Schistosoma. Hal ini sebanding dengn Santos, et all ( 2011) yang menyatakan bahwa Trematoda memiliki bagian paling luar disebut tegume, ujung anterior tubuh terdapat batil isap (oral sucker) dan bagian ventralnya terdapat sucker (Bowman 1999). Prevalensi Echinostoma sp (16%) ditemukan pada itik (Anas javanica) di Pasar tradisional Surabaya (Suheni et al. 2010). Pada umumnya infeksi ringan cacing Echinostoma tidak pathogen.

(20)

19

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua umur. Ayam yang terinfeksi endoparasit memiliki gejala seperti lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan mengakibatkan kematian. Endoparasit dapat menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan  penurunan produksi ayam kampung. Pada saat praktikum tidak menemukan adanya cacing di mukosa usus gelombang kami.Penyebaran endoparasit terhadap hewan ternak dapat melewati pakan, air dan peralatan ternak.

5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum

DAFTAR PUSTAKA

Darmawi1, Ummu. B, Risa Fachriyan, dan Razali. D. 2012. Populasi L3 pada a yam petelur yang diinfeksi dengan dosis 6000 L2 Ascaridia galli. Jurnal Kedokteran Hewan 1(2): 71-76.

Shiferaw. S, Firaol, Askale. G, Dagmawit. A, and Abreham Mekibib. 2016. Study on Prevalence of Helminthes of Local Backyard and Exotic Chickens in and Around Ambowest Shoa Zone, Oromia Regional State, Ethiopia. J Veter Sci Med. Vol. 4 (2): 68-87.

Rismawati, Yusfiati, dan Radith. 2011. Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan itik  jawa (Anas javanica) yang dipotong dan dijual di beberapa pasar tradisional Kota

Surabaya. Vol. 1(3): 58-76.

Santos TC,Murakami A, and Fanhani Oliveira. 2011. Production and Reproduction of Egg-and Meattype Quails Reared in Different Group Sizes. Brazilian Journal of Poultry Science. Vol. 4 (1): 69-78.

Setyaningrum. D.A. 2016. Jenis Tikus dan Endoparasit Cacing dalam Usus Tikus di Pasar Rasamala Kelurahan Srondol Wetan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 4 (3): 8-18.

(21)

PENGAMATAN EKTOPARASIT SCABIOSIS 1. Sarcoptes scabiei

(22)

21 BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Burrow ink test adalah suatu cara untuk mengetahui kanal terowongan (papul) dalam kulit yang dibuat oleh Sarcoptes scabiei sebagai karakteristik kelainan kulit dari scabies (Isa Ma’rufi, dkk, 2012).

Tungau Sarcoptes scabiei berukuran 400 x 300 m dan hampir tidak terlihat dengan

mata telanjang. Putih seperti mutiara, tidak memiliki mata, tembus cahaya, kecil, berbentuk oval, dan perutnya rata. Tungau memiliki delapan kaki yang melekat pada ventral  permukaan cephalothorax. (Mayang, 2011).

Tempat tempat yang menjadi favorit bagi sarcoptes scabei adalah daerahdaera lipatan kulit, seperti telapak tangan, kaki, selangkangan, lipatan paha, lipatan perut, ketiak dan daerah vital (Parman, dkk, 2017).

Secara morfologi Sarcoptes scabiei pada kambing dan kelinci tidak ada perbedaan, yaitu ektoparasit yang berukuran kecil, bentuk bulat dengan garis luar kasar (Ririen, dkk, 2012)

Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar adanya leg sucker (pulvilus), dimana  pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2 dan 4, sedang  pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2 Beberapa peneliti menyatakan bahwa

(23)

BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

 Siapkan kerokan kulit penderita kudisan (scabiosis) kelinci atau kambing  KOH 10%

 Gelas ar;oji atau pot plastic  Mikroskop

3.3 Prosedur Kerja

 Ambil kerokan mukosa letakkan dalam pot atau gelas arloji  Tambahkan KOH 10%

 Aduk pelan kemudia diambkan 5-10 menit

 Buatlah preparat sederhana pada gelas obyek dengan penutup  Lihat dibawah mikroskop

(24)

23 BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis dan  pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala krusta. Hal ini sebanding pernyataan dari Ngesti. R, dkk (2009) menyatakan bahwa scabies karena iritasi akibat tungau yang aktif membentuk terowongan sehingga temak lebih cenderung menggaruk dan menggigit karena gatal yang hebat sehingga mengakibatkan pembengkaan disertai eksudat membeku dan membentuk krusta pada permukaan kulit.

Kambing dan kelinci yang menunjukkan gejala scabies seperti timbulnya krusta dan  penebalan kulit pada daerah telinga, moncong, sekitar mata atau leher dan punggung. Hal ini sebanding pernyataan dari Ma’rufi, dkk (2010) menyatakan bah wa Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada ma malia domestik maupun mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit jenis tungau (mite) Sarcoptes scabiei, dengan berbagai varietas seperti pada kambing dan kelinci.

Perbedaan morfologi berdasarkan ukuran tungau jantan dan betina serta ingin mengetahui bagaimana profil protein sarcoptes pada kambing dan kelinci. Hali ini sebanding dengan pernyataan Kusuma. M, dkk (2011) yang menyatakan bahwa melakukan  pengukuran (diameter) sarcoptes jantan dan betina baik pada kelinci maupun kambing. Sebagian isolat dicuci dengan PBS dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk membersihkan kotoran serta darah yang terbawa waktu scraping, pencucian tersebut dilakukan sampai tiga kali.

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan dan gatal agogo. Hal ini sebanding pernyataan dari Zainal. N (2013) yang menyatakan bahwa Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, pada semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan  perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung dengan  penderita (skin-to-skin) maupun tidak langsung.

Skabies mempunyai tiga presentasi klinik yaitu classic, crusted, dan nodular. Hal ini sebanding pernyataan dari Parman, dkk (2017) yang menyatakan bahwa S scabiei var.caprae, pada domba S.scabiei var.ovis, pada kelinci S.scabiei var.cuniculi pada anjing S scabiei var. canis, pada manusia S.scabiei var.hominis dan pada babi S.scabiei var.suis. Meskipun antara mamalia satu dengan lainnya berbeda varietas namon dimungkinkan terjadi penularan pada induk semang lainnya. Prevalensi scabies pada populasi kambing lebih fluktuatif, mulai kurang dari 5% sampai mendekati 100% dan mortalitas cukup tinggi antara 67 - lOO% pada kambing berumur muda dan sekitar 11% untuk kambing dewasa

(25)

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala krusta dantungau yang aktif membentuk terowongan sehingga temak lebih cenderung menggaruk dan menggigit karena gatal yang hebat sehingga mengakibatkan  pembengkaan disertai eksudat membeku dan membentuk krusta pada permukaan kulit.

Hasil praktikum kelompok kami terdapat s Sarcoptes scabiei 5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi. K. M dan Nasrul Wathoni. 2011. Diagnosis dan Regnosis Pengobatan Scabies. Jurnal Anm. Vol. 2(5): 67-78.

I Ma’rufi. I, Erdi Istiaji dan EriWitcahyo. 2011. Hubungan Personal Hygiene Santri Dengan Kejadian Penyakit Kulit Infeksi Scabies Dan Tinjauan Sanitasi Lingkungan Pondok Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmiah. Vol 1(4): 22-45.

Parman, Hamdani, Irwandi. R dan Angga Pratama. 2017..Survey on the importance of mange in the aetiology of skin lesions in goats in Peninsular Malaysia. Trop.Anim. Vol. 1(26) :81-86.

Zainal. N, Farida dan Sri Vitayani . 2013. EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI MIMBA 10% PADA PENDERITA SKABIES. JST Kesehatan.Vol.3 No.2 : 196 –  202

(26)

25

(27)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Uji CMT, susu dari pemerahan pancaran kedua atau ketiga dari setiap puting lalu ditampung pada paddle. Setelah itu ditambahkan reagen CMT (1:1). Setelah ditambahkan reagen, paddle diputar perlahan-lahan secara sirkuler selama 10-15 detik dan dilihat perubahan  pada larutan yaitu berupa pembentukan gel berwarna putih abu-abu dalam larutan berwarna

ungu pada dasar paddle (Puguh Surjowardojo,dkk, 2008).

Sapi perah merupakan jenis sapi yang meghasilkan susu melebihi kebutuhan untuk anaknya. Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh faktor antara lain: bangsa dan individu, tingkat laktasi, kecepatan sekresi susu, pemerahan, umur, siklus birahi, periode kering, pakan, lingkungan serta penyakit (Puguh Surjowardojo, 2011).

Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammaeoleh mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan  produksi susu (Z. Riza, 2011).

Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara host/induk semang (sapi), agen penyebab dan lingkungan. Pada sapi perah, kejadian mastitis lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri dibandingkanoleh agen penyebab lainnya se perti cendawan atau kapang (Nurhayati, S,I, 2015).

Path Análisis salah satu kajian epidemiologi untuk mengetahui faktor-faktor yang  berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap mastitis pada sapi perah Koperasi di

(28)

27 BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

Air susu mastitis dari 4 putting Paddle dengan 4 lubang

3.3 Prosedur Kerja

 Tuangkan air susu setiap putting pada setiap lubang pada paddle  Aduk dan lihat apakah terdapat mucous/lender

 Amati perubahan yang terjadi  Cari cara pembacaan dengan CMT

(29)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada saat praktikum dijelaskan bahwa air susu mengalami mastitis akan mengalami  perubahan warna, baud an visikositas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S, dkk (2008) bahwa reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk kedalam kelenjar susu agar dapat berfungsi normal. mastitis dapat menyebabkan  perubahan fisik, kimia, dan bakteriologi dalam susu serta perubahan patologi dalam  jaringan glandula mammae. Perubahan yang kelihatan dalam susu meliputi perubahan

warna, terdapat gumpalan dan munculnya leukosit dalam jumlah besar.

Penyebab Sapi Perah mengalami mastitis karena kebersihan kandang yang kurang sehingga terdapat banyak kuman. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S (2011) bahwa sanitasi kandang yang kurang baik menyebabkan mikro organisme patogen  berkembang baik di sekitar kandang dan manajemen pemerahan yang kurangbaik

menyebabkan puting mudah kontak langsung dengan mikro organisme patogen penyebab mastitis. Infeksi mastitis secara keseluruhan belum menunjukkan tingkat keparahan yang sangat seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik jumlah putting yang terinfeksi karena mastitis

Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak dengan mikroorganisme. Hal ini sebanding pernyataan dari Riza Z.A (2011) bahwa sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan akibat lubang  puting yang terbuka ataupun karena adanya luka.Tahap selanjutnya terjadi respon imun  pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.

Tindakan pencegahan sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pengendalian  penyakit mastitis pada sapi perah di lapangan, terutama dengan deteksi dini penyakit

mastitis subklinis. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Inas dan Martindah (2015) Pengendalian mastitis klinis pada umumnya dapat segera dilakukan karena gejala klinis yang muncul sangat jelas, sebaliknya pengendalian mastitis subklinis sering kali terlambat dilakukan karena gejala klinisnya tidak jelas, akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat  besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pengelolaan masa periode kering

(30)

29

demikian,pemahaman tentang epidemiologi dan dinamika infeksi ntramamary selama masa kering sangat penting untuk meningkatkan kualitas susu dan kontrol penyakit mastitis

Terjadinya mastitis dapat merugikan dalam hal perekonomian untuk para oeternak . Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Budiarto (2010) bahwa mastitis atau radang ambing merupakan masalah utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan peternak, karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar,  juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas susu yang dihasilkan, yang secara langsung atau tidak langsung akan merugikan konsumen dan industri pengolahan susu. Kerugian akibat mastitis sub klinis dapat berupa turunnya produksi susu sebesar 10-40 %, penolakan susu oleh koperasi sebesar 20-30 %,

(31)

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Pengujian kualitas susu dengan organoleptik menunjukkan susu masih dalam kondisi normal walaupun melalui pengujian alifornia Mastitis Test (CMT) terdapat susu yang  positif California Mastitis Test (CMT) dan semua putting/sampel memiliki total bakteri di atas ambang batas maksimum cemaran mikroba. Hal ini bisa terjadi karena saat  pengambilan sampel untuk pengujian organoleptik berasal dari putting yang tidak

mengalami mastitis subklinis. 5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto. 2010. Path Analysis Mastitis pada Sapi Perah Koperasi Di Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur.Veteranaria Medika. Vol 3(1): 56-90

Imas, S, N dan E, Martindah.

 2015.

Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik Saat Periode Kering pada Sapi Perah. WARTAZOA Vol 25( 2): 065-074 Puguh, S. 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan Whites ide Test dan Produksi Susu

Sapi Perah Friesien Holstein. J.Ternak Tropika Vol 12(1): 46-55

Puguh, S, Suyadi, Luqman, H dan Aulani’am. 2008. Ekspresi Produksi Susu pada Sapi Perah Mastitis. J. Ternak Tropika. Vol 9(2): 1-11

(32)

31

(33)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam jaringan organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan mungkin keracunan sehingga cukup berbahaya bagi kesehatan manusia (Yuningsih, 2008).

Contoh antibiotika yang digunakan ialah tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja secara bakteriostatik dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan baik oleh  bakteri gram positif maupun negative (Castello, 2013).

Residu antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan disekitar kertas cakram (Agus, dkk, 2014).

Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak diantaranya adalah penyakit ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan (food borne diseases) serta cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik termasuk cemaran antibiotic (Etikanningrum, 2014).

Ditemukannya residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan  penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ternak serta penggunaan

(34)

33 BAB II

MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu

Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan

 Tabung Reaksi  Pipet 1 ml  Penangas air

 Larutan penicillin 0,005 IU  Starter yogurt aktif

3.3 Prosedur Kerja

 Sediakan 8 tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 4 ml sampel air sus u  4 tabung untuk sampel C1 (putting depan kanan), C2 (putting depan kiri, D1

(putting belakang kanan), D2 (putting belakang kiri)

 2 tabung untuk sampel A1 dan A2 (sampel susu putting sehat)

 2 tabung yang tersisa untuk sampel B1 dan B2 diisi dengan sampel susu

mastitis

 Siapkan larutan penicillin 0,5 IU/ml

 Panaskan seluruh tabung reaksi yang berisi sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2,

C3 dan C4 pada suhu 80-85 °C selama 10 menit

 Dinginkan sampai mencapai suhu 45 °C

 Tambahkan 3% starter yigurt aktif pada semua tabung

 Masukkan ke incubator semua tabung pada temperatur43 °C selama 3-4 jam  Amati perubahan yang terjadi

- Susu yang menjadi yogurt akan terjadi perubahan konsistensi dari encer menjadi kental, berarti tidak ada antibiotika dalam susu

(35)
(36)

35 BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daging, telur dan susu dapat mengandung bahaya biologis dan kimia. Salah satu bahaya kimia yang terdapat pada produk tersebut adalah residu antibiotika. Hal ini sebanding dengan  pernyataan dari Dewi, dkk (2014) yang menyatakan bahwa residu antibiotika dalam pangan

dapat mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotika yang tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika  pada produk pangan hewan.

Produk hewan yang berkualitas baik akan mempunyai nilai jual yang tinggi disamping akan mampu berkompetisi di dalam perdagangan secara luas. Hal ini sebanding dengan  pernyataan dari Consaleisius, dkk (2014) yang menyatakan bahwa masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk hewan yang diindikasikan antara lain;1)  banyak produk tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan karena adanya cemaran kimia dan mikroba yang tinggi, penanganan selama rantai produksi kurang baik sehingga belum dapat  bersaing di pasar internasional. 2) masih banyak kasus keracunan makanan. 3) masih rendahnya  pengetahuan, ketrampilan dan tanggung jawab produsen produk hewan.

Daging, telur dan susu merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Saniwati (2015) yang menyatakan bahwa terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan sel-sel baru, pergantian sel-sel-sel-sel yang rusak, serta proses metabolisme tubuh. Daging termasuk ke dalam pangan yang mudah busuk dan juga berpotensi membawa bahaya bagi kesehatan.

Keamanan pangan asal ternak selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat  perhatian dari produsen, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan

kesehatan masyarakat. Hal ini sebanding dengan pernyataan Muslikah, dkk (2016) yang menyatakan bahwa pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat akan pangan asal ternak yang berkualitas, artinya selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang dapat mengganggu kesehatan.

Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu  pertumbuhan. Hal ini sebanding dengan pernytaan dari Murdiati, dkk (2009) yang menyatakan  bahwa pengawasan residu dalam pangan asal hewan sangat penting terutama dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan monitoring dan surveilans residu secara teratur.

(37)

BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan

. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotika yang tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika pada produk  pangan hewan.

5.2 Saran

Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Detha. A. 2014. Detection of antibiotic residues in mil k, Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 2(2): 203-208.

Etikaningrum dan S. Iwantoro. 2017. Kajian Residu Antibiotika pada Produk Ternak Unggas di Indonesi. Vol. 5 (1): 34-78.

Marliana N, Zubaidah E, Sutrisno A. 2015. Pengaruh Pemberian Antibiotika saat Budidaya terhadap Keberadaan Residu pada Daging dan Hati Ayam Pedaging dari Peternakan Rakyat. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2): 10-19.

Mudiarti, T. B., 2010. Teknik Deteksi Residu Antimikroba dalam Produk Peternakan. J. Vet. Vo;. 2(3): 45-89.

Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan Jumlah Sel Somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Media Peternakan 31(2): 107-113.

(38)

37

Skema Ektoparasit Ektoparasit scabies

Uji CMT Nama- nama bakteri, protozoa dll

UjiResidu Antibiotik

(39)

Gambar

Gambar 1. Grafik jumlah putting yang terinfeksi karena mastitis

Referensi

Dokumen terkait

Status sosial ekonomi orang tua tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap prestasi belajar siswa Kelas II SMK di Kota Malang; (4) Motivasi belajar memiliki pengaruh

Independensi yang diterapkan pada 5 Kantor Akuntan Publik yang menjadi objek penelitian sudah sesuai dengan Standar Pengendalian Mutu yang ditetapkan oleh Institut Akuntan

nembak dalam bahasa Indonesia dalam bahasa Indonesia memiliki arti ' kegiatan berburu ' yang umumnya dilakukan oleh kaum pria, akan tetapi pada kalimat

Kajian ini telah dijalankan untuk mengenal pasti keberkesanan kaedah permainan bahasa (KPB) dalam meningkatkan prestasi pencapaian pelajar terhadap kata kerja al-mudari

Hipotesis penelitian ialah (1) pelengkungan cabang dan taraf dosis pupuk kandang yang memberikan pengaruh pada transisi pertumbuhan vegetatif ke generatif tanaman jeruk keprok

Dengan demikian dilakukan penelitian mengenai kontribusi MP-ASI biskuit substitusi pati garut, tepung kedelai, dan tepung ubi jalar kuning terhadap kecukupan protein, vitamin

a) Corporate Bonds : obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha swasta. b)

Tujuan dari laporan keuangan adalah menyajikan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermamfaat