Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala krusta dantungau yang aktif membentuk terowongan sehingga temak lebih cenderung menggaruk dan menggigit karena gatal yang hebat sehingga mengakibatkan pembengkaan disertai eksudat membeku dan membentuk krusta pada permukaan kulit.
Hasil praktikum kelompok kami terdapat s Sarcoptes scabiei 5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi. K. M dan Nasrul Wathoni. 2011. Diagnosis dan Regnosis Pengobatan Scabies. Jurnal Anm. Vol. 2(5): 67-78.
I Ma’rufi. I, Erdi Istiaji dan EriWitcahyo. 2011. Hubungan Personal Hygiene Santri Dengan Kejadian Penyakit Kulit Infeksi Scabies Dan Tinjauan Sanitasi Lingkungan Pondok Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmiah. Vol 1(4): 22-45.
Parman, Hamdani, Irwandi. R dan Angga Pratama. 2017..Survey on the importance of mange in the aetiology of skin lesions in goats in Peninsular Malaysia. Trop.Anim. Vol. 1(26) :81-86.
Zainal. N, Farida dan Sri Vitayani . 2013. EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI MIMBA 10% PADA PENDERITA SKABIES. JST Kesehatan.Vol.3 No.2 : 196 – 202
25
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Uji CMT, susu dari pemerahan pancaran kedua atau ketiga dari setiap puting lalu ditampung pada paddle. Setelah itu ditambahkan reagen CMT (1:1). Setelah ditambahkan reagen, paddle diputar perlahan-lahan secara sirkuler selama 10-15 detik dan dilihat perubahan pada larutan yaitu berupa pembentukan gel berwarna putih abu-abu dalam larutan berwarna
ungu pada dasar paddle (Puguh Surjowardojo,dkk, 2008).
Sapi perah merupakan jenis sapi yang meghasilkan susu melebihi kebutuhan untuk anaknya. Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh faktor antara lain: bangsa dan individu, tingkat laktasi, kecepatan sekresi susu, pemerahan, umur, siklus birahi, periode kering, pakan, lingkungan serta penyakit (Puguh Surjowardojo, 2011).
Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammaeoleh mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan produksi susu (Z. Riza, 2011).
Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara host/induk semang (sapi), agen penyebab dan lingkungan. Pada sapi perah, kejadian mastitis lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri dibandingkanoleh agen penyebab lainnya se perti cendawan atau kapang (Nurhayati, S,I, 2015).
Path Análisis salah satu kajian epidemiologi untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap mastitis pada sapi perah Koperasi di
27 BAB II
MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan
Air susu mastitis dari 4 putting Paddle dengan 4 lubang
3.3 Prosedur Kerja
Tuangkan air susu setiap putting pada setiap lubang pada paddle
Aduk dan lihat apakah terdapat mucous/lender
Amati perubahan yang terjadi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat praktikum dijelaskan bahwa air susu mengalami mastitis akan mengalami perubahan warna, baud an visikositas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S, dkk (2008) bahwa reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk kedalam kelenjar susu agar dapat berfungsi normal. mastitis dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia, dan bakteriologi dalam susu serta perubahan patologi dalam jaringan glandula mammae. Perubahan yang kelihatan dalam susu meliputi perubahan
warna, terdapat gumpalan dan munculnya leukosit dalam jumlah besar.
Penyebab Sapi Perah mengalami mastitis karena kebersihan kandang yang kurang sehingga terdapat banyak kuman. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Puguh, S (2011) bahwa sanitasi kandang yang kurang baik menyebabkan mikro organisme patogen berkembang baik di sekitar kandang dan manajemen pemerahan yang kurangbaik
menyebabkan puting mudah kontak langsung dengan mikro organisme patogen penyebab mastitis. Infeksi mastitis secara keseluruhan belum menunjukkan tingkat keparahan yang sangat seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik jumlah putting yang terinfeksi karena mastitis
Infeksi mastitis dapat terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak dengan mikroorganisme. Hal ini sebanding pernyataan dari Riza Z.A (2011) bahwa sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka.Tahap selanjutnya terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Tindakan pencegahan sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pengendalian penyakit mastitis pada sapi perah di lapangan, terutama dengan deteksi dini penyakit
mastitis subklinis. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Inas dan Martindah (2015) Pengendalian mastitis klinis pada umumnya dapat segera dilakukan karena gejala klinis yang muncul sangat jelas, sebaliknya pengendalian mastitis subklinis sering kali terlambat dilakukan karena gejala klinisnya tidak jelas, akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pengelolaan masa periode kering
29
demikian,pemahaman tentang epidemiologi dan dinamika infeksi ntramamary selama masa kering sangat penting untuk meningkatkan kualitas susu dan kontrol penyakit mastitis
Terjadinya mastitis dapat merugikan dalam hal perekonomian untuk para oeternak . Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Budiarto (2010) bahwa mastitis atau radang ambing merupakan masalah utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan peternak, karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar, juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas susu yang dihasilkan, yang secara langsung atau tidak langsung akan merugikan konsumen dan industri pengolahan susu. Kerugian akibat mastitis sub klinis dapat berupa turunnya produksi susu sebesar 10-40 %, penolakan susu oleh koperasi sebesar 20-30 %,
BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Pengujian kualitas susu dengan organoleptik menunjukkan susu masih dalam kondisi normal walaupun melalui pengujian alifornia Mastitis Test (CMT) terdapat susu yang positif California Mastitis Test (CMT) dan semua putting/sampel memiliki total bakteri di atas ambang batas maksimum cemaran mikroba. Hal ini bisa terjadi karena saat pengambilan sampel untuk pengujian organoleptik berasal dari putting yang tidak
mengalami mastitis subklinis. 5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto. 2010. Path Analysis Mastitis pada Sapi Perah Koperasi Di Kabupaten Pasuruan - Jawa Timur.Veteranaria Medika. Vol 3(1): 56-90
Imas, S, N dan E, Martindah.
2015.
Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik Saat Periode Kering pada Sapi Perah. WARTAZOA Vol 25( 2): 065-074 Puguh, S. 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan Whites ide Test dan Produksi SusuSapi Perah Friesien Holstein. J.Ternak Tropika Vol 12(1): 46-55
Puguh, S, Suyadi, Luqman, H dan Aulani’am. 2008. Ekspresi Produksi Susu pada Sapi Perah Mastitis. J. Ternak Tropika. Vol 9(2): 1-11
31
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Pemakaian antibiotika yang tidak beraturan dapat menyebabkan residu dalam jaringan organ yang dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan mungkin keracunan sehingga cukup berbahaya bagi kesehatan manusia (Yuningsih, 2008).
Contoh antibiotika yang digunakan ialah tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibakteri yang bekerja secara bakteriostatik dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan baik oleh bakteri gram positif maupun negative (Castello, 2013).
Residu antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan disekitar kertas cakram (Agus, dkk, 2014).
Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak diantaranya adalah penyakit ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan (food borne diseases) serta cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik termasuk cemaran antibiotic (Etikanningrum, 2014).
Ditemukannya residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit ternak serta penggunaan
33 BAB II
MATERI DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 3.2 Bahan dan Peralatan
Tabung Reaksi
Pipet 1 ml
Penangas air
Larutan penicillin 0,005 IU
Starter yogurt aktif 3.3 Prosedur Kerja
Sediakan 8 tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 4 ml sampel air sus u
4 tabung untuk sampel C1 (putting depan kanan), C2 (putting depan kiri, D1 (putting belakang kanan), D2 (putting belakang kiri)
2 tabung untuk sampel A1 dan A2 (sampel susu putting sehat)
2 tabung yang tersisa untuk sampel B1 dan B2 diisi dengan sampel susu mastitis
Siapkan larutan penicillin 0,5 IU/ml
Panaskan seluruh tabung reaksi yang berisi sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2, C3 dan C4 pada suhu 80-85 °C selama 10 menit
Dinginkan sampai mencapai suhu 45 °C
Tambahkan 3% starter yigurt aktif pada semua tabung
Masukkan ke incubator semua tabung pada temperatur43 °C selama 3-4 jam
Amati perubahan yang terjadi
- Susu yang menjadi yogurt akan terjadi perubahan konsistensi dari encer menjadi kental, berarti tidak ada antibiotika dalam susu
35 BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daging, telur dan susu dapat mengandung bahaya biologis dan kimia. Salah satu bahaya kimia yang terdapat pada produk tersebut adalah residu antibiotika. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Dewi, dkk (2014) yang menyatakan bahwa residu antibiotika dalam pangan
dapat mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotika yang tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika pada produk pangan hewan.
Produk hewan yang berkualitas baik akan mempunyai nilai jual yang tinggi disamping akan mampu berkompetisi di dalam perdagangan secara luas. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Consaleisius, dkk (2014) yang menyatakan bahwa masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk hewan yang diindikasikan antara lain;1) banyak produk tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan karena adanya cemaran kimia dan mikroba yang tinggi, penanganan selama rantai produksi kurang baik sehingga belum dapat bersaing di pasar internasional. 2) masih banyak kasus keracunan makanan. 3) masih rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan tanggung jawab produsen produk hewan.
Daging, telur dan susu merupakan pangan hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hal ini sebanding dengan pernyataan dari Saniwati (2015) yang menyatakan bahwa terutama mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan sel-sel baru, pergantian sel-sel-sel-sel yang rusak, serta proses metabolisme tubuh. Daging termasuk ke dalam pangan yang mudah busuk dan juga berpotensi membawa bahaya bagi kesehatan.
Keamanan pangan asal ternak selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan
kesehatan masyarakat. Hal ini sebanding dengan pernyataan Muslikah, dkk (2016) yang menyatakan bahwa pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat akan pangan asal ternak yang berkualitas, artinya selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang dapat mengganggu kesehatan.
Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Hal ini sebanding dengan pernytaan dari Murdiati, dkk (2009) yang menyatakan bahwa pengawasan residu dalam pangan asal hewan sangat penting terutama dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan monitoring dan surveilans residu secara teratur.
BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan
. Ancaman tersebut antara lain resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah residu antibiotika pada produk pangan hewan diakibatkan praktik yang kurang baik dalam penggunaan antibiotika di peternakan. Penggunaan antibiotika saat ini adalah untuk pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotika yang tidak memperhatikan masa henti obat, akan menimbulkan residu antibiotika pada produk pangan hewan.
5.2 Saran
Lebih kondusif lagi pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Detha. A. 2014. Detection of antibiotic residues in mil k, Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 2(2): 203-208.
Etikaningrum dan S. Iwantoro. 2017. Kajian Residu Antibiotika pada Produk Ternak Unggas di Indonesi. Vol. 5 (1): 34-78.
Marliana N, Zubaidah E, Sutrisno A. 2015. Pengaruh Pemberian Antibiotika saat Budidaya terhadap Keberadaan Residu pada Daging dan Hati Ayam Pedaging dari Peternakan Rakyat. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (2): 10-19.
Mudiarti, T. B., 2010. Teknik Deteksi Residu Antimikroba dalam Produk Peternakan. J. Vet. Vo;. 2(3): 45-89.
Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan Jumlah Sel Somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Media Peternakan 31(2): 107-113.
37
Skema Ektoparasit Ektoparasit scabies
Uji CMT Nama- nama bakteri, protozoa dll
UjiResidu Antibiotik