EKSTRAKSI PADAT CAIR BETASIANIN DARI KULIT BUAH
NAGA (Hylocereus undatus) DENGAN PENGONTAKAN
SECARA DISPERSI
Dimitra Sunarto Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94 Bandung 40141Telp./Fax : 022-2032700 E-mail : dimitra.sunarto@hotmail.com
Intisari
Tanaman buah naga merupakan tanaman yang mulai banyak tumbuh di Indonesia. Pemanfaatan buah naga saat ini hanya terbatas pada konsumsi buahnya saja. Kulit buah naga yang terdiri dari 1/3 buahnya hanya dianggap sebagai limbah, namun ternyata di dalamnya terkandung pigmen betasianin. Kulit buah naga merupakan penghasil betasianin tertinggi (150,46 mg/100 mg) dibandingkan dengan bahan lainnya seperti daun darah (145,81 mg/100 g) yang juga dikenal sebagai sumber betasianin. Betasianin merupakan pigmen warna merah ungu yang berpotensi sebagai zat pewarna alami. Selain itu, betasianin juga bermanfaat sebagai zat antioksidan yang berguna bagi kesehatan tubuh. Penelitian ini sangat berpotensial untuk dikembangkan karena produksi buah naga di Indonesia cukup memadai untuk menghasilkan zat pewarna alami yang semakin jarang digunakan. Pada penelitian ini, betasianin diperoleh melalui ekstraksi kulit buah naga segar menggunakan pelarut air dalam ekstraktor batch berkapasitas 1 L yang dilengkapi impeller propeller dengan pengontakan secara disperse pada temperatuh kamar. Variasi yang dilakukan meliputi F:S (1:5,5 s.d 1:22,5 g/g), kecepatan pengadukan (159 s.d. 441 rpm), serta ukuran partikel (1-5 mm). Ekstraksi dilakukan hingga 8 jam. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum. Pekatan betasianin kasar yang didapat dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 40oC. Kondisi optimum ekstraksi adalah kecepatan pengadukan 200 rpm, F:S 1:14-1:15 g/g, dan ukuran partikel 1-2 mm. Pada penelitian ini, model perpindahan massa sederhana dikembangkan untuk menggambarkan proses ekstraksi padat-cair betasianin. Berdasarkan hasil analisis dimensi diperoleh hubungan antara koefisien perpindahan massa volumetrik (kLa) pada lapisan antar fasa padat-cair dengan
variabel-variabel ekstraksi yang dinyatakan dalam persamaan bilangan tak berdimensi sebagai berikut:
engan ralat rata-rata 14,2612 %.
Kata kunci: ekstraksi, betasianin, kulit buah naga, dispersi, analisis dimensi, Abstract
The dragon fruit plants now begin to grow in Indonesia, but the usage of the fruit is still limited, only its pulp. The rind of the dragon fruit that is one third of the fruit is only considered as trash, but actually it contains betacyanin pigment. The rind of the dragon fruit contains the highest level of betacyanin (150,46 mg/100 mg) compared to the other for example the blood leaf (145,81 mg/100 g) that is also known as the source of betacyanin. It is a red purple pigment which can be used for the natural colorants. Moreover, betacyanin is also an antioxidant which is very useful for the health of the body. This research is very potential to be developed because the process of the dragon fruit to produce natural colorants in Indonesia is adequate enough. In this research, betacyanin was obtained from the extraction of dragon fruit’s rind using water as the solvent in batch extractor with capacity 1 L that is equipped with impeller propeller with dispersing solid in the solvent at the room temperature. The variation which is held comprises F:S (1:5,5-1:22,5 g/g), string speed (159-441 rpm), and the diameter of the particle (1-5 mm). Extraction was carried out until 8 hours. Extract was concentrated by vacuum evaporator. Concentrate betacyanin was dried using an oven at a temperature of 40 oC. The optimum of extraction condition is string speed in 200 rpm, held comprises F:S 1: 14 – 1:15 g/g, and particle size in 1-2 mm. In this study, a simple mass transfer model was developed in order to describe the solid-liquid extraction process of betacyanin. Based on the results of the dimensional analysis, the relationships between the volumetric mass transfer coefficient (kLa) at the interphase of
with the average error is 14,2612%.
Key word: extraction, betacyanin, dragon fruit’s rind, dispersion, dimensional analysis,
PENDAHULUAN Buah Naga
Tanaman buah naga tergolong pendatang baru di pasar buah (tanaman) Indonesia. Walaupun demikian, pengembangan budidaya tanaman buah naga ini sangat mungkin dilakukan di Indonesia karena tanaman buah naga cocok tumbuh di daerah tropis. Produksi buah naga di Indonesia sudah mulai banyak yaitu mencapai 40 ton/ha pada tahun 2010 sehingga dikenal di kalangan masyarakat. [Putra, Sitiatava Rizema., 2011]. Pemanfaatan tanaman buah naga hingga saat ini hanya terbatas pada buahnya saja. Salah satu bagian tanaman buah naga yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan adalah bagian kulitnya karena merupakan sumber pigmen warna merah alami yang mengandung zat warna betasianin dengan kadar yang relatif tinggi. Pewarna buatan telah diketahui dapat mengakibatkan efek samping yang buruk sehingga penggunaan pewarna alami sebagai pewarna pada makanan mulai dilirik kembali. Ketertarikan industri makanan terhadap betasianin sebagai pewarna makanan juga semakin meningkat karena juga mengandung antioksidan alami yang memiliki efek positif terhadap kesehatan manusia, dan menunjukkan aktivitas sebagai anti kanker. Hasil penelitian uji in vitro yang dilakukan Li-chen Wu, peneliti Department of Applied Chemistry National Chi-Nan University menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah naga berpotensi menghambat pertumbuhan sel tumor B16F10 pada dosis 25 gram. [Georgiev V., M. Ilieva, and T. Bley, 2008]. Pemanfaatan kulit buah naga sebagai sumber zat warna alami membuka peluang besar bagi penggalakan pemanfaatan zat warna alami di Indonesia. Melihat banyaknya manfaat yang dapat diambil dari kulit buah naga tersebut, khususnya kandungan betasianin maka pada penelitian difokuskan pada pemanfaatan kulit buah naga sebagai sumber zat warna alami. Metode yang dipilih adalah ekstraksi padat cair menggunakan pelarut dengan pengontakan secara dispersi. Mengingat penelitian mengenai ekstraksi zat warna alami buah naga ini masih sangat langka, maka perlu dikaji metode isolasi betasianin yang cocok dan optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Betasianin
Betalain disintesis dengan tyrosine sebagai prekursor. Biosintesis (Gambar 1) diawali dengan perubahan tyrosine menjadi DOPA (dihydroxyphenyl-alanine) yang dikatalisis oleh enzim
1. untuk aktivitas hidroksilasi tyrosine yang mengkatalisis pembentukan DOPA dari
L-tyrosine dan
2. aktivitas DOPA oksidase yang mengkatalisis tahap selanjutnya untuk membentuk dopaquinone.
Gambar 1. Jalur biosintesis pigmen betalain
[Sumber: Bhuiyan, dkk, 2002]
Pembentukan betalamic acid dari DOPA membutuhkan pembelahan ekstradiol pada ikatan 4,5 yang dilakukan oleh DOPA dioxygenase. Tahapan selanjutnya biosintesis betalain melibatkan pembentukan penghubung aldamine diantara betalamic acid dan cyclo-DOPA atau derivat asam amino untuk membentuk betasianin. Kondensasi antara betalamic acid dengan asam amino (seperti Ser, Val, Leu, Iso, and Phe) atau derivat asam amino seperti
3-methoxytyramine menghasilkan betasantin yang menunjukkan warna kuning-orange.
[Grotewold, E., 2006 ; Moreno, dkk, 2008]. Struktur kimia betasianin dan betasantin ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia betasianin dan betasantin
a. betasianin dan b. Betasantin [Sumber: Bhuiyan, dkk, 2002]
Ekstraksi Padat Cair
Ekstraksi padat cair atau disebut leaching, adalah proses pemisahan zat terlarut yang terperangkap di dalam matriks padatan dengan bantuan pelarut. Pada proses ekstraksi padat cair ini dikenal beberapa istilah diantaranya: [Geankoplis, 1993]
Feed yang merujuk pada umpan yang akan diekstrak, dalam ekstraksi jenis ini umpan berada
berupa fasa padat.
Solvent yang merujuk pada pelarut yang akan mengalami kontak dengan feed
Solute yaitu zat padat yang dapat melarut dengan penambahan solvent
Inert yaitu zat padat yang tidak dapat melarut.
Pada prinsipnya, ekstraksi padat-cair akan berlangsung dalam 2 tahap yaitu : [Geankoplis, 1993] a. Kontak antara padatan dan pelarut untuk mendapatkan perpindahan solut ke dalam pelarut. Pelarut harus dapat berpindah ke permukaan padatan dan berdifusi ke dalam padatan. Selama terjadi kontak antara padatan dengan pelarut, sebagian zat terlarut akan berpindah ke dalam pelarut sehingga membentuk suatu larutan. Perpindahan pelarut biasanya terjadi ketika partikel pertama kali dikontakkan dengan pelarut. Perbedaan konsentrasi menjadi
driving force terjadinya proses ekstraksi. Perpindahan zat terlarut ini akan terjadi hingga
dicapai keadaan setimbang.
b. Pemisahan larutan dari padatan inert. Pada pemisahan ini akan diperoleh 2 produk, yaitu ekstrak (fasa yang kaya akan pelarut dan zat terlarut) dan rafinat.
Model Perpindahan Massa
Persamaan laju ekstraksi diturunkan sebagai sistem batch dan dapat digunakan untuk kasus difusi zat terlarut dari dalam padatan sangat cepat. Laju perpindahan massa zat terlarut A menjadi terlarut untuk larutan pada volume V m3. [Geankoplis, 1993]
(1)
Dimana adalah kg mol pelarut A per waktu (s), A adalah luas permukaan partikel (m2
), kL
adalah koefisien perpindahan massa (m/s), CAS adalah kelarutan jenuh pada padatan zat terlarut
A dalam larutan (kg mol/m3), dan CA adalah konsentrasi larutan A pada waktu t sekon (kg
mol/m3). Dengan keseimbangan material, tingkat akumulasi A dalam larutan sama dengan persamaan (1) dikali luas A.
= A kL ( CAS – CA ) (2)
Integral dari t = 0 dan CA = 0 sampai t = t dan CA = CA (3) (4)
Analisis Dimensi pada Perpindahan Massa
Penggunaan analisis dimensi dapat memprediksi berbagai kelompok dimensi yang berhubungan dengan data eksperimen perpindahan massa. Ada beberapa bilangan berdimensi yang sering kita kenal, yaitu: [Geankoplis, 1993]
1. Bilangan Reynold (NRe), menunjukkan tingkat keturbulenan.
NRe =
(5)
2. Bilangan Schmidt (NSc), menunjukkan rasio difusivitas momentum molekular terhadap
difusivitas massa molekular. NSc =
(6)
3. Bilangan Sherwood (NSh), menunjukkan transfer massa dengan konveksi yang dipaksa.
NSh =
(7)
Bilangan tak berdimensi yang biasa digunakan dalam proses ekstraksi padat cair adalah NRe, NSc,
dan NSh. Dari bilangan dimensi dapat dilakukan analisa untuk mencari hubungan antara
koefisien perpindahan massa antar fasa pada ekstraksi padat cair (kLA) dengan variable-variabel
yang mempengaruhinya. Variabel-variabel yang diperkirakan berpengaruh adalah densitas larutan (ρ, kg/m3), viskositas larutan (μ, kg/ms), difusivitas larutan (D
pengaduk (dp, m), diameter butir padatan (db, m), dan kecepatan pengaduk (N, s-1). Analisa dimensi dapat diselesaikan dengan metode Buckingham. Misalnya untuk mencari hubungan besaran K dengan variabel sebut saja L, M, N, O, dan P. Jumlah variabel (n) adalah 6 dengan bilangan besaran dimensinya (m) adalah 3 yaitu α, β, dan γ dengan:
(8)
Jumlah bilangan tak berdimensi dapat ditentukan dengan selisih antara jumlah variabel (n) dan jumlah besaran dimensinya (m) sehingga diperoleh 3 bilangan tak berdimensi:
(9)
Tiga variabel yang sering muncul (L, M, dan N) dipilih untuk mewakili bilangan tak berdimensi:
(10)
(11)
(12) Dari persamaan (10), (11), dan (12) selanjutnya disubstitusikan untuk setiap variabel dengan besaran dimensinya, misalnya untuk persamaan (13):
(13)
Dari pengelompokan setiap besaran dimensi pada persamaan (13) dapat diperoleh nilai dari a, b, dan c. Hal yang sama dilakukan untuk persamaan (11) dan (12) sehingga nilai dari d, e, f, g, h, dan i dapat diketahui. Dari nilai tersebut dapat diperoleh hasil akhir:
(14)
Nilai s, t, dan u dari persamaan (14) dapat ditentukan dengan melakukan regresi multi linier dan mengubah persamaan tersebut menjadi:
(15)
Untuk kasus ekstraksi padat cair pengontakan secara dispersi, hubungan antara variabel-variabel yang berpengaruh terhadap koefisien perpindahan massa antar fasa pada ekstraksi padat cair (kLa) dapat dinyatakan dengan persamaan: [Yuniwati, 2008]
kLa f ρ μ DL, dp, db, N) (16) Persamaan (16) dapat dinyatakan dengan hubungan antara kelompok tak berdimensi sebagai berikut:
kLa K . ρC1 . μC2 . DLC3 . dpC4 . dbC5 . NC6 (17) dengan:
(18) Dengan sistem MLT pada persamaan (18), maka diperoleh:
T-1 = K (ML-3)C1 (ML-1T-1)C2 (L2T-1)C3 (L)C4 (L)C5 (T-1)C6 (19)
Dimensi untuk ruas kiri dan ruas kanan dari persamaan (19) harus sama, maka diperoleh:
M : 0 = C1 + C2 (20)
L : 0 = - 3C1 – C2 + 2C3 + C4 + C5 (21)
T : -1 = - C2 – C3 – C6 (22)
Persamaan (20), (21), dan (22) saling disubtitusi sehingga didapat beberapa hubungan pangkat-pangkat tersebut:
C1 = -C2 (23)
C3 = 1 + C1 – C6 (24)
C4 = -2 – C5 + 2C6 (25)
Persamaan (23), (24), dan (25) disubstitusi ke persamaan (17):
kLa K . ρC1 . μ–C1 . DL1 + C1 +C6 . dp-2 – C5 + 2C6 . dbC5 . NC6 (26) (27) (28) (29) (30) (31)
Difusivitas zat terlarut ke dalam pelarut didekati dengan persamaan Wilke - Chang: [Geankoplis 1933]
. (32)
METODE PENELITIAN
Bahan baku kulit buah naga yang digunakan diperoleh dari buah naga berjenis Hylocereus
undatus yang didapatkan dari Toko “Total Buah Segar”, Bandung, Jawa Barat. Bahan kimia
pendukung lainnya adalah aquadest dan buffer fosfat pH 5. Ekstraksi dilakukan di dalam sebuah ekstraktor bacth berkapasitas 1 L seperti disajikan pada Gambar 3.
Ekstraktor
Impeller propeller
Filler
Pengambil sampel
Motor pengaduk
Gambar 3. Rangkaian ekstraktor batch
Kulit buah naga yang digunakan adalah kulit buah naga bagian tengah yang telah dipisahkan dari kulit bagian dalam yang mengandung serat putih dan kulit bagian luar yang terdapat sirip. Kulit buah naga segar ini dapat langsung diproses ataupun disimpan dalam freezer bertemperatur di bawah - 4 oC. Penentuan model difusi massa dilakuan dengan cara memvariasikan variabel ekstraksi berupa kecepatan pengadukan (158-441 rpm), rasio umpan terhadap pelarut (1:5,5-1:22,5 g/g), serta ukuran kulit buah naga (1-5 mm). Proses ekstraksi dilakukan pada temperatur ruang (25 oC). Ekstraksi dilakukan hingga 8 jam. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada temperatur waterbath sebesar 60 oC dan tekanan 72 mbar. Pekatan yang mengandung betasianin kasar tersebut dikeringkan dalam dalam oven sehingga didapatkan serbuk betasianin kasar yang kering. Perolehan betasinin kasar (g/g) dapat diketahui secara gravimetri dengan cara membagi massa betasianin kasar yang diperoleh dengan massa sampel. Penentuan nilai kLa dilakukan seperti pada persamaan (4). Koefisien pangkat pada
bilangan tak berdimensi ditentukan dengan metode multi regresi linier persamaan (33) berikut: (33)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Perpindahan Massa pada Ekstraksi Betasianin dari Kulit Buah Naga
Koefisien perpindahan massa merupakan konstanta laju difusi yang berkaitan dengan laju perpindahan massa. Laju perpindahan massa berbanding lurus dengan nilai kLa, seperti yang
ditunjukkan pada persamaan (4). Nilai kLa diharapkan memiliki nilai yang tinggi. Nilai kLa yang
tinggi menandakan proses difusi massa solut dari padatan ke pelarut semakin tinggi, secara tidak langsung menunjukkan laju ekstraksi yang tinggi pula. Data koefisien laju ekstraksi betasianin
pada variasi temperatur ekstraksi, kecepatan pengadukan dan rasio umpan terhadap pelarut disajikan pada Tabel 1 sedangkan profilnya disajikan pada Gambar 4 s.d 6.
Berdasarkan hasil yang tersaji pada Tabel 1 dan Gambar 4 s.d 6 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Semakin tinggi kecepatan pengadukan cenderung meningkatkan kLa. Pengadukan membuat
tumbukan antara pelarut dengan padatan semakin besar sehingga meningkatkan energi kinetik molekul-molekul pelarut dan zat terlarut, selain itu laju difusi akan meningkat. 2) Semakin tinggi rasio umpan terhadap pelarut, nilai kLa cenderung meningkat karena
semakin banyak pelarut yang digunakan maka semakin cepat waktu kesetimbangan dicapai karena bila pelarut yang digunakan banyak akan membuat larutan tidak cepat jenuh sehingga semakin difusi massa pun meningkat.
3) Semakin kecil ukuran partikel kulit buah naga, nilai kLa cenderung meningkat karena untuk
meningkatkan kinerja proses ekstraksi baik dari waktu yang diperlukan agar lebih singkat dan hasil ekstrak yang diperoleh dapat lebih besar, diupayakan sampel padatan yang digunakan memiliki luas permukaan yang besar sehingga difusi massa pun meningkat.
Tabel 1. Koefisien perpindahan massa ekstraksi betasianin pada variasi kecepatan pengadukan,
rasio umpan kulit buah naga terhadap pelarut, dan ukuran partikel Kecepatan
pengadukan (rpm)
Rasio massa kulit buah naga : volume
pelarut (g/g) Ukuran partikel (mm) kLa (min-1) 441 1:14 2 0,0063 400 1:20 4 0,0049 159 1:14 2 0,0075 300 1:5,5 2 0,0042 400 1:8 4 0,0023 200 1:8 4 0,0078 200 1:20 4 0,0031 300 1:14 5 0,0055 300 1:14 3 0,0069 300 1:22,5 1 0,0064 300 1:14 1 0,0087
Gambar 5. Profil kLa pada variasi kecepatan pengadukan
Gambar 7. Profil kLa pada variasi ukuran partikel
Model Difusi Massa pada Ekstraksi Betasianin dari Kulit Buah Naga
Analisis dimensi berfungsi untuk keperluan scale up karena menggunakan persamaan tidak berdimensi yang tidak bergantung pada skala geometri. Dengan menggunakan persamaan tidak berdimensi, skala geometri berbeda namun memiliki kinerja yang sama. Oleh karena itu digunakan analisis dimensi untuk menyusun model perpindahan massa yang dapat digunakan untuk merancang ekstraktor berpengaduk. Bilangan Reynolds, Schmidt dan Sherwood merupakan bilangan yang umumnya digunakan dalam kasus perpindahan massa. Variabel – variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap ekstraksi betasianin dalam tangki berpengaduk yaitu densitas larutan, viskositas larutan, difusivitas larutan, diameter pengaduk, dan kecepatan pengadukan. Dari analisis dimensi diperoleh hubungan antara koefisien perpindahan massa volumetrik (kLa) dengan variabel – variabel yang mempengaruhinya yang dinyatakan dalam
persamaan bilangan tak berdimensi sebagai berikut:
engan ralat rata-rata 3,7904 % (35)
Kesimpulan
Pengecilan ukuran partikel, peningkatan rasio umpan terhadap pelarut dan kecepatan pengadukan akan meningkatkan koefisien perpindahan massa pada ekstraksi betasianin dari kulit buah naga menggunakan pelarut air. Hubungan antara koefisien perpindahan massa volumetrik
(kLa) dengan variabel – variabel ekstraksi yang mempengaruhi dinyatakan dalam persamaan
bilangan tak berdimensi sebagai berikut:
engan ralat rata-rata 14,2612 %
Daftar Notasi
A : luas permukaan, m2
CAS : konsentrasi solute pada saat setimbang, g/cm3
CA : konsentrasi solute di fasa bulk pada saat tertentu, kg/m3
D : diameter, m
dp : diameter pengaduk, m
db : diameter bahan ekstraksi (umpan), m DL : difusivitas solute ke dalam pelarut, m2/s
kLa : koefisien perpindahan massa volumetrik, s-1
MB : berat molekul solute, kg/kmol
mB : massa zat terlarut, kg
N : kecepatan pengadukan, s-1 T : temperatur, K V : volume, m3 : viskositas larutan, kg/m.s ρ : densitas pelarut, kg/m3 : kecepatan linier, m/s Daftar Pustaka
Bhuiyan, M. N., K. Murakami, and T. Adachi (2002), Variation in betalain content and factor
affectingthe biosynthesis in Portulaca sp. “Jewel‟ cell culture. Plant Biotechnology. Japan., 19 (5), 369-376.
Geankoplis, Christie J., (1993), Transport Processes and Unit Operations, 3rd Edition, Prentice-Hall Inc., New Jersey, pp. 405, 437 – 438, 474 – 475
Georgiev V., M. Ilieva, and T. Bley (2008), Betalain Production in Plant in vitro Systems. Review of Acta Physiol Plant. Krakow.
Grotewold, E. (2004), The challenges of moving chemicals within and out of cells: insight into
Moreno, D. A., C. G. Viguera, J. I. Gil, and A. G. Izquierdo (2008), Betalains in The Era of
Global gri-Food Science, Technology and Nutritional Health. Phytochem Rev. Spain., 7,
261–280.
Perry, Robert H. dan Green Don W., (1997), Perry’s Chemical Engineers’ Handbook, 7th Edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 18-55 – 18-58 Putra, Sitiatava Rizema. (2011). Buah Naga; Tidak cuma Enak, tetapi juga Sarat Obat-obatan
Cespleng. Jogjakarta : Laksana
Yuniwati, M. dan Ani Purwanti, (2008), Optimasi Kondisi Ekstraksi Minyak Biji Pepaya, Jurnal