• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. R Tilaar, terdapat dua peran pendidikan, yaitu: 1. Pendidikan berfungsi untuk membina kemanusiaan (human being).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. R Tilaar, terdapat dua peran pendidikan, yaitu: 1. Pendidikan berfungsi untuk membina kemanusiaan (human being)."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu dinamika yang terjadi dalam masyarakat adalah soal pendidikan. Masyarakat saat ini berpandangan bahwa pendidikan itu penting. Hal ini dapat dilihat dari jumlah orang yang bersekolah terlihat lebih banyak daripada yang tidak bersekolah (terutama di sekitar kita). Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan simbol, anak-anak yang tidak bersekolah akan dipandang negatif. Menurut Prof. H A R Tilaar, terdapat dua peran pendidikan, yaitu:

1. Pendidikan berfungsi untuk membina kemanusiaan (human being).

Hal ini berarti bahwa pendidikan pada akhirnya untuk mengembangkan seluruh pribadi manusia, termasuk mempersiapkan manusia sebagai anggota masyarakatnya, warga negara yang baik dan rasa persatuan (cohesiveness).

2. Pendidikan mempunyai fungsi sebagai pengembangan Sumber Daya

Manusia, yaitu mengembangkan kemampuannya memasuki era kehidupan baru.

Sekolah formal merupakan lembaga kehidupan primer. Secara umum kita percaya bahwa semakin tinggi semakin baik. (Tilaar 2002: 141).

Pendidikan mempersiapkan agar generasi mendatang matang dan siap dibekali ilmu pengetahuan dan ketrampilan dan kemampuan jiwa maupun jasmani untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab (O. Soewargana dalam Daeng 2000:68).

(2)

Dua fungsi manifes pendidikan menurut Paul C. Horton dan Chester L. Hunt:

1. Membantu orang untuk sanggup mencari nafkah hidup

2. Menolong orang untuk mengembangkan potensi demi pemenuhan

kebutuhan pribadi dan pengembangan masyarakat.

Hans J. Daeng mengutip Gravissium Educationis atau Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, “Mereka harus dibina untuk berperan serta dalam kehidupan kemasyarakatan sedemikian rupa, sehingga dilengkapi dengan sarana yang dibutuhkan dan serasi, mereka dapat mengintegrasikan diri secara aktif dalam kelompok-kelompok masyarakat, dapat berdialog dengan orang lain, dan mengembangkan kepentingan bersama secara sukarela” (G.E. a.1 dalam Daeng 2000:69).

Menurut Dr. Faisal Jalal dan Prof. Dr. Dedi Supriadi, nilai inti dari pendidikan nasional Indonesia adalah kemandirian, dalam bentuk kemampuan membuat keputusan sendiri setelah secara matang memperhitungkan berbagai kondisi lingkungan. Dilihat dari proses pendidikannya, nilai inti dari kemandirian tampil dalam proses pendidikannya sebagai pemberdayaan. Artinya, dengan berbagai pembekalan isi dan wawasan yang dikembangkan melalui pendidikan, kreativitas individu dan satuan sosial ditumbuhkan sehingga secara jeli dan cerdas mampu mensinergikan lingkungannya.

Menurut Robert Dreeben, seperti yang dikemukakan oleh Kamanto Sunarto, sekolah adalah salah satu agen sosialisasi. Hal berbeda yang terjadi di sekolah yaitu bahwa di sekolah anak harus belajar mandiri. Kalau di rumah mereka dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, maka di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak

(3)

terdapat di sekolah; guru menuntut kemandirian dan tanggung jawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerjasama dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan.

Beberapa hal lain yang juga terjadi adalah di sekolah peran yang diraih dengan prestasi merupakan peran yang menonjol, bukan peran yang dibawa dalam keluarga (sebagai kakak atau adik). Kedudukan dalam suatu jenjang pendidikan tertentu diraih melalui prestasi. Sekolah pada umumnya menuntut siswa untuk berprestasi. Para siswa ini didorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan.

Di sekolah anak juga belajar tentang aturan universalisme. Jika dalam keluarga anak cenderung mendapat perlakuan khusus dari orang tuanya karena ia adalah anak mereka, di sekolah setiap siswa diperlakukan sama, apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah. Di sekolah juga anak mendapatkan bekal mengenai hukuman, atau sangsi, atau konsekuensi atas apa yang telah dilakukannya. Perbedaannya, jika anak melakukan kasalahan dalam pelajaran tertentu, Matematika misalnya, hal tersebut tidak akan berpengaruh terhadap pelajaran yang lain (ia tidak akan dihukum saat pelajaran Bahasa). Tetapi dalam keluarga, jika seorang anak melakukan kesalahan, pulang terlambat tanpa ijin misalnya, maka hukuman yang diterimanyadiberlakukan pula di bidang-bidang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan yang dilakukannya. Demikian sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat.

Makna penting dari pendidikan sering diiringi dengan mahalnya biaya pendidikan (sekolah). Sindhunata dalam salah satu kolom Majalah Basis Edisi Khusus Pendidikan (N0. 07 – 08, Tahun Ke 49 Juli-Agustus 2000) mengungkapkan beberapa

(4)

ilustrasi miris tentang perjuangan orang-orang kelas sosial bawah seperti seorang tukang kebun dengan penghasilan Rp. 150.000,00 per bulan harus menanggung biaya pendidikan anaknya sejumlah Rp. 695.000,00, juga seorang bapak yang berprofesi sebagai kasir yang harus menanggung biaya sepuluh juta rupiah untuk membiayai sekolah dan kuliah kedua anaknya, serta seorang ibu yang sampai harus menjual karpetnya dengan harga murah. Lebih lanjut Sindhunata menulis “Pendidikan memang memakan biaya. Tapi haruskah biaya itu dibebankan pada warga yang jelas-jelas tidak mampu menanggungnya? Pendidikan adalah harta mulia yang terpendam dalam masyarakat. Tujuan akhir pendidikan adalah pembebasan dan emansipasi masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan penderitaan”.

Realitas yang lain adalah dewasa ini banyak para siswa justru melakukan hal-hal negatif seperti membolos, menyontek, tidak memperhatikan pelajaran dan lain-lain. Hal ini cukup bertolak belakang dengan yang dialami oleh para orang tua. Para orang tua rela melakukan apa saja guna mendukung pendidikan anak-anaknya.

Memang tingkat kepintaran dan ketrampilan seseorang tidak dapat diukur semata-mata dengan prestasi dalam bidang pendidikan. Tetapi saat ini, dalam hal prestasi (sekolah), yang dipandang sebagai anak yang pandai adalah anak yang nilai ulangan atau ujiannya bagus.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt bahwa dalam penentuan baik prestasi belajar seseorang maupun prestasi belajar rata-rata di sebuah sekolah, kualitas sekolah tidak terlalu penting, dibandingkan dengan latar belakang siswa. Studi yang dilakukan di setiap negara tahun demi tahun menunjukkan anak-anak dari kalangan kelas sosial rendah belajar lebih sedikit, lebih sering alpa dan lebih dahulu putus sekolah daripada anak-anak dari kalangan kelas sosial menengah dan atas. Kebanyakan pendidik sependapat bahwa prestasi belajar rendah para siswa dari

(5)

kalangan kelas sosial rendah disebabkan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan keluarga yang tidak mungkin diubah oleh kebijakan-kebijakan sekolah. Keluarga kelas sosial rendah lebih besar dan orang tua harus membagi perhatian mereka terhadap jumlah tanggungan yang lebih banyak. (Horton dan Hunt 1991: 351-352). Orang tua kelas sosial menengah umumnya berpendidikan dan memberikan perhatian mereka terhadap kemajuan belajar anak-anak mereka secara aktif. Selain itu anak-anak kelas sosial menengah ke atas dikelilingi oleh orang-orang berkarir sukses karena bersekolah dengan baik. Hal ini menyebabkan mereka mendapat motivasi untuk meraih kesuksesan yang sama dengan jalan meningkatkan prestasi pendidikan dengan harapan dapat meraih posisi yang baik saat bekerja nanti.

Apakah realitas semacam ini juga terjadi pada masyarakat sebuah kota kecil seperti Puworejo? Mengingat globalisasi saat ini cukup berpengaruh terhadap gaya hidup dan pola tingkah lagu, bahkan pada para siswa di kota-kota kecil. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengangkat topik ini dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Hal yang cukup menarik adalah bagaimana seseorang memiliki semangat untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik melalui pendidikan. Bagaimana status sosial dan keadaan ekonomi keluarga berperan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Dari hal tersebut rumusan masalah yang dapat diambil adalah:

1. Apakah ada kecenderungan hubungan antara status sosial ekonomi keluarga prestasi belajar siswa ?

(6)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada kecenderungan hubungan status sosial

ekonomi dengan prestasi belajar siswa.

2. Sebagai studi perbandingan antara teori yang telah diperoleh dan

memberikan analisa tentang masalah yang ada dalam penelitian.

D. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep antara lain:

1. Status Sosial Ekonomi

Status sosial merupakan peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya (Horton dan Hunt, 1999:118). Prof. Dr. Serjono Soekanto mendefinisikan status sosial sebagai prestise umum dari seseorang dalam masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya.

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan

dengan orang yang status sosialnya rendah. Status sosial juga dapat diartikan sebagai

Sekelompok manusia yang menempati lapisan sosial berdasarkan kriteria ekonomi. Status sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Keadaan sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap

(7)

perkembangan anak-anak, misalnya keluarga yang perekonomiannya cukup, menyebabkan lingkungan materiil yang dihadapi oleh anak di dalam keluarganya akan lebih luas, sehingga ia dapat kesempatan yang lebih luas di dalam memperkenalkan bermacam-macam kecakapan, yang mana kecakapan-kecakapan tersebut tidak mungkin dapat dikembangkan kalau tidak ada alat-alatnya. (Ahmadi, 1991: 91). Beberapa cara memperoleh status sosial:

a) Ascribed Status adalah kedudukan yang diperoleh secara otomatis tanpa usaha. Status ini merupakan sebuah status yang sudah diperoleh

seseorang semenjak ia lahir. Contoh: Jenis kelamin, gelar kebangsawanan, keturunan, dsb.

b) Achieved Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan disengaja.

Contoh: kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur, gubernur, camat, ketua OSIS dsb.

c) Assigned Status merupakan kombinasi dari perolehan status secara otomatis dan status melalui usaha. Status ini diperolah melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain, atas jasa perjuangan sesuatu untuk kepentingan atau kebutuhan masyarakat. Contoh: gelar kepahlawanan, gelar pelajar teladan, penganugerahan Kalpataru dsb.

Saah satu yang mempengaruhi tingkat status sosial ekonomi adalah pendapatan. Pendapatan adalah jumlah barang dan jasa yang merupakan imbalan atas usaha atau hasil kerja seseorang (Simanjuntak, 1985 : 108). Sementara menurut Christopher Pass dan Bryan Lowes pendapatan adalah uang yang diterima oleh seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji, upah, sewa, bunga, laba dan lain

(8)

sebagainya, bersama dengan tunjangan pengangguran, uang pensiun dan lain sebagainya (Pass dan Lowes, 1997: 287). Sedangkan gaji, menurut YB Suparlan adalah balas jasa atau penghargaan atas hasil kerja seseorang.

Pendapatan pada umumnya di dasarkan pada adanya tiga fungsi upah atau gaji:

a) Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarga (mempunyai

fungsi sosial).

b) Mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang.

c) Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Peningkatan penghasilan orang tua berarti semakin tinggi status ekonomi, dan dimungkinkan hal sama terjadi pada status sosialnya. Hal ini akan memungkinkan tumbuhnya keinginan dan harapan orang tua terhadap masa depan anak. Tetapi bagi orang tua yang memiliki pendapatan minim ataupun pas-pasan, hal menyekolahkan menjadi setengah hati dilakukan, karena biaya untuk pendidikan cukup mahal. Tingginya biaya pendidikan atau sekolah secara otomatis mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Sebab, ketika dihadapkan pada tuntutan hidup, mereka tidak akan berpikir lagi soal pendidikan. Bagaimana mungkin memikirkan hari depan sedangkan untuk makan hari ini mereka kesulitan (Darmaningtyas, 1999: 29).

Di satu pihak pendidikan meningkatkan produktivitas kerja, di lain pihak pendidikan merupakan indikator tingkat kemiskinan (Simanjuntak, 1985: 67). Karena kemiskinan dapat dilihat dari tingkat pendidikan, hal ini dapat dilihat dari upah atau gaji seseorang yang diberikan sebanding dengan tingkat pendapatan dan latihan yang dicapai (Simanjuntak, 1985: 111).

(9)

2. Prestasi Belajar

Menurut W.J.S Purwadarrninto ( 1987: 767 ) rnenyatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai sebaik - baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu terhadap hal - hal yang dikerjakan atau dilakukan. 

Winkel (1996:226) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.

Menurut S. Nasution (1996:17) prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.”1

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami dinamika dalam suasana proses belajar dan mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

       1

Disadur dari Artikel

(10)

E. Hipotesa

Hipotesa adalah pernyataan dugaan yang menghubungkan antara dua variabel atau lebih. Hubungan tersebut dapat dirumuskan secara eksplisit maupun implisit (Singarimbun, 1987: 43). Hipotesa yang berasal dari teori dipandang sebagai pernyataan sementara mengenai sesuatu hal sampai hipotesa tersebut diuji. Sedangkan pengujian hipotesa dimaksudkan untuk mengarahkan hipotesa pada penerimaan atau penolakan.

Hipotesa yang akan dibuktikan pada penelitian ini adalah:

Ada kecenderungan hubungan antara status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa.

F. Definisi Operasional

• Status sosial ekonomi yaitu : peringkat atau pengelompokan keluarga dalam

masyarakat berdasarkan kondisi ekonomi diukur dengan:

9 Pendapatan orang tua (ayah dan ibu).

9 Jenis pekerjaan orang tua.

9 Pengeluaran keluarga setiap bulannya.

• Prestasi belajar yaitu hasil belajar yang dicapai siswa selama bersekolah di SMA diukur dengan:

9 Nilai raport

9 Ranking di kelas

(11)

G. Metode Penelitian

a) Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yang termasuk ke dalam jenis penelitian pengujian hipotesa atau penelitian penjelasan, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989: 5).

Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner dan metode analisis deskriptif kuantitatif dengan teknik populasi random sampling.

b) Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan terhadap siswa siswi SMA Bruderan kelas XI dan XII Purworejo yang berlokasi di Jalan Kyai Haji Wahid Hasyim Nomor 6 Purworejo 54111. Alasan pemilihan SMA Bruderan adalah karena di sekolah tersebut terdapat siswa dengan latar belakang ekonomi keluarga yang beragam, serta para siswa dengan kemampuan atau prestasi yang cukup beragam pula, serta keberadaan lokasi sekolah yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penulis.

c) Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan random sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Adapun besarnya sampel yang akan diambil adalah 25%, sesuai yang dikemukakan oleh Winarno Surachmad, bila populasi cukup homogen, terhadap populasi di bawah 100 dapat diambil sampel 50%, di bawah 1000 sebesar 25% dan di atas 1000 sebesar 15%. Untuk jaminan ada

(12)

baiknya sampel ditambah sedikit dri jumlah matematis tadi (Surachmad, 1981: 85).

Jumlah siswa di SMA Bruderan Purworejo secara keseluruhan adalah 412 siswa, dengan rincian keas X sebanyak 140 siswa, kela XI sebanyak 127 siswa dan kelas XII sebanyak 145 siswa. Jumlah populasi siswa yang akan diteliti, yaitu kelas XI dan XII adalah 127 + 145 = 272. Sampel yang akan diambil adalah:

25% x 272 = 68

Jumlah siswa yang akan diambil sebagai sampel berdasarkan ketentuan adalah 68 siswa. Guna meminimalisir sampel eror atau rusak, penulis mengambil sampel sebanyak 103 siswa.

d) Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari responden. Data primer didapat dari kuisioner. Data sekunder adalah data mengenai obyek atau responden yang telah tersedia dari berbagai sumber dimana kita bisa langsung mengambilnya sesuai dengan yang kita perlukan. Untuk memperoleh data-data tersebut, maka digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:

Kuisioner: merupakan teknik pengumpulan data dengan mengajukan suatu daftar pertanyaan kepada responden di lokasi penelitian.

(13)

e) Teknik Analisa Data

Metode analisis yang digunakan adalah dengan tabel silang. Dari tabel silang penulis membuat analisa tentang kondisi data. Menurut, Sofian Effendi, Tabel silang merupakan metode paling sederhana untuk mengamati hubungan dua variabel. Dalam tabel silang biasanya dihitung persentase responden untuk setiap kelompok agar mudah dilihat hubungan antara dua variabel, yaitu variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Variabel pengaruh biasanya disusun pada garis vertikal, sedangkan variabel terpengaruh tersusun pada garis horisontal. (Masri Singaribun dan Sofian Effendi, 1982:221).

Gambar

ilustrasi miris tentang perjuangan orang-orang kelas sosial bawah seperti seorang  tukang kebun dengan penghasilan Rp

Referensi

Dokumen terkait

Lama rawat sebagian besar pasien dirawat lama sebanyak 34 pasien Balita Diare atau 85 %, rata-rata lama rawat 7 hari rawat.Analisa bivariate dengan uji

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan PT Pos Indonesia (Persero) cabang Purwokerto terhadap pelanggan untuk memberikan

Kerja Instansi / Lembaga Nomor Surat Penugasan

Mereka mengakui bahwa banyak keuntungan yang mereka dapat dari menulis dialogue journals seperti mereka dapat menyampaikan pendapat atau saran dengan lebih mudah, mereka mendapatkan

Pham , Thang C., and Kamei K., Hybrid Artificial Intelligent Model using Collaborative Decision Making for Evaluation of Food Biotechnology, Journal of Science and Technology,

dalam Pasal 6 ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok Bea

Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan

Hal tersebut menunjukkan bahwa usia responden peternak sebagian besar pada usia produktif (15-64 tahun), yang berarti bahwa dengan usia produktif sebagian besar