• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

5

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesiapan Menikah

2.1.1 Pengertian Kesiapan Menikah

Konsep kesiapan menikah Wiryasti didapatkan melalui studi penelitian dari Fowers & Olson (1992). Kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan kemampuan-kemampuan lain sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan pada awal pernikahan sebuah pasangan (Fowers & Olson, 1992). Kurangnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Dengan permasalahan tersebut, pada tahun 1998, inventori Prepare/Enrich dikembangkan berdasarkan indikator-indikator teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan konflik-konflik yang umum terjadi pada pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4 kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues, interpersonal

issues, dan external issues.

Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa kepuasan dan keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan sebelum menikah dan pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui intervensi sebelum pernikahan. Intervensi yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasangan yang akan menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan tipologi pasangan bertunangan berdasarkan inventori Prepare agar dapat membantu dalam menemukan intervensi yang sesuai. Mereka pun menemukan adanya 4 tipe pasangan yaitu, vitalized couples, harmonious couples, traditional couples, dan

conflicted couples.

Karakteristik dari tipe-tipe di atas dijabarkan, sebagai berikut:

Vitalized couples adalah

(2)

hubungannya. Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan dalam mendiskusikan hubungannya masing-masing, dan menyelesaikan masalahnya bersama-sama.

Harmonious couples

memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada keseluruhan hubungannya. Pasangan ini menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan

kepribadian dan perilaku pasangannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dapat mendiskusikan perasaan-perasaannya, dapat menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya.

Traditional couples memiliki

ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi memiliki kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan perencanaan masa depan.

Conflicted couples

mengidikasikan kesulitan pada semua skala Prepare. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan pasangannya.

Pada tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi Prepare/Enrich ke dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori Kesiapan Menikah lebih banyak mengadaptasi pada kategori interpersonal issues, hal ini dikarenakan inventori tersebut tidak hanya mengevaluasi individu itu sendiri tapi bagaimana hubungannya dengan pasangannya. Inventori Kesiapan Menikah pun diadaptasi lebih dalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah nama menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah.

Menurut Wiryasti sendiri (2004), kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk siap menjalankan peran barunya sebagai suami atau istri dengan adanya kematangan pribadi, yaitu adanya komitmen pada masing-masing individu yang masuk ke dalam hubungan pernikahan sehingga tidak mengganggu minat-minat.

(3)

Fowers & Olson (1992, dalam Olson & DeFrain,

2006) Risnawaty (2003) Wiryasti (2004) Personality Issues (Kepribadian) - Assertiveness - Self confidence - Avoidance - Partner dominance Intrapersonal Issues - Idealistic Distortion - Spiritual Beliefs - Leisure activities - Marriage expectation Interpersonal Issues - Communication - Conflict Resolution - Children and parenting - Couple closeness - Role relationship - Sexual relationship

External Issues

- Family and friend - Financial management - Family closeness and

family flexibility • Komunikasi • Keuangan • Anak dan pengasuhan • Pembagian peran suami istri • Latar Belakang

pasangan dan relasi dengan keluarga besar • Agama • Komunikasi • Keuangan • Anak dan pengasuhan • Pembagian peran

suami dan istri • Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar • Agama • Minat dan pemanfaatan waktu luang • Perubahan pada pasangan dan pola hidup

(4)

2.1.2 Aspek-aspek Kesiapan Menikah

Wiryasti (2004) mengoperasionalisasikan aspek kesiapan menikah dan

mengembangkan modifikasi inventori kesiapan menikah dengan menjabarkan aspek-aspek kesiapan menikah sebagai berikut:

1) Komunikasi

Komunikasi merupakan kemampuan untuk mengekspresikan ide dan perasaannya dan mendengarkan pesan. Dalam komunikasi terdapat keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengarkan.

2) Keuangan

Keuangan merupakan kemampuan yang memiliki kaitan dengan pengaturan ekonomi rumah tangga. Keuangan mencakup pengendalian atau pengaturan keuangan dan membentuk kesepakatan yang dibuat dengan pasangan. 3) Anak dan Pengasuhan

Setiap pasangan pasti mengharapkan memiliki anak sebagai tanda cinta kasih antara kedua orang. Anak dan pengasuhan mencakup pengaruh kehadiran anak terhadap relasi pasangan, perencanaan untuk memiliki anak. Kesepakatan cara KB, kesepakatan cara pengasuhan, dan kesiapan menjalankan peran orang tua.

4) Pembagian Peran Suami dan Istri

Pembagian peran suami dan isteri adalah bagaimana perserpsi dan sikap dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga, serta kesepakatan bersama dalam pembagian pembagian peran suami-isteri dengan pasangan.

5) Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar

Pasangan yang telah siap menikah akan saling mengetahui dengan baik dan mampu mengevaluasi latar belakang pasangan yaitu, nilai-nilai dan sistem keluarga besar yang membentuk karakter pasangan yang dipengaruhi oleh suku bangsa keluarga. Relasi dengan keluarga besar terkait dengan bagaimana sikap keluarga besar terhadap anggota baru.

(5)

6) Agama

Agama merupakan nilai-nilai religius yang menjadi hal dasar dalam pernikahan. Agama berperan dalam menentukan kesiapan menikah dalam hal kesamaan prinsip agama dengan pasangan dan bagaimana penempatan nilai agam dalam relasi hubungan pasangan.

7) Minat dan Pemanfaatan Waktu Luang

Sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan.

8) Perubahan pada Pasangan dan Pola Hidup

Hal yang mempengaruhi kesiapan menikah adalah mampu menghadapi perubahan pasangan dan pola hidup yang terjadi setelah menikah.

2.2 Kecerdasan Emosional 2.2.1 Definisi Emosi

Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari bahasa latin, yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman, 2007). Selain itu, Kartono (2011) mendefinisikan emosi sebagai getaran jiwa, keharuan, dan renjana (rasa hati yang kuat). Sedangkan berdasarkan kamus Oxford English Dictionary (dalam Goleman, 2007) emosi merupakan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.

Pada dasarnya emosi ialah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi (Goleman, 2007). Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsang dari luar dan dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.

2.2.2 Macam-macam Emosi

Menurut Goleman (2007) emosi memiliki beberapa macam, diantaranya adalah: a. Emosi Cinta

Cinta atau perasaan kasih sayang adalah serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang membangkitkan keadaan menenangkan dan memuaskan, akibatnya memudahkahkan terjalinnya kerjasama.

(6)

Emosi bahagia mendorong meningkatnya kegiatan di pusat otak, menenangkan perasaan, meningkatkan energi, dan menghambat perasaan negatif. Emosi bahagia mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh, menimbulkan kesiapan jiwa, dan antusias untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan.

c. Emosi Sedih

Perasaan sedih mendorong penyesuaian diri, menurunkan energi, tetapi kalau berlebihan kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh. Apabila rasa sedih diikuti introspeksi, dapat menciptakan kesempatan untuk merenung sampai akhirnya semangat pulih.

d. Emosi Takut

Perasaan takut membuat sirkuit-sirkuit di pusat otak memicu reproduksi hormon yang membuat tubuh waspada, awas, siap bertindak. Emosi takut mendorong otot-otot rangka besar, seperti kaki dan tangan siap bergerak. Emosi takut juga menimbulkan wajah pucat dan darah terasa dingin.

e. Emosi Terkejut

Perasaan takut mendorong alis mata naik, bidak mata melebar sehingga cahaya lebih banyak masuk ke retina. Hasilnya adalah intonasi tentang peristiwa yang diterima menjadi baik sehingga memudahkan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. f. Emosi Marah

Perasaan marah mendorong meningkatnya detak jantung, membanjirnya hormon seperti adrenalin membangkitkan energi untuk bertindak luar biasa.

g. Emosi Cemas

Inti segala kecemasan adalah kekhawatiran. Isi pokok kekhawatiran adalah

kewaspadaan terhadap bahaya yang mungkin timbul. Rasa cemas memacu pemusatan perhatian pada ancaman yang sedang dihadapi. Rasa cemas juga memaksa otak untuk memikirkan terus-menerus bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi, akibatnya mengabaikan hal lainnya.

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak (Goleman, 2007). Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. 2.2.3 Kecerdasan Emosional

(7)

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 (dalam Saphiro, 2001). Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional ialah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan Baron (dalam

Goleman, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Menurut Robbins (2003), kecerdasan emosional merujuk pada satu keanekeragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 2001).

Menurut Gardner (dalam Goleman, 2007) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ini dinamakan kecerdasan pribadi oleh Gardner dan Daniel Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan emosional.

Goleman (2007), menyatakan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan antar pribadi, yaitu kemampuan untuk memahami apa motivasi tindakan orang lain, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja berkembang dengan kecerdasan.

Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model bagi diri sendiri yang teliti dan mengacu pada kemampuan yang dimiliki untuk digunakan sebagai modal untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dan dalam rumusan lain, Goleman (2007) menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi ialah mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,

(8)

temperamen, motivasi dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan akan kecerdasan diri yang melibatkan akses menuju perasaan seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk mengontrol perilaku.

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (dalam Goleman, 2007) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Goleman (2007), mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional terdiri dari aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), bekerjasama dengan orang lain.

Dari pengertian kecerdasan emosi di atas dapat disimpulkan kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dapat dilatih dan diasah seseorang. Dengan kecerdasan emosi seseorang dapat memahami apa yang dibituhkan dirinya sendiri, sehingga ia pun dapat mengetahui apa yang dibutuhkan orang lain. Kecerdasan emosi memiliki peran untuk seseorang dapat mengendalikan dirinya, juga lingkungan sekitar. Memiliki kepekaan akan hal yang terjadi di sekitar dan tahu apa yang harus dilakukan. Dengan kecerdasan emosi seseorang memiliki hubungan interpersonal dan intrapersonal yang baik dan efektif.

2.2.4 Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional

Salovey (dalam Goleman, 2007), menempatkan kecerdasan pribadi Goleman dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri (Self Awareness)

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari

(9)

kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

b. Mengelola Emosi (Self Control)

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali

merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri (Self Motivation)

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan

mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain (Empathy)

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

e. Membina Hubungan (Socil Skills)

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.

(10)

a. Mempersiapkan individu untuk bertindak, merupakan bagaimana responyang keluar dari dalam diri individu berdasarkan kejadian yang terjadi di lingkungan.

b. Membentuk perilaku di masa depan dengan adanya proses pembelajaran saat individu merespon suatu kejadian dengan emosi tertentu maka di masa depan individu mampu membentuk suatu perilaku.

c. Membantu individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain melalui perilaku verbal dan non-verbal sehingga emosi dapat dilihat oleh orang lain. Perilaku tersebut dapat menjadi pertanda bagi orang lain, sehingga mereka mengerti apa yang sedang dialami individu dan membantu dalam memprediksi perilaku individu di masa depan.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dapat terbentuk pada seseorang dengan dilatih dan diasah. Kecerdasan emosi berarti seseorang mampu memahami dirinya sendiri sebelum memahami orang lain. Seorang wanita baik yang memiliki pasangan maupun tidak patut memiliki kecerdasan emosi sehingga

2.3 Emerging Adult 2.3.1 Definisi Emerging Adult

Menurut Arnett (2001) tahap emerging adulthood menekankan pada pengalaman psikologis dan subjektif dari individu. Pada tahap ini individu berada pada periode usia eksplorasi identitas, individu merasa ada di “ditengah-tengah”, mengalami

ketidakstabilan, fokus diri dan terbukanya berbagai macam kemungkinan dalam hidup.

Emerging adulthood tertanam secara historis dan dibangun secara kultural (Arnett,

2001). Dalam tahapan perkembangan ini individu akan menerima kontrol terbesar dalam kejadian hidup mereka. Temuan ini adalah refleksi dari emerging adulthood sebagai

self-focused age, sebuah periode dimana seorang individu memiliki kebebasan untuk

membuat pilihan yang mereka inginkan. 2.3.2 Karakteristik Emerging Adulthood

Arnett (2007) menyatakan 5 ciri utama yang sangat membedakan emerging

adulthood dengan tahap perkembangan remaja dan emerging adult, yaitu: a) The age of identity explorations

Pada tahap emerging adult individu melakukan eksplorasi pada setiap hal yang mungkin dapat terjadi seperti halnya percintaan dan pekerjaan. Pada tahap ini, emerging

(11)

adult akan mengklarifikasi identitas mereka, memperdalam siapa mereka sebenarnya dan

apa yang mereka inginkan dalam kehidupannya. Pada tahap ini, individu diberikan kesempatan terbaik untuk melakukan self-exploration (eksplorasi diri) dan menjadi lebih mandiri dibandingkan pada tahapan remaja.

b) The age of instability

Pada tahap ini selain eksplorasi yang dilakukan oleh emerging adult akan

menimbulkan ketidakstabilan yang konsisten. Baik itu dalam hal perubahan pilihan akan masalah percintaan dan pekerjaan. Maka masa emerging adult lebih dipenuhi oleh periode ketidakstabilan yang intens.

c) The self-focused age

Emerging adults mulai fokus pada pengembangan diri untuk menjalani

kehidupannya sehari-hari sendiri. Individu mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai diri sendiri, apa yang diinginkan dalam hidup, dan mulai membangun dasar untuk menjadi individu yang lebih dewasa. Dengan fokus pada diri sendiri, individu akan belajar untuk berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan (self-sufficiency). Hal ini menjadi normal karena dilihat sebagai tahap yang harus dilakukan sebelum berkomitmen dalam cinta dan pekerjaan.

d) The age of feeling in-between

Eksplorasi dan ketidakstabilan yang dialami emerging adulthood memberikan adanya suatu fase yang dihasilkan dari periode ‘diantara’ remaja. Saat di mana masih banyak individu yang hidup dengan orangtuanya dan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan emerging adult kebanyakan sudah menikah dan menjadi orangtua serta memiliki hidup yang mulai stabil. Berada dipertengahan dua tahapan perkembangan ini mendorong emerging adulthood untuk mencari tahu lebih dalam mengenai hidupnya karena merasa hidupnya masih belum mapan dan stabil.

e) The age of possibilities

Age of possibilities, merupakan periode dimana arah kehidupan seseorang belum

begitu jelas. Pada tahap ini individu memiliki harapan serta ekspektasi tinggi, hal ini dikarenakan beberapa mimpi dan pencapaian individu sedang ditantang dalam kehidupan nyata. Emerging adults melihat masa depan dengan membayangkan hidup yang

(12)

sempurna seperti pekerjaan dengan gaji tinggi, memuaskan serta pernikahan yang seumur hidup, bahagia serta anak-anak yang pintar.

2.4 Kerangka Berpikir

Wanita emerging adult menurut Arnet adalah wanita dengan rentang usia 18-15 tahun. Pada usia ini wanita mulai melakukan eksplorasi dalam hal karir pekerjaan dan hubungan yang intim dengan lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis pada usia ini akan lebih serius untuk memasuki ke jenjang pernikahan. Pernikahan adalah bersatunya dua individu menjadi satu yang diakui secara hukum dan sosial. Di mana janji yang diucapkan bersama hanya dapat dipisahkan oleh maut. Pernikahan akan menciptakan suatu keluarga baru yang bahagia apabila kedua individu memiliki kesiapan menikah yang baik. Disamping kesiapan materi, namun kesiapan individu secara mental lebih diutamakan dan dibutuhkan pada setiap individu. Di mana kesiapan menikah ini dapat dipupuk sejak individu masih lajang ataupun sudah memiliki pasangan.

Dengan adanya kesiapan menikah, wanita akan mampu menghadapi berbagai konflik yang terjadi dalam masa pacaran maupun saat sudah menikah nantinya. Seringkali konflik yang terjadi memicu stress pada wanita, terutama wanita cenderung menggunakan perasaannya dibanding pikiran rasional. Disinilah faktor kecerdasan emosi dibutuhkan sehingga wanita mampu mengerti dirinya sendiri terlebih dahuliu untuk dapat mengerti orang lain. Dengan

kecerdasan emosi wanita mampu tetap berinteraksi dengan baik pada pasangan sekalipun mereka sedang dalam konflik dan mampu mengatasi setiap konflik yang dihadapi. Untuk itulah penulis tertarik untuk menganalisa lebih dalam tentang hubungan antara kecerdasan emosi dan kesiapan menikah pada wanita.

Asumsi dasar penelitian ini adalah semakin tinggi kecerdasan emosional wanita emerging

adult maka semakin siap individu untuk menikah.

Gambar 1. Kerangka Berpikir

WANITA

EMERGING

ADULT

KECERDASAN EMOSI KESIAPAN MENIKAH

(13)

Gambar

Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Komponen Kesiapan Menikah
Gambar 1. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Standar Operasional Prosedur penggunaan media sosial sebagaimana terlampir pada surat keputusan ini merupakan acuan kinerja yang digunakan oleh Senat Mahasiswa,

Metode pengajaran TPR (Total Physical Response) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “metode Respons Fisik Total” adalah metode pembelajaran yang lebih fokus pada

Tujuan pemantauan kontaminasi udara agar dapat diambil tindakan untuk keselamatan radiasi, bilamana tingkat radioaktivitas α atau β dapat membahayakan personil dan/atau

Dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa meskipun tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli/peneliti, kata makian dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak teh hitam terhadap bakteri Aeromonas hydrophila dan untuk mengetahui nilai MIC ( Minimum Inhibitor

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Ulead Video Studio ini sangat cocok digunakan untuk kalangan pemula yang ingin belajar editing video, selain itu program ini memiliki tampilan yang menarik dan menu-menu

Ketentuan dari pemberlakuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi