• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. METODE PENELITIAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di hutan mangrove yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Unauna. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil survey pendahuluan serta dukungan data dari CII-Togean Program tentang situasi dan kondisi hutan mangrove di kawasan TNKT. Deskripsi titik koordinat masing-masing lokasi penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan sejak Pebruari 2007 sampai Juli 2007. Tabel 1. Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian

No. Lokasi Koordinat Jenis penutupan lahan mangrove 1 Desa Lembanato S 00o20’04,8” E 121o57’02,6” Hutan mangrove lebat 2 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Hutan mangrove sedang 3 Teluk kilat (Hole kilat) S 00o22’43,0” E 121o56’50,9” Hutan mangrove jarang 4 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Kebun campuran

5 Desa Baulu S 00o21’36,3” E 121o59’10,8” Tambak non tumpangsari 6 Desa Baulu S 00o21’40,9” E 121o59’08,2” Lahan kosong

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah; (1) contoh tanah komposit (serasah, humus dan tanah), (2) alkohol 70% digunakan selama analisis di laboratorium dan lapangan, (3) gliserin digunakan di lapangan untuk mengurangi penguapan alkohol, dan (4) bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium.

Alat-alat yang digunakan adalah; (1) cangkul kecil, (2) parang/pisau, (3) ring sampel, (4) termometer tanah (5) tabung plastik bekas isi film, (6) gelas plastik, (7) kantong blacu/karung terigu, (8) pita ukur 200 cm, (9) penggaris 20 cm, (10) soil tester, (11) pinset, (12) kamera digital, (13) GPS (Garmin III plus), (14) tali plastik, (15) mikroskop binokuler, (16) peralatan untuk analisis tanah di laboratorium dan (17) peralatan untuk identifikasi Hexapoda tanah.

C. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah kepulauan Togean letaknya terpencil dan terisolasi dari daratan yang luas karena dibatasi oleh wilayah perairan. Kepulauan ini terdiri dari ± 50 pulau besar dan kecil dengan 7 pulau utama yaitu Batudaka, Togean, Talatakoh, Waleabahi, Waleakodi,

(2)

Una-Una dan Malenge (Gambar 2). Penunjukkannya sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 418/Menhut/2004, yang menempati luas kawasan sebesar 362.605 ha dengan luas daratan (termasuk kawasan hutan) sekitar 25.832 ha, dengan rincian : 1) hutan lindung 10.659 ha; 2) hutan produksi terbatas 193 ha; 3) hutan produksi tetap 11.759 ha; 4) hutan produksi yang dapat dikonversi 3.221 ha, selebihnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Kepulauan ini terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00o 08’21”-00o45’12” LS dan 121o33’21”-122o231’36” BT, dengan luas daratan ± 755,4 Km2 (BPS, 2006; Anonim 2007).

Gambar 2. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha

(berdasarkan SK Menhut. No. 418/Menhut-II/2004, tanggal 19 oktober 2004) Secara administrasi kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Pengelolaannya masih mengacu pada Rencana Detail Tata ruang (RDTR) yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Dibagi menjadi 4 kecamatan yaitu Una-Una, Togean, Walea Kepulauan dan Walea dengan jumlah desa

(3)

keseluruhan mencapai 48 desa. Kecamatan Una-Una terdiri dari Pulau Una-Una dan Batudaka dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Wakai (Batudaka). Kecamatan Togean terdiri dari Pulau Togean dan beberapa pulau kecil dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Lebiti (Togean). Kecamatan Walea Kepulauan terdiri dari Pulau Talatakoh, Malenge dan Waleakodi dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Popolii (Waleakodi), sedangkan kecamatan Walea terdiri dari Pulau Waleabahi dan beberapa pulau kecil lainnya dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Pasokan (Waleabahi) (BPS, 2006; Anonim 2007).

Kepulauan Togean dan sekitarnya mempunyai dua musim yakni musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Desember sampai Maret. Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, kepulauan ini umumnya termasuk dalam kawasan tipe E dan D (500-2000 mm/thn). Sumber mata air tersebar di daerah tertentu seperti lembah, daerah pesisir dan sekitar tanaman bakau (BPS., 2006).

Kepulauan Togean merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang penting dari

”Segitiga Terumbu Karang” (Coral Triangle) yang merupakan area-area yang memiliki

keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Micronesia. Terumbu karang di kepulauan ini oleh Marine RAP (2001, dalam CII-Togean Program, 2005) dinyatakan sebagai “The Heart of Coral Triangle”, kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang letaknya berdekatan satu sama lain.

Kepulauan Togean memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya pada ekosistem hutan mangrove. Survey oleh CI-Indonesia dan Yayasan Pijak (2001) meng-identifikasi sekitar 33 spesies mangrove yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove) yang dikelompokan ke dalam 26 genus dan 21 famili. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove yaitu sekitar 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20 genus) (CII-Togean Program, 2005).

Berdasarkan hasil klasifikasi citra, bahwa ekosistem mangrove tersebar hampir di sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang

(4)

paling banyak memiliki ekosistem mangrove adalah sepanjang garis pantai P. Togean, merupakan kawasan ekosistem mangrove yang terluas; pesisir timur P. Batudaka, yaitu pada kawasan pesisir yang bersebelahan dengan P. Togean; dan pantai di sebelah selatan P. Talatakoh yang bersebelahan dengan P. Togean. Sementara itu di pulau-pulau yang lain juga terdapat ekosistem mangrove, namun dengan luasan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ketiga pulau tersebut. Secara spasial, luasan mangrove yang diestimasi dari hasil klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari 5.322,837 ha turun menjadi 5.050,91 ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 271,93 ha (5,11 % dari luas pada tahun 2001) (Anonim, 2007).

Gambar 3. Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.

Keterangan lokasi pengamatan :

1). Desa Taningkola; 2). Teluk Kilat (desa Lembanato); 3). Desa Baulu

Lokasi penelitian terletak di pulau Batudaka dan Togean. Kedua pulau ini dipilih atas pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan gugusan pulau yang terbesar dan memiliki garis pantai yang terpanjang di antara gugusan pulau lainnya di kepulauan Togean. Lokasi pengumpulan spesimen yang dipilih adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran, tambak non tumpang-sari, dan lahan kosong. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan

(5)

pada ekosistem mangrove di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Adapun deskripsi masing-masing lokasi pengamatan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Hutan Mangrove Lebat

Hutan mangrove lebat merupakan hutan mangrove yang vegetasinya didominasi oleh mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Xylocarpus dan Bruguiera. Kondisi hutan ini didominasi oleh tegakan dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi, penutupan tajuk pohon yang cukup baik menyebabkan udara di dalam hutan terasa sejuk. Kondisi di lantai hutan relatif lembab atau basah dengan serasah yang tergolong tebal. Hutan mangrove lebat ini salah satunya terdapat di pulau Togean yaitu di sekitar teluk kilat, desa Lembanato.

2. Hutan Mangrove Sedang

Hutan mangrove sedang merupakan hutan mangrove yang di tumbuhi oleh vegetasi mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Lumnitzera dan Bruguiera dengan kondisi tegakan pohon yang tidak terlalu rapat, sehingga berkas sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan keadaan di dalam hutan tidak terlalu gelap, kondisi lantai hutan sedikit lembab dan serasah tergolong sedang. Salah satu hutan mangrove tipe ini terdapat di pulau Batudaka yaitu di sekitar desa Taningkola.

3. Hutan Mangrove Jarang

Lokasi pengambilan spesimen untuk hutan mangrove jarang ini dilakukan di pulau Togian yaitu di sekitar teluk kilat (hole kilat). Vegetasi hutan mangrove ini terdiri dari mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Heritiera dan Lumnitzera yang kondisi tegakan pohonnya sudah sangat jarang, sehingga sinar matahari dapat langsung menyinari lantai hutan yang di tumbuhi rumput. Di samping itu, di lokasi ini ditemukan juga mangrove ikutan seperti jenis pandan bakau, paku laut. Serasah di sekitar lokasi ini tergolong sedang sampai tipis, yang berasal dari rumput maupun tumbuhan di sekitarnya.

4. Kebun Campuran

Kebun campuran merupakan kebun yang tumbuhannya terdiri dari berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman perkebunan. Daerah ini sebelumnya merupakan hutan mangrove yang oleh masyarakat setempat dikonversi menjadi kebun campuran. Lokasi

(6)

kebun campuran ini salah satunya berada di pulau Batudaka, tepatnya di desa Taningkola. Tanaman yang dominan ditemukan di kebun campuran ini adalah tanaman kelapa. Di samping itu, ditemukan juga vegetasi berupa semak dan tumbuhan bawah sejenis rumput-rumputan. Hal ini dimungkinkan karena tajuk pohon tidak menghalangi cahaya matahari masuk ke lantai hutan, sehingga tumbuhan bawah bisa tumbuh. Banyaknya jenis tumbuhan yang terdapat di kebun campuran, sehingga serasah di lokasi ini tergolong tebal.

5. Tambak Non Tumpangsari

Daerah ini merupakan daerah hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak. Tambak yang diamati ini bukan merupakan tambak tumpangsari, karena seluruh vegetasi mangrove di sekitar tambak telah dibersihkan. Di lokasi ini tidak ditemukan vegetasi, yang tersisa hanya akar-akar dari tumbuhan mangrove. Serasah di lokasi ini tergolong sedang yang berasal dari pohon dan ranting yang lapuk, serta akar pohon mangrove. Lokasi tambak non tumpangsari ini salah satunya terdapat di pulau Togean di sekitar desa Baulu.

6. Lahan Kosong

Lahan kosong yang terdapat di sekitar desa Baulu pulau Togean, sebelumnya merupakan hutan mangrove. Vegetasi mangrovenya oleh penduduk setempat dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Setelah vegetasi mangrovenya dibabat untuk kepentingan komersial, kemudian lahan ini ditinggalkan tanpa dilakukan penanaman kembali (revegetasi). Eksploitasi berlebihan oleh masyarakat setempat menyebabkan kematian vegetasi mangrove secara alami, di lokasi ini hanya ditumbuhi oleh tumbuhan bawah jenis kangkung pantai (Ipomoea pes-caprae) dan paku cai (Acrostichum aureum L.). Kurangnya keberadaan rumput dan semak di sekitar lokasi, menyebabkan serasah di lahan kosong ini tergolong agak tipis.

D. Metode Pengambilan Data D.1. Penempatan Petak Penelitian

Petak penelitian ditempatkan pada beberapa lokasi penelitian. Sebagai lokasi perlakuan adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi

(7)

(kebun campuran, tambak non tumpangsari, lahan kosong). Indikator hutan mangrove yang belum dikonversi adalah sebagai berikut :

1) hutan mangrove lebat, ditandai dengan kanopi yang rapat, serasah tebal, lantai basah, sinar matahari sedikit mencapai lantai.

2) hutan mangrove sedang, ditandai dengan kanopi yang kurang rapat, serasah kurang tebal (sedang), lantai basah, sinar matahari lebih banyak mencapai lantai.

3) hutan mangrove jarang, ditandai dengan proporsi kanopi yang lebih banyak terbuka, serasah agak tipis sampai sedang, lantai kurang basah (agak kering).

Pada setiap lokasi penelitian dibuat transek secara acak dari arah laut ke daratan, berukuran 25 m x 10 m (Gambar 4) sebanyak dua transek sebagai unit contoh primer. Selanjutnya pada setiap transek dibuat sub-transek sebagai plot pengamatan yang berukuran 5 m x 5 m secara silang kiri-kanan poros transek sebagai unit contoh sekunder (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000). Penempatan perangkap sumuran (Pitfall traps) dan pengambilan contoh tanah pada plot/petak pengamatan dilakukan secara terstrata (stratified sampling) dan masing-masing lokasi penelitian diambil 5 satuan contoh secara sistematis.

D.2. Pengumpulan Serangga Tanah

Metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan adalah metode Perangkap Sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan metode Pengambilan Contoh Tanah

5 m 5 m 5 m 5 m 5 m

5 m

5 m

= Titik peletakan Pitfall traps (PFT) = Titik pencuplikan contoh tanah (PCT) Keterangan :

(8)

(PCT). Pemilahan serangga tanah dari contoh tanah dilakukan dengan menggunakan Corong Barlese. (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000; Suin, 2003).

D.2.1. Metode Perangkap Sumuran/Pitfall Traps (PFT)

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Metode PFT diterapkan langsung di lapangan. Perangkap sumuran dipilih atas dasar pemikiran praktis, harganya murah, mudah digunakan dan dibawa, karena perangkap sumuran tersebut berupa gelas plastik yang biasanya dipakai sebagai gelas minum dengan ukuran Ф = 5 cm dan tinggi 10 cm.

Perangkap sumuran cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman individu. Selain itu Hexapoda tanah yang dapat ditangkap adalah Hexapoda diurnal dan nokturnal. Namun metode ini mempunyai keterbatasan bahwa Hexapoda yang tertangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan lantai hutan (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985).

Perangkap sumuran di pasang dengan cara menanam gelas yang berisi alkohol 70% setinggi 5 cm di atas tanah (Gambar 5) dan ditetesi 1 tetes gliserin untuk mengurangi penguapan alkohol. Permukaan gelas harus benar-benar rata dengan permukaan tanah. Pemasangan perangkap dipilih di daerah yang relatif kering agar dapat ditanam dan air tidak masuk. Pengumpulan Hexapoda dengan metode ini harus memperhatikan waktu-waktu pasang surut air laut di kawasan ekosistem mangrove. Lama pemasangan perangkap untuk masing-masing lokasi

ditetapkan selama 22 jam, berdasarkan periode waktu pasang-surut air laut.

Hasil tangkapan dipindahkan ke dalam kantong plastik dan diikat. Gambar 5. Perangkap sumuran (PFT) di lapangan

(9)

D.2.2. Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT)

Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) digunakan untuk memisahkan atau memilih Hexapoda dari serasah dan tanah. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang berada di dalam lapisan tanah. Adapun cara pengumpulan Hexapoda dengan metode ini adalah mengambil contoh tanah beserta serasah dan humus di atasnya. Contoh tanah yang diambil sebanyak 0.5 liter, ukuran petak pengambilan 10 cm x 10 cm dengan ketebalan antara 6-8 cm. Contoh tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong belacu/karung terigu untuk dibawa ke laboratorium. Contoh tanah yang telah diambil, selanjutnya di letakkan pada corong Barlese hasil modifikasi (Gambar 6).

Contoh tanah kemudian diperlakukan di dalam corong Barlese Modifikasi selama satu minggu dan setiap tiga hari sekali dilakukan pembalikan tanah yang terdapat pada corong Barlese, apabila tanah tersebut kering diberi percikan air agar fauna di dalam tanah tersebut tidak mati. Sebagai larutan pembunuh sekaligus preservasi digunakan alkohol 70%. Selanjutnya fauna/Hexapoda yang tertampung kemudian dipisah-pisahkan (disortir), dan diidentifikasi sampai tahap suku atau famili dengan bantuan mikroskop. Hexapoda tersebut kemudian dihitung jumlahnya.

(10)

D.3. Pengambilan Data Sifat Fisik dan Kimia Tanah D.3.1. Sifat Fisik Tanah

Analisis sifat fisik tanah meliputi : suhu tanah dan kelembaban tanah pengukuran-nya dilakukan langsung di lapangan, kecuali untuk tekstur tanah, bobot isi (bulkdensity) dan kadar air pengamatannya dilakukan di laboratorium. Pengambilan contoh tanah utuh menggunakan ”ring sample” yang diletakkan di kedua sudut dan di tengah-tengah untuk setiap petak penelitian, kemudian dianalisis di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

D.3.2. Sifat Kimia Tanah

Untuk mengetahui sifat kimia tanah, diambil secara parsial tiga contoh tanah komposit masing-masing sebanyak 250 gram pada setiap petak. Pengambilan contoh tanah dilakukan di sekitar petak peletakan PFT. Unsur-unsur yang akan dianalisis adalah pH tanah (H2O & KCl), kandungan bahan organik (C-Organik), kandungan

N, P dan K, kandungan Ca, serta salinitas tanah. Pengukuran pH tanah selain dilakukan di laboratorium, juga dilakukan langsung di lokasi penelitian. Analisis kimia tanah dilakukan di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

D.4. Pengukuran/Pengamatan Serasah

Pengukuran/pengamatan serasah dilakukan pada masing-masing petak penelitian, meliputi tebal/tipis serasah, kelembaban, pH, dan suhu tanah.

D.5. Pengukuran/Pengamatan Suhu dan Kelembaban Udara

Pengukuran/pengamatan suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat penelitian berlangsung.

E. Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah

Identifikasi serangga/Hexapoda tanah hasil tangkapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu mikroskop stereo binokuler di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bidang Zoologi Cibinong, Bogor. Identifikasi dilakukan sampai pada tahap famili/suku. Spesimen serangga diawetkan dalam alkohol 70%. Analisis peran Hexapoda tanah dilakukan berdasarkan kelompok takson/taksa dan mengacu pada literatur yang tersedia, serta berdasarkan morfologi mulut.

(11)

F. Analisis Data

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dihitung berbagai parameter di bawah ini :

F.1. Keanekaragaman Jenis Hexapoda Tanah

Nilai keanekaragaman Hexapoda tanah dihitung berdasarkan nilai keanekaragaman yang dikemukakan oleh Hill (Ludwig and Reynolds, 1988). Nilai keanekaragaman tersebut memiliki kemudahan karena dihitung dengan menggunakan ordo nol, satu dan dua, sehingga dari nilai ordo satu dan ordo dua tersebut dapat digunakan untuk menentukan jumlah suku yang melimpah dan mendominasi untuk setiap type komunitas atau jenis penutupan lahan. Nilai keanekaragaman tersebut adalah sebagai berikut :

Ordo Nol : N0 = S Ordo Satu : N1 = eH'

Ordo Dua : N2 = λ

1

No merupakan jumlah suku yang terdapat di dalam sample. Nilai No ini sama dengan nilai S. Untuk mengetahui nilai keanekaragaman Hill. dibutuhkan dua indeks keanekaragaman lain. Indeks yang sering digunakan adalah indeks Shannon-Wiener (H') dan indeks Simpson (λ ). Indeks Shannon-Wiener (Odum, 1996) yang dimaksud adalah :

Simpson (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mendefinisikan sebagai berikut :

Di mana :

S = Jumlah suku/famili serangga tanah yang ditemukan dalam sample

λ = Indeks Simpson

=

=

S i

n

n

ni

ni

1

(

1

)

)

1

(

λ

=

=

S i

Pi

Pi

H

1

)

ln

(

'

= −

=

S i A

Pi

NA

1 ) 1 ( / 1

)

(

(12)

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener N0 = Jumlah suku/famili dalam sampel

N1 = Jumlah kelimpahan suku

N2 = Jumlah dari suku yang paling melimpah (dominan) P1 = n1/N, dimana :

n1 = Jumlah individu jenis ke-1

N = Jumlah individu seluruh jenis

Magurran (1988) mengklasifikasikan nilai-nilai indek Shanon (H’) ke dalam 3 kategori yaitu: H’ = < 1,5 (keanekaragaman rendah); H’ = 1,5 - 3,5 (keanekaragaman sedang), dan H’ = > 3,5 (keanekaragaman tinggi).

Untuk menghitung nilai indeks Hill, termasuk indeks Shannon-Wiener (H') dan indeks Simpson (λ ) digunakan program analisis BioDAP for Windows v.1988.

F.2. Analisis Faktor Lingkungan

Pengujian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan (suhu, kelembaban, porositas, salinitas, pH, kandungan bahan organik tanah), baik Hexapoda tanah yang aktif di permukaan tanah (metode PFT) maupun yang aktif di dalam tanah (metode PCT), yang menggunakan analisis korelasi dengan Program MINITAB Versi 14.01.

Daerah yang dipilih untuk dijadikan sampel pengukuran adalah hutan mangrove lebat, daerah ini dipilih atas pertimbangan karena hutan mangrovenya belum dikonversi (masih utuh) dan belum mengalami gangguan yang nyata terhadap aktivitas manusia. Di samping itu vegetasi yang dominan tumbuh di daerah ini adalah jenis mangrove sejati dengan kerapatan dan penutupan tajuk pohon yang cukup baik.

(13)

Gambar 7. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian.

4. Kebun Campuran 1. Mangrove Lebat

5. Tambak non tumpangsari 2. Mangrove Sedang

6. Lahan Kosong 3. Mangrove Jarang

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai sistem sapaan yang digunakan dalam bahasa Melayu Pontianak di wilayah sekitar Istana Kadriah, baik

[r]

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk mem- bantu generasi

The study was aimed to know and assess the gingival condition of obese people who visited the Dental Polyclinic of Hasan Sadikin Hospital.. The type of this study was descriptive

Kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada press release PT. Bank Sumut peneliti tidak menemukan adanya strategi yang khusus dilakukan ketika menulis press release oleh

Dengan senantiasa mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada kesempatan ini peneliti

Sistem piramidalis yang bersinaps di batang otak &amp; via saraf” kranial akan mensarafi otot” daerah kepala (muka, rahang, lidah, dsb)..  Traktus

Identifikasi senyawa metabolit sekunder adalah proses mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam daun tebu, meliputi uji golongan senyawa metabolit secara