• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo

Menurut mitos yang masih hidup sampai sekarang, terutama di kalangan masyarakat Batak Toba, leluhur pertama dari seluruh orang Batak bernama Si Raja Batak. Leluhur ini tinggal di kaki gunung Pusuk Buhit, yang terletak di sebelah barat Danau Toba. Keturunan Si Raja Batak ini mendiami pulau Samosir yang terletak di tengah danau itu. Sebagian di antaranya menyeberang ke daratan dan tinggal terpencar di wilayah sekitar danau. Pada mulanya suku bangsa ini terbagi atas dua cabang, yakni cabang Toba dan cabang Pakpak-Dairi. Cabang Toba terbagi lagi atas beberapa ranting, yaitu ranting Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun. Cabang Pakpak-Dairi terbagi atas ranting Dairi dan Karo.

Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.

Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad

(2)

14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.

Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

2.2 Lokasi dan Batas Geografis

Suku Karo merupakan subsuku bangsa Batak yang mendiami daerah antara Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak di Propinsi Sumatera Utara, terutama di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian Dairi.

Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku “Lentera Kehidupan Orang Karo dalam berbudaya” (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:

(3)

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan di sebelah Utara wilayah itu meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”

Dari gambaran di atas tampak bahwa terdapat masyarakat Karo yang bertempat tinggal di daerah pesisir dan bertetangga dengan suku-suku yang telah menempatinya terlebih dahulu. Suku-suku tersebut yaitu Melayu Sumatera Timur di sebelah utara, Alas di sebelah barat, Simalungun di sebelah timur dan Pakpak di sebelah selatan.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo tahun 2007, batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir • Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

Simalungun

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi NAD)

2.3 Penduduk dan Bahasa 2.3.1 Penduduk

Menurut sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Karo adalah sebanyak 342.555 jiwa. Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo 95% adalah suku karo,

(4)

sedangkan 5% lagi adalah suku lainnya yaitu suku batak toba, jawa, simalungun dan lain-lain10.

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo pada tanggal 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga di masyarakat Karo didasarkan pada Merga Silima, yaitu : Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan

2.3.2 Bahasa

Sejak berabad-abad suku-suku bangsa penghuni kepulauan Nusantara mempergunakan bahasanya masing-masing dalam pergaulan hidup antar keluarga dalam suku itu. Bahasa-bahasa itu dinamakan ”bahasa daerah” yang sering disebut sesuai dengan nama suku bangsa tersebut, misalnya bahasa karo digunakan oleh suku Karo. Identifikasi seseorang dengan suatu suku bangsa lebih bersifat pribadi, artinya tergantung kepada dirinya sendiri merasa sebagai anggota suku bangsa apa. Biasanya orang lebih suka atau lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan suku bangsa dalam masyarakat dimana dia hidup daripada dengan kemurnian keturunan atau darahnya

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo menggunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.

(5)

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Salah satu jenis pemilihan kosa kata dalam masyarakat karo cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang dipadu dengan pepatah, perumpamaan atau pantun.. Cakap lumat ini sering digunakan dalam upacara adat seperti upacara perkawinan, memasuki rumah baru dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berkaitan dengan hal di atas, Djaga Depari juga menggunakan cakap lumat dalam mencipta lirik-lirik lagu. Sehingga sering muncul makna-makna kiasan dalam lirik-lirik lagu yang beliau ciptakan.

2.3.2.1 Tingkatan bahasa

Dari berbagai sumber yang didapat, ada 3 dialek utama dalam pengucapan dan tulisan masyarakat Karo menurut letak geografisnya :

a. Dialek Gunung-gunung “cakap Karo

gunung-gunung”, yaitu di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh dan Mardinding.

b. Dialek Kabanjahe “Cakap orang julu“ di daerah

Kecamatan Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan Payung. c. Dialek Jahe-jahe “Cakap kalah Karo Jahe“ dipakai

oleh penduduk di kecamatan Pancurbatu, Biru-biru, Sibolangit, Limabekeri dan Namo rante (semua termasuk kabupaten Deli Ladang) dan di daerah Kabupaten Langkat Hulu seperti Salapian, Kuwala, Bohorok dan sebagainya.

(6)

2.3.2.2 Tata cara penggunaan bahasa

Adapun tata cara penggunaan bahasa pada masyarakat karo dibedakan dalam hal-hal berikut :

a. Tabas atau mantra adalah

untuk para “guru si baso” (dukun) dan masyarakat awam jarang mengetahuinya. Umumnya tabas ini digunakan untuk mengobati orang sakit, upacara pemanggilan roh dan sebagainya.

b. Pantun dikenal dengan 2

jenis berupa pantun biasa dan pantun berkias. Biasanya digunakan untuk golongan muda-mudi yang sedang pacaran, orang tua yang ingin menyampaikan petuah dan nasehat atau bisa juga dinyanyikan oleh para biduan di dalam acara pertunjukan kesenian tradisional.

c. Perumpamaan atau tamsil,

perumpamaan Karo ada yang memakai keterangan dan ada pula yang tidak. Keterangan itu dapat disebut lebih dahulu dan di belakang. Seperti juga halnya perumpamaan Melayu yang di dalamnya terdapat kata-kata seperti, sebagai, ibarat, bak.

d. Turi-turin atau cerita adalah

berbentuk prosa mengenai berbagai hal seperti kesedihan, kesaktian, asal-usul kampung, hewan, legenda.

e. Cakep lumat merupakan

(7)

digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling menggoda. Misalnya dahulu seorang pemuda bercintaan dengan seorang gadis di ture (teras rumah adat) maka untuk menarik perhatian gadis tersebut dia menggunakan cakep lumat.

f. Bilang-bilang adalah

kata-kata yang dilagukan atau didendangkan berupa ratapan peleh orang (biasanya kaum wanita) yang sedang mengalami kemalangan.

g. Ndung-ndungen adalah

sejenis puisi tradisional yang hampir sama dengan pantun dalam sastra Melayu, terdiri dari empat baris, di mana dua baris pertama adalah sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

h. Ermangmang adalah bila

seorang “guru si baso” atau orang lain mengucapkan pidato tanpa teks di hadapan kaum kerabat yang menghadiri suatu upacara misalnya memanggil arwah leluhur.

2.4 Sistem Kekerabatan

Dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat dibagi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu11.

Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur, sedangkan si telu

adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat,

(8)

menyusupi aspek-aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di berbagai kegiatan dalam masyarakat, seperti di dalam upacara-upacara dan hokum adat.

Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut

Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang

tiga (Daliken : batu tungku, Si : yang, Telu : tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup)12.

Unsur Daliken Sitelu ini adalah Kalimbubu, Sembuyak/Senina dan Anak Beru. Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu,

senina/sembuyak dan anak beru, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

2.4.1 Kalimbubu

Dalam banyak literatur tentang masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan adalah kelompok pemberi dara atau gadis (Prints, 1986: 66; Bangun, 1981: 109). Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Menurut Darwan Prints kalimbubu diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang (Prints, 1986: 67). Oleh Roberto Bangun, kalimbubu sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi saran kalau

12

disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo :

Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas

(9)

diminta (Bangun, 1989: 12). Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif dalam kaitan keutuhan keluarga.

Masyarakat Karo meyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga

kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap

menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anak beru (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.

Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan Kalimbubu bedasar kekerabatan (perkawinan).

Kalimbubu berdasar tutur dapat dibagi lagi menjadi :

• Kalimbubu Bena-Bena (kalimbubu tua) adalah kelompok keluarga pemberi istri kepada keluarga tertentu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi istri sekurang-kurangnya tiga generasi.

• Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.

(10)

Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan) dapat dibagi lagi menjadi :

• Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi istri terhadap generasi ayah, atau pihak semarga dari ibu kandung.

• Kalimbubu I Perdemui (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi istri ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.

• Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak submarga pemberi anak istri terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak sub marga dari istri saudara laki-laki istri.

• Kalimbubu Senina, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur semarga dari kalimbubu. Dalam pesta adat, kedudukannya berada pada golongan

kalimbubu, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok sub marga kalimbubu.

• Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon pemilik pesta.

2.4.2 Anak beru

Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk

diperistri (Prints, 1986:64; Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan (Prints, 1986: 67). Dalam

(11)

hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnya mendamaikan perselisihan tersebut.

Sama seperti kalimbubu, Anakberu dapat dibagi menjadi dua yaitu Anakberu bedasarkan tutur dan Anakberu berdasarkan kekerabatan.

Anakberu berdasarkan tutur dapat dibagi lagi menjadi :

• Anakberu Tua adalah pihak penerima istri dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

• Anakberu Taneh adalah penerima istri pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

Anakberu berdasarkan kekerabatan dapat dibagi lagi menjadi :

• Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

• Anakberu Iangkip, adalah penerima istri yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.

(12)

• Anakberu Menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada

kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

• Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

2.4.3 Senina/sembuyak

Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Hal umum yang

menyebabkan terbentuknya hubungan senina/sembuyak adalah pertalian darah, sesubklen (semerga/seberu), sepemeren (ibu bersaudara), separibanen (istri bersaudara), mempunyai istri dari beru yang sama, mempunyai suami yang bersaudara (kandung, gamet, atau semarga). Menurut Darwan Prints senina ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan (Prints, 1986: 67). Hal ini nampak dalam berbagai upacara adat karo di mana Senina dalam musyawarah adat bertugas sebagai penyambung lidah dan juga sebagai dan penengah.

Senina ini dapat dibagi dua yaitu senina berdasarkan tutur yaitu senina semarga

dan senina berdasarkan kekerabatan.

Senina bedasarkan kekerabatan dapat dibagi menjadi :

(13)

• Senina sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru atau ibu) yang sama.

• Senina sepengalon (sendalanen) persaudaraan karena pemberi istri yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu submarga (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan marga istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta. • Senina secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka

sesubmarga (bersembuyak).

Sembuyak adalah mereka yang satu submarga atau orang-orang yang satu

keturunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga kadung, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu marga. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian yaitu sembuyak berdasarkan tutur dan sembuyak berdasarkan kekerabatan. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi

(14)

menjadi Sembuyak Kakek (kakek yang bersaudara kandung), Sembuyak Bapa (bapak yang bersaudara kandung), Sembuyak Nande (ibu yang bersaudara kandung).

2.5 Kesenian

2.5.1 Seni suara (vokal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan untuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong13.

Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu

pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus

dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantara:

• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), • Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), • Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),

(15)

• Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),

• Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita), • Ende-enden (nyanyian muda-mudi).

2.5.2 Seni drama

Dari hasil wawancara dengan Beri Pana Sitepu, seni drama dalam masyarakat karo tergolong langka. Biasanya seni drama dalam masyarakat karo berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-mondong yang berhubungan dengan drama

Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala

(drama tari topeng Karo).

Djaga Depari pada masa penjajahan juga pernah berperan dalam seni drama. Salah satu kelompok drama yang pernah diikuti oleh Djaga Depari adalah “Perhimpunan Teater Rakyat” yang dipimpin oleh Datuk H. Wan Umaruddin. Di kelompok ini Djaga Depari bertugas sebagai pemusik yaitu pemain biola.14

2.5.3 Seni musik

Istilah musik dalam masyarakat karo disebut dengan istilah gendang. Masyarakat karo memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian

(16)

tradisionalnya15. Ada jenis musik yang diiringi oleh alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (ensambel). Ensambel ini terbagi dua yaitu: gendang lima sendalanen dan

gendang telu sendalanen. Selain berbentuk ensambel, ada pula jenis musik yang diiringi

oleh alat musik yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vokal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik.

2.5.3.1 Gendang lima sendalanen

Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) alat musik karo, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak dan (5) gung.

Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti “alat musik”, lima berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian Gendang Lima

Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau

secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima Sendalanen disebut dengan istilah Gendang Sarune16. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik

tradisional Karo yang sama ini (Gendang Lima Sendalanen dan Gendang Sarune) terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya.

15

Hasil wawancara dengan Benson A. Kaban

16 Istilah Gendang Sarune muncul karena dalam ensambel tersebut sarune merupakan alat musik pembawa

(17)

Masing-masing alat musik dalam ensambel Gendang Lima Sendalanen dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung yang dapat dimainkan oleh seorang pemain.

2.5.3.2 Gendang telu sendalanen

Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau

dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng dan (3)

mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa

melodi yaitu Kulcapi atau balobat. Pemakaian Kulcapi atau balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Sedangkan

Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola

ritem yang bersifat konstan dan repetitif.

Jika Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya , maka istilah Gendang telu sendalanen sering disebut

Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi,

maka istilahnya tersebut menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.

2.5.3.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel

Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel).

(18)

Alat musik solo tersebut adalah Kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi,

murbab, genggong dan tambur.

2.6 Sistem Pengetahuan 2.6.1 Penanggalan karo

Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta pembagian waktu siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30 hari dan satu tahun dibagi dalam 12 bulan dan masing-masing ada namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan adalah Aditia, Suma Pultak, Nggara, Budaha, Beraspati pultak, Cukera enem berugi,

Belah naik, Aditia baik, Sumana siwah, Nggara sepuluh, Budaha ngadep, Beras pati tangkep, Cukera dudu, Belah Purnama, Tula, Suma cepik, Nggara enggo tula, Budaha Gok, Beras pati sepuluh Siwah, Cukera dua puluh, Belah turun, Aditia turun, Suma, Nggara simbelin, Budaha medem, Beras pati medem, Cukera mate, Mate bulan, Dalan bulan, Samis.

Adapun jumlah bulan untuk satu tahun tetap dihitung dua belas bulan dengan penamaan yang dilambangkan dengan nama hewan atau benda-benda sebagai berikut:

Sipaka sada (kambing), Sipaka dua (lampu), Sipaka telu (cacing), Sipaka empat (

kodok), Sipaka lima (arimo atau harimau), Sipaka enem (kuliki atau elang), Sipaka pitu (kayu), Sipaka waluh (tambak atau kolam), Sipaka siwah (kepiting), Sipaka sepuluh (baluat), Sipaka sepuluh sada (batu), Sipaka sepuluh dua (nurung atau ikan)

Dari informasi yang didapat, masyarakat karo juga mempercayai adanya hari baik dan hari buruk. Namun informasi tentang penentuan hari baik dan hari buruk tersebut tidak dapat ditemukan penulis. Dalam hal penciptaan karya seperti penciptaan

(19)

lagu atau karya seni lainnya, masyarakat karo juga menghubungkannya dengan hari baik dan hari buruk tersebut. Masyarakat karo mempercayai aktifitas penciptaan karya tersebut sebaiknya dilakukan pada hari baik.

2.6.2 Aksara karo

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo jaman dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini diukir di kulit kayu atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu. Umumnya tulisan itu dibuat pada kulit kayu, bambu dan tulang hewan. Selain itu fungsi dari tulisan karo ini adalah sebagai alat komunikasi dalam bentuk surat menyurat sesame masyrakat karo.

Sejauh ini penulis tidak menemukan data tentang tulisan karo ini dalam hal penciptaan lagu. Sehingga dapa dipastikan bahwa aksara karo ini hanya berfungsi sebagai tulisan mantra dan alat komunikasi saja.

Huruf (aksara) karo terdiri atas 21 huruf induk utama ditambah sisipan “Ketelengan“ dan lain-lain.

Berikut adalah bentuk dari huruf-huruf karo tersebut :

(20)

Gambar

Gambar 6 . Aksara Karo

Referensi

Dokumen terkait

Antarmuka  ini  merupakan  form  antarmuka  user  dengan  sistem  dalam  melakukan  proses  inputan  parameter  antrian  sebelum  dilakukan  proses  hitung 

Beberapa masalah yang akan diselesaikan pada proses implementasi Prototipe Pemutus Saluran Rumah Pelanggan Kecil Menggunakan Mikrokontroler Dengan Media Wifi antara lain adalah

Total impor garmen dunia tahun sebelumnya yang meningkat sebesar 1 ribu ton akan berkontribusi dalam meningkatkan harga riil garmen dunia sebesar 0.04 USD per ton dengan keadaan

Menurut Griffin (2003:11), loyalitas adalah pelanggan yang memiliki ciri-ciri antara lain melakukan pembelian secara berulang-ulang pada suatu perusahaan secara teratur, membeli

 -engarsip dan mendokumentasikan semua kegiatan pok"a  -en"adi narasumber bagi sekolah binaan terkait

komunikasi) secara parsial terhadap loyalitas pelanggan sepeda motor Yamaha, 2) terdapat pengaruh yang signifikan antara pemasaran relasional ( relationship marketing )

Latar Belakang : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian buah pisang emas terhadap penuruna hipertensi pada lansia di Dusun Pundung

Sebaliknya karyawan yang tidak mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan tidak