• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT SERANGAN HAMA PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT SERANGAN HAMA PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

0

TINGKAT SERANGAN HAMA

PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI

(Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat,

Propinsi Lampung)

ANANG SETIAWAN E14201075

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

Kagem

Bapak, Ibu, Kakakku

(3)

1

Anang Setiawan (E14201075). TINGKAT SERANGAN HAMA PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung), di bawah bimbingan Ir. Endang Ahmad Husaeni, dan Ir. Subekti Rahayu.

RINGKASAN

Sebagian besar petani kopi di Sumberjaya telah menerapkan sistem agroforestry baik sistem agroforestry kopi sederhana maupun multistrata. Mereka menanam beberapa tanaman kehutanan dan beberapa tanaman lainnya di sela-sela tanaman kopi. Sistem agroforestry kopi multistrata umumnya menghasilkan penutupan tajuk yang cukup rapat dibandingkan dengan sistem agroforestry sederhana. Menurut pendapat petani penutupan tajuk yang rapat dapat mengurangi produksi kopi. Selain itu penurunan produksi kopi juga terjadi karena serangan beberapa jenis hama terutama penggerek buah kopi (Hypoyhenemus hampeii) dan penggerek cabang kopi (Xylosandrus sp.). Penelitian ini difokuskan pada serangan penggerek cabang kopi karena dapat mengakibatkan kematian cabang dan tidak mampu berproduksi. Hanya saja, pada penelitian ini tidak dapat dihitung kerugian akibat serangan penggerek cabang kopi karena dilakukan setelah musim panen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hama tanaman kopi dan tanaman penaung pada sistem agroforestry kopi di daerah Sumberjaya, mengetahui persen serangan setiap jenis hama tanaman kopi pada sistem agroforestry kopi, mengetahui intensitas serangan penggerek cabang kopi Xylosandrus sp. pada sistem agroforestry kopi serta membandingkan tingkat serangan hama pada sistem agroforestry kopi sederhana dan sistem agroforestry kopi multistrata. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para petani sebagai salah satu bahan masukan dalam pelaksanaan pengelolaan lahan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun penyediaan jasa lingkungan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : data primer yaitu data yang langsung diperoleh dilapangan serta data penunjang lainnya seperti keadaan umum lokasi penelitian, keadaan kawasan agroforestry dan data yang berhubungan dengan penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : penarikan contoh dan analisis data. Penarikan contoh dilakukan dari survey awal sebanyak 88 titik pengamatan kebun kopi yang kemudian dikumpulkan dan diklasifikasikan menjadi 2 sistem agroforestri kopi yaitu sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata. Kriteria yang digunakan untuk membedakan antara sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata adalah jumlah spesies pohon penaung yang ada pada tiap-tiap sistem pengelolaan. Sistem agroforestri kopi sederhana adalah kopi yang ditanam bersama dengan satu atau dua jenis tanaman penaung dari famili Fabaceae seperti gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina sp.), sengon (Paraserianthes falcataria) atau lamtoro (Leucaena leucocephala), sedangkan sistem agroforestri kopi multistrata adalah kopi yang ditanam bersama dengan sedikitnya empat-lima jenis tanaman penaung baik dari famili Fabaceae, tanaman buah-buahan maupun tanaman kayu-kayuan. Dari hasil klasifikasi sistem agroforestri kopi diperoleh 43

(4)

titik pengamatan berupa sistem agroforestri kopi sederhana dan 45 titik pengamatan berupa sistem agroforestri kopi multistrata. Dari masing-masing sistem agroforestri kopi tersebut diambil 16 titik contoh secara acak, sehingga didapatkan 32 titik pengamatan. Pada tiap titik pengamatan dibuat satu plot contoh berukuran 40 m x 5 m dan dilakukan pengamatan pada pohon kopi dan tanaman penaungnya. Kemudian dilakukan wawancara kepada pemilik kebun tersebut. Analisis data dilakukan untuk menghitung persen serangan, intensitas serangan, uji nilai t hitung, indeks keragaman dan identifikasi terhadap serangga tersebut.

Pada pengamatan dilapangan ditemukan beberapa jenis hama yang menyerang tanaman kopi, yaitu : (1) Penggerek cabang kopi (Xylosandrus sp.); (2) Penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei); (3) Kutu hijau (Coccus viridis); (4) Kutu putih (Ferrisia virgata) dan (4) Penggerek batang (Zeuzera coffeae). Serangan penggerek cabang kopi dicirikan oleh adanya lubang gerek pada cabang tanaman kopi yang berdiameter sekitar 1-2 mm. Lubang gerek ini menuju ke bagian dalam cabang hingga mencapai panjang 20-50 mm. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa persen serangan pada sistem agroforestry kopi sederhana mencapai 75% lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata yang hanya mencapai 65%. Meskipun dari hasil pengamatan penyebaran serangan penggerek cabang kopi di Kecamatan Sumberjaya sudah cukup merata, tetapi intensitas serangannya masih tergolong ringan dan sedang. Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan intensitas serangan antara sistem agroforestry kopi sederhana dan multistrata. Pada sistem agroforestry kopi sederhana intensitas serangannya mencapai 25% dan tergolong dalam klasifikasi sedang dengan rata-rata cabang yang terserang pada tiap pohon adalah 12. Sedangkan pada sisem agroforestry kopi multistrata intensitas serangannya 18% dan tergolong dalam klasifikasi ringan dengan rata-rata jumlah cabang yang terserang per pohon 9. Petani mengendalikan penggerek ini dengan melakukan pemangkasan cabang tanaman kopi tersebut. Pada buah ditemukan penggerek buah kopi yang membuat lubang dengan ukuran ± 1 mm – 2 mm sehingga buah mendaji kering. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa persen serangan pada sistem agroforestry kopi sederhana mencapai 8% lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata yang hanya mencapai 7%. Petani tidak melakukan pencegahan pada penggerek buah kopi karena pada saat musim panen mereka memetik buah kopi kemudian menjemurnya. Dengan menjemur sebenarnya sudah melakukan pengendalian secara mekanis, karena dapat mematikan telur, larva, pupa yang ada dalam buah kopi tersebut. Pada daun ditemukan serangan yang dilakukan oleh kutu hijau yang mengakibatkan hitamnya daun sehingga tidak dapat berfotosintesis. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa persen serangan pada sistem agroforestry kopi sederhana mencapai 10% lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata yang hanya mencapai 9%. Petani tidak melakukan pengendalian terhadap hama kutu hijau ini karena menurut mereka kutu hijau tidak terlalu merusak tanaman kopi. Hama lain yang menyerang daun adalah kutu putih. Serangan kutu ini mengakibatkan daun menjadi layu dan rusak. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa persen serangan pada sistem agroforestry kopi sederhana mencapai 0.47% lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata yang hanya mencapai 0.40%. Petani tidak melakukan

(5)

3

pengendalian pada kutu putih ini. Mereka menduga bahwa kutu putih tidak terlalu merugikan tanaman kopi. Pada batang kopi muda ditemukan penggerek batang kopi. Serangannya menyebabkan tanaman mengalami die-back atau bahkan mati. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa persen serangan pada sistem agroforestry kopi sederhana hanya mencapai 0.1% lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata yang mencapai 2%. Petani melakukan pengendalian dengan memangkas tanaman kopi yang terserang penggerek batang ini. Pada tanaman penaung tidak terlalu banyak ditemukan adanya hama yang menyerang tanaman tersebut. Hama yang berhasil diidentifikasi adalah dari Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera. Famili ini ditemukan menyerang cabang pada kayu hujan. Pada dadap juga ditemukan larva tetapi tidak dapat diidentifikasi karena tidak ditemukan kumbang dewasanya. Dari hasil ini diperoleh bahwa sistem agroforestry kopi sederhana lebih rawan terserang hama dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata.

(6)

TINGKAT SERANGAN HAMA

PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat,

Propinsi Lampung)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

ANANG SETIAWAN E14201075

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

5

Judul Penelitian : TINGKAT SERANGAN HAMA PADA SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS KOPI (Studi Kasus di Kec. Sumberjaya, Kab. Lampung Barat, Propinsi Lampung)

Nama Mahasiswa : Anang Setiawan NRP : E14201075

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Ir. Endang A. Husaeni Ir. Subekti Rahayu

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.

Tanggal lulus :

(8)

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 10 April 1982 dari pasangan Simun dan Sri Suparni sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 1988 penulis memulai pendidikan dasar di SDN 3 Mandiraja Kulon dan menyelesaikannya pada tahun 1994. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis tempuh di SLTP N 1 Banjarnegara dari tahun 1994 sampai tahun 1997. Pendidikan lanjutan tingkat menengah atas diselesaikan di SMUN 1 Banjarnegara dari tahun 1997 sampai tahun 2000.

Tahun 2001 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Bidang minat yang dipilih pada saat perkuliahan adalah bidang Hama Hutan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif pada kegiatan kepecintaalaman dan menjadi anggota oraganisasi RIMPALA (Rimbawan Pecinta Alam) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Tahun 2003 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Hutan (PUK) di jalur Baturraden (KPH Banyumas Timur) – Cilacap (KPH Banyumas Barat) dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) bersama dengan mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada di Getas (KPH Ngawi). Tahun 2004 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan (PKL) di PT. INHUTANI II Unit Kalimantan Selatan.

Tahun 2004 penulis memperoleh kesempatan untuk menjadi salah satu mahasiswa yang melakukan penelitian atas biaya dari World Agroforestry Centre (ICRAF) Penulis melakukan penelitian dengan judul Tingkat Serangan Hama pada Sistem Agroforestry Berbasis Kopi (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung) di bawah bimbingan Ir. Endang A. Husaeni dari Fakultas Kehutanan dan Ir. Subekti Rahayu dari ICRAF.

(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan penulis mengambil judul “Tingkat Serangan Hama pada Sistem Agroforestry Berbasis Kopi (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)”. Penelitian ini dilakukan atas biaya dari World Agroforestry Center (ICRAF).

Penelitian dan penulisan karya ilmiah yang penulis lakukan tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Simun dan Ibu Sri Suparni serta kakakku Anung Kurniawan yang telah memberikan dorongan moral dan material serta kasih sayangnya.

2. Ir. Endang A. Husaeni dan Ir. Subekti Rahayu yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Endes N Dahlan, MS. selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

4. World Agroforestry center (ICRAF) yang telah memberikan bantuan dana dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan karya ilmiah ini.

5. Dr. Ir. S. Suyanto, Phd. atas bimbingan dan diskusinya selama pengolahan data di kantor ICRAF SEA Bogor.

6. Mbak Novi, Mbak Saida, Mas Desi dan Mas Rudi atas saran dan diskusinya selama pengolahan data di kantor ICRAF SEA Bogor.

7. Mas Santo, Mas Indra dan Mbak Iik yang telah membantu penulis selama pengambilan data di Sumberjaya.

8. Selurut staff ICRAF SEA Bogor atas kekeluargaannya.

9. Nanda Dwanasuci yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya pada penulis.

(10)

10. Keluarga besar Budidaya Hutan ’38 atas kekeluargaannya.

11. YYZers (keluarga besar kost YYZ) dan Kuburan Crews yang telah memberikan rasa nyaman ketika tinggal di Bogor.

12. Teman-teman di organisasi RIMPALA yang telah memberikan sesuatu yang “lain” pada penulis.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan berguna bagi pengelolaan hutan di masa yang akan datang.

Bogor, Januari 2006

(11)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Permasalahan... 2 C. Tujuan Penelitian ... 2 D. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Agroforestri ... 3

B. Tanaman Kopi (Coffea sp.) ... 3

1. Biologi... 3 2. Syarat Tumbuh ... 4 a. Ketinggian Tempat... 4 b. Curah Hujan... 4 c. Matahari... 5 d. Angin... 5 e. Tanah... 6

C. Hama pada Tanaman Kopi ... 6

1. Penggerek Cabang Kopi (Xylosandrus compactus Eichhoff), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera ... 6

a. Deskripsi... 6

b. Biologi ... 7

c. Pohon inang ... 7

d. Siklus hidup ... 8

e. Cara pengendalian... 8

2. Penggerek Buah Kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera ... 9

a. Deskripsi... 9

b. Biologi ... 10

c. Siklus hidup ... 10

d. Cara pengendalian... 11

3. Kutu Putih (Ferrisia virgata), Famili Coccidae, Ordo Homoptera... 11

a. Deskripsi... 11

b. Cara pengendalian... 12

4. Kutu Hijau, (Coccus viridis), Famili Coccidae, Ordo Hemiptera ... 12

a. Deskripsi... 12

b. Biologi ... 13

c. Siklus hidup ... 13

(12)

5. Penggerek Batang, (Zeuzera coffeae), Famili Cossidae, OrdoLepidoptera... 14 a. Deskripsi... 14 b. Siklus hidup ... 14 c. Cara pengendalian... 15 D. Pohon Penaung ... 15

1. Jenis Pohon Penaung... 16

a. Dadap (Erythrina sp.)... 16

b. Lamtoro (kemlandingan, petai cina, Leucaena sp.)... 17

c. Sengon (Paraserianthes falcataria)... 17

2. Jenis Pohon Lainnya ... 18

a. Sonokeling (Dalbergia latifolia)... 18

b. Mahoni (Swietenia mahagoni)... 18

c. Kayu Afrika (Maesopsis eminii)... 18

d. Durian (Durio zibethinus)... 18

e. Nangka (Arthocarpus heteropylus)... 19

III. METODOLOGI... 20

A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 20

B. Bahan dan Alat... 20

1. Bahan ... 20 2. Alat... 20 C. Jenis Data... 20 D. Metode Penelitian ... 20 1. Penarikan Contoh... 20 2. Wawancara ... 22 3. Studi Literatur... 22 E. Analisis Data... 22 1. Persen serangan (S)... 22 2. Intensitas serangan (Sb) ... 23

3. Uji nilai t hitung... 23

4. Indek keragaman... 23

5. Identifikasi serangga ... 24

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25

A. Letak dan Posisi Geografis... 25

B. Iklim ... 25

C. Tanah... 25

D. Fisiografis ... 26

E. Hidrologi... 26

F. Keadaan Sosial Ekonomi... 26

G. Keadaan Umum Agroforestri kopi Di Sumberjaya-Lampung Barat ... 28

1. Sistem Agroforestry Kopi Sederhana (Simple Shade)... 28

2. Sistem Agroforestry Kopi Multistrata ... 29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

A. Hama Tanaman Kopi pada Sistem Agroforestri kopi... 32

1. Penggerek Cabang Kopi (Xylosandrus sp.), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera ... 32

(13)

v

b. Gejala serangan... 32

c. Persen serangan (S) ... 33

d. Intensitas serangan (Sb)... 35

a) Keragaman spesies tanaman penaung... 35

b) Intensitas cahaya ... 38

c) Suhu... 38

d) Predator ... 39

e) Kesuburan tanah... 40

e. Posisi lubang gerek ... 40

a) Fase pertumbuhan kopi ... 41

b) Mudah ditemukan ... 42

f. Cara Pengendalian... 42

2. Penggerek Buah (Hypothenemus hampei), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera ... 42

a. Deskripsi... 42

b. Gejala serangan... 42

c. Persen serangan (S) ... 43

d. Cara pengendalian... 43

3. Kutu Hijau (Coccus viridis), Famili Coccidae, Ordo Hemiptera ... 44

a. Deskripsi... 44

b. Gejala serangan... 44

c. Persen serangan (S) ... 44

d. Cara pengendalian... 45

4. Kutu Putih (Ferrisia virgata), Famili Coccidae, Ordo Homoptera... 45

a. Deskripsi... 45

b. Gejala serangan... 45

c. Persen serangan (S) ... 46

d. Cara pengendalian... 46

5. Pengerek Batang (Zeuzera coffeae), Famili Cossidae, Ordo Lepidoptera... 46

a. Deskripsi... 46

b. Gejala serangan... 46

c. Persen serangan (S) ... 47

d. Cara pengendalian... 47

B. Hama Tanaman Penaung pada Sistem Agroforestri Kopi... 47

1. Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera ... 47

a. Deskripsi ... 47

b. Gejala serangan... 48

2. Hama Pohon Dadap ... 48

a. Deskripsi... 48

b. Gejala serangan... 49

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 50

A. Kesimpulan... 50

B. Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman 1. Persen serangan penggerek cabang kopi pada sistem agroforestri

kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata... 34 2. Intensitas serangan penggerek cabang kopi, jumlah cabang terserang

per pohon, klasifikasi intensitas serangan pada sistem agroforestri

kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata dan nilai t hitung... 35 3. Indek keragaman pohon penaung dan intensitas serangan penggerek

cabang kopi di berbagai plot pengamatan pada sistem agroforestri

kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata... 37 4. Rata-rata jumlah lubang gerek pada tiap cabang dari cabang bagian

atas, tengah dan bawah pada sistem agroforestri kopi sederhana dan

sistem agroforestri kopi multistrata... 40 5. Persen serangan penggerek buah kopi pada sistem agroforestri kopi

sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata... 43 6. Persen serangan kutu hijau pada sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata... 45 7. Persen serangan kutu putih pada sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata... 46 8. Persen serangan penggerek batang kopi pada sistem agroforestri

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Kumbang Betina Xylosandrus sp. (Dixon et al., 2003) ... 8

2. Penggerek buah kopi dewasa (Hindayana et. al., 2002) ... 10

3. Kutu putih dewasa jantan (Hindayana et. al., 2002)... 12

4. Kutu hijau menyerang cabang tanaman kopi (Hindayana et. al., 2002) ... 13

5. Ulat penggerek di dalam cabang kopi (Hindayana et. al., 2002)... 15

6. Bentuk plot pengamatan... 21

7. Sistem agroforestri kopi sederhana... 29

8. Denah sistem agroforestri kopi ederhana ... 29

9. Sistem agroforestri kopi multistrata... 30

10. Denah sistem agroforestri kopi multistrata... 30

11. Lubang gerek dengan perbesaran 30x... 33

12. Lubang pada cabang... 33

13. Panjang lubang gerek ... 33

14. Siklus hidup penggerek cabang kopi (Xylosandrus sp.) ... 33

15. Hubungan antara kerapatan pohon kopi dengan persen serangan penggerek cabang kopi ... 34

16. Hubungan antara jumlah jenis pohon penaung dengan intensitas serangan penggerek cabang kopi... 36

17. Hubungan antara nilai indek keragaman tanaman penaung dengan intensitas serangan penggerek cabang kopi... 37

18. Hubungan antara suhu udara dengan intensitas serangan penggerek cabang kopi... 39

19. Jumlah lubang gerek pada tiap cabang kopi pada cabang bagian atas, tengah dan bawah dari sistem agroforestri kopi sederhana dan multistrata .. 41

20. Hypothenemus hampei dewasa ... 43

21. Kutu Hijau (30x)... 44

22. Kutu Hijau menyerang cabang kopi muda ... 44

23. Kutu putih... 45

24. Kumbang dewasa ... 48

(16)

26. Lubang gerek ... 48 27. Pohon dadap yang terserang ... 49

(17)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Jumlah dan jenis pohon penaung pada plot pengamatan (200 m2)... 53

2. Daftar pemilik kebun kopi tempat pembuatan plot pengamatan hama... 55

3. Kuisioner wawancara ... 56

4. Data suhu udara ... 57

5. Persebaran 88 titik pengamatan hasil survey awal ... 58

(18)

A. Latar Belakang

Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Di daerah Sumberjaya, masyarakat telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi sebagai mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60% daerah ini masih dalam keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya sekitar 15% hutan yang masih tertinggal (Agus et al., 2002).

Pada umumnya, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian, termasuk perkebunan kopi akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya terutama fungsi hidrologi, kesuburan tanah, cadangan karbon dan keragaman hayati. Oleh karena itu pengelolaan perkebunan kopi dengan sistem agroforestry yaitu mengkombinasikan tanaman kehutanan sebagai tanaman penaung, baik berupa sistem agroforestry kopi sederhana maupun multistrata perlu dilakukan untuk membantu mempertahankan kondisi lingkungan.

Pada sistem agroforestry kopi sederhana ditanam tanaman penaung dari jenis dadap (Erythrina sububrams) atau gamal (Gliricidia sepium). Sedangkan sistem agroforestry kopi multistrata tanaman penaung yang digunakan yaitu dadap (Erythrina sububrams), gamal (Gliricidia sepium), tanaman kayu seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), Mahoni (Swietenia sp), tanaman buah seperti nangka (Arthocarpus heteropylus), durian (Durio zibethinus) dan tanaman lainnya seperti pisang, bambu. Menurut Najiyanti (2004), tanaman penaung ini digunakan untuk mengatur intensitas sinar matahari agar penyinaran menjadi teratur, menghasilkan serasah yang dapat melindungi tanah dari terpaan air hujan dan memberikan masukan N ke dalam tanah sehingga menambah kesuburan.

Kondisi lingkungan pada sistem agroforestry kopi multistrata mirip dengan hutan alam heterogen, sedangkan sistem agroforestry kopi sederhana lebih mirip dengan hutan homogen atau monokultur. Sehingga stabilitas ekosistem pada sistem agroforestry kopi sederhana lebih sederhana dibandingkan dengan sistem agroforestry multistrata. Hal ini menyebabkan tingkat kerawanan terhadap

(19)

2

serangan hama pada sistem agroforestry kopi sederhana lebih besar dibandingkan dengan sistem agroforestry kopi multistrata.

B. Rumusan Permasalahan

Sebagian besar petani kopi di Sumberjaya telah menerapkan sistem agroforestry baik sistem agroforestry kopi sederhana maupun multistrata. Mereka menanam beberapa tanaman kehutanan dan tanaman lainnya di sela-sela tanaman kopi. Sistem agroforestry kopi multistrata umumnya menghasilkan penutupan tajuk yang cukup rapat dibandingkan dengan sistem agroforestry sederhana. Menurut pendapat petani penutupan tajuk yang rapat dapat mengurangi produksi kopi. Selain itu penurunan produksi kopi juga terjadi karena serangan beberapa jenis hama terutama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii) dan penggerek cabang kopi (Xylosandrus sp.). Penelitian ini difokuskan pada serangan penggerek cabang kopi karena dapat mengakibatkan kematian cabang dan tidak mampu berproduksi. Hanya saja, pada penelitian ini tidak dapat dihitung kerugian akibat serangan penggerek cabang kopi karena dilakukan setelah musim panen. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui jenis-jenis hama tanaman kopi dan tanaman penaung pada sistem agroforestry kopi di daerah Sumberjaya.

2. Mengetahui persen serangan setiap jenis hama tanaman kopi pada sistem agroforestry kopi.

3. Mengetahui intensitas serangan penggerek cabang kopi Xylosandrus sp. pada sistem agroforestry kopi.

4. Membandingkan tingkat serangan hama pada sistem agroforestry kopi sederhana dan sistem agroforestry kopi multistrata.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para petani sebagai salah satu bahan masukan dalam pelaksanaan pengelolaan lahan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun penyediaan jasa lingkungan.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Agroforestry

Nair (1989) menyebutkan bahwa agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palma, bambu dan sebagainya) ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi diantara komponen yang bersangkutan.

Sistem agroforestry kopi sederhana adalah sistem penggunaan lahan, dimana kopi sebagai tanaman pokok dan pohon Fabaceae sebagai penaung dan sebagai penambah unsur N dalam tanah. Pohon penaung biasanya dadap (Erythrina sububrams), atau gamal (Gliricidia sepium) (Hairiah et. al., 2004).

Sistem agroforestry kopi multistrata adalah sistem penggunaan lahan dengan kopi sebagai tanaman pokok dan sebagai pohon penaung digunakan pohon jenis Fabaceae serta pohon buah-buahan seperti nangka, durian, alpukat, cempedak atau pohon penghasil kayu seperti jati, akasia (Hairiah et. al., 2004). B. Tanaman Kopi (Coffea sp.)

1. Biologi

Kopi adalah spesies tanaman yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang, dan tingginya dapat mencapai 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing. Daun tumbuh berhadapan pada batang dan cabang.

Meskipun kopi merupakan tanaman tahunan, tetapi umumnya mempunyai perakaran dangkal. Secara alami, tanaman kopi memiliki akar tunggang sehingga tidak mudah rebah. Namum, akar tunggang tersebut hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang berasal dari bibit semai atau bibit sambung (okulasi) yang batang bawahnya berasal dari semai. Sementara tanaman kopi yang berasal dari bibit setek, cangkok, atau okulasi yang batang bawahnya berasal dari bibit setek tidak memiliki akar tunggang sehingga relatif mudah rebah.

(21)

4

Tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun. Bunga kopi berukuran kecil. Mahkota berwarna putih dan berbau harum. Kelopak bunga berwarna hijau. Pangkalnya menutupi bakal buah yang mengandung dua bakal biji. Benang sari terdiri dari 5 – 7 tangkai berukuran pendek. Bila bunga sudah dewasa, kelopak dan mahkota akan membuka, kemudian segera terjadi penyerbukan. Setelah itu, bunga akan berkembang menjadi buah. Waktu yang diperlukan sejak terbentuknya bunga hingga buah menjadi matang sekitar 6 – 11 bulan, tergantung jenis kopi dan faktor lingkungan. Bunga kopi biasanya akan mekar pada awal musim kemarau. Dengan demikian, di akhir musim kemarau telah berkembang menjadi buah yang siap dipetik.

Buah terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis, tetapi keras. Buah kopi mengandung dua butir biji, tetapi terkadang hanya mengandung satu butir atau bahkan tidak berbiji (hampa) karena bakal biji tidak berkembang secara sempurna. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga. Lembaga (endosperm) merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Najiyati, 2004).

2. Syarat Tumbuh

Tanaman kopi mempunyai sifat yang khusus karena masing-masing jenis menghendaki lingkungan yang agak berbeda. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi antara lain ketinggian tempat, curah hujan, sinar matahari, angin, dan tanah (Najiyati, 2004).

a. Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman kopi. Faktor suhu udara berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman kopi, terutama pembentukan bunga dan buah serta kepekaan terhadap serangan penyakit. Pada umumnya, tinggi rendahnya suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan air laut.

b. Curah Hujan

Hujan merupakan faktor iklim terpenting setelah ketinggian tempat. Faktor ini bisa dilihat dari curah hujan dan waktu turunnya hujan. Curah hujan akan berpengaruh terhadap ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tanaman.

(22)

Waktu turunnya hujan berpengaruh terhadap proses pembentukan bunga dan buah, seperti pada kopi robusta dan arabika. Tanaman kopi umumnya tumbuh optimum di daerah dengan curah hujan 2.000 – 3.000 mm/tahun.

c. Matahari

Pada umumnya, kopi tidak menyukai sinar matahari langsung dalam jumlah banyak, tetapi menghendaki sinar matahari baur/difus. Sengatan sinar matahari langsung dalam jumlah banyak akan meningkatkan penguapan dari tanah dan daun sehingga menganggu keseimbangan proses fotosintesis, terutama pada musim kemarau.

Selain berpengaruh terhadap fotosintesis, sinar matahari juga berpengaruh terhadap proses pembentukan kuncup bunga. Sinar matahari yang cukup banyak akan merangsang terbentuknya kuncup bunga. Dengan demikian, bila sepanjang tahun tanaman kopi mendapatkan sinar matahari langsung secara terus menerus maka tanaman akan membentuk bunga sepanjang tahun. Akibatnya pembungaan menjadi tidak teratur dan tanaman menghasilkan bunga melebihi kemampuannya sehingga jumlah bunga yang berhasil menjadi buah sedikit.

Untuk mengatur datangnya sinar matahari, biasanya di antara tanaman kopi ditanam tanaman penaung. Tanaman penaung ini diatur sehingga tanaman kopi bisa tumbuh di tempat yang teduh dan mendapatkan sinar matahari cukup.

d. Angin

Peranan angin adalah membantu berpindahnya serbuk sari bunga dari tanaman satu ke putik bunga lain yang berbeda klon. Dengan demikian, terjadi penyerbukan yang dapat menghasilkan buah.

Selain berpengaruh positif terhadap tanaman kopi, terkadang angin juga berpengaruh negatif, terutama bila angin kencang. Angin kencang secara langsung akan merusak tajuk tanaman atau menggugurkan bunga. Angin kencang yang datang pada musim kemarau juga akan mempercepat terjadinya evapotranspirasi (penguapan air dari tanaman dan tanah) sehingga mengakibatkan kekeringan.

(23)

6

e. Tanah

Secara umum, tanaman kopi menghendaki tanah gembur, subur, dan kaya bahan organik. Oleh karena itu, tanah di sekitar tanaman harus sering diberi pupuk organik agar subur dan gembur sehingga sistem perakaran tumbuh baik.

Selain tanah gembur dan kaya bahan organik, kopi juga menghendaki tanah yang agak masam, yaitu antara pH 4,5 – 6,5 untuk kopi robusta dan pH 5 – 6,5 untuk kopi arabika. Bila pH tanah kurang dari angka tersebut tanaman kopi juga masih dapat tumbuh, tetapi kurang bisa menyerap beberapa unsur hara sehingga tanahnya perlu diberi kapur. Sebaliknya, tanaman kopi tidak menghendaki tanah yang agak basa (pH lebih dari 6,5) sehingga pemberian kapur tidak boleh berlebihan.

C. Hama pada Tanaman Kopi

1. Penggerek Cabang Kopi (Xylosandrus compactus Eichhoff), (Xyleborus

morstatti), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera

a. Deskripsi

Hama ini disebut juga sebagai penggerek cabang kopi, termasuk salah satu jenis kumbang ambrosia (ambrosia beetle). Penggerek ini telah ditemukan tidak hanya menyerang kopi, tetapi juga menyerang 100 spesies pohon yang lain dan tanaman buah termasuk alpukat, jeruk, jambu biji, makadamia, pasang, dan beberapa jenis anggrek (Drizd, 2005).

Penggerek cabang kopi, Xylosandrus compactus, secara tidak sengaja terbawa dari Singapura ke Oahu, Hawai pada tahun 1961. Meskipun pemerintah Hawaii memberlakukan peraturan pengiriman tanaman berkayu dari pulau lain, namun penggerek ini masih lolos dan berkembang di beberapa pulau di Hawaii. Penggerek ini berasal dari Asia, tetapi sudah menyebar di beberapa daerah seperti Guinea, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar, Mauritius, Seychelles, India, Malaysia, Jawa, Sumatra, dan Fiji. Penggerek ini juga telah ditemukan di beberapa tempat di Amerika Serikat yaitu Florida, Georgia, Alabama, dan Louisiana (Drizd, 2005).

Xylosandrus compactus ini dianggap sebagai hama yang sangat penting karena mereka sangat mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Meskipun

(24)

keberadaan mereka terbatas di daerah panas dan tropis, mereka diketahui mampu memakan dan berkembang di berbagai pohon dan semak, baik yang komersial maupun pohon asli pada suatu daerah (Drizd, 2005).

b. Biologi

Kumbang betina berukuran panjang 1,4 – 1,9 mm dan lebar 0,7 – 0,8 mm. Badan kuat, silindris, panjang, coklat kehitaman, memiliki rambut pada bagian kepala depan, dan ekor yang panjang. Kumbang jantan berukuran panjang 0,8 – 1,1 mm dan lebar 0,4 – 0,5 mm, bulat, lebih kecil, merah kecoklatan. Telur kecil (0,3 mm lebar x 0,5 mm panjang), putih dan berbentuk oval. Kepala larva berbentuk kapsul coklat. Tubuh putih krem dan bulat telur. Larva mempunyai panjang sama dengan dewasanya (Dixon, 2005).

Hanya kumbang betina yang menyerang tanaman inang. Kumbang betina tinggal hanya dalam lubang gerek, dan dapat berkembang secara partenogenesis (produksi telur tanpa fertilisasi). Dalam lubang gerek kumbang betina membangun lorong sepanjang 1 – 3 cm dalam ukuran yang kecil dan menetaskan telurnya. Satu atau lebih kumbang betina dapat berada dalam lubang gerek cabang tersebut. Secara umum, hanya ada satu kumbang betina jika diameter cabang berukuran kurang dari 7 mm, tetapi dalam cabang yang berukuran 8 – 22 mm dapat ditemukan lebih dari 20 kumbang betina. Larva memakan jamur ambrosia (Fusarium solani (Mart.) Sacc.) yang berkembang dalam lubang dan merusak tanaman inang. Perkawinan dari serangga dewasa terjadi dalam lubang gerek. Serangga dewasa keluar dari lubang yang dibuat oleh induknya, yang terletak pada bagian bawah cabang. Dalam waktu 28 hari pada suhu 25 oC, telur berkembang menjadi dewasa (Dixon, 2005).

c. Pohon inang

Lebih dari 224 species tanaman, dalam 62 famili, menjadi inang penggerek cabang ini. Tanaman inang di Florida yaitu : Acer barbatum Michx, A. negundo L, A. rubrum L, Callicarpa americana L, Carya illinoensis (Wang.) K. Koch, C. glabra (Mill.) Sweet, Cassia fistula L, Cattleya skinneri Lindl. Celtis laevigata Willd, Cercis canadensis L, Cinnamomum camphora (L.) Nees dan Eberm, Cornus florida L, Dendrobium pulchellum Roxb, Khaya nyasica Stapbf, Koelreuteria elegans (Seem.) A.C. Sm, Liquidambar

(25)

8

styraciflua L., Macadamia ternifolia F.V. Muell, Magnolia grandiflora L. Malus pumila Mill., Mangifera indica L., Ostrya virginiana (Mill.) K. Koch, Persea americana Mill., P. borbonia (L.) Spreng., Platanus occidentalis L., Quercus laurifolia Michx., Q. Nigra L., Salix sp., Sambucus simpsonii Rehder, dan Symplocos tinctoria (L.) L’Her (Dixon, 2005).

Gambar 1. Kumbang betina Xylosandrus compactus (Dixon, 2005). d. Siklus hidup

Kumbang betina membuat lubang masuk ke ranting, lalu menggerek lubang selama kira-kira 15 jam, kemudian berhenti untuk menunggu perkembangan jamur Ambrosia yang dibawa masuk ke lubang. Sesudah dinding dalam lubang diselubungi jamur, kumbang betina kawin dengan kumbang jantan yang sudah ada di dalam lubang. Kemudian kumbang betina meletakkan telur yang jumlahnya sekitar 30 – 50 butir. Telurnya diletakkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari 8 – 15 butir/kelompok. Sesudah lima hari, telur menetas menjadi larva. Larva berumur 10 hari kemudian menjadi pupa. Stadia pupanya 7 hari, dan setelah itu keluar sebagai kumbang dewasa. Pada stadia larva ada tawon parasitoid yang menyerang larva yaitu Tetrastichus. Penggerek cabang dewasa dapat terbang dari pohon tempat berkembangbiaknya ke pohon lain (Hindayana et.al., 2002).

e. Cara pengendalian

Kondisi tanaman yang lemah merupakan faktor utama terjadinya serangan penggerek cabang kopi. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya serangan dan penyebarannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1) Secara teknis.

Pengendalian secara teknis dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan tanaman yaitu dengan memberikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan tanaman kopi, antara lain dengan: (a) memberikan penaungan sekitar 30% agar aktivitas fotosintesis tanaman kopi tetap

(26)

teratur; (b) menjaga kesuburan tanah, menjaga pH tanah tetap seimbang dan menjaga kelembaban tanah tetap sesuai bagi pertumbuhan tanaman kopi.

2) Secara mekanis.

Pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan dari sumber serangan yaitu dengan memotong dan memusnahkan material tumbuhan yang telah terserang. Pemusnahan dapat dilakukan dengan membakar cabang-cabang yang terserang agar telur, larva dan serangga dewasa yang masih ada di dalamnya mati.

3) Secara biologi.

Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan mempertahankan keberadaan musuh alami. Literatur menyebutkan bahwa setidaknya ada satu jenis parasit yang menyerang penggerek cabang yaitu jenis tabuhan eulophid dari genus Tetrastichus.

4) Secara kimia dengan pestisida.

Pengendalian secara kimia dengan pestisida ini tidak direkomendasikan dan merupakan pilihan terakhir apabila pengendalian cara lain sudah tidak memungkinan, karena dapat membunuh musuh alami yang berguna. Mengingat bahwa penggerek cabang kopi merupakan hama yang menyerang di dalam bagian tanaman, maka pestisida yang efektif digunakan adalah jenis-jenis sistemik yang perlu diperhitungkan dampak residunya.

2. Penggerek Buah Kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera

a. Deskripsi

Penggerek buah kopi (PBKo) sangat merugikan, karena mampu merusak biji kopi dan sering mencapai populasi yang tinggi. Umumnya, hanya serangga betina yang sudah kawin akan menggerek buah kopi; biasanya masuk ke dalam buah dengan membuat lubang kecil pada ujung buah. Kumbang betina menyerang buah kopi dari mulai buah sedang terbentuk (8 minggu setelah berbunga) sampai waktu panen. Buah yang sudah tua paling

(27)

10

disukai. Kumbang betina terbang dari pagi hingga sore (Hindayana et. al., 2002).

Kumbang dan larva PBKo menyerang buah kopi yang sudah cukup keras dengan cara membuat liang gerekan dan hidup di dalamnya sehingga menimbulkan kerusakan yang cukup parah. Hama ini tidak hanya menyerang buah kopi di kebun, tetapi juga menyerang buah di penyimpanan. Selain hidup dalam buah kopi, hama ini juga menyerang tanaman Tephrosia, Crotalaria, Caesalpinia, dan Leucaena glauca yang sering digunakan sebagai tanaman penaung/penutup tanah (Najiyati, 2004).

b. Biologi

Penggerek buah kopi merupakan kumbang berukuran 0,7 – 1,7 mm, berbadan bulat dengan kepala berbentuk segi tiga yang ditutupi oleh rambut-rambut halus. Kumbang ini biasanya akan bertelur dalam lubang gerekan Telurnya menetas dalam waktu sekitar 4 hari, lalu berubah menjadi larva berwarna putih dan bermulut cokelat (Najiyati, 2004).

Gambar 2. Penggerek buah kopi dewasa (Hindayana et. al., 2002). c. Siklus hidup

Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 31 – 50 butir. Siklus hidupnya dimulai dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Setelah 4 hari telur menetas menjadi larva yang menggerek biji kopi. 15 hari kemudian larva berubah menjadi kepompong (pupa) di dalam biji. Setelah 7 hari kepompong berubah menjadi serangga dewasa. Kumbang jantan dan kumbang betina kawin di dalam buah kopi, kumbang jantan dapat hidup dalam waktu 20 – 87 hari dan kumbang betina dapat bertahan hidup dalam waktu 157 hari. Kemudian kumbang betina terbang untuk menggerek buah yang lainnya. Kumbang jantan tidak bisa terbang sehingga sepanjang hidupnya tetap berada di dalam buah (Hindayana et. al., 2002).

(28)

d. Cara pengendalian :

Kondisi tanaman yang lemah merupakan faktor utama terjadinya serangan penggerek buah. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya serangan dan penyebarannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1) Mekanik

Dilakukan dengan memetik buah sehat yang tertinggal di pohon kopi maupun pengumpulan buah yang jatuh. Cara ini dilakukan untuk menghilangkan sumber makanan sehingga penggerek buah ini tidak dapat berkembangbiak dan siklus hidupnya terputus. Selain itu juga dilakukan dengan memetik buah yang terserang kemudian dijemur agar penggerek buah yang ada di biji dalam bentuk telur, larva, pupa maupun dewasanya mati. Cara ini diharapkan dapat mengurangi populasi yang ada di lapangan (Hindayana et.al., 2002).

2) Biologi

Dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami yang menyerang penggerek buah. Salah satu musuh alami yang digunakan adalah Beauveria bassiana (Bb) yaitu dengan; (1) memetik buah masak pertama yang terserang, dikumpulkan, dicampur dengan Bb, dan dibiarkan selama satu malam, kumbangnya akan keluar dan dilepas sehingga dapat menularkan Bb kepada pasangannya di kebun; (2) Pemakaian Bb dilakukan pada saat kulit tanduk buah sudah mengeras (Hindayana et. al., 2002).

3. Kutu Putih (Ferrisia virgata), Famili Coccidae, Ordo Homoptera a. Deskripsi

Kutu putih mempunyai cara hidup dan menyerang yang hampir sama dengan kutu dompolan, yaitu mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, daun muda, dan bagian cabang yang masih muda.

Kutu putih juga berwarna putih seperti kutu dompolan. Pada tubuhnya terdapat benang-benang panjang berwarna putih. Kutu putih jantan bersayap dan berwarna cokelat. Pada ujung abdomen (perut) terdapat dua helai benang panjang.

(29)

12

Kotoran kutu putih mengandung gula dari tanaman; jika kotoran dibuang pada daun kopi, jamur dapat tumbuh pada kotoran tersebut dan merusak daun kopi. Jamur tersebut juga dapat mengurangi sinar matahari yang diserap oleh daun, sehingga mengganggu fotosintesis. Jamur ini biasanya berwarna hitam, yang dikenal dengan embun jelaga (Hindayana et.al., 2002).

Selain menyerang tanaman kopi, hama ini juga menyerang tanaman lamtoro. Oleh sebab itu, sering disebut juga sebagai kutu lamtoro. Tanaman lain yang sering diserang antara lain dadap dan Tephrosia (Najiyati, 2004).

Gambar 3. Kutu putih dewasa jantan (Hindayana et. al., 2002) b. Cara pengendalian :

1) Secara mekanik

Dilakukan dengan mengatur kondisi tanaman agar tetap sehat, termasuk pasokan air dan tanaman harus selalu dijaga selama periode panennya.

2) Secara biologi

Pengendalian ini dilakukan dengan mempertahankan musuh alami. Musuh alami kutu putih adalah semut, yang sering memakan kutu putih. Selain itu semut mendapat embun madu yang menambah proteinnya. 4. Kutu Hijau (Coccus viridis), Famili Coccidae, Ordo Homoptera a. Deskripsi

Kutu hijau menyerang tanaman kopi dengan cara mengisap cairan daun dan cabang yang masih hijau sehingga menyebabkan daun menguning dan mengering. Kutu ini biasanya menggerombol dan tinggal di permukaan bawah daun, terutama pada tulang daun (Najiyati, 2004).

Kutu hijau adalah serangga yang tidak berpindah tempat pada fase hidupnya sehingga tetap tinggal di satu tempat untuk menghisap cairan tanaman. Kutu hijau menyerang cabang dan daun kopi arabika dan robusta.

(30)

Kutu hijau berkembangbiak dengan baik pada musim kemarau dan lebih banyak ditemukan di dataran rendah dari pada di dataran tinggi (Hindayana et. al., 2002).

Kutu hijau gerakannya tidak terlihat biasanya dicirikan dengan adanya bercak hitam sepanjang garis yang dilewatinya. Pada bagian kepala paling ujung terdapat ada bercak hitam (Pinese et. al., 2005).

b. Biologi

Kutu hijau yang sudah dewasa berbentuk bulat telur dengan panjang 2,5 – 5 mm, tubuhnya dilindungi oleh perisai yang agak keras, dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Kutu ini juga mengeluarkan cairan madu sehingga disukai oleh semut (Najiyati, 2004).

Gambar 4. Kutu hijau menyerang cabang tanaman kopi (Hindayana et. al., 2002).

c. Siklus hidup

Telur diletakkan di bawah badan kutu betina sampai menetas. Kutu betina dapat bertelur beberapa ratus butir. Waktu bertelur sampai menetas adalah 45-65 hari. Nimfa tetap berada di bawah badan induknya sampai cukup ditemukan waktu untuk pindah tempat dan hidup terpisah. Kutu jantan dewasa jarang sekali ditemukan, kebanyakan koloni kutu berkelamin betina. Kematian kutu hijau mencapai 75 – 80% karena pemangsa, parasitoid, dan jamur (Hindayana et. al., 2002).

d. Cara pengendalian :

Pengendalian yang dilakukan adalah pengendalian biologi yaitu dengan mempertahankan musuh alami. Musuh alami kutu hijau antara lain, predator, yaitu hewan yang memangsa kutu hijau. Contohnya kumbang helm dan larvanya, lebah kenyan (Diversinervus) yang telah diujicobakan di perkebunan kopi di Queensland dengan hasil yang sangat efektif, predator kutu putih

(31)

14

(Cryptolaemus montrouzieri) (Boone, 2005). Semut merupakan salah satu predator kutu hijau. Semut memerlukan makanan tambahan berupa gula. Untuk mendapatkan gula, semut mencari cadangan gula seperti embun madu (yang dikeluarkan oleh serangga penghisap cairan). Kutu hijau merupakan salah satu serangga yang menghasilkan embun madu. Semut memang memerlukan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi jika jumlah gula yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan koloninya, maka semut akan membunuh serangga tersebut.

Beberapa parasitoid kecil seperti Coccophagus rusti dan Encarsia sp. secara periodik menyebabkan kematian kutu hijau. Selain itu jamur (Verticillium lecanii) dapat menyebabkan kematian kutu hijau sampai 90 % selama musim penghujan dan akhir musim kemarau (Hindayana et. al., 2005). 5. Penggerek Batang Kopi (Zeuzera coffeae), Famili Cossidae, Ordo

Lepidoptera a. Deskripsi

Zeuzera coffeae merupakan serangga nokturnal. Ngengat keluar dari pupa pada jam 5 – 7 sore hari. Pada malam hari pertama ngengat mulai aktif sekitar jam 21.00 – 23.00 dan hari berikutnya mulai aktif segera setelah hari gelap (Husaeni, 2001).

Ulat ini merusak bagian batang dengan cara menggerek empulur (xylem) batang, selanjutnya gerekan membelok ke arah atas. Menyerang tanaman muda. Pada permukaan lubang yang baru digerek sering terdapat campuran kotoran dengan serpihan jaringan. Akibat gerekan ulat, bagian tanaman di atas lubang gerekan akan merana, layu, kering dan mati.

Gambar 5. Ulat penggerek di dalam cabang kopi (Hindayana et. al, 2002) b. Siklus hidup

Telur Zeuzera coffeae berwarna kuning kemerahan/kuning ungu dan akan berubah menjadi kuning kehitaman, menjelang menetas. Telur diletakkan

(32)

dicelah kulit kayu. Ulat berwarna merah cerah sampai ungu,sawo matang, panjangnya 3-5 cm. Kepompong dibuat dalam liang gerekan. Sayap depan ngengat berbintik hitam dengan dasar putih tembus pandang. Seekor betina dapat meletakkan telur 340-970 butir (Hindayana ). Siklus hidupnya ± 1 tahun (Kalshoven, 1981).

c. Cara pengendalian

Untuk mencegah serangan dan penyebaran penggerek batang dilakukan upaya pengendalian. Pengendalian yang dilakukan antara lain :

1) Secara mekanis

Dilakukan dengan memangkas batang yang diserang dan membunuh larvanya.

2) Secara biologi

Dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami yaitu burung pelatuk. Burung ini memakan larva penggerek batang.

D. Pohon Penaung

Tanaman kopi menghendaki intensitas sinar matahari tidak penuh dengan penyinaran teratur. Penyinaran yang tidak teratur mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan pola pembungaan menjadi tidak teratur pula serta tanaman terlalu cepat berbuah, tetapi produksinya sedikit dan cepat menurun. Oleh sebab itu, tanaman kopi memerlukan pohon penaung yang dapat mengatur intensitas sinar matahari sesuai yang dikehendaki.

Menurut Najiyati (2004), selain bermanfaat sebagai pengatur sinar matahari, pohon penaung juga bermanfaat lain yaitu :

1) Pohon penaung menghasilkan bahan organik berupa daun-daun yang dapat menyuburkan tanah.

2) Akar pohon penaung yang mengandung bintil akar dapat menyerap unsur N dari udara sehingga bisa menyuburkan tanah.

3) Pohon penaung mempunyai akar yang dalam sehingga mampu menyerap unsur hara dari tanah bagian dalam. Unsur hara tersebut akan menyuburkan tanah bagian atas sehingga dapat diserap oleh tanaman kopi bila daun-daun pohon penaung gugur dan terurai dalam tanah.

(33)

16

4) Pohon penaung dapat menahan erosi karena tajuk dan daun yang jatuh dapat menahan terpaan air hujan, sedangkan akarnya dapat menahan butiran-butiran tanah yang hanyut.

5) Tajuk pohon penaung dapat menahan terpaan angin sehingga tanaman kopi terhindar dari kerusakan.

6) Tajuk pohon penaung yang rindang bisa membuat udara di bawah pohon menjadi sejuk sehingga pada musim kemarau dapat mengurangi kekeringan. 7) Daunnya bisa dipakai sebagai makanan ternak dan kayunya bisa dipakai

sebagai bahan bakar atau keperluan lain.

Agar bermanfaat maka tanaman penaung harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :

1) Tanaman mudah tumbuh sehingga tidak banyak memerlukan perawatan. 2) Pohonnya tinggi dan bertajuk rindang.

3) Pertumbuhannya cepat, banyak menghasilkan daun, dan tahan pemangkasan. 4) Daunnya cepat membusuk.

5) Perakaran dalam

6) Batang dan cabang kuat sehingga tidak mudah patah.

7) Tidak mudah terserang hama dan penyakit, khususnya yang menyerang tanaman kopi.

8) Tajuk dan akar tidak mengganggu tanaman kopi

9) Bijinya tidak banyak dan tidak tersebar sehingga tidak mudah tumbuh menjadi gulma.

10) Daunnya bisa dijadikan pakan ternak dan kayunya untuk bahan bakar atau keperluan lain.

11) Tidak bersifat menggugurkan daun, terutama pada musim kemarau. 1. Jenis Pohon Penaung :

a. Dadap (Erythrina sp)

Saat ini dadap sudah tidak banyak digunakan sebagai penaung tanaman kopi karena pohon ini menggugurkan daun pada musim kemarau. Padahal pada musim kemarau tanaman kopi memerlukan banyak naungan. Disamping menggugurkan daun pada musim kemarau, kayunya tidak begitu kuat serta

(34)

mudah terserang penggerek batang dan jamur upas yang juga bisa menyerang kopi (Najiyati, 2004).

b. Lamtoro (kemlandingan, petai cina, Leucaena sp.)

Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit (Fabaceae, Mimosoidae) adalah spesies pohon serbaguna yang berasal dari Mexico dan Amerika Selatan. Tanaman ini digunakan untuk makanan ternak, kayu bakar, pengendalian erosi, penambah nitrogen dan merupakan salah satu tanaman yang pertumbuhannya cepat dan perkembangbiakannya mudah. Tanaman ini sudah ditanam sangat luas di berbagai daerah (Nair, 2001).

Ketenaran lamtoro sebagai penaung tanaman kopi menjadi pudar setelah pada awal tahun 1986 muncul serangan kutu loncat (Heteropsylla sp.) secara besar-besaran. Kutu ini menyerang semua jenis lamtoro hampir di seluruh Indonesia. Serangan kutu loncat banyak menimbulkan kerugian, bukan saja bagi petani kopi, tetapi juga peternak yang banyak mengandalkan daun lamtoro sebagai pakan ternak.

Apabila menganggap lamtoro sebagai pilihan terbaik untuk tanaman penaung, dianjurkan mencampurnya dengan tanaman penaung jenis lain. Dengan demikian, bila terjadi serangan kutu loncat tidak akan menimbulkan kerugian besar (Najiyati, 2004).

c. Sengon (Paraserianthes falcataria)

Pohon yang tingginya mencapai 40 m. Batang utama lurus, berbentuk silinder, bebas cabang hingga 20 m dan diameternya mencapai 100 cm atau lebih, tidak berbanir atau dengan banir kecil. Buah berupa polong pipih, tidak bersekat, merekah disepanjang kedua kampuhnya, berbiji banyak.

Kayu ini termasuk ringan dan cocok misalnya untuk konstruksi ringan, mebel, bahan pengepak seperti kotak cerutu, kotak rokok, bahan korek api juga untuk bahan sepatu, papan partikel, papan wol kayu, untuk pembuatan kertas dan rayon. Kayu ini tidak tahan lama dan mudah terserang serangga dan jamur. Pohon sengon ditanam dalam rangka reboisasi atau penghijauan lahan gersang, juga untuk kayu bakar dan pembuatan arang (Sutisna et.al.,1998).

(35)

18

2. Jenis Pohon Lainnya

a. Sonokeling (Dalbergia latifolia)

Sonokeling pohonnya kecil hingga besar dengan tinggi mencapai 43 m. Batang utama lurus atau bengkok dengan diameter hingga 150 (-180) cm, bebas cabang hingga 3 -10 (-12) m, banir tidak ada atau tampak jelas, berakar tunggang. Daun berselang-seling, bunganya berupa payung berkelamin dua, buah polong yang tidak merekah dan biji berbentuk ginjal, memipih.

Kayu sonokeling banyak digunakan untuk bahan perabot rumah tangga kelas tinggi, vinir yang indah, bingkai pintu dan jendela, alat musik, barang ukiran, dan kayu patung. Sonokeling banyak digunakan dalam sistem agroforestry di daerah Jawa dan India (Sutisna et.al.,1998).

b. Mahoni (Swietenia mahagoni)

Pohonnya kecil sampai besar, berumah satu, tetapi sering berfungsi seperti berumah dua, tingginya sampai 40 (-60) m. Batang utama lurus, silindris, bebas cabang sampai 18 (-25) m, diameter 150 (-200) cm, dengan banir yang lebar. Sekarang mahoni ditanam di seluruh daerah tropika termasuk Malaysia, Indonesia dan Pilipina.

Mahoni merupakan kayu paling bagus untuk perabot rumah berkelas tinggi. Kepopulerannya terutama karena penampilannya menarik, mudah dikerjakan, dapat menerima sentuhan akhir yang bagus dan stabil. Pohon mahoni sering digunakan dalam program penghijauan dan sebagai peneduh di Hutan Tanaman Dipterocarpaceae (Sutisna et.al.,1998).

c. Kayu Afrika (Maesopsis eminii)

Kayu Afrika ditemukan di Tropis Afrika, diintroduksi ke Jawa dan tumbuh di pekarangan rumah. Membutuhkan banyak cahaya dan menjadi tujuan umum perkayuan. Perkebunan saat ini dikebangkan di Sumatra (Nair, 2001). d. Durian (Durio zibethinus)

Pohon kecil sampai besar, mencapai tinggi hingga 50 (-60) m. Batang utama lurus dan berbentuk silinder, bebas cabang sampai 35 m, diameter hingga 120 (-140) cm, banir biasanya ada, kecil dan membulat, kadangkala besar, akar nafas kadang-kadang timbul bila tumbuh di rawa.

(36)

Pohon ini mempunyai kegunaan yaitu kayunya untuk konstruksi dalam, cukup tahan lama asalkan tidak di tempat terbuka. Setelah diawetkan dapat digunakan untuk kusen, banyak juga dipakai untuk perabot sederhana. Buah sangat digemari di Asia Tenggara. Bijinya setelah direbus dapat dimakan sebagai nyamikan. Tunas dan buah mudanya untuk sayur. Kulit buahnya untuk kayu bakar (Sutisna et.al.,1998).

e. Nangka (Arthocarpus heteropylus)

Pohon kecil hingga besar, tingginya mencapai 40 (-60) m, selau hijau atau luruh daun, menghasilkan getah putih dari seluruh bagian pohon. Batang utama lurus atau berbentuk silinder, kadang-kadang tidak teratur, bebas cabang hingga 20 m, berdiameter hingga 15 (-300) cm, kadang-kadang berbanir.

Jenis ini digunakan untuk konstruksi ringan, kemasan dan kayu lapis, kadang-kadang juga untuk perabot rumah. Banyak jenis Arthocarpus merupakan penghasil buah. Pepagan, daun, akar dan getahnya digunakan untuk obat-obatan (Sutisna et.al.,1998).

(37)

20

III. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Agustus 2005.

B. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Etanol 70 % 2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera, pengukur waktu, meteran (pengukur jarak), kompas, tabung film, gunting pangkas, pinset, mikroskop dan preparat.

C. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan dan data sekunder diperoleh dari informasi mengenai: 1. Keadaan umum lokasi penelitian, yang meliputi letak dan keadaan fisik

lingkungan dan data sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

2. Keadaan kawasan agroforestry, meliputi luas lahan, topografi, kelerengan, kondisi penutupan lahan.

3. Data lain yang diperlukan untuk melengkapi data yang sudah ada dari sumber pustaka yang sesuai.

D. Metode

1. Penarikan Contoh

Penarikan contoh dilakukan dari survey awal sebanyak 88 titik pengamatan kebun kopi yang kemudian dikumpulkan dan diklasifikasikan menjadi 2 sistem agroforestri kopi yaitu sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata. Kriteria yang digunakan untuk membedakan antara sistem agroforestri kopi sederhana

(38)

dan sistem agroforestri kopi multistrata adalah jumlah spesies pohon penaung yang ada pada tiap-tiap sistem pengelolaan. Sistem agroforestri kopi sederhana adalah kopi yang ditanam bersama dengan satu atau dua jenis tanaman penaung dari famili Fabaceae seperti gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina sp.), sengon (Paraserianthes falcataria) atau lamtoro (Leucaena leucocephala), sedangkan sistem agroforestri kopi multistrata adalah kopi yang ditanam bersama dengan sedikitnya tiga jenis tanaman penaung baik dari famili Fabaceae, tanaman buah-buahan maupun tanaman kayu-kayuan (Hairiah et al., 2004). Dari hasil klasifikasi sistem agroforestri kopi diperoleh 43 titik pengamatan berupa sistem agroforestri kopi sederhana dan 45 titik pengamatan berupa sistem agroforestri kopi multistrata.

Dari masing-masing sistem agroforestri kopi tersebut diambil 16 titik contoh secara acak, sehingga didapatkan 32 titik pengamatan. Pada tiap titik pengamatan dibuat satu plot contoh berukuran 40 m x 5 m. Penempatan plot disesuaikan dengan kondisi lahan seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Bentuk plot pengamatan Pada setiap plot dilakukan pengamatan dengan:

a. Menghitung jumlah pohon kopi.

b. Mengamati hama-hama yang ada pada setiap pohon kopi.

c. Menghitung jumlah batang kopi yang diserang oleh masing-masing hama dan persen serangannya pada masing-masing pohon.

d. Menghitung jumlah cabang pada masing-masing pohon kopi. 100 m

100 m 5 m 40 m

(39)

22

e. Mengamati cabang pada pohon kopi dimana dari tiap pohon diambil 3 cabang bagian bawah, tengah dan atas sebagai contoh.

f. Mengambil sampel cabang dari tiap pohon kopi untuk diamati lebih lanjut

g. Mengamati dan mengambil contoh serangga pada setiap pohon penaung dan pencampur

h. Mengukur dan mencatat jenis tanaman yang ada dan kondisi lingkungannya.

2. Wawancara

Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan kuisioner dengan narasumber petani pengelola sistem agroforestry kopi. Isi kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian yaitu tahun tanam, luasan, jenis kopi yang ditanam, jenis tanaman penaungnya, jenis hama yang pernah menyerang tanaman kopi dan tanaman penaung, dan pengendalian yang pernah dilakukan.

3. Studi Literatur

Dilakukan dengan mempelajari arsip-arsip yang ada di instansi-instansi terkait serta hasil-hasil penelitian sebelumnya.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan cara sebagai berikut: 1. Persen serangan (S)

Persen serangan menyatakan perbedaan banyaknya pohon yang terserang terhadap jumlah pohon total dalam luasan lahan tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung persen serangan sebagai berikut :

S (%) = x100% N

n

n = Jumlah pohon yang terserang suatu jenis hama pada plot N = Jumlah pohon kopi dalam plot

Intensitas serangan dan persen serangan diklasifikasikan : < 25 % = Ringan

> 25 % - < 50 % = Sedang > 50 % - < 90 % = Berat

(40)

> 90 % = Puso 2. Intensitas serangan (Sb)

Intensitas serangan adalah banyaknya bagian pohon yang terserang terhadap jumlah total bagian pohon tersebut. Pada tanaman kopi yang agak mudah untuk menghitung intensitas serangannya adalah serangan pada cabang oleh penggerek cabang. Rumus yang digunakan untuk menghitung intensitas serangan sebagai berikut:

Sb (%) = x100%

N n

b

n = Jumlah cabang yang terserang pada pohon Nb = Jumlah total cabang pada pohon

3. Uji Nilai t hitung

Uji ini digunakan untuk mengetahui perbedaan antara intensitas serangan dan persen serangan pada sistem agroforestri kopi sederhana dan sistem agroforestri kopi multistrata. Rumus untuk menghitung nilai t hitung sebagai berikut :

t = 2 1 2 1 Y Y S Y Y − − Keterangan : t = Nilai t hitung 1

Y = Rata – rata variabel 1

2

Y = Rata – rata variabel 2

2 1 Y Y

S = Simpangan baku

Perbedaan banyaknya lubang gerek pada berbagai posisi pada tiap-tiap sistem pengelolaan kebun diuji dengan nilai beda nyata terkecil (BNT) dari analisa keragaman dengan menggunakan perangkat lunak Genstat 8. 4. Indeks Keragaman

Berdasarkan pada dugaan bahwa keragaman species tanaman penaung berpengaruh terhadap serangan hama penggerek cabang, maka dilakukan penghitungan indeks keragaman tanaman penaung pada tiap-tiap plot contoh. Indeks keragaman tersebut dihitung berdasarkan rumus

(41)

24

yang dikembangkan oleh Shanon and Winner sebagai berikut (Krebs, 1989):

H = • pi ln pi dimana:

H = Indeks Keragaman pi = ni/N

ni = Jumlah individu spesies i N = Jumlah seluruh individu

Indek keragaman diklasifikasikan sebagai berikut: H < 1 = Rendah

H > 1 - 3 = Sedang H > 3 = Tinggi 5. Identifikasi Serangga

Jenis serangga yang diperoleh di lapangan dikumpulkan menggunakan botol preparat untuk diawetkan. Untuk mengetahui jenis-jenis serangga lain yang ditemukan pada tiap-tiap plot dilakukan identifikasi sampai tingkat famili di laboratorium Hama Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan laboratorium World Agroforestry Centre (ICRAF).

(42)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Posisi Geografis

Kecamatan Sumberjaya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Secara geografis terletak antara 4o45’ –

5o15’ LS dan 104o15 – 104o BT. Batas administratif Kecamatan Sumberjaya lama,

yaitu:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bukit Bangit • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Kemuning • Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Punggung • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sekincau

Batas-batas Kecamatan Sumberjaya lama berimpitan dengan batas sub DAS Way Besai yang terletak di bagian hulu DAS Tulang Bawang (Agus et. al., 2002).

B. Iklim

Kecamatan Sumberjaya termasuk dalam tipe iklim Af menurut klasifikasi iklim Koppen atau tipe A berdasarkan Schmidt-Ferguson, yaitu tidak memiliki bulan kering. Menurut klasifikasi Oldeman, Kecamatan Sumberjaya termasuk dalam zona B1 dengan jumlah bulan basah (CH > 200 mm) = 7 bulan dan jumlah bulan kering (CH < 100 mm) = 1 bulan. Curah hujan rata-rata tahunan 2.614 mm. Suhu udara rata-rata harian 21,2 oC, dengan suhu udara terendah 20,3 oC dan tertinggi 21,7 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 80 – 89 %. Musim hujan

terjadi antara bulan November – Mei, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Juni – September (Agus et. al., 2002).

C. Tanah

Jenis tanah di Kecamatan Sumberjaya umumnya Inceptisol, dengan ciri tingkat perkembangannya yang relatif muda, berkembang dari bahan induk vulkan muda. Pada tingkat great group tanah tersebut terdiri dari Humitropepts,

(43)

26

Dystropepets, Dystrandepts dan Tropaquepts. Humitropepts dan Dystropepts mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi, Dystrandepts didominasi abu vulkanik vitrik dan Tropaquepts bercirikan regim kelembaban aguik dan perbedaan temperatur tahunan < 5 oC pada musim panas dan dingin (Agus et. al.,

2002).

D. Fisiografi

Bentang alam di Kecamatan Sumberjaya bervariasi dari wilayah yang cukup datar hingga berbukit dan bergunung-gunung. Ketinggian tempat di Kecamatan Sumberjaya berkisar antara 700 – 1700 m dpl. Puncak-puncak gunung di sekeliling Sumberjaya antara lain : Gunung Subhanallah (1.623 m dpl), Gunung Tangkit Tebak (2.115 m dpl) di timur, Gunung Tangkit Begelung (1.213 m dpl) di tenggara dan Gunung Sekincau (1.718 m dpl) di barat. Di tengah wilayah Kecamatan Sumberjaya terdapat Bukit Rigis dengan ketinggian 1.395 m dpl. Jenis bentang alam bukit-bukit berpola wilayah bergelombang terdapat di sebagian kecil wilayah Sumberjaya bagian tengah, tepatnya di sebelah utara Bukit Rigis. E. Hidrologi

Sungai utama di Kecamatan Sumberjaya adalah Sungai Way Besai. Sungai ini memiliki beberapa anak sungai diantaranya Way Petai dan Way Ringki. Aliran anak-anak sungai di wilayah sub Das Way Besai secara umum berbentuk dendritik sedangkan untuk anak-anak sungai di sekitar Gunung Sekincau, pola alirannya berbentuk radial. Hulu sungai yang ada di sub DAS Way Besai berasal dari Gunung Tangkit Tebak, dengan anak sungai utama Way Tenong, menuju ke barat dan kemudian ke utara menuju sungai utamanya, Way Besai. Rata-rata debit bulanan Way Besai yang luas Sub DASnya sekitar 43.985 ha, berkisar antara 11 – 33 m3/detik. Debit terkecil terjadi di Bulan Agustus sedangkan debit terbesar di Bulan Januari (Agus et. al., 2002).

F. Keadaan Sosial Ekonomi

Nama Kecamatan Sumberjaya diresmikan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 14 November 1952 bersamaan dengan kunjungannya untuk peresmian Sumberjaya sebagai daerah tujuan Program Transmigrasi di bawah Biro Rekonsiliasi Nasional (BRN) dari Jawa Barat dan merupakan pusat pemukiman

(44)

baru di Kabupaten Lampung Barat (pada saat itu masih merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Utara).

Secara administratif, Kecamatan Sumberjaya lama terdiri atas 28 desa dengan total luas wilayah 54.194 ha atau 10,9% dari luas total Kabupaten Lampung Barat. Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah Timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing kecamatan dibagi atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran tersebut. Sumberjaya merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, khususnya antara tahun 1978 – 1988. Tingkat pertumbuhan pada dekade tersebut tercatat 7,51% per tahun, atau terjadi pertumbuhan dari 37.557 jiwa pada 1978 menjadi 79.567 jiwa pada tahun 1988. Migrasi spontan dari daerah sekitar Sumberjaya memberikan sumbangan terbesar dalam pertambahan penduduk tersebut. Hal ini terkait dengan meningkatnya budidaya kopi di wilayah Sumberjaya pada dekade 1970-an dan 1980-an. Pada dekade berikutnya (1989 – 1999) pertumbuhan penduduk relatif lebih rendah, yaitu 1,04% per tahun atau terjadi pertambahan penduduk dari 78.759 jiwa pada tahun 1989 menjadi 87.390 pada tahun 1999. Penduduk Sumberjaya terdiri dari berbagai etnis; Sunda, Jawa, Bali, Semendo dan etnis Lampung asli.

Di samping tanahnya yang subur untuk kegiatan pertanian, lokasinya yang berada di lintasan jalan utama yang menghubungkan Kotabumi (ibukota kabupaten Lampung Utara) dan Liwa (ibukota Kabupaten Lampung Barat) serta merupakan jalan alternatif menuju Propinsi Bengkulu, secara geografis membuat daerah Sumberjaya menjadi strategis dan diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut.

Sumber pendapatan utama sebagian besar penduduk Sumberjaya berasal dari sektor pertanian, terutama dari budidaya kopi dan kebun campuran. Sumbangan budidaya kopi terhadap kegiatan ekonomi penduduk tidak terbatas pada hasil produksi kopi semata, akan tetapi juga terbukanya lapangan pekerjaan di sektor perdagangan dan jasa (pengangkutan).

(45)

28

Sebagian besar penduduk berpendidikan Sekolah Dasar. Ketersediaan fasilitas pendidikan masih relatif sedikit, sebagian besar berupa fasilitas pendidikan dasar (54 SD dengan 583 guru), sedangkan fasilitas pendidikan menengah (SLTP dan SLTA) jumlahnya relatif terbatas; 4 buah SLTP dengan 96 guru dan 4 buah SLTA dengan 60 guru.

G. Keadaan Umum Agroforestry di Kecamatan Sumberjaya

Status penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya sangat beragam. Berdasarkan data monografi Kecamatan Sumberjaya, kawasan yang berstatus sebagai hutan negara seluas 31.571 ha (58.3%), perkebunan seluas 12.449 ha (23%), dan persawahan seluas 2.447 ha (4.5%). Namun pada kenyataannya menurut data terakhir tahun 2000 lahan pertanaman kopi yang terdiri dari pertanaman kopi muda, kopi monokultur dan kopi multistrata berjumlah 69% dari total luas kecamatan (37.394 ha).

Dalam pengelolaan kebun kopi yang ada di Sumberjaya diterapkan 2 sistem agroforestry, yaitu:

1. Sistem Agroforestry Kopi Sederhana (Simple Shade)

Sistem agroforestry kopi sederhana pada dasarnya adalah penanaman kopi dengan satu jenis pohon penaung yang membentuk suatu sistem agroforestry kopi sederhana, atau kombinasi antara kopi dengan satu jenis pohon penaung. Jenis pohon penaung yang ditanam oleh petani umumnya gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum burmanii).

Jarak tanam kopi yaitu 2 m x 2 m untuk setiap penanaman, dan jarak tanam pohon penaungnya adalah 4 m x 4 m untuk tanaman jenis gamal (Gliricidia sepium) sedangkan untuk penaung lainnya, jarak tanam bisa disesuaikan dengan pengelolaan petani. Rata-rata luas lahan petani kopi adalah 1,1 ha (Agus et. al., 2002).

(46)

Gambar 7. Sistem Agroforestry Kopi Sederhana

Gambar 8. Denah Sistem Agroforestry Kopi Sederhana 2. Sistem Agroforestry Kopi Multistrata

Sistem Agroforestry Kopi Multistrata adalah penanaman kopi dengan tanaman penaung yang beraneka ragam sehingga membentuk suatu sistem agroforestry kompleks, misalnya tanaman kopi yang ditanam dengan dua jenis atau lebih tanaman penaung seperti : kemiri (Aleurites moluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Parkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus) dan cempedak (Artocarpus integer). Sistem ini biasanya dibangun secara bertahap.

Pada awalnya petani memulai penanaman kopi dengan sistem agroforestry kopi sederhana, dan seiring dengan waktu mereka menambah keanekaragaman tanaman di kebun kopinya. Sistem ini dipilih untuk mempercepat pertumbuhan tanaman penutup tanah dan tanaman penaung pada tanah yang

4 m 4 m 2 m 2 m Kayu Hujan Kopi

Gambar

Gambar 1. Kumbang betina Xylosandrus compactus (Dixon, 2005).
Gambar 2. Penggerek buah kopi dewasa (Hindayana et. al., 2002).
Gambar 3. Kutu putih dewasa jantan (Hindayana et. al., 2002)  b. Cara pengendalian :
Gambar 4. Kutu hijau menyerang cabang tanaman kopi (Hindayana et. al.,  2002).
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Fenomena yang ada belum menunjukkan seberapa baik kinerja perawat dimana perawat belum mampu memberikan pelayanan keperawatan yang terbaik kepada pasien, karena

UPT Puskesmas Kebonagung masih menggunakan cara yang konvensional dalam mengolah data tentang transaksi pendataan, untuk itu membutuhkan sistem informasi yang dapat

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi

Nilai STC 30 dB berdasarkan klasifikasi nilai STC dalam ASTM E413 – 04 dan Introduction to Sound Transmission Class dari Gailer &amp; Assosiates diketahui bahwa nilai STC dari

keterangan yang akan memodifikasi atau mengkualifikasi sebutan yang akan diberi nomor kode, agar istilah diagnosis- nya sesuai dengan apa yang dimaksud oleh dokter dalam

Because,they could not express their past experience.Therefore, to improve the quality of learning, it needs some efforts to make learning more effective, such as by

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji signifikasi perbedaan hasil belajar siswa yang diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran