8 2.1 Analisis Regresi
Analisis regresi merupakan salah satu metode statistika yang mempelajari persamaan secara matematis hubungan antara satu peubah respon dengan satu atau lebih peubah penjelas. Draper dan Smith (2014) mendefinisikan hubungan antara peubah respon dan peubah penjelas dalam model regresi linear. Secara umum dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :
0 1 1 2 2 ... 1 , 1
i
i,
i,
p i p iY X X X ε (1)
Dimana Yi merupakan peubah respon untuk pengamatan ke-i.
0, 1, 2,..., p1
adalah parameter peubah penjelas. Peubah penjelas di tuliskan dalam Xi,1, Xi,2,… , Xi, p -1 dan ε adalah sisa untuk pengamatan ke-i yangi
diasumsikan berdistribusi normal yang saling bebas dan identik dengan rata-rata 0
(nol) dan varians σ2
. Secara ringkas persamaan di atas dapat ditulis menjadi persamaan (2):
=
+
Y
X β
ε
(2)Dengan Y dituliskan sebagai vektor peubah respon berukuran n x 1, X merupakan matriks peubah penjelas berukuran n x (p – 1), β adalah vektor
2.2 Model Spasial
Masalah yang sering muncul pada pendugaan model regresi klasik adalah asumsi sisaan yang saling bebas dan asumsi kehomogenan yang tidak terpenuhi sehingga menyebabkan kesimpulan yang tak sesuai jika model di intepretasi. Tobler pada tahun (1970) mengemukakan hukum pertama geografi, adalah kondisi pada suatu titik atau area memiliki hubungan dengan kondisi pada suatu titik atau area yang berdekatan. Pendapat tersebut didasarkan pada kajian permasalahan berbasis kewilayahan (spasial). Pemodelan suatu hubungan yang berbasi kewilayahan apabila digunakan model regresi klasik dapat menimbulkan parameter penduga yang bias dan juga tak konsisten (LeSage, 1999).
Model umum regresi spasial menurut LeSage dalam Bivand dan Piras (2015) adalah sebagai berikut:
y Wy Xβ u (3) dengan
u
Wu
(4))
,
0
(
~
2I
ε
N
Dimana
y
adalah vektor peubah respon, berukurann
1
, Xmerupakan matriks peubah penjelas, berukuran n ,
k 1
β vektor parameter koefisien regresi, berukuran
k ,1 1
merupakan parameter koefisien spatial lag peubah respon, adalah koefisien parameter spatial lag pada sisaan,u
merupakan vektor sisa berukurann
1
, adalah vektor sisa berukurann
1
yang berdistribusi normal dengan rataan nol dan varians , serta W adalah2I
matriks pembobot berukuran n n . Sisaan (u) diasumsikan memiliki efek lokasi random dan mempunyai autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan
matriks pembobot yang menunjukan hubungan continguity atau fungsi jarak antar lokasi yang diagonalnya bernilai nol.
Anselin dalam Elhorst (2014) mengemukakan dua efek spasial dalam kajian ekonometrika yaitu efek spatial dependence dan spatial heterogenity.
Spatial dependence mendeskripsikan hubungan antar lokasi obek penelitian,
sedangkan spatial heterogenity mengacu pada keragaman fungsional dan parameter setiap lokasi. Ketidak homogenan data akan muncul akibat keragaman lokai-lokasi obyek penelitian.
LeSage dan Pace (2009) menuliskan kombinasi model regresi konvensional dengan struktur spasial autoregressive. Berdasarkan struktur matematisnya, pemodelan regresi spasial yang memiliki lag wilayah pada peubah respon dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
1. Spatial Autoregressive Model (SAR)
Spatial Autoregressive Model terjadi apabila λ = 0, maka persamaan regresi
spasial (SAR) dituliskan (2.5)
yWyXβu (5)
0u Wu u
model persamaan di atas mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya terjadi pada peubah respon.
2. Spatial Durbin Model (SDM)
Spatial Durbin Model menurut LeSage dan Pace (2009) yaitu adanya
penambahan spatial lag pada peubah penjelas, artinya Model SDM memasukan spatial lag pada peubah penjelas dan juga peubah respon dinyatakan pada persamaan (2.6)
1
0 1
1 2
y
Wy β
Xβ
WXβ
ε
(6)2.3 Spasial Durbin Model (SDM)
Spasial Durbin Model (SDM) merupakan kasus spesial dari SAR, yang mana dilakukan penambahan spatial lag pada peubah penjelas (LeSage dan Pace, 2009). Model ini mampu menggambarkan hubungan spasial pada peubah respon dan peubah penjelas. Model SDM dapat dituliskan:
1 0 1 1 2
yW yβ Xβ W Xβ ε (7)
Persamaan (2.7) dapat dinyatakan menjadi persamaan (2.8)
( ) 1 1 1 y W y Zβ ε y W y Zβ ε I W y Zβ ε 1 1 ( 1) ( 1) y IW Zβ I W ε (8) y~N
(IW1)1Zβ I, ( W1)12I I
( W1)1
T
dengan ࢆ = [ࡵ ࢄ ࢃ ࢄ] ࢼ = [ࢼ ࢼ ࢼ]ࢀ2.4 Matriks Pembobot Spatial (Spatial Weighting Matrix)
Matriks pembobot spatial (W) adalah hal yang bersifat khusus pada pemodelan spasial. Hal ini karena matriks pembobot spasial menggambarkan kedekatan atau keterikatan suatu area dengan area lain berdasarkan informasi ataupun letak area tersebut. Matriks pembobot spasial diperoleh dari ketersinggungan antar wilayah dan jarak dari ketetanggaan (neighborhood) atau jarak antara satu area dengan area yang lain. Menurut Lesage dan Liano (2016) terdapat beberapa macam hubungan persinggungan (contiguity) antar area, antaralain sebagai berikut :
11 1 2 1 3 1 2 1 2 2 23 2 1 2 3
W
n n i j n n n n nw
w
w
w
w
w
w
w
w
w
w
w
w
(9)1. Linear Contiguity (Persinggungan tepi)
Matriks ini mendefinisikan Wij = 1 untuk area yang berada di tepi (edge) kiri
maupun kanan area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area lainnya.
2. Rook Contiguity (Persinggungan sisi)
Matriks ini mendefinisikan Wij= 1 untuk area yang bersisian (common side)
dengan area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area lainnya.
3. Bishop Contiguity (Persinggungan sudut)
Matriks ini mendefinisikan Wij = 1 untuk area yang titik sudutnya (common
vertex) bertemu dengan sudut area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area
4. Double Linear Contiguity (Persinggungan dua tepi)
Matriks ini mendefinisikan Wij= 1 untuk dua entity yang berada di sisi (edge)
kiri dan kanan area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area lainnya.
5. Double Rook Contiguity (Persinggungan dua sisi)
Matriks ini mendefinisikan Wij= 1 untuk dua entity di kiri, kanan, utara dan
selatan area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area lainnya.
6. Queen Contiguity (persinggungan sisi-sudut)
Matriks ini mendefinisikan Wij= 1 untuk entity yang bersisian (common side)
atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan area yang menjadi perhatian, Wij= 0 untuk area lainnya.
7. Customize Continguity
Metode ini mendefinisikan Wij= 1 untuk area yang bersisian atau area dengan
karakterisrik yang sama dengan area yang mendapatkan perhatian dan Wij= 0
untuk lokasi lainnya.
2.5 Uji Dependensi Spasial
Uji dependensi spasial atau uji keterkaitan spasial diperlukan untuk mengukur autokorelasi antar wilayah atau amatan. Statistik uji yang biasa digunakan adalah Moran’s I. Moran’s I mendefinisikan autokorelasi pada setiap amatan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
H0: I = 0 (tidak terjadi autokorelasi antar lokasi)
H1: I≠ 0 (terjadi autokorelasi antar lokasi)
0 hitung I-I Z = var I (10) dimana n n ij i j i =1 j=1 n n n 2 i j i i=1 j =1 i=1 w (x -x)(x -x) n I= w (x -x)
dan
2 2 1 2 0 2 0 n (n-1)S -n(n-1)S -2S var I = (n+1)(n-1)S n 2 1 ij ij i=j1
S =
(w +w )
2
n 2 2 i0 0i i=1 S =
(w +w ) n n 0 ij i=1 j=1S =
w
n i0 ij j=1w =
w
n 0i ji j=1w =
w
Keterangan: ix = data ke-i ( i=1,2,...,n)
j
x = data ke-j ( j=1,2,...,n)
x = rata-rata data Var (I) = varians Moran’I
E(I) = nilai ekspektasi dari Moran’s I
Kriteria pengambilan keputusann H0 adalah apabila Zh i t u n g > Zα / 2 maka H0 di
tolak. Nilai indeks Moran’s I bernilai antara -1 dan 1, dengan kondisi
1. Apabila I > I maka autokorelasi positif terjadi pada data amatan0
2. Apabila I < I maka autkorelasi negatif terjadi pada data amatan0
Pola pengelompokkan atau penyebaran data antar lokasi amatan dapat di gambarkan dalam Moran’s Scatterplot. Moran’s Scatterplot menggambarkan
hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi atau wilayah dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi yang bertetanggaan atau memiliki informasi yang memiliki hubungan satu samalain.
Moran’s Scatterplot terdiri atas empat kuadran yaitu kuadran I, II , III, dan IV. Masing-masing kuadran berisis data yang secara lokasi memiliki karakteristik autokorelasi yang hampir sama dalam kuadran dan relatif berbeda dengan kuadran lain. Data yang secara lokasi berada kuadran I dan III memiliki kecenderungan autokorelasi positif, sedangkan data yang secara lokasi berada pada kuadran II dan IV memeliliki kecenderungan autokorelasi negatif. Masing-masing kuadran terdefinisi sebagai berikut (Perobelli dan Haddad, 2003), yaitu:
1. Kuadran I (High-High), menunjukkan data yang seara lokasi mempunyai nilai amatan yang tinggi dan berdada di sekeliling lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
2. Kuadran II (Low-High), menunjukkan data yang seara lokasi mempunyai nilai amatan rendah dan berada di sekeliling lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
3. Kuadran III (Low-Low), menunjukkan data yang seara lokasi mempunyai nilai amatan rendah dan berada di sekeliling lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.
4. Kuadran IV (High-Low), menunjukkan data yang seara lokasi mempunyai nilai amatan tinggi dan berdada di sekeliling lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.
2.6 Estimasi Parameter Spasial Durbin Model (SDM)
Metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) digunakan untuk mengestimasi parameter SDM. Pembentukan fungsi likelihood dilakukan melalui sisaan error. Fungsi tersebut dapat dituliskan pada persamaan (11)
ρ 1 y = W y + Zβ + ε ρ 1 ε = y - W y - Zβ ρ 1 ε = (1- W )y - Zβ (11)
Maka dapat dibentuk persamman fungsi likelihood pada persamaan
n 2 2 2 2 1 1 L( σ ; ε ) = e x p -2 π σ 2 σ T ε ε
n 2 2 2 2 1 1 L( ρ , , σ l y) = exp -2 π σ 2 σ T β J ε ε (12)Fungsi Jacobian dari persamaan (11) dapat diperoleh dengan cara menurunkan persamaan terhadap peubah y, sehingga diperoleh persamaan (13)
ε
J = = - ρ
y I W1
(13)
Subtitusi persamaan (13) kedalam persamaan (12), sehingga diperoleh fungsi likelihood pada persamaan (14)
n 2 2 1 2 1 L( ρ , , σ ) = 2 π σ β y I-ρW
T
2 1 e x p - - ρ - - ρ -2 σ I W y Z β1 I W y Z β1 (14)2 n n ln ( L) = - ln ( 2π ) - ln(σ ) + ln - ρ 2 2 I W1
T
2 1 = - - ρ - - ρ -2 σ I W y Zβ1 I W y Zβ1 (15) 2.6.1 Estimasi Parameter βParameter β dapat diperoleh dengan cara memaksimalkan fungsi logaritma natural persamaan (15), maka persamaan tersebut diturunkan terhadap β. Hasil dari proses turunan ditunjukkan pada persamaan (16)
l n ( L ) = 0 β
T
2 1 - - ρ - - ρ -ln ( L) 2 σ = β β 1 1 I W y Zβ I W y Zβ
T
2 1 - - ρ - - ρ -2 σ 0 β 1 1 I W y Z β I W y Zβ
T T
2 1 0 - ρ -σ Z I W y Z Z β1 (16)Maka estimasi yang diperoleh adalah
T
- 1 T
β =ˆ Z Z Z I- ρW y1 atau β =
T
- 1 T - ρ
T
- 1 T 1 ˆ Z Z Z y Z Z Z W y (17) 2.6.2 Estimasi Parameter ˆσ2 Parameter ˆσ2dapat diperoleh dengan cara menurunkan turunan pertama
dari persamaan (15) terhadap ˆσ2. Hasil dari proses turunan ditunjukkan pada persamaan (18)
2 l n L = 0 σ ∂ ∂
T 2 2 2 2 ln L n 1 = - - ρ - - ρ -σ 2 σ 2 σ I W y Z β1 I W y Z β1 ∂ ∂
T
2 1 0 = -n + - ρ - - ρ -σ I W y Zβ1 I W y Zβ1 (18)Maka diperoleh estimasi untuk pada persamaan (19)ˆ2
T
2 - ρ - - ρ -σ n 1 1 I W y Z β I W y Zβ (19) 2.6.3 Estimasi Parameter ρ Estimasi β dan ˆσ2bersifat close form artinya untuk mengestimasi
parameternya digunakan maximum likelihood, sedangkan parameter ρ tidak
dapat diperoleh dari sisaan OLS. LeSage dan Pace (2009) mengemukakan bahwa dibutuhkan optimasi pada concentrated log-likelihood nya yang mewakili ρ . Pendugaan ρ daoat dilakukan dengan cara mensubtitusikan
persamaan dugaan β dan persamaan dugaan ˆσ2 serta mengabaikan konstanta,sehingga diperloleh persamaan (20)
n
T
ln L ρ = - ln -ρ - -ρ - ln -ρ
2 I W y Zβ1 I W y Zβ1 I W1 (20)
2.7 Evaluasi Model Spasial
Evaluasi model spasial pada penelitian ini adalah mengunakan kriteria uji pemilihan model terbaik yaitu Akaike Information Criteria (AIC), AIC dalam
Acquah (2013) adalah suatu ukuran informasi yang berisi pengukuran terbaik dalam uji kelayakan estimasi model. AIC biasanya digunakan untuk memilih manakah model yang terbaik diantara model-model yang diperoleh. Pemilihan model didasarkan pada kesalahan hasil ekspektasi yang terkecil yang membentuk data observasi baru (error) yang berdistribusi sama dari data yang digunakan, lebih lanjut AIC mampu mengukur kecocokan model dari estimasi menggunakan estimasi maximum likelihood dari data yang sama, didefinisikan:
2 lo g 2AIC L p (21)
Dimana p adalah jumlah parameter model dan L adalah nilai maksimum
likelihood dari hasil estimasi model. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan
nilai AIC model yang diperoleh, model dengan nilai AIC paling kecil adalah model yang terbaik.
2.8 Kondisi PDRB Provinsi Jawa Tengah
Indikator perekonomian yang biasa digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS, 2016). Jawa Tengah sebagai Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia memiliki setidakna 35 kabupaten kota yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui peningkatan kegiatan perekonomian. Menurut BPS (2017) laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah relatif
tidak stabil. Tercatat setidaknya pada tahun 2013 mengalami penurunan pertumbuhan. Pada dua tahun terakhir tercatat terjadi percepatan pertumbuhan sebesar 0,20 persen.
Gambar 2.1. Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah
Pada tahun 2015 tercatat nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah atas dasar harga berlaku sebesar 1.011.851,0 Miliyar rupiah. Pada grafik 2.1 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan pertumbuhan sejak tahun 2013 hingga tahun 2015. BPS juga mengemukakan pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor industri manufaktur, perdagangan dan industri.
Tabel 2.1. Tabel Pertumbuhan Ekonomi di Regional Jawa (%)
Provinsi Q1 / 2015 Q4 / 2015 DKI 5,5 6,5 Banten 5,5 4,9 Jabar 4,9 5,2 Jateng 5,6 6,1 DIY 4,3 5,5 Jatim 5,0 5,9
Sumber: Provinsi Jawa Tengah dalam angka 2016
5.34 5.14 5.42 5.44 2012 2013 2014 2015 % Pe rt um bu ha n Ek on om i Tahun
Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah (%)
Pada tingkat regional provinsi di pulau jawa, pertumbuhan ekonomi yang diukur melelui perubahan PDRB atas dasar harga berlaku mengemukakan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tumbuh terbaik kedua pada akhir kuartal keempat tahun 2015 menurut Bank Indonesia (2016).
2.9 Infrastruktur Jalan
Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1994 mendefinisikan infrastruktur jalan sebagai salah satu jenis infrastruktur dibidang ekonomi. Oleh karena itu pembangunan inrastrukrur jalan tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Anas et.al, 2014). Anas et.al juga menyebutkan fungsi mobilitas yaitu fungsi mendistribusikan barang, dimana hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Selain berkaitan dengan proses produksi, infrastruktur jalan juga berkaitan erat dengan proses distribusi barang. Lancar atau tidaknya proses ditribusi akan sangat mempengaruhi distribusi barang, dimana akan berpengaruh juga pada sektor produksi. Arbues et.al (2016) pada penelitiannya menghasilkan variabel infrastruktur jalan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Gambar 2.2. Kondisi Infrastruktur Jalan Provinsi Jawa Tengah Sumber: Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2016
Menurut BPS pada tahun 2014 sebanyak 1,39 ribu kiometer di Provinsi Jawa Tengah merupakan jalan nasional, sedangkan panjang jalan yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah 2,57 ribu kilometer. Panjang jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota adalah 22,46 ribu kilometer dengan total panjang jalan Provinsis Jawa Tengah adalah 22,46 ribu kilometer.
2.10 Human Capital
Menurut Arbues et.al (2016), Human Capital merupakan share dari jumlah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan menengah keatas. Jenjang pendidikan yang dimaksud adalah sekolah menengah, sekolah Kejuruan dan Universitas. Sehingga pengertian Human Capital secara umum adalah jumlah angkatan kerja dengan tingkat pendidikan tamat sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menegah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan Perguruan Tinggi (PT). Human Capital merupakan salah satu bagian yang penting dari proses produksi, hal ini berkaitan dengan investasi pekerja didalam
0 10 20 30
Jalan
Nasional Jalan Provinsi Kab/KotaJalan
1.39 2.57 22.46 Pa nj an g Ja la n (m et er ) Jenis Jalan
proses produksi. seluruh aktiitas produksi setidaknya butuh manusia sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan dalam proses produksi.
Gambar 2.3 Kondisi Angkatan Kerja Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015 Sumber: Statistik Angkatan Kerja Provinsi Jawa Tengah 2016
Berdasarkan Data yang dirilis BPS pada tahun 2015, sebanyak 19% atau 3156865 jiwa angkatan kerja Provinsi Jawa Tengah berpendidikan SMP, berikutnya sebesar 12% atau 1911979 jiwa berpendidikan SMA, 10% atau 1490823 jiwa berpendidikan SMK, 356249 jiwa atau 2% dari jumlah angkatan kerja berpendidikan Akademi/Diploma, dan sebanyak 6% atau 910816 jiwa adalah angkatan kerja dengan pendidikan universitas.
2.11 Tenaga Kerja
Badan Pusat Statistika (BPS) mendefinisikan tenaga kerja sebagai Penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja, yang memiliki pekerjaan namun sementara tidak bekerja, seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan dikategorikan bekerja. Tenaga kerja secara siginiikan
19% 32% 19% 12% 10% 2%6%
Angkatan Kerja Berdasar Tamatan Pendidikan
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan PDB menurut penelitian yang dilakukan Rahman et.al pada tahun 2016. Arbues et juga menyatakan tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan produksi, didalam penelitianna juga disebutkan bahwa tenaga kerja berpengaruh positi terhadap pertumbuhan ekonomi. Setidaknya terdapat 22.805.633 penduduk Provinsi Jawa Tengah yang terdefinisikan sebagai tenaga kerja pada tahun 2015.