15
BAB II
PROFIL KHALIFAH AL-MA’MUN
A. Kondisi Daulah Abbasiyah (Baghdad) 1. Kondisi Sosial Masyarakat Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbas atau Khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Kekuasaan yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750M) – 656 H (1258 M).1
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan ini. Pusat kekuasaan Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur seperti Persia, India, China, dan Nusantara dan wilayah Barat seperti negara-negara Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju timur melalui Tanjung Harapan di Afrika
Selatan. Wilayah imperium ini membentang sepanjang 6.500 kilometer dari Sungai Indus di India di sebelah timur sampai ke perbatasan barat Tunisia, Afrika Utara di sebelah barat dan seluas 3000 kilometer dari Aden, Yaman di selatan sampai pegunungan Armenia, Kaukasia di utara. Penduduk Daulah Abbasiyah terdiri dari berbagai etnik dan suku bangsa yang hidup di wilayah yang memiliki cuaca dan kondisi geografis yang sangat berbeda.2
Dari penjelasan di atas penulis memperjelas bahwa kemajuan Dinasti Abbasiyah dikarenakan letak kerajaan yang strategis sehingga adanya kesadaran masyarakat untuk bertani dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris.
Khalifah al-Mansur salah satu Khalifah Daulah Bani Abbasiyah dan pegawai-pegawainya yang mempunyai ide membuat ibu kota Baghdad menjadi berkembang. Tempatnya baik, berangin, udaranya nyaman, dibentengi oleh alam dan sulit untuk ditembus oleh serangan-serangan musuh, mudah mengadakan hubungan dengan kebanyakan wilayah-wilayah kerajaan Islam. Letaknya di tebing Sungai Dajlah dan melalui sungai itulah datang barang-barang dagangan dari India, Sind, Cina, Basrah, Ahwaz, Mausil, Diar Bakar dan Diar Rabi’ah.3 Penulis
2 Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern,
(Yogyakarta, LESFI, 2004), Cet. 2, h. 97-98
3 Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Pustaka Al-Husnah, 2003), h.
menyimpulkan bahwa letak kerajaan Abbasiyah yang membuat kemajuan dikarenakan usaha khalifah al-Mansur dan pegawainya yang senantiasa bersungguh-sungguh untuk membangun ibu kota sehingga dimudahkannya proses komunikasi dengan wilayah-wilayah lain.
Mula-mula yang dibangun ialah dua tembok, tembok sebelah dalam dan tembok sebelah luar. Ukuran garis bulatan tengah tembok sebelah dalam ialah 1,200 hasta, tingginya 35 hasta dan lebarnya dari sebelah bawah ialah 20 hasta. Sementara tembok sebelah luar, lebarnya dari sebelah bawah ialah 50 hasta dan dari sebelah atasnya 20 hasta dan tingginya 30 hasta. Lebar di antara kedua tembok itu ialah 60 hasta. Keseluruhan tembok tersebut mempunyai gerbang berhadapan dengan empat ruas jalan raya, dan masing-masing gerbang menghadap ke satu arah tertentu yang masing-masing mempunyai nama sendiri-sendiri yaitu gerbang Kufah, gerbang Basrah, gerbang Khurasan dan gerbang Syam. Di antara tiap-tiap gerbang itu terdapat kubah dibuat dari emas, di atas setiap kubah terdapat 28 menara. Pembangunan kota Baghdad menghabiskan dana sebesar 4.000,833 dirham, dan sebagian besar pekerja-pekerja yang terlibat dalam pembangunan itu adalah insinyur dan orang-orang kenamaan. Diantaranya adalah al-Hajjaj bin Artaah yang turut merancang
pembangunan kota itu, dan Imam Abu Hanifah yang bertugas menghitung batu-batu yang diperlukan.4
Dilihat dari banyaknya pembangunan penulis memperjelas adanya bukti bahwa kekayaan kerajaan Abbasiyah dan juga kekayaan sumber daya alamlah yang membuat pembangunan Daulah Abbasiyah berjalan dengan lancar.
Kehidupan sosial masyarakat Islam terdiri dari orang muslim dan non muslim (dzimmi). Dari segi etnis, orang muslim dibedakan atas orang Arab dan non Arab (‘ajam) seperti keturunan Turki, Persia, Qibthi, Syiria, Barbar, Andalusia (Vandal) dan lain sebagainya. Kehidupan sosial masyarakat pada mulanya, menunjukkan adanya struktur kelompok atau kelas yang terdiri dari yaitu sebagai berikut:
a. Kelas penguasa, yaitu kelompok orang Arab yang memegang kekuasaan.
b. Kelas menengah, yang terdiri dari orang Islam yang bukan Arab (penduduk asli suatu daerah yang kemudian masuk Islam).
c. Kelompok non muslim yang berada di bawah perlindungan pemerintah/kekuasaan Islam, disebut kaum dzimmi.
d. Kelompok kaum pekerja, yang terdiri dari kaum budak Belian; namun pada masa kejayaan peradaban Islam (Abbasiyah)
telah terjadi pembaharuan antara kelompok-kelompok tersebut.5
Dari kutipan di atas penulis berpendapat Dinasti Abbasiyah berdiri dikarenakan adanya gabungan oleh etnis lain, seperti golongan non Arab, golongan Khawarij dan Golongan Syi’ah yang bergabung sehingga menamai dirinya dengan kelompok Bani Hasyim, baik itu keturunan Abbas bin Abdul Muthalib maupun keturunan Ali bin Abi Thalib. Pada masa Dinasti Abbasiyah tidak terlalu menonjolkan kebudayaan Arab. Namun pada pemerintahan Abbasiyah tidak memandang etnis sebagai pertimbangan untuk tinggal di Dinasti Abbasiyah tersebut, namun untuk menjadi khalifah memang harus dari keturunan al-Abbas, tetapi untuk menjadi Gubernur, Wazir, dan pejabat lain boleh dari keturunan lain seperti Persia, Syiria, Turki dll. Namun pada kenyataannya toleransi Agama dan etnis sangat dijunjung tinggi pada masa pemerintahan Abbasiyah ini sehingga membuat pemerintahan ini sangatlah maju.
2. Kondisi Politik Masyarakat Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abdul Abbas al-Saffah (132 H-136 H/750-754 M), setelah ia berhasil mengalahkan Khalifah Marwan bin Muhammad, Khalifah Bani Umayyah yang terakhir pada 27 zulhijjah (132 H/750 M). setelah itu Dinasty Abbasiyah tumbuh dan berkembang pesat terutama pada masa Khalifah al-Mansur (136 H-158
H/754-775 M) sampai dengan masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (197 H-217 H/813-833 M).6
Awal mula kemajuan Abbasiyah yang dibangun oleh al-Manshur yaitu saat dia berkeliling di wilayahnya selama beberapa tahun sebelum dia menemukan situs yang sempurna untuk kota, suatu tempat antara Tigris dan Eufrat dimana kedua sungai itu begitu dekat satu tepi ke tepi yang lain. Persis di tengah-tengah wilayah ini, al-Manshur membangun cincin dinding yang mengelingkar sempurna, berdiameter satu mil, tinggi 98 kaki, dan ketebalan 145 kaki di bagian dasar. Kota di dalam donat besar ini sebabnya hanya satu kompleks istana besar, pusat saraf bagi kerajaan baru terbesar di dunia.7
Gerakan penggulingan imperium Umayyah ini sukses berkat organisasi tentara yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang terdiri dari orang Arab dan non Arab yang diperlakukan secara setara. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang pertama dapat ditaklukkan adalah wilayah Khurasan.
6 Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam I-II, (Padang: IAIN IB Press, 2001), Cet 1,
h. 9-10
Setelah ditaklukan, wilayah ini menjadi basis kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain disekitarnya.8
Dari ungkapan di atas penulis berkomentar bahwa keruntuhan Bani Umayyah dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu bersatunya kaum Arab dan non Arab yang dipimpin Abu Muslim Khurasani dengan jatuhnya kota Khurasan pada saat itu.
Setelah kemajuan pembangunan masa al-Mansur sebagai khalifah kedua, maka dilanjutkan oleh khalifah selanjutnya dan mengalami kejayaan pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun sebagai khalifah ke lima dan ke tujuh, yang terbentang di daerah-daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah Timur. Puncak kejayaaan pemerintahan Bani Abbas pada masa Khalifa Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun (183 H/800 M) Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi, dan politik. Pada tahun (174 H/791 M), Harun ar-Rasyid, atas permintaan Ratu Zubaidah, menunjuk ketiga anak laki-lakinya al-Amin, al-Ma’mun, dan al-Qasim sebagai calon-calon pengganti secara berturut-turut setelah kematiannya. Di sini kelemahan
8 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Harun. Karena sangat sayangnya pada Zubaidah, ia sering menuruti kemauan istrinya. Untuk memberikan latihan politik kepada anak-anaknya, Harun membagi imperium ke dalam tiga bagian. Al-Amin diberi tanggung jawab atas wilayah Barat, Ma’mun wilayah Timur, dan al-Qasim bertanggung jawab atas wilayah Mesopotamia.9
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa puncak masa kejayaan Abbasiyah yaitu pada masa Khalifah ar-Rasyid dan al-Ma’mun. Kasih sayang Khalifah ar-Rasyid kepada istrinya dan anaknya membuat ar-Rasyid memberi pendidikan kepada anaknya sehingga anak-anakanya mengerti tentang politik dan bertanggung jawab atas wilayah mereka masing-masing.
Ar-Rasyid membaiat anaknya Muhammad al-Amin sebagai “Putra Mahkota” pada hari Kamis Bulan Sya’ban (173 H/790 M), dan diberikan kekuasaan daerah Syam dan Irak. Kemudian juga membaiat anaknya Abdullah al-Ma’mun di Ra’fah pada tahun (183 H/799 M), dan diberi kekuasaan daerah Hamdan sampai akhir Masyriq (wilayah timur). Ketika masih menjadi putra mahkota, al-Ma’mun diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marv. Berkat bantuan wazirnya al-Fadhal bin Sahal, popularitas yang diperolah al-Ma’mun di daerah Persia semakin lama semakin meningkat yang kemudian mengakibatkan timbulnya perselisihan dengan kakaknya Khalifah
Amin. Oleh al-Amin, kedudukan al-Ma’mun sebagai putra mahkota dicopot, digantikan oleh putra al-Amin sendiri yang bernama Musa. Pada mulanya al-Ma’mun tidak berkeberatan untuk melepaskan kedudukannya tersebut, namun wazirnya, al-Fadhal bin Sahal mendesaknya untuk menolak tindakan pemecatan yang dilakukan oleh al-Amin.10
Ketegangan diantara al-Amin dan al-Ma’mun mulai muncul dan berkembang berkaitan dengan status otonomi propinsi Khurasan. Para perwira militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah al-Amin untuk menguasai propinsi penting ini, meskipun berarti harus menyingkirkan saudaranya sendiri al-Ma’mun, dan melanggar piagam perjanjian Makkah tahun (186 H/802 M). Desakan militer ini juga didukung oleh Al-Fadhl bin Ar-Rabi, hajib istana yang telah menjadi orang kepercayaan khalifah. Selama 2 tahun, pihak Baghdad mendesak al-Ma’mun agar mau tunduk kepada kekuasaan khalifah. Al-Ma’mun sendiri sebenarnya tidak melakukan persiapan yang memadai jika ternyata Baghdad menggunakan kekerasan. Kekuatan militernya sangat kecil dan kesetiaan mereka juga tidak dapat diandalkan. Akan tetapi, berkat nasihat menterinya al-Fadhal bin Sahal, ia menolak desakan Baghdad. Menurut al-Fadhal bin Sahal, al-Ma’mun bekerjasama dengan
para kepala suku dan pemimpin golongan tertentu di Khurasan yang kurang menyukai dominasi Baghdad atas negeri mereka.11
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa terjadinya perselisihan antara al-Amin dan al-Ma’mun dikarenakan al-Amin melanggar perjanjian Makkah sehingga membuat status otonomi daerah Khurasan menjadi kacau balau, dan al-Amin juga mengangkat Musa sebagai anaknya sebagai putra mahkota dan memaksa al-Ma’mun untuk melakukan kekerasan. Sehingga ada golongan tertentu membantu al-Ma’mun untu menjatuhkan al-Amin.
Perpecahan kedua saudara ini bertambah serius setelah al-Amin mengubah isi piagam wasiat Harun ar-Rasyid yang menyatakan “bahwa Harun ar-Rasyid akan melantik al-Ma’mun setelah al-Amin serta meletakkan wilayah Khurasan hingga Hamdan di bawah pemerintahan al-Ma’mun”, namun Khalifah al-Amin justru mengangkat Isa bin Isa menjadi gubernur Khurasan. Kemudian, sebuah angkatan perang, yang menurut sebuah riwayat, berjumlah 40 ribu orang, dipersiapkan untuk membebaskan Khurasan. Untuk menghadapi bala tentara yang besar ini, al-Ma’mun mengangkat Tahir bin al-Husain (158 H-206 H/775-822 M) untuk memimpin satu unit pasukan sekitar 5.000 orang. Tahir bin Al-Husain sendiri menyatakan bahwa ini merupakan misi bunuh diri. Akan
11 Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2010), h.
tetapi, ketika kedua pasukan bertempur di pinggir kota Rayy bulan Mei (195 H/811 M), Ali bin Isa dari pihak Baghdad terbunuh dan pasukannya kocar-kacir. Para sejarawan memandang perselisihan antara al-Ma’mun dan al-Amin sebagai perselisihan antara orang Persia dan orang-orang Arab. Karena dalam perselisihan tersebut, al-Ma’mun didukung oleh orang-orang Persia, sedangkan al-Amin yang ibunya orang Arab didukung oleh orang Arab. Ini berarti kemenangan pengaruh Persia atas pengaruh Arab.12
Terjadinya perang saudara ini penulis berpendapat karena kehausan al-Amin untuk berkuasa dan melakukan pelanggaran terhadap wasiat yang dibuat oleh ayah mereka, terlebih al-Amin mengangkat putranya dengan maksud menjatuhkan al-Ma’mun.
B. Biografi Al-Ma’mun 1. Masa Kecil Al-Ma’mun
Al-Ma’mun Abdullah Abdul Abbas ibn ar-Rasyid dilahirkan pada tanggal 14 September tahun (170 H/786 M), persisnya pada malam jum’at dipertengahan Bulan Rabiul Awwal. Malam itu bertepatan dengan kematian al-Hadi yang digantikan oleh ayahnya ar-Rasyid. Ibunya adalah mantan budak yang bernama Marajil yang kemudian dinikahi oleh
ayahnya. Dia meninggal saat dalam masa nifas setelah melahirkan al-Ma’mun.13
Sejak kecil al-Ma’mun sudah belajar banyak ilmu. Ia menimba ilmu hadis dari ayahnya, Hasyim, Ibad ibn Awwam, Yusuf ibn Athiyyah, Abu, Mu’awiyah adh-Dharir, Ismail ibn Aliyah, Hajjaj al-A’war, dan ulama-ulama lain pada zamanya.14
Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun ar-Rasyid menyerahkan kedua putranya al-Ma’mun dan al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab al-Muwatha karangan Imam Malik sendiri. Dalam waktu yang sangat singkat, al-Ma’mun telah menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tata negara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.15
Dari uraian ini bahwasanya penulis memperjelas keseriusan ar-Rasyid mendidik anaknya dan kesungguhan anaknya untuk memperoleh ilmu pengetahuan amatlah besar sehingga tercapailah apa yang diusahakan oleh mereka.
13
Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Al-Husnah, 2003), h. 115
14 Imam as-Suyuti, Tarikh Khulafa,(Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 325
Harun ar-Rasyid mempercayakan anak-anaknya dengan memberi tanggung jawab penuh kepada guru pribadi. Al-Ma’mun berada di bawah bimbingan Ja’far Ibn Yahya seorang yang bijak dalam berbicara, bijaksana dalam berpikir, murah hati dan pemaaf. Ja’far juga mengusulkan kepada Harun untuk mencalonkan al-Ma’mun sebagai khalifah yang kemudian disambut baik oleh al-Rasyid. Al-Ma’mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran beliau nyanyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh.16
Dalam at-Tabari dijelaskan bahwa sosok al-Ma’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang.17 Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sosok al-Ma’mun merupakan sosok yang berwibawa memiliki ketampanan dan memiliki kecerdasan. Kehidupan masa kecil al-Ma’mun dibuktikan dengan selalu mempelajari ilmu agama. Kitab yang dipelajari al-Ma’mun yang amat terkenal yaitu dari Imam Maliki al-Muwatha, yang mana
16 Ahmad Shalaby, Op. Cit., h. 115-116
17Michael Cooperson, “Al-Ma’mun”, (Oxford, Oneworld Publications, 2005),
kehidupan al-Ma’mun saat kecil ini lah yang sudah ditempa dengan pendidikan sehingga al-Ma’mun memiliki kepandaian yang sangat luar biasa.
2. Masa Remaja dan Dewasa al-Ma’mun
Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku di zamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.18
Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian masa keemasan Islam itu bernama al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas. Al-Ma’mun dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi Agama, seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dia mendorong dan menyukai diadakannya berbagai diskusi. Untuk mempromosikan ilmu pengetahuan ia mendirikan perpustakaan,
18
observatorium dan lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi berkembang dan dilindungi olehnya.19
Menurut penulis bahwa dengan didikan ayahnya sehingga Ma’mun memiliki kecerdasan intelektual yang sangat tinggi sehingga al-Ma’mun sendiri yang menjabat sebagai khalifah untuk senantiasa memajukan pendidikan dengan mempromosikan berbagai bidang pendidikan agar bertambahnya pengetahuan masyarakat Abbasiyah.
Al-Ma’mun menjadi khalifah berdasarkan pengangkatan dirinya sendiri setelah kematian saudaranya al-Amin. Pada tahun (197 H/813 M) bertepatan saat al-Ma’mun berumur 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Al-Ma’mun sering dipanggil dengan julukan Abu Ja’far.20
Khalifah al-Ma’mun terkenal sebagai seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, dan bertoleransi. Seandainya beliau mengatur rencana jahat untuk menyingkirkan orang, maka yang memaksa beliau berbuat demikian ialah keadaan dan masalah-masalah besar yang begitu mendesak. Beliau tidak melakukannya karena tunduk kepada hawa nafsu atau untuk memenuhi keinginan menumpahkan darah, tetapi sebaliknya untuk melenyapkan huru-hara dan pemberontakan. Fenomena lain ternyata kelihatan pada usaha-usaha pembunuhan yang digalakkan oleh al-Ma’mun. Pembunuhan tersebut
19 Masudul Hasan, History of Islam : Classical Periode 571-1258 C. E, Terj. Maman Ahmad,
Insan Nawawi, (Delhi, Adam Publishers, 1992), Cet. Ke-I, h. 219
terjadi apabila adanya ancaman terhadap seseorang yang dianggap ditakuti dan mengancam pemerintahan. Di samping itu, hal yang juga menyangkut diri al-Ma’mun.21
Khalifah al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi. Al-Ma’mun menikah dengan Buran anak perempuan al-Hasan bin Sahl salah satu menteri dalam pemerintahan Ma’mun yang juga masih saudara Fadhl wazir Ma’mun. Mengenai peristiwa ini Ibnu Thabatiba menceritakan bahwa al-Hasan telah mengeluarkan belanja besar serta menaburkan mutiara yang tiada terkira banyaknya karena perkawinan itu. Al-Hasan telah membagikan buah-buah tembikar, yamg diantaranya di dalamnya diletakan sekeping kertas kecil tertulis dengan nama salah satu perkebunanya. Siapa yang mendapatkan tembikar yang berisi kertas tersebut, maka akan diberikan kebun yang telah ditetapkan itu. Undangan yang diberikan terlalu besar sehingga al-Ma’mun menganggapnya sebagai pemborosan. Untuk menyambut Khalifah al-Ma’mun, al-Hasan telah membentangkan hamparan tenunan emas bertahtakan seribu butir mutiara.22
21 Hamka, Op. Cit., h. 275
Menurut penulis kecerdasan dan kebijakan seorang khalifah sangat lah penting, yang mana dengan adanya hal demikian Khalifah al-Ma’mun memberikan kebebasan berpikir. Dan sosok al-al-Ma’mun yang senantiasa tidak suka berhura-hura dan menjadi contoh bagi generasi penurus agar selalu berhemat.
Pada saat terjadinya perang saudara antara Ma’mun dengan al-Amin yang terdapatnya kemenangan oleh al-Ma’mun yaitu sebagai berikut:
a. Pemberontakan Abus Saraya (200 H/816 M)
Abus-Saraya as-Sari bin Mansur as-Syaibani, salah seorang panglima besar di dalam angkatan bersenjata yang dipimpin oleh Hartsama, Abus Saraya adalah tokoh Panglima yang berperang menentang al-Amin, dikarenakan Abus Saraya memberontak maka digantikanlah al-Hasan sebagai panglima besar dalam angkatan bersenjata yang dipimpin Hartsama.23
Yang melatar belakangi pemberontakan ini adalah dikarenakan lambatnya ia dan bala tentaranya menerima upah. Al-Hasan sudah pernah mengirim pasukan untuk melawannya namun terjadi kegagalan, sampai akhirnya al-Hasan meminta pertolongan Hartsamah untuk mengepung
23
pemberontak itu. Abus Saraya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan kota Kufah yang dikejar oleh tentara pemerintah, yang dapat menawannya setelah Abus Saraya mendapat cidera parah di dalam salah satu pertempuran, di mana tentaranya mengalami kekalahan besar. Abus-Saraya kemudian dibawa menghadap al-Hasan bin Sahal, yang kemudian memerintahkan supaya dia dibunuh dan disalibkan, yaitu pada tahun 200 H/816 M. Gerakan pemberontakan itu berjalan selama 10 bulan.24
b. Pemberontakan Nash bin Syabats (198 H-210 H/814 M-826 M)
Pemberontakan ini dilatar belakangi oleh Nasr bin Syabats ialah seorang bangsawan Arab yang melihat merosotannya kedudukan bangsa Arab dan kuatnya pengaruh bangsa Persia hasil dari pembunuhan tehadap al-Amin serta pemindahan kekuasaan kepada al-Ma’mun. Dia telah bangkit memimpin suatu pemberontakan untuk mempertahankan keturunan Arab. Pemberontakannya mulai pada tahun 198 H, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap al-Amin, dan menjadikan kota Yaksum di utara Syria sebagai pusat gerakannya. Khalifah al-Ma’mun telah memerintahkan Tahir
bin al-Husain supaya menyerahkan pemerintahan kota Baghdad kepada Al-Hasan bin Sahal dan keluar untuk memerangi Nasr.25
Namun Tahir kurang bersungguh-sungguh dalam peperangan melawan Nasr. Namun saat al-Ma’mun tiba di kota Baghdad dan melantik Abdullah bin Tahir untuk memerangi Nasr, dan menyerahkan pemerintahan di wilayah Khurasan kepada Tahir bin al-Husain. Abdullah sangan bersungguh-sungguh untuk memerangi Nasr, sehingga ia berhasil mengepungnya, yang mana Nasr terpaksa memohon agar di jamin keselamatannya. Khalifah al-Ma’mun lalu memberikan surat jaminan dan Nasr pun datang ke Baghdad dan menyerahkan diri pada tahun 210 H/826 M.26
c. Pemberontakan Baghdad dan pelantikan Ibrahim bin al-Mahdi sebagai khalifah. (202 H-210 H/818 M-826 M)
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Amin, al-Fadhal bin Sahal mencoba menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Dia telah melantik saudaranya al-Hasan bin Sahal sebagai pegawai pemerintah di Iraq. Al-Fadhal sendiri berkuasa atas seluruh wilayah Khurasan.
25 Ahmad Al-Usairy, Op. Cit., h. 233 26Ahmad Syalabi, Op. Cit., h. 117
Khalifah al-Ma’mun memejamkan mata dan tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Al-Fadhal bin Sahal juga telah menyingkirkan dua panglima yang telah membuat kemenangan, yaitu Tahir dan Harstamah agar berada jauh dari Baghdad. Selain itu Al-Fadhal melantik seorang dari golongan Alawiyah sebagai putra mahkota, dengan demikian dia telah merintis jalan bagi pemindahan kekuasaan dari golongan Abbasiyah kepada golongan Alawiyah.27
Pemberontakan ini terjadi pada tahun 202 H/818 M. Ibnu Aisyah adalah pendukung Ibrahim. Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan saat al-Ma’mun tiba di Baghdad, dan merencanakan rencana jahat pada tahun 210 H/826 M. Rencana jahat itu diketahui al-Ma’mun, sehingga ibnu Aisyah ditangkap dan dihukum. Kemudian al-Ma’mun memerintahkan pengawalnya untuk melacak keberadaan Ibrahim sampai akhirnya Ibrahim ditangkap dari tempat persembunyiannya. Ibrahim meminta pertimbangan untuk diampuni kesalahannya sampai pada akhirnya al-Ma’mun bersedia membebaskan Ibrahim dari hukumannya.28
27
Ibid, h. 118
d. Pemberontakan Zatti (216 H-219 H/831 M-834 M)
Menurut ibnu Khaldun Zatti merupakan kelompok dari berbagai keturunan yang banyak mengambil kesempatan untuk perlawanan sewaktu pihak tentara sedang mengalami peperangan. Mereka telah menutup jalan yang menuju ke Basrah, serta merusak kampung-kampung dan wilayah-wilayah. Mereka hanya bertujuan untuk menculik dan menimbulkan kekacauan. Gerakan ini muncul pada tahun 216 H/831 M. Al-Ma’mun berusaha untuk memerangi mereka, namun ketika mereka akan menduga akan mengalami kekalahan, kelompok ini melarikan diri ke kawasan-kawasan bukit yang tidak ada air.29
Namun gerakan ini berhasil diruntuhkan saat berakhirnya masa jabatan al-Ma’mun. Gerakan ini diruntuhkan oleh al-Mu’tashim pada tahun 219 H/834 M melalui seorang panglima bernama Ujaif bin Anbasah. Kelompok Zatti menyerahkan diri dan meminta jaminan atas keselamatan mereka. Mereka dipindahkan ke tempat yang bernama “Ain Zarbah” di negeri Turki. Dengan demikian berakhirlah kegiatan jahat mereka.30
29
Ahmad Syalabi, Op. Cit., h. 119
Sampai dengan masanya al-Ma’mun meninggal dunia pada tahun 218 H/833 M setelah berkuasa selama 20 tahun lamanya. Dia tidak menggantikan anaknya al-Abbas sebagai khalifah, padahal anaknya adalah panglima perang yang sangat terkenal, dia malah mengangkat saudaranya al-Mu’tashim sebagai khalifah karena ia lebih memiliki kelebihan dibandingkan anaknya al-Abbas dari sisi keberanian dan memimpin pemerintahan.31
Penulis berpendapat bahwa Khalifah al-Ma’mun yang menjadi sorotan sebagai pemimpin yang amat luar biasa atas kemajuan Abbasiyah tidak sembarangan mengangkat khalifah, karena banyak kriteria yang harus dipenuhi sehingga al-Ma’mun mengangkat saudaranya menjadi khalifah bukan anaknya.
C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah
Di kalangan umat Islam, sejalan dengan perkembangan akal pikiran yang menurut umat Islam memang harus dikembangkan, timbulah berbagai macam aliran dan keagamaan yag mempunyai sikap dan pandangan keagamaan yang berbeda-beda timbulnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal pada pertikaian politik yang kemudian merembes dan meningkat pada masalah keagamaan.32
31 Ahmad Usairy, Loc. Cit, h. 233
Mu’tazilah adalah gerakan yang timbul pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Gerakan ini mempunyai watak yang mana semata-mata tidak membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Namun walaupun gerakan ini merupakan gerakan keagamaan, dan tidak membentuk pasukan dan mengunuskan pedang, apabila ia sudah mempunyai kekuatan maka ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Seperti halnya pada saat Khalifah al-Ma’mun menganjurkan kepada para ulama untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk.33
Falsafah Ma’mun menghendaki supaya orang yang mengatakan al-Qur’an itu bukan makhluk hendaklah dipandang sebagai orang yang fasik dan menentang agama. Pandangan Mu’tazilah mengenai al-Qur’an adalah makhluk yaitu dikarenakan Mu’tazilah melihat al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang biasa dikenal. Perkataan yang menyatakan fikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau al-Qur’an terdiri dari kata-kata, sedangkan kata-kata itu baru, maka al-Qur’an itu pun baru. Selain itu sifat kalam al-Qur’an bukanlah sifat zat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan. Karena itu al-Qur’an adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan (Kalam) pada Lauh Mahfuz, atau Jibril atau utusanya.34
33 Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka AL-Husna, 2003), h.
294
Paham Mu’tazilah adalah suatu gerakan yang mengandalkan fikiran yang telah banyak membahas prinsip-prinsip keagamaan. Dan juga membahas beberapa peristiwa politik yang bersifat pemikiran. Sehingga membuat Khalifah al-Ma’mun menganut beberapa prinsip Mu’tazilah.35
Mengenai paham Mu’tazilah ini yang mana aliran rasional ini dipandang sebagai pembuat bid’ah oleh kaum Sunni. Perselisihan ini mencapai puncak pada zaman Khalifah al-Ma’mun menjadi khalifah (813-833 M), ketika itu aliran ini dipakai oleh al-Ma’mun sebagai aliran resmi Negara. Hal ini menjadi keresahan di kalangan mayoritas yang memegang aliran Sunni. Keresahan itu terfokus pada pemaksaan mu’tazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu serupa dengan Hadits dan sekaligus makhluk. Peristiwa itu disebut Mihnah36
Al-Ma’mun kemudian membuat kebijakan untuk meneliti keyakinan para pejabat Negara, seperti hakim, kadi, dan ulama, sehubungnya dengan mihnah. Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah akan dipecat. Ulama yang tetap mempertahankan pendapat akan disiksa, sebagaimana yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal.37
Khalifah al-Ma’mun begitu keras menggunakan kekuasaanya untuk memaksa rakyat berpegang kepada pendapat al-Qur’an itu makhluk. Banyak
35
Ibid, h. 295
36
Mihnah adalah lembaga yang dibangun oleh al-Ma’mun pada tahun 827 M ini dalam rangka untuk melanggengkan salah satu paham keagamaan yang ada yaitu Mu’tazilah. Lihat pada buku Azyumardi Azra dalam Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, VII
para penulis yang mengecam sikap keras al-Ma’mun yang menggunakan mata pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas para alim dan ulama yang menentang prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa menemukan alasan tentang sikap al-Ma’mun itu. Bagi al-Ma’mun, perkara tersebut sebenarnya tidak ada kaitan dengan dirinya. Andai ada kaitan dengannya tentu beliau sangat mudah memberi dan meminta maaf, karena sudah tabiat al-Ma’mun yang selalu suka memberi dan meminta maaf. Tetapi baginya perkara tersebut sudah menyangkut pokok aqidah, dan beliau berpendapat bahwa siapa yang tidak mengakuinya maka keluar dari aqidah Islam. Oleh karena itu, al-Ma’mun mengumumkan sebagai khalifah kaum muslimin yang mengurus masalah-masalah agama dan dunia untuk mereka, al-Ma’mun berkewajiban tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama itu dalam urusan kerajaan dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari pikiran yang beliau anggap salah dan sesat.38 Dari uraian di atas menurut penulis yaitu walaupun tindakan al’Ma’mun dianggap suatu aib dari kaum Mu’tazilah, namun mereka bukanlah golongan yang jahat, karena tindakan tersebut adalah tindakan penguasa, bukan tindakan Mu’tazilah. Adapun Mu’tazilah sendiri, mereka tetap berada dalam gerakan fikiran dan falsafah, tanpa menggunakan kekerasan dan kekacauan yang bersifat militer.
Paham Mu’tazilah yang dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun ini menganut beberapa prinsip yang mempertahankan kepercayaannya dengan
menggunakan kekuatan dan tekanan-tekanan.39 dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu tampaknya adalah konsekuensi logis dari dambaan mereka kearah pemikiran sistematis.40
Paham Mu’tazilah yang bersifat rasional inilah yang mempengaruhi pola pemikiran al-Ma’mun sehingga menjadi salah satu sebab mengapa beliau sangat mendukung segala macam kegiatan yang membutuhkan peran serta pemikiran seperti diadakannya diskusi dan berdebat, dan al-Ma’mun memakai kebijakan mihnah dalam pemerintahannya, yang bertujuan menguji kesetian para pejabat di pemerintahan. Sehingga berbagai macam pola pemikiran pun muncul, beliau juga membuat berbagai macam pembaharuan dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan, sehingga pada saat itu para ilmuan memiliki kebebasan untuk berpendapat dan menghasilkan karya ilmiah.41
Penulis berpendapat bahwa dengan adanya prinsip al-Ma’mun akan kepercayaan paham Mu’tazilah, tidak selalu memberikan dampak negatif. Karena dengan adanya bukti dengan memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat sehingga membuat kemajuan dalam ilmu pengetahuan sampai saat ini..
39
Rasionalistik adalah aliran pemikiran melalui akal atau logika yang awalnya berasal dari Yunani yang berhubungan dengan kosakta mengenai pikiran atau kata sebagai pendapat atau pernyataan. Lihat di buku Afraniati Affan, logika Dasar, (Padang: Hayfa Press, 2009), h. 1
40 Didin Saefudin, Op. Cit., h. 171