• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INFEKSI

Schistosoma

japonicum

PADA

HOSPES

RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU,

KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

THE INFECTION RATE OF Schistosoma japonicum IN RATS IN NAPU HIGHLAND, POSO DISTRIC, CENTRAL SULAWESI IN 2012

Made Agus Nurjana*, Samarang

Balai Litbang P2B2 Donggala, Balitbangkes, Kemenkes RI, Jl. Masitudju No. 58 Desa Labuan Panimba, Kec. Labuan, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

*Koresponsi Penulis: agusmd81@gmail.com

Submitted : 05-03-2013; Revised : 25-04-2013; Accepted : 14-08-2013

Abstrak

Tikus merupakan salah satu mamalia yang dapat menjadi sumber penularan di daerah endemis schistosomiasis. Telah dilakukan penangkapan tikus dengan perangkap di 22 daerah fokus keong yang tersebar di 6 desa di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah untuk mengetahui tingkat infeksi Schistosoma japonicum pada tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat infeksi pada tikus sebesar 22,7% (5/22), dimana tingkat infeksi pada Rattus norvegicus lebih tinggi dibandingkan dengan Rattus exulans. Uji statistik dengan Fisher exact menunjukkan bahwa ada hubungan antara spesies tikus dengan infeksi cacing Schistosoma japonicum (P = 0, 039). Pengendalian tikus sangat sulit dilakukan sehingga diperlukan kerja sama lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Pertanian, Kehutanan dan Taman Nasional Lore Lindu.

Kata kunci: Schistosoma japonicum, tikus, Dataran Tinggi Napu

Abstract

Rat is one of the mammals that can be the source of transmission in endemic areas schistosomiasis. Rat collection was done by using trap in 22 foci that spread in 6 villages in Napu Highland, Poso District Central Sulawesi. This study was done to investigate the infection rate of Schistosoma japonicum in rats. The result showed that infection rate of Schistosoma japonicum in rats was 22.7% (5/22). The infection rate in Rattus norvergicus was higher then in Rattus exulans. Fisher exact test showed that there is a relationship between species of rats and schistosomiasis infection (P=0.039). To control rat’s population is difficult, therefore to control the disease inter sectoral cooperation Ministry of Health, Agriculture, Foresty, and Lore Lindu National Park is needed.

Key words: Schistosoma japonicum, rat, Napu Highland

Pendahuluan

Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh spesies cacing Schistosoma

japonicum, salah satu cacing Trematoda yang

tinggal dalam pembuluh darah vena dan merupakan salah satu penyakit tertua dan penting di dunia selain malaria.1, 2 Diketahui ada empat spesies

schistosoma yang dapat menimbulkan penyakit

pada manusia yaitu Schistosoma haematobium (S.

haematobium), S. mansoni, S. japonicum serta S. mekongi1,3 yang juga dikenal sebagai bilharzias.4

Schistosoma japonicum dianggap sebagai cacing

yang paling berbahaya dibandingkan dengan schis-tosoma yang lain, karena jumlah telur yang

(2)

dihasil-kan paling banyak, ukuran telur yang kecil memper-mudah terjadinya back washing, banyak memiliki

reservoir host, sulit diobati dan dapat

meng-akibatkan kematian.1,5

Di Indonesia schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan hanya ditemu-kan di Sulawesi Tengah, di tiga daerah yaitu datar-an tinggi Napu, Lindu ddatar-an Bada.1,6 Pengendalian schistosomiasis telah dilakukan dari tahun 1975 hingga sekarang. Hasil pemberantasan yang dilaku-kan dapat menurundilaku-kan prevalensi dengan sangat signifikan, tetapi reinfeksi tetap terjadi sehingga prevalensi schistosomiasis baik pada manusia, tikus maupun siput penular berfluktuasi. Hal ini disebab-kan karena siklus penularan masih berlangsung terus.7

Hewan pejamu yang berperan sebagai reser-voir cacing tersebut adalah mamalia di antaranya rusa, sapi, kerbau, domba, babi, anjing, tikus dan celurut serta hewan pengerat lainnya.8 Ketidak-berhasilan pengendalian schistosomiasis salah satu-nya adalah karena adasatu-nya siklus silvatik yang ter-jadi di alam. Peran ini dilakukan oleh hewan liar termasuk tikus. Diketahui bahwa tikus termasuk anggota familia Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoology (ilmu hewan) menggolongkannya ke dalam ordo Rodensia (hewan yang mengerat), sub ordo Myomorpha, famili Muridae, dan sub famili Murinae.9,10 Tikus adalah hewan mengerat (rodensia) yang lebih di-kenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan penggangu yang menjijikkan di perumahan. Belum banyak diketahui dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat hidup atau kegiatan manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan penyakit.9

Penyakit yang bersumber dari mamalia kecil liar ini tergolong ke dalam penyakit zoonotik yang masih sangat sedikit mendapat perhatian dan dilaporkan di Indonesia.11 Penelitian pada hewan di lembah Napu tahun 1981 yang dilakukan di tiga desa (Maholo, Tamadue dan Winomanga) dengan jumlah penduduk 755 orang didapatkan angka infeksi schistosomiasis 56% dari 633 tinja yang di-periksa. Angka infeksi tikus adalah 1,65% dan angka infeksi siput 4%. Tahun 1982 didapatkan kasus schistosomiasis pada tikus dengan angka infeksi 11,9%, angka infeksi siput 1,7%.12

Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia.13 Pengendalian dan pemberantasan schistosomiasis pada manusia tidak akan terlaksana tanpa pemberantasan schistose-miasis pada hewan peliharaan dan hewan liar. Untuk itu perlu diketahui tingkat infeksi schisto-somiasis pada tikus yang merupakan salah satu hospes reservoir schistosomiasis yang tertangkap di daerah fokus (daerah ditemukan keong

Oncomela-nia hupensis linduensis), sehingga informasi yang

dihasilkan dapat menjadi masukan serta pertim-bangan untuk pengambilan kebijakan dalam upaya pengendalian schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Metode

Bahan dan Cara

Penelitian ini merupakan penelitian observa-sional yang dilaksanakan di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah selama 2 bulan (Mei s/d Juni 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh tikus yang tertangkap di areal daerah endemis schistosomiasis, baik menggunakan pe-rangkap mati (snap trap) ataupun pepe-rangkap hidup (live trap). Pemasangan perangkap dilakukan di 22 daerah fokus yang tersebar di 6 desa di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Perangkap dipasang sebanyak 71 buah yang terdiri dari 10 buah perangkap hidup dan 61 buah perangkap mati per daerah fokus.

Perangkap dipasang sore hari di daerah fokus yang dicurigai terdapat tikus dan dibiarkan selama satu malam. Keesokan harinya diperiksa dan diambil untuk kemudian dipasang kembali pada sore hari di lokasi fokus yang berbeda. Tiap-tiap fokus dipasang perangkap satu kali dengan umpan yang diberikan berupa kelapa bakar dan ubi. Tikus yang tertangkap selanjutnya diperiksa di laborato-rium dengan cara pembedahan (sectio) untuk men-cari cacing S. japonicum dewasa. Tikus dimatikan dengan cara memasukkan ke dalam toples yang berisi kapas yang mengandung eter.

Cara Identifikasi Tikus

Sebelum dibedah tikus terlebih dahulu diidentifikasi jenisnya, diukur panjang dari ke-seluruhan badan, ekor, telapak kaki, telinga dan diamati warna bulu punggung serta perut dan ditimbang beratnya.9,14,15 Tikus yang umumnya ditemukan di daerah endemis schistosomiasis

(3)

diantaranya yaitu; Tikus got Rattus norvegicus (Berkenhout), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 300-400 mm, ekor, 170-230 mm, kaki belakang 42-47 mm, telingga 18-22 mm. Rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut kelabu. Tikus wirok Bandicola indica (Bechstein), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 400-580 mm, ekor 160-315 mm, kaki belakang 47-53 mm, telinga 29-32 mm. rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas dan rambut bagian perut coklat hitam. Tikus rumah Rattus rattus diardi (Jentink) atau R. tanezumi, dengan ciri-ciri: panjang total ujung kepala sampai ekor 220-370 mm, ekor 101-180 mm, kaki belakang 20-39 mm, telinga 13-23 mm. rumus mamae 2+3 = 10, warna rambut badan atas coklat tua dan rambut badan bawah (perut) coklat tua kelabu. Tikus ladang Rattus exulans (Peale), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 139-365 mm, ekor 108-147 mm, kaki belakang 24-35 mm, telinga 11-28 mm. rumus mamae 2+2 = 8, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putih kelabu. Tikus belukar Rattus timanicus (Miller), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 245-395 mm, ekor 123-225 mm, kaki belakang 24-42 mm, telinga 12-29 mm. rumus mamae 2+3 = 10, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putim krem. Tikus dada putih Niviventer sp (Marshall, 1976), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 187-370 mm, ekor 100-210 mm, kaki belakang 18-33 mm, telinga 16-32 mm. Rumus mamae 2+2 = 8, rambut badan atas kuning coklat kemerahan dan rambut bagian perut putih. Tikus sawah Rattus argentiventer (Robinson & Kloss), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 270-370 mm, ekor 130-192 mm, kaki belakang 32-39 mm, telinga 18-21 mm. rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas coklat muda berbintik-bintik putih, rambut bagian perut putih atau coklat pucat. Mencit rumah Mus

muscululus (Linnaeus), dengan ciri-ciri: panjang

ujung kepala sampai ekor kurang dari 175 mm, ekor 81-108 mm, kaki belakang 12-18 mm, telinga 8-12 mm. rumus mamae 3+2 = 10, warna rambut badan atas dan bawah coklat kelabu.

Cara Pembedahan Tikus

Tikus yang terangkap baik hidup maupun mati selanjutnya dibedah menggunakan disecting

set. Tikus yang telah mati/pingsan diletakkan diatas steroform dalam posisi terlentang, kaki depan dan

belakang direntangkan dengan bantuan jarum

pinning. Gunting kulit pada bagian perut secara lateral, sehingga hati dan usus terlihat. Keluarkan organ dalam seperti paru-paru, hati dan usus, kemudian hati dan paru-paru diambil sedikit lalu dihancurkan diatas kaca benda lalu ditutup dengan

cover glass, selanjutnya diperiksa di bawah

mikroskop untuk mencari telur cacing S. japonicum. Organ-organ lainnya diperiksa di bawah mikroskop

disecting untuk mencari cacing S. japonicum

dewasa terutama pada vena hati dan vena mesen-trika (usus).7,14 Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan distribusi frekuensi tikus yang tertangkap kemudian dilaku-kan uji hubungan antara jenis tikus yang tertangkap dengan tingkat infeksi Schistosoma japonicum dengan menggunakan program peng-olahan data (STATA Versi 11).

Hasil

Jumlah tikus yang tertangkap perdesa dapat dilihat pada gambar 1. Tikus paling banyak ter-tangkap di Desa Alitupu dan Mekarsari yaitu masing-masing enam ekor tikus, sedangkan paling sedikit ditemukan di Desa Kaduwa’a hanya satu ekor tikus. Desa Tamadue Desa Kaduwa'a Desa Mekarsari Desa Wuasa Desa Dodolo Desa Alitupu Desa Fokus 6 5 4 3 2 1 0 Ju mla h tiku s te rta n g ka p

Gambar 1. Grafik distribusi tikus yang tertangkap menurut desa fokus di Dataran Tinggi

Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi

Tengah, Mei-Juni 2012

Hasil identifikasi tikus berdasarkan morfo-logi menunjukkan bahwa terdapat dua jenis tikus yang tertangkap yaitu Rattus exulans (R. exulans) sebanyak 14 ekor dan Rattus norvegicus (R.

norvegicus) sebanyak 8 ekor. Tingkat infeksi cacing Sistosoma pada tikus secara keseluruhan adalah

22,7% (5/22), dimana infeksi pada R. norvegicus lebih tinggi (50%) dibandingkan dengan R. exulans (7,14 %) (Gambar 2).

(4)

Rattus exulans Rattus norvegicus Spesies Tikus 14 12 10 8 6 4 2 0 Jum lah tiku s t ert ang kap 50% 7,14% positif negatif Schistosoma japonicum

Gambar 2. Grafik persentasi positif cacing S. japonicum pada tikus yang tertangkap di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Mei-Juni 2012 Analisis dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan antara spesies tikus dengan infeksi schistosomiasis. Uji dilakukan dengan Fisher’s

exact test, hasil uji menunjukkan bahwa ada

hubungan antara keduanya (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tikus liar jenis R. norvegicus. lebih besar kemungkinan untuk terinfeksi S.

japo-nicum dibandingkan dengan R. exulans.

Pembahasan

Prevalensi schistosomiasis di daerah endemis Napu dan Lindu sudah sangat rendah setelah dilakukan pemberantasan selama 29 tahun sejak tahun 1975. Pemberantasan dengan hanya memberi obat kepada penduduk tidak akan efektif karena penularan akan terus berlangsung karena adanya siklus silvatik di alam. Schistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, yang se-lain menginfeksi manusia juga menginfeksi hewan mamalia. Walaupun prevalensi pada manusia telah rendah tetapi akan terjadi reinfeksi secara terus menerus karena adanya hospes reser-voir dan hospes perantaranya.7 Salah satu hewan mamalia yang dapat menjadi sumber penularan schistose-maisis adalah hewan dari jenis Rodensia (tikus). Binatang ini termasuk binatang nokturna, keluar sarangnya dan aktif pada malam hari untuk mencari makan dan pada siang hari mereka berlindung di dalam lubang atau semak,10 oleh karena itu perang-kap dipasang pada malam hari. Selain itu tikus dikenal juga sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir semua habitat baik perumahan penduduk maupun daerah hutan (Gambar 3).9

Gambar 3. Penyebaran Tikus Menurut Habitat

M musculus R. r diardi R. norvegicus R. exulans R. argentiventer R. tiomanicus R. niniventer

(5)

Tikus yang berhasil ditangkap pada 22 titik fokus di enam desa sebanyak dua spesies terdiri dari

R. norvegicus (Berkenhout) dan R. exulans (Peale)

yang juga pernah dilaporkan tertangkap di Danau Lindu dan Bada yang merupakan daerah endemis schistosomiasis di Sulawesi Tengah.6,16 Jumlah tikus yang tertangkap relatif sedikit, kemungkinan disebabkan karena pemasangan perangkap dilaku-kan pada musim hujan. Infeksi S. japonicum pada tikus yang tertangkap sebanyak 22,7% (5/22); angka ini lebih rendah dibandingkan dengan beber-apa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Dataran Tinggi Napu maupun di Lindu.2,7,8 Penelitian Carney, dkk tahun 1978 menemukan infeksi pada R. exulans sebesar 7 %, kemudian pada tahun 1981 di Dataran Tinggi Napu menemukan tingkat infeksi pada tikus 1,65 % dan 4,8% setelah 6 bulan pengobatan penduduk. Penelitian Hadidjaja, dkk tahun 1981 di Lindu menemukan tingkat infeksi 2,44 % dan tahun 1982 di Napu tingkat infeksi pada tikus sebesar 11,9 % dan setelah dilakukan upaya pemberantasan di Napu angka infeksi tikus turun menjadi 1,32 %. Penelitian di Lembah Besoa oleh Renymanora, dkk tahun 1986-1987 menemukan tingkat infeksi tikus sebesar 2,7%.8,12 Iskandar dan Luweno juga pernah melaporkan tingkat infeksi tikus di Napu sebesar 5,88% (2/34).16 Pengamatan schistosomiasis di Napu tahun 2001-2004 menunjukkan bahwa infeksi pada tikus berturut-turut 6,69%, 2,34%, 4,21% dan 5,79% sedangkan di Lindu berturut-turut 0%, 3,70%, 2,17% dan 3,71%.7 Survei yang pernah dilakukan oleh Loka Litbang P2B2 Donggala (sekarang Balai Litbang P2B2 Donggala) pada tahun 2008 menemukan tingkat infeksi tikus yang lebih tinggi yaitu mencapai 55,56% di Lindu dan 37,5% di Napu.6

Tingkat infeksi pada tikus jenis R. norvegicus ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan R.

exulans dan hasil uji dengan Fisher exact test juga

menunjukkan ada hubungan antara keduanya, namun nilai CI (Confidence Interval) sangat lebar sehingga hubungan yang nampak antara keduanya kemungkinan hanya chance (kebetulan). Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah tikus yang ter-tangkap pada penelitian ini relatif sedikit. Namun bila dikaitkan dengan perilaku tikus dan keberadaan

sercaria pada aliran air, maka R. norvegicus lebih

besar kemungkinan untuk terinfeksi Schistosoma

japonicum dibandingkan dengan R. exulans, karena R. norvegicus lebih banyak kontak dengan air.

Infeksi dapat terjadi pada saat tikus kontak dengan air yang infektif (mengandung sercaria).17,18,19

Sercaria masuk ke dalam aliran darah

me-lalui kulit manusia maupun mamalia lainnya dengan menggunakan ekornya sebagai pendorong. Di dalam tubuh manusia serkaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah umum, dan menjadi dewasa di dalam hati. Cacing dewasa kemudian bermigrasi ke habitatnya masing-masing sesuai dengan spesiesnya. S. japonicum akan tinggal di pembuluh darah vena sekitar usus dan hati, misalnya vena

porta hepatica dan vena mesenterica superior. Di

dalam habitat inilah cacing betina akan bertelur mulai dari beberapa butir sampai beberapa ratus per hari. Kemudian telur cacing terbawa oleh darah ke jaringan usus dan dikeluarkan bersama dengan tinja. Di dalam air, telur akan menetas dan keluar larva yang disebut mirasidia. Mirasidia yang keluar dari telur akan mencari siput yang sesuai untuk perkembangbiakan lebih lanjut. Di dalam tubuh siput mirasidia akan berubah bentuk menjadi sporo-kista induk, kemudian menjadi sporosporo-kista anak dan berubah menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput secara periodik dan berenang dalam air menunggu hospes definitive untuk diinfeksi. Manusia maupun mamalia lainnya yang melewati

perairan yang mengandung sercaria akan

tertular.1,3,18,19

R. norvegicus (tikus got) menyukai

tempat-tempat yang agak basah seperti saluran pembuang-an air/seppembuang-anjpembuang-ang alirpembuang-an sungai. Selain itu tikus tersebut mempunyai kebiasaan menggali lubang di tanah hingga 2-3 meter tanpa kesulitan dan hidup di lubang tersebut, berenang dan menyelam, meng-gigit benda-benda keras seperti kayu bangunan, alumunium, hidup dalam rumah, gedung, di luar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran dalam tanah//got.9

R. exulans bertempat tinggal di belukar

pinggir hutan.14 Karena ukurannya yang relatif kecil maka tikus jenis ini sangat pandai memanjat dan sering bersarang di pepohonan, menggigit benda-benda yang keras, hidup di lubang pohon maupun tanaman menjalar. Jenis tikus ini banyak terdapat di semak-semak pinggiran hutan dan kadang-kadang masuk ke rumah, dikenal juga sebagai hama padi di ladang/sawah.9

Pengendalian tikus sangat sulit dilakukan karena hewan ini mempunyai kemampuan

(6)

ber-kembangbiak dengan cepat dan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan serta memiliki indera peraba, perasa dan pendengaran yang baik. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya membersihkan lingkungan dan rerumputan, semak-semak dan tempat persembuyian tikus, membongkar liang, menguyur liang dengan air, membunuh dengan

gropyokan, pengemposan (asap blerang) dan

tanaman perangkap/TBS (Traf Barrier System).10 Peran pengambil kebijakan juga sangat penting agar pengendalian tikus dapat diorganisir dengan baik, terlebih lokasi tempat hidup tikus di Napu adalah daerah hutan yang merupakan wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

Kesimpulan

Infeksi Schistosoma japonicum pada hospes reservoir tikus di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah mencapai 22,7% (5/22). Jenis tikus yang tertangkap yaitu Rattus norvegicus dan Rattus exulans, dan infeksi tertinggi ditemukan pada jenis Rattus norvegicus.

Saran

Pengendalian tikus liar sangat sulit dilakukan sehingga perlu adanya kerja sama lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Pertanian, Kehutan-an dKehutan-an TamKehutan-an Nasional Lore Lindu.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, Kepala Puskesmas Maholo yang telah mem-berikan izin pelaksanaan penelitian ini. Ucapan yang sama ditujukan kepada teman-teman peneliti dan staf Balai Litbang P2B2 Donggala, staf Laboratorium Schistosomiasis di Napu yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan baik di lapangan maupun dalam penyusunan artikel ini. Daftar Pustaka

1. Sudomo M. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia Orasi Pengukuhan Professor Riset Entomologi dan Moluska; Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2008.

2. Tjitra E. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1994; 96:31-6.

3. Soedarto. Penyakit penyakit infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika; 1990.

4. Chernin J. Parasitology. USA & Canada: Taylor & Francis Inc; 2000.

5. Sandjaja B. Parasitologi Kedokteran. Helmintologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka; 2007. 6. Jastal, Gardjito TA, Anastasia H, Mujiyanto.

Analisis Spasial epidemiologi schistosomiasis menggunakan pengindraan jauh dan system informasi geografis di Lembah Napu dan Lindu Kab. Donggala. Donggala: Loka Litbang P2B2 Donggala; 2008.

7. Sudomo M, Pretty, Sasono MD. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2007; 35(1):36-45.

8. Iskandar T. Tinjauan schistosomiasis pada hewan dan manusia di Lembah Napu, Lembah Besoa dan Lembah Danau Lindu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Loka Karya Nasional Penyakit Zoonosis; 2005; Bogor. p. 228-34

9. Departemen Kesehatan, Dirjen P2M & PL. Pedoman pengendalian Tikus (Khusus di Rumah Sakit). Jakarta; 2002.

10. Syamsuddin. Tingkah laku Tikus dan pengendalian-nya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII; 2007; Sulawesi Selatan.

11. Nurisa I, Ristiyanto. Penyakit bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2005; 4(3):308-19.

12. Hadidjaja P. Important trematodes in man in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 1989; 17(2):107-13.

13. Ridwan Y. Potensi hewan reservoar dalam penularan schistosomiasis pada manusia di Sulawesi Tengah; 2004.

14. Departemen Kesehatan, Direktorat P2B2 Ditjen PPM & PLP. Petunjuk teknis pemberantasan Schistosomiasis (penyakit demam keong); 1989. 15. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Buku Saku

Rodent; 2012

16. Iskandar T, Lumeno HH. Isolasi penyebab demam keong dari tikus liar di sekitar Danau Lindu Sulawesi Tengah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2002; Bogor. p. 389-93. 17. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah,

Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1985.

18. Miyazaki I. An illustrated book of helmintic zoonoses. Tokyo: International Medical Foundation of Japan; 1991.

1. Garcia L.S, Bruckner D.A. Diagnostic Parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996. p. 256-72

Gambar

Gambar  1.  Grafik  distribusi  tikus  yang  tertangkap  menurut  desa  fokus  di  Dataran  Tinggi  Napu,  Kabupaten  Poso,  Sulawesi  Tengah, Mei-Juni 2012
Gambar 3. Penyebaran Tikus Menurut Habitat M musculus R. r diardi R. norvegicus R. exulans  R

Referensi

Dokumen terkait

Kolom Site Id dan Nama Site dapat diisi dengan melakukan pencarian menggunakan tombol search site yang tersedia maka akan muncul pop up halaman kunci, sedangkan

Berdasarkan hasil wawancara pembahasan mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi KUA Kecamatan Mandau dalam Melaksanakan Pelayanan dan Bimbingan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa problematika pendaftaran tanah wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang adalah 1) masih kurangnya pemahaman masyarakat

Diketahui kriteria yang diharapkan dari Pengawas Menelan Obat adalah berusia diatas 17 tahun, perempuan, tidak bekerja, pendidikan minimal SMA mempunyai hubungan kekerabatan,

Hasil micrograph lempung sebelum diakivasi (a) dan sesudah diaktivasi (b) Hasil micrograph pada Gambar 1 (a) dan (b), menunjukan bahwa porositas lempung sebelum aktivasi

Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 85/KPTS/BPBD- SS/2017 tentang Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi

Untuk mengembalikan ke kondisi normal, pasokan gas ditambahkan melalui katup gas sampai putaran kembali normal (putaran generator mencapai 1500 rpm) Sistem kontrol dual fuel juga

Kedua, hasil scoring risiko yang telah dan mungkin terjadi menunjukan 19% risiko yang ada pada koperasi simpan pinjam berada pada level high, 59% risiko yang terdapat