• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam perannya untuk menciptakan dan mempertahankan suatu budaya ( Baylon &Maglaya, 1978 dalam Rasmun, 2001). Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998)

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai arti yang strategis dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sistem keluarga merupakan sistem terbuka atau sistem sosial yang hidup, yang terdiri dari beberapa kompenen yaitu pasangan suami istri , orang tua, anak, kakak-adik, kakek-nenek, dan sebagainya. Semua sistem ini saling berinteraksi saling ketergantungan dan saling menentukan satu sama lain. Lingkungan eksternal seperti pendidikan, sistem hukum, sistem politik, komunikasi, kesehatan, agama dan sistem sosial dapat mempengaruhi sistem di dalam keluarga, norma-norma yang akan berkembang sesuai dengan pengalaman masing-masing keluarga dalam menerima pengalaman masing-masing keluarga dalam menerima pengaruh lingkungan tersebut (Effendy, 1998).

2.1.1 Peranan keluarga

Peran keluarga menggambarkan hubungan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, keagamaan dan kegiatan yang berhubungan dengan perilaku

(2)

individu, dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan pola dan perilaku dalam keluarga, kelompok serta masyarakat.

Berbagai peranan keluarga menurut Martono (2002), yaitu sebagai berikut: 1. Peranan ayah, ayah sebagai suami dari istri dan ayah bagi anak-anak,

berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosial serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2. Peranan ibu, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peran untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Pelindung dan sebagai anggota masyarakatdari lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga.

3. Peranan anak, anak-anak melaksanakan peran psikososialsesuai dengan tingkat perkembangannya baik secara fisik, emosional, sosial dan spiritual.

2.1.2 Fungsi keluarga

Indonesia membagi fungsi keluarga menjadi delapan dengan bentuk operasional yang dapat dilakukan oleh keluarga secara umum (UU No. 52 Tahun 2009) yaitu:

1. Fungsi keagamaan

Membina norma/ ajaran sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga, menerjemahkan ajaran agama/ norma kedalam tingkah laku hidup sehari-hari seluruh anggota keluarga, memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari ajaran agama, melengkapi dan

(3)

menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang tidak atau kurang diperolehnya di sekolah atau di masyarakat, membina rasa, sikap dan praktik kehidupan keluarga yang berlandaskan agama.

2. Fungsi budaya

Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan, membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai, membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga, anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia, membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berprilaku yang baik (positif) sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi, membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, dan seimbang dengan budaya bangsa. 3. Fungsi cinta kasih

Menumbuh kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar anggota keluarga (suami-istri-anak) ke dalam simbol-simbol yang nyata (ucapan, tingkah laku) secara optimal dan terus menerus, membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga maupun antara satu keluarga dengan yang lain, membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dalam keluarga secara serasi, selaras, dan seimbang. Membina rasa sikap, dan praktik hidup keluarga yang mampu memberi dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup yang ideal.

(4)

4. Fungsi perlindungan

Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga, baik dari rasa tidak aman yang timbul daridalam maupun dari luar keluarga, membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikisdari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar, membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga.

5. Fungsi reproduksi

Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun keluarga disekitarnya, memberikan contoh pengalaman kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental. Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga, mengembangkan kehidupan reproduksi sehat.

6. Fungsi sosialisasi

Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak yang pertama dan yang utama, menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpainya, baik dilingkungan sekolah maupun masyarakat. Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-hal yang diperlukannya untuk meningkatkan kedewasaan dan kematangan (fisik dan mental), yang kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat. Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam

(5)

keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orangtua dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama . 7. Fungsi ekonomi

Melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun didalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan perkembangan kehidupan keluarga. Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran keluarga, mengatur waktu sehingga kegiatan orangtua di luar rumah dan perhatiaannya terhadap anggota keluarga berjalan serasi, selaras, seimbang, membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga.

8. Fungsi pelestarian lingkungan

Membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan inter dan ekstern keluarga. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi dan selaras antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat.

2.2 Pola asuh keluarga 2.2.1 Pengertian

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua, yang tidak hanya meliputi pemenuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar dapat hidup selaras dengan lingkungan. Ada tiga jenis pola asuh yaitu pertama; pola asuh otoriter dimana orang tua membatasi dan menghukum, menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua. Kedua; pola asuh demokrasi ; yaitu pola

(6)

asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Sedangkan yang terakhir adalah pola asuh permisif; dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.

Menurut Wahyuning (2003) Pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

2.2.2 Dimensi Pola Asuh

Baumrind (1994) mengemukakan 4 dimensi pola asuh yaitu:

1. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan laku yang sudah dibuat sebelumnya.

2. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child

Communication): menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau

menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.

3. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukungan prestasi, sosial, dan emosi dari orang tua terhadap anak.

(7)

4. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan keterlibatan orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan kebahagian anak.

2.2.3 Jenis Pola Asuh 1. Pola asuh otoriter

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh yang mengendalikan suatu perilaku secara otoriter menggunakan kekuasaan. Pola asuh yang otoriter berhubungan dengan remaja, kegelisahan mengenai perbandingan masyarakat, kegagalan untuk mengambil inisiatif dalam suatu tindakan, dan tidak efektifnya interaksi di dalam masyarakat

Dalam pola asuh ini orang tua menerapkan seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak, cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa, menghendaki ketaatan mutlak. Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan orang tua. Apapun yang dilakukan oleh anak ditentukan oleh orang tua. Anak tidak mempunyai pilihan dalam melakukan kegiatan yang ia inginkan, karena semua sudah ditentukan oleh orang tua. Tugas dan kewajiban orang tua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang diinginkan dan harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Selain itu, mereka beranggapan bahwa orang tua harus bertanggungjawab penuh terhadap perilaku anak dan menjadi orang tua yang otoriter merupakan jaminan bahwa anak akan berperilaku baik. Orang tua yakin bahwa perilaku anak dapat diubah sesuai dengan keinginan orang tua dengan cara memaksakan keyakinan, nilai, perilaku sesuai dengaan kehendak orangtua.

(8)

Dengan demikian pengasuhan yang otoriter akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak kelak yang pada gilirannya anak sulit mengembangkan potensi yang dimiliki, karena harus mengikuti apa yang dikehendaki orangtua, walau bertentangan dengan keinginan anak. Pola asuh ini juga dapat menyebabkan anak menjadi depresi dan stres karena selalu ditekan dan dipaksa untuk menurut apa kata orangtua, padahal mereka tidak menghendaki. Untuk itu sebaiknya setiap orangtua menghindari pola asuh otoriter ini (Santrock, 1999).

2. Pola asuh demokrasi (otoritatif)

Menurut Santrock (1999) pola asuh yang mendorong remaja menjadi bebas namun tetap menempatkan batasan dan pengendalian dalam tindakan remaja, memberi dan menerima secara lisan dilakukan dengan luas dan orang tua ramah serta pengasuhan diarahkan pada remaja pola otoritatif mendorong anak untuk mandiri, tetapi orang tua harus tetap menetapkan batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, dan penuh belas kasih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif. Anak yang terbiasa dengan pola asuh otoritatif akan membawa dampak menguntungkan. Di antaranya anak akan merasa bahagia, mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk, bisa mengatasi stres, punya keinginan untuk berprestasi dan bisa berkomunikasi, baik dengan teman-teman dan orang dewasa. Anak lebih kreatif, komunikasi lebih lancar tidak rendah diri dan berjiwa besar.

3. Pola asuh permisif

Menurut Santrock (1999) pola asuh orangtua yang tidak membimbing anak ke pola perilaku yang menyetujui segala tingkah laku anak termasuk

(9)

keinginan-keinginan yang sifatnya segera dan tidak menggunakan hukuman. Anak tidak diberikan batasan-batasan atau kendali yang mengatur, apa saja boleh dilakukan, mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sesuai dengan kehendak mereka sendiri.

Pola permisif adalah pola dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing memperdulikan kehidupan anaknya. Jangan salahkan bila anak menganggap bahwa aspek-aspek lain dalam kehidupan orang tuanya lebih penting daripada keberadaan dirinya. Walaupun tinggal di bawah atap yang sama, bisa jadi orang tua tidak begitu tahu perkembangan anaknya. menimbulkan serangkaian dampak buruk. Di antaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus( Santrock, 1999).

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Hurlock (1999) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: 1. Pendidikan orang tua

Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menetapkan pola asuh yang lebih demokratis dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan dan sifat berbeda setiap anak-anaknya.

(10)

2. Kelas sosial

Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif dibanding dengan orang tua dari kelas sosial bawah.

3. Konsep tentang peran orang tua

Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibanding orang tua dengan konsep nontradisional.

4. Kepribadian orang tua

Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua. Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.

5. Kepribadian Anak

Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert

6. Usia anak

Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang tua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung anak usia pra sekolah dari pada anak

(11)

2.3 Remaja

2.3.1 Pengertian remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda dan akhir( Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:

1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak laki- laki.

2. Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3. Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal

4. Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak-anak laki-laki.

(12)

5. Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah. 6. Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.

(Soetjiningsih, 2004)

7. Menurut Monks, 1982 anak dianggap berusia remaja antara umur 12-21 tahun 8. Remaja adalah anak yang berusia antara 12-22 tahun (Gunarsah, 2002)

Masa remaja juga memiliki fase-fase. Suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara usia 12 sampai 22 tahun, dengan pembagian 12 - 15 tahun adalah remaja awal, 15 - 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18 - 22 tahun adalah masa remaja akhir, akan mengemukakan banyak faktor yang masing-masing perlu mendapat tinjauan tersendiri (Gunarsa, 2002).

Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Kesukaran yang dimaksud bukan saja bagi individu yang bersangkutan tapi dapat pula bagi orang tua dan masyarakat yang ada disekitarnya (Monks, dkk, 1982). Masalah yang ditimbulkan oleh remaja tidak lagi terbatas dalam lingkungan keluarga, tetapi sudah ke masyarakat yang lebih luas. Karena itu, masalah yang ditimbulkan oleh remaja dapat dikategorikan masalah sosial di masyarakat. Apabila masyarakat atau orang tua menolak kehadiran para remaja untuk berperan dalam kehidupan masyarakat, maka remaja akan dapat berbuat hal-hal yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, berbuat hal-hal yang dapat menarik perhatian, yang pada dasarnya para remaja ini menghendaki adanya pengertian dari eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat ini. Oleh karena itu, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas perlu dimengerti bahwa remaja membutuhkan pengakuan akan

(13)

keberadaannya dan karena itu diperlukan perhatian serta bimbingan yang cukup buatnya.

2.3.2 Tahap-tahap perkembangan remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja (Gunarsa, 2002):

1. Remaja awal (early adolescent)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan- dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terpengaruh dengan ajakan teman sebayanya. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti.

2. Remaja madya (middle adolescent)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus

complex(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak) dengan

(14)

3. Remaja akhir (late adolescent)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal yaitu:

1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman- pengalaman baru.

3. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5. Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (Sarwono 2010).

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu) remaja ada tiga tahap yaitu ( Gunarsa 2002) :

1. Masa remaja awal (10-12 tahun)

1. Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya. 2. Tampak dan merasa ingin bebas.

3. Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).

2. Masa remaja tengah (13-15 tahun) 1. Tampak dan ingin mencari identitas diri.

2. Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis. 3. Timbul perasaan cinta yang mendalam.

(15)

3. Masa remaja akhir (16-21 tahun)

1. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri. 2. Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

3. Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya. 4. Dapat mewujudkan perasaan cinta.

5. Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak. (Widyastuti dkk, 2009).

2.3.3 Karakteristik Remaja

Pada akhir periode pubertas, terdapat gejala-gejala yang disebut gejala "negativephase". Hurlock (1999) menguraikan cukup lengkap tentang gejala-gejala negative phase ini yang pokok-pokoknya sebagai berikut : Keinginan untuk menyendiri (desire for isolation), berkurang kemauan untuk bekerja (disinclinationto work), kurang koordinasi fungsi-fungsi tubuh (incoordinations), kejemuan (boredom), kegelisahan (restlessness), pertentangan sosial (social), penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa (resistance to authority), kepekaan perasaan (heightened emotionality), kurang percaya diri (lack of

self-confidence), mulai timbul minat pada lawan seks (preoccupation

withsex),kepekaan perasaan susila (excessive modesty), dan kesukaan berkhayal (day dreaming).

Disamping ciri-ciri dan gejala-gejala negative phaseyang dimiliki seperti yang ada diatas, terdapat pula ciri-ciri khas masa remaja. Hurlock (1999), mengemukakan ciri-ciri khas yang berkaitan dengan perkembangan remaja yaitu:

(16)

1. Perasaan emosi yang tidak stabil

Masa ini sebagai perasaan yang sangat peka. Remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini diistilahkannya sebagai "Storm and Stress" (Hurlock, 1999).

2. Sikap dan moral.

Ada keberanian mereka menonjolkan "sex appeal" serta keberanian dalampergaulan dan sering menyerempet bahaya Dari keadaan tersebut itulahkemudian sering timbul masalah dengan orang tua atau orang dewasa lainnya ( Hurlock, 1999).

3. Kecerdasan atau kemampuan mental

Kemampuan mental atau kemampuan berfikir remaja awal mulai sempurnaMenurut Binet, bahwa pada usia 12 tahun kemampuan anak untuk mengertiinformasi abstrak, baru sempurna dan kesempurnaan mengambil kesimpulan dan informasi abstrak dimulai pada usia 14 tahun. Sesuai dengan perkembangancara berfikir remaja yang telah dapat berfikir secara teratur, berfikir secara logis, maka sudah selayaknya para remaja itu dapat diajak bicara secara baik. Remaja suka menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Penantangan pendapat sering terjadi dengan orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999).

4. Status remaja

Status remaja tidak saja sulit ditentukan, bahkan membingungkan. Perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja sering berganti-ganti. Akibatnya, si remaja pun mendapat sumber kebingungan dan menambah masalahnya ( Hurlock, 1999)

(17)

Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan soal apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Ketidakmampuan menghadapi masalahnya dalam masa ini akan menjadikannya orang dewasa yang bergantung ( Hurlock, 1999).

2.4 NAPZA

2.4.1 Pengertian Napza

Napza adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU No 35 Tahun 2009).

Menurut Hawari (1991) Napza adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat adiktif lainya. Napza mencakup segala macam zat yang disalah gunakan untuk Gitting, mabuk, fly atau high, yang dapat mengubah tingkat kesadaran seseorang. Termasuk dalam Napza adalah obat perangsang, penenang, penghilang rasa sakit, pencipta ilusi atau psikotropika, dan zat-zat yang tidak termasuk obat namun dapat disalahgunakan (misalnya alkohol atau zat yang bisa dihirup seperti bensin, lem, tinner, dan lain – lainya sehingga high).

Menurut Budiarta (2000) Napza merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

(18)

2.4.2 Jenis-jenis Napza

1. NARKOTIKA (UU No 35 Tahun 2009)

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dapat dibedakan kedalam beberapa golongan yaitu :

1. Narkotika Golongan I :

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh heroin/putauw, kokain, ganja).

2. Narkotika Golongan II :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).

3. Narkotika Golongan III :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).

Jenis Narkotika yang sering disalahgunakan adalah golongan I yaitu morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau kanabis, marihuana, hashis - Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun kokai.

(19)

2. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut

1. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi,

shabu, LSD)

2. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuatmengakibatkan sindroma ketergantungan ( Contoh amfetamin,

metilfenidat atau ritalin)

3. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital,

Flunitrazepam).

4. Psikotropika golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkansindrom ketergantungan (Contoh : diazepam,

(20)

bromazepam, Fenobarbital, klonazepam,klordiazepoxide, nitrazepam,

seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).

Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :Psikostimulansia (amfetamin, ekstasi, shabu), Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur), Halusinogenika(Iysergic acid dyethylamide (LSD), Mushroom).

3. Zat Adiktif lainnya

Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika yaitu antara lain :

1. Minuman Beralkohol

Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/ zat itu dalam tubuh manusia.

Ada 3 golongan minumanberakohol, yaitu : 1. Golongan A: kadar etanol 1-5%, (Bir)

2. Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)

3. Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House,

Johny Walker, Kamput.)

2. Inhalansia

Gas yang di hirup dan mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat dalam berbagai barang kebutuha rumah tangga, kantor dan berbagai

(21)

pelumas mesin yang salah digunakan, antara lain: lem kertas, thinner, penghapus cat kuku, bensin.

2.4.3 Penyalahgunaan Napza

Penyalahgunaan Napza adalah suatukelainan yang menunjukkan jiwa tidak lagi berfungsi secara wajar sehingga terjadiperilaku meladatif dan negatif dalammasyarakat. Ketidakmampuan untukmengendalikan atau menghentikanpemakaian zat menimbulkan gangguan fisikyang hebat jika dihentikan. Penyalahgunaanzat tidak saja berbahaya tetapi dapat merugikankeluarga dan menimbulkan dampak soasialyang luas (Hawari, 2002).

Masalah ketergantungan obatterutama disebabkan oleh golongan opiatoprum, morphin, hipnotik sedative, minortrangquilizars. Dewasa ini adakecenderungan untuk menyalahgunakan zatganda (Poly drugs abuser). Menurut WHO,bahwa ketergantungan obat tidak hanyakarena satu sebab melainkan terdapatberbagai faktor yang paling berinteraksi. Iniadalah gangguan kepribadian dengandiketahui adanya risiko jangka panjang yangmerugikan. Ini adalah manifestasi upayamengatasi stres psikis, sosial dan ekonomi,depresi, kecemasan kronis dan gangguanpsikiatri lain. Semua sebagai manifestasi dariperlawanan terhadap nilai dari perlawananterhadap nilai sosial yang konvensional,tekanan sosial budaya, dan peran keluarga.Menurut Martono (2005)penyalahgunaan zat adalah pemakaian zatatau obat diluar indikasi medik tanpapetunjuk atau resep dokter, digunakan untukpemakaian sendiri secara teratur atau berkala,sekurang-kuranganya selama satu bulan dandapat menciptakan keadaan yang tak terkuasaioleh individu.

(22)

Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut (Hawari, 2002) :

1. Faktor individu

Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain ( Hawari, 2002) :

1. Cenderung membrontak dan menolak otoritas

2. Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi, cemas, psikotik, keperibadian dissosial.

3. Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku

4. Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), merasa rendah diri 5. Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif

6. Mudah murung,pemalu, pendiam 7. Mudah merasa bosan dan jenuh

8. Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran 9. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

10. Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambang keperkasaan dan kehidupan modern.

(23)

11. Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

12. Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”

13. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas 14. Kemampuan komunikasi rendah

15. Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain)

16. Putus sekolah

17. Kurang menghayati iman kepercayaannya

2. Faktor Lingkungan :

Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :

1. Lingkungan Keluarga

1. Kominikasi orang tua-anak kurang baik/efektif

2. Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/ disfungsi dalam keluarga 3. Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi

4. Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh 5. Orang tua otoriter atau serba melarang

6. Orang tua yang serba membolehkan (permisif)

7. Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan 8. Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA

(24)

9. Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten) 2. Lingkungan Sekolah

1. Sekolah yang kurang disiplin

2. Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

3. Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk berkembang 4. Adanya murid pengguna NAPZA

3. Lingkungan Teman Sebaya

1. Berteman dengan penyalahguna

2. Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar 4. Lingkungan masyarakat/sosial

1. Lemahnya penegakan hukum

2. Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

3. Faktor Napza

1. Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau 2. Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik

3. Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat euforia/ fly/ stone/high/teler dan lain-lain.

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA. Penyalahguna NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena

(25)

faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup komunikatif menjadi penyalahguna NAPZA.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Doa Anak Jalanan NDU\D 0D¶PXQ $IIDQ\ 'DUL penelitian ini ditemukan lima

Dari kedua hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kekentalan larutan pati dan jumlah enzim glukoamilase akan mempengaruhi konsentrasi glukosa yang dihasilkan. Namun ada

Setelah dilakukan analisis terhadap nilai-nilai budaya yang terdapat dalam kaba Gadih Basanai ditemukan cerita ini mengandung nilai budaya berkaitan dalam hubungan

Hasil dari pengujian model yang dilakukan adalah memprediksi hasil pemilu legislatif DKI Jakarta 2009 dengan neural network dan neural network berbasis algoritma genetika

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang telah dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen

Berdasarkan alasan pemilihan tempat pelayanan imunisasi di puskesmas Sikumana didapatkan hasil sejumlah 41% responden memberikan alasan bahwa mereka tidak mengetahui

hal ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan pencatatan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Taman Nasional Bali Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah