• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. baru bahkan pada orde reformasi korupsi hampir dapat ditemui dimana-mana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. baru bahkan pada orde reformasi korupsi hampir dapat ditemui dimana-mana."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik-praktik korupsi yang diekspos oleh media semakin meningkatkan persepsi terhadap korupsi sudah seperti sebuah penyakit apalagi di akhir masa orde baru bahkan pada orde reformasi korupsi hampir dapat ditemui dimana-mana. Korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor publik dengan menggunakan kekuasaan, pejabat publik dapat menekan pelayanan jasa pemerintah.1 Bahkan Juniadi Soewartojo, mengatakan, tindak pidana korupsi di Indonesia sedemikian parah dan akut seperti “penyakit sosial”.2

Secara historis, fenomena korupsi sejak lama sudah ada tetapi baru menarik perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua dan dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.

3

1

Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 1.

Korupsi bahkan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Setelah perang dunia

2

Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan

Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4. Lihat juga: Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.

Lihat juga: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 99. Korupsi berkaitan erat dengan kekuasaan, dengan menyalahgunakan kekuasaan, menyebabkan perkembangan korupsi sulit diberantas, sebab sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik. Landasan hukum yang digunakan pun mengandung banyak kelemahan dalam implementasinya. Didukung pula oleh sistem check and balances yang lemah di antara ketiga kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) membuat korupsi menjadi membudaya.

3

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Depok: Solusi Publishing, 2010), hal. 5.

(2)

kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang berkembang.4

Nampaknya semakin ditindak kasus-kasus korupsi itu semakin meluas pula modus operandinya, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Korupsi semakin terpola dan tersistematis serta terorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.

5

Korupsi semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkupnya, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim yang menyengsarakan rakyat, menghancurkan perekonomian negara, mengurangi kepercayaan publik dan investor luar negeri.6

Fenomena korupsi yang semakin terjadi saat ini mengganggu dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.7

4

Ibid.

5

Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.

6

Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009, ”Fenomena Korupsi di Indonesia”.

7

(3)

Korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi khususnya di negara miskin, menghalangi perkembangan ekonomi berdampak pada semakin memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Berbeda halnya dengan korupsi di negara maju tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi korupsi di negara maju tetap saja dapat menggoyahkan keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya. Korupsi dapat pula menghancurkan negara-negara yang sedang berkembang (mengalami transisi) seperti di Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menghambat pelaksanaan demokrasi dan stabilitas ekonomi pasar di Indonesia.8

Korupsi mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga, nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi negara-negara yang menghadapi fenomena korupsi.9 Perkembangan korupsi saat ini bahkan dapat disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian uang (money laundering).10 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendiskripsikan korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.11

8

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 1-2.

9

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti

Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.

10

Ibid., hal. 47.

11

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 3. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus.

(4)

Korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan tertentu dan orang-orang yang memiliki kekuasaan dari segi finansial, seolah-olah pelakunya tidak menunjukkan rasa malu dan tidak takut bahkan memamerkan hasil korupsinya.12 Dampaknya dapat membahayakan stabilitas keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik, ekonomi masyarakat, dan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi, serta menurunkan tingkat kepercayaan negara-negara di dunia untuk turut serta berinvestasi dalam dunia bisnis.13

Tindak pidana korupsi berpola pada tindakan yang tidak bermoral, tidak etis, dan melanggar hukum itu,14 karenanya harus diberantas dengan melibatkan keterpaduan institusi atau lembaga dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System)15 secara optimal dan terpadu meliputi serangkaian tindakan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistim hukum yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya.16

Sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, persoalan yang tidak kalah pentingnya terjadi pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus dengan objek perkara di Areal Register 40 Padang Lawas. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap yang diputuskan Mahkamah Agung RI tanggal 12

12

Soetanto Soepiadhy, ”Gerakan Indonesia Patut”, Artikel Mingguan Pada Kolom Opini

Suara Sejati, Jakarta, Edisi 10 Tahun I Tanggal 16-18 September 2005, hal. 2.

13

Ermansyah Djaja, Op. cit., hal. 3.

14

Juniadi Soewartojo, Op. cit., hal. 5.

15

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135.

16

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya

(5)

Februari 2007. Namun, kemudian muncul persoalan dalam hal pelaksanaan (eksekusi) putusan terkait dengan kasus tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus (DL Sitorus) yang diajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah Agung RI) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Perbuatan terdakwa DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dilakukan secara bertahap, berlanjut, dan berlangsung secara terus-menerus hingga bulan Nompember 2004 selesai ditanami kelapa sawit ± 24.000 Ha.17

Terhadap perbuatan terdakwa tersebut telah merugikan lahan atau sebagai objek perkara atas kawasan hutan Negara hingga sampai ± 47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya tegakan Kayu Bulat Besar (KKB) jenis kayu meranti berdiameter 30 cm ke atas yang diperhitungkan sebanyak 27,99 m2/Ha dan Kayu Bulat Sedang (KBS) berdiameter antara 20-29 cm yang diperhitungkan sebanyak 2,10 m2

17

Sesuai dengan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh terdakwa DL. Sitorus No.164/Ta/Menhut/XI/2004 tanggal 25 Nopember 2004, yang menyatakan telah menanami kelapa sawit seluas ± 24.000 Ha di Kawasan Hutan Produski Padang Lawas. Lihat juga: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, hal. 43 dari 107 halaman.

/Ha. Selain itu, perbuatan terdakwa menimbulkan hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) serta

(6)

menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.18

Terhadap objek perkara yang diputus oleh Hakim Mahkamah Agung RI tersebut meliputi: Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya; dan Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 24.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub) dan PT. Torganda. Sehingga total lahan yang akan dieksekusi adalah ± 47.000 Ha berikut bangunan yang ada di atasnya. Lahan seluas ± 47.000 Ha dan berikut bangunan yang ada di atasnya tersebut telah dieksekusi secara formil (administratif) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang Sidimpuan Propinsi Sumatera Utara namun secara materil di lapangan terkendala oleh berbagai faktor dari warga atau masyarakat setempat tidak setuju dilakukan eksekusi.

Putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 telah berkekuatan hukum tetap. Sebab, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung RI No.39 PK/Pid.Sus/2007 tertanggal 16 Juni 2008 yang dimohonkan oleh terdakwa DL. Sitorus, Mahkamah Agung RI menolak permohonan PK tersebut.19

18

Ibid., hal. 44 dari 107 halaman.

Hakim Mahkamah Agung RI tetap beralasan dalam putusannya yang

19

Laporan Pelaksanaan Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi atas Nama Darianus Lungguk Sitorus. Hal ini berdasarkan Surat Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No.B-216/0.1.10/Fu.1/03/2009 tertanggal 10 Maret 2009.

(7)

menyatakan terdakwa DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi ”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut”. Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan (subsidiair) apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.20

Berdasarkan tuntutan JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 28 Juli 2006, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst sependpat dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus, menjatuhkan putusan sebagai berikut:

21

1. Menyatakan terdakwa DL Sitorus bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 huruf c UU No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43A UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo Pasal 55 a (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

20

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, hal. 91 dari 107 halaman.

21

(8)

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DL Sotorus dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah supaya terdakwa ditahan, dan membayar denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan kurungan; 3. Membayar uang pengganti sebesar Rp.323.655.640.000 (tiga ratus dua puluh

tiga milyar enam ratus lima puluh lima juta enam ratus empat puluh ribu rupiah), jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 5 (lima) tahun.

Ketentuan pemberlakuan UU No.3 Tahun 1971 menurut ketentuan peralihan Pasal 43A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi melalui UU No.20 Tahun 2001 menegaskan bahwa UU No.3 Tahun 1971 dapat diberlakukan apabila melanggar Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999. Selain itu, Pasal 43A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 hanya dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Terhadap putusan Majelis Hakim PN Jakpus tersebut, terdakwa DL Sitorus melalui kuasanya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan oleh Majelis Hakim PT. DKI Jakarta melalui putusan No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal

(9)

11 Oktober 2006 menjatuhkan putusan terhadap kasus korupsi DL Sitorus tersebut dengan manyatakan: membatalkan putusan Majelis Hakim PN Jakpus No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2006 yang dimintakan banding tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Majelis Hakim PT. DKI Jakarta juga menyatakan Surat Dakwaan JPU dengan register No.: PDS-01/Jkt.Pst/03/2006 tertanggal 06 Maret 2006 tidak dapat diterima dan memerintahkan agar terdakwa DL Sitorus segera dikeluarkan dari tahanan.22

Berdasarkan putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006 yang membatalkan dakwaan JPU tersebut, JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat kemudian mengajukan kasasi. Mahkamah Agung RI setelah membaca, memeriksa, dan mengadili perkara korupsi atas terdakwa DL Sitorus mengabulkan permohonan kasasi dari JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, membatalkan putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006 yang telah membatalkan putusan PN Jakpus No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2006. Sehingga dalam putusan Mahkamah Agung RI diputuskan bahwa terdakwa DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi ”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut”. Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara

22

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.194/Pid/2006/PT.DKI tanggal 11 Oktober 2006.

(10)

selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.23

Menurut Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut

menyatakan dalam putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta

No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006, Hakim PT. DKI Jakarta keliru dengan alasan: Surat Dakwaan JPU register No.: PDS-01/Jkt.Pst/03/2006 tertanggal 06 Maret 2006 tidak dapat diterima karena masalah Surat Dakwaan tidak dapat diterima termasuk dalam ruang lingkup eksepsi dalam Pasal 156 KUHAP sehingga Majelis Hakim PT. DKI Jakarta memutus perkara tersebut di luar kewenangannya atau melampaui batas kewenangan. Majelis Hakim PT. DKI Jakarta juga keliru menyatakan terdapat perselisihan persengketaan hak yang dirujuknya kepada Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya mengenai penunjukan dan penetapan kawasan hutan. Semua alasan-alasan yang diuangkapkan oleh Majelis Hakim PT. DKI Jakarta dijawab berdasarkan alasan-alasan hukum oleh Mahkamah Agung RI dan membatalkan putusan PT. DKI Jakarta No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006 tersebut.

Suatu hal yang menarik dilakukan penelitian dalam kasus korupsi atas nama terpidana DL Sitorus berkaitan dengan disparitas atau perbedaan alasan hukum yang diungkapkan oleh PT. DKI Jakarta dengan Mahkamah Agung. Selain itu, terkait pula kendala atau hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI

23

(11)

Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang menghukum terdakwa DL Sitorus karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi ”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut”.

Putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada tanggal 12 Februari 2007. Menteri Kehutanan RI melalui Surat Nomor: S.539/Menhut-IV/2009 tertanggal 13 Juli 2009 menunjuk Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sebagai koordinator dalam persiapan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006.24

Berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan (P-48) Nomor: Print-223/N.2/Fuh.1/08/2009 tertanggal 25 Agustus 2009 sehari setelah dikeluarkannya P-48 tersebut dilakukan penandatanganan Berita Acara Penyerahan Barang Rampasan (BA-22) oleh Agus Djaya, SH (Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sumut) selaku pihak pertama dan Ir. J. B. Siringo-Ringo (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut) selaku pihak kedua yang disaksikan oleh pihak Kejaksaan, Kehutanan, Polda, DPRD, Pangdam, dan Gubernur Sumut pada tanggal 26 Agustus 2009 di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Eksekusi materil terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas objek eksekusi seluas ± 47.000 Ha di Areal Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas mengalami hambatan-hambatan dari warga setempat. Ketika

24

Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan (P-48) Nomor: Print-223/N.2/Fuh.1/08/2009, hal. 1.

(12)

sosialisasi pertama dilakukan antara bulan Oktober s/d Desember 2010, masyarakat setempat yang terdiri dari lebih kurang 9.500 KK25

Perekonomian masyarakat setempat sangat bergantung kepada pengelolaan Areal Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas yang dijadikan DL. Sitorus menjadi lahan perkebunan sawit seluas ± 47.000 Ha tersebut. Sosialisasi dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan. Sosialisasi I tanggal 21 Agustus 2008 sekitar pukul 12.00 WIB Tim Peninjau Lokasi dan Sosialisasi dihadang massa pendemo yang terdiri dari karyawan PT. Torganda sebanyak ± 5.000 orang dengan memegang egrek, dodos, dan bambu runcing serta menyanyikan lagu wajib Maju Tak Gentar yang dipimpin oleh Nimrot Sitorus (wakil pendemo) selaku Sekretaris Umum PT. Torganda merangkap sebagai Juru Bicara dan Hendrik Siburian sebagai Pimpro Bukit Harapan I. Gerbang masuk telah diblokir oleh pendemo dengan lima unit turck colt diesel dan diantara truk-truk tersebut disisipkan para karyawan pendemo.

melakukan demonstrasi di hadapan Tim Eksekutor dan mengatakan tidak setuju dan menolak eksekusi tersebut.

26

Pendemo yang diwakili oleh Nimrot Sitorus tidak memberikan kesempatan bicara pada saat Nazar Makmur, SH. MM (Kasi Intel) hendak menjelaskan maksud kedatangan ke lokasi objek tersebut. Nimrot Sitorus mengatakan pihak PT. Torganda

25

Laporan Hasil Rapat Persiapan Pelaksanaan Eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/PID/2006, Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Marendal-Medan, Nomor: S. 28 /BBKSDA SU-1/RHS/2008, hal. 1. Lihat juga: Riwayat Penanganan Perkara an. Terpidana Darianus Lungguk Sitorus, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, hal. 5.

26

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Laporan Informasi Khusus No. R-LIK-06/N.2.20/Dek.3/08/2008 perihal Peninjauan Lokasi Objek Eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI No.2642K/Pid/2006 atas nama terpidana DL. Sitorus di Desa Aek Raru Koperasi Bukit Harapan, Parsub, dan Patogu Janji (47.000) Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas.

(13)

bersama karyawan tidak menyetujui adanya eksekusi dan tetap tidak mau mendengarkan penjelasan dari Tim Sosialisasi yang dipimpin oleh Kejaksaan tersebut. Putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL. Sitorus dinilainya tidak sah dengan alasan putusan tersebut berbeda atau bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 134/TUN/2007 yang menyebutkan batalnya surat Menteri Kehutanan No. S.419/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004.

Pelaksanaan sosialisasi tahap II dilaksanakan pada tanggal 18 September 2008 tetap mengalami kendala yang sama bahkan telah dilakukan eksekusi tahap III pada bulan Oktober 2008 namun warga masyarakat tetap juga menolak eksekusi. Hasil peninjauan lapangan dan sosialisasi tahap III dijadikan sebagai dasar penyusunan rencana pengamanan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara yang melibatkan Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan. Hingga sampai saat dilakukan penelitian ini, eksekusi secara fisik (materil) belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam eksekusi tahap III seperti yang diberitakan media massa Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara bersama-sama pihak terkait membahas langkah yang akan diambil menjelang eksekusi serta pembentukan Tim sebagai pendamping pihak Kejaksaan selaku Eksekutor di lapangan. Erbindo mengatakan, salah satu langkah yang disepakati, Tim dibentuk akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat khususnya pekerja di Areal Register 40 Padang Lawas guna menghindari

(14)

amuk massa saat eksekusi dilaksanakan.27 Walaupun eksekusi fisik dilaksanakan, secara hajat hidup tidak akan mengganggu mata pencaharian masyarakat yang mengelola lahan tersebut. Sebab Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan (Dephut) RI tetap akan menunggu hingga lahan yang ditanami sawit selesai masa panen.28

Sehubungan dengan uraian di atas, menarik perhatian untuk dikaji dan penting untuk dilakukan penelitian tentang ”Eksekusi Barang Sitaan Berupa Aset Tidak Bergerak Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Atas Nama Terpidana Darianus Lungguk Sitorus”. Mengingat bahwa apabila eksekusi terhadap lahan seluas ± 47.000 Ha tersebut tidak terlaksana, menurut risalah penanganan perkara oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, maka total kerugian Negara atas masih dikuasainya asset Negara oleh DL. Sitorus terhitung sejak putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007 diperkirakan ± Rp.409.689.000.000,- (empat ratus sembilan milyar enam ratus delapan puluh sembilan juta rupiah).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh tiga pokok permasalahan yang diteliti, yaitu:

27

Harian Analisa, Kamis, Tanggal 30 September 2010. ”Kejatisu Eksekusi Fisik Lahan DL.

Sitorus, Oktober 2010”, hal. 7.

28

(15)

1. Apakah keputusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah memenuhi rasa keadilan? 2. Bagaimanakah eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana

DL Sitorus terhadap barang sitaan berupa aset tidak bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus di Areal Register 40 Padang Lawas?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukan penelitian terkait dengan eksekusi putusan MA atas tindak pidana korupsi yang dilakukan DL. Sitorus tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami keputusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus menurut ketentuan yang berlaku dan rasa keadilan. 2. Untuk mengetahui dan memahami eksekusi putusan Mahkamah Agung RI

atas nama terpidana DL Sitorus terhadap barang sitaan berupa aset tidak bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus di Areal Register 40 Padang Lawas.

(16)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap pihak-pihak terkait, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami serta mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang eksekusi putusan Mahmakah Agung atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus; dan

2. Secara praktis, bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum yakni: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, Kementerian Kehutanan RI, lembaga atau instansi terkait misalnya DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranannya sebagai institusi yang diharapkan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus serta melakukan koordinasi lebih lanjut secara terpadu.

E. Keaslian Penulisan

Keaslian penelitian ini dibuat bertujuan untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan permasalahan yang sama. Oleh sebabnya, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari penelusuran tidak ditemukan satupun judul dan masalah yang sama dengan penelitian ini. Sebab, pelaksanaan eksekusi barang sitaan berupa aset tidak bergerak hasil tindak

(17)

pidana korupsi (studi kasus: putusan Mahkamah Agung RI nomor: 2642 K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2007 an. terpidana Darianus Lungguk Sitorus) baru pertama kali dilakukan penelitian tentang judul dan permasalahan dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku seperti mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi atau keluarga atau kelompok atau golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin, jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras. Mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.29

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait atas kawasan hutan Negara hingga sampai ±

29

(18)

47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.30

Dalam Pasal 23 Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal Keuangan”, pengaturan keuangan negara dalam UUD 1945 yang sangat singkat tersebut menjadi titik awal pengaturan keuangan negara di Indonesia. Meskipun rumusannya sangat singkat, tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis.

Dengan demikian perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara.

31

30

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, Op. Cit, hal. 44 dari 107 halaman.

Definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, maka yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum. Dengan kata lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum dan sebagainya. Keuangan

31

Arifin P. Soeria Atmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya Bagi Indonesia Inc.”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI), hal. 2. Lihat juga: A.K. Pringgodigdo, Tiga

(19)

negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.32

Memperhatikan bahwa kerugian yang ditimbulkan dari kawasan hutan Negara yang dikelola DL. Sitorus hingga sampai ± 47.000 Ha tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut merugikan keuangan negara. Pendekatan yang digunakan diambil dari teori keuangan negara yang dikemukakan Erman Rajagukguk dalam merumuskan keuangan negara meliputi sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek adalah dimiliki oleh negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara jika dipandang dari sisi prosesnya mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara dari sisi tujuannya meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau

32

Hilman Tisnawan, “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005, hal. 2.

(20)

penguasaan obyek. Erman Rajagukguk mendefinisikan keuangan negara demikian luas.33

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:34

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

M. Solly Lubis, berpendapat sama bahwa yang termasuk keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.35

33

Erman Rajagukguk, “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Makalah pada Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 4.

Pendapat M. Solly Lubis tersebut mirip dengan pengertian keuangan negara secara yuridis dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut dengan UU Keuangan Negara), secara tegas dinyatakan, ”keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

34

Ibid., hal. 3. Lihat juga: Efi Laila Kholis, Op. cit., hal. 65-66.

35

(21)

Lebih jelasnya keuangan negara diperluas dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara, meliputi:

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, defenisi keuangan negara dapat dipahami dan ditafsirkan sebagai berikut:36

a. Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, yang hanya meliputi keuangan yang bersumber dari APBN; dan

b. Keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara merupakan sebagai suatu sistem keuangan negara.

Apabila tujuan dalam menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara itu adalah sempit, selanjutnya untuk mengetahui sistem pengawasan dan pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara adalah dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN,

36

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik dan

(22)

APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan.37

Oleh karena keuangan negara termasuk semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU Keuangan Negara, maka terhadap perbuatan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait di kawasan hutan Negara hingga sampai ± 47.000 Ha Padang Lawas menyebabkan kerugian keuangan negara yang dapat dinilai dengan uang berupa potensi lahan seluas ± 47.000 sebagai milik negara.

Kerugian keuangan negara tersebut berupa berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.38

Sebagai pihak eksekutor terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap ini adalah pihak Kejaksaan. UU No.6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan)

Terhadap aset negara berupa barang yang tidak bergerak yang provisinya hilang akibat tindak pidana korupsi, maka melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus dilakukan eksekusinya.

37

Ibid.

38

(23)

mengamanahkan kepada Jaksa untuk melaksanakan putusan tersebut. Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan menegaskan “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut, Pasal 33 UU Kejaksaan menegaskan pula bahwa Kejaksaan harus membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya.

Tim yang dibentuk untuk pelaksanaan sosialisasi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang akan mendampingi Jaksa pelaksana eksekusi ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.599/Menhut-II/2010 tertanggal 21 Oktober 2010 tentang Pembentukan Tim Pendamping Pelaksanaan Eksekusi Fisik Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang terdiri dari:

a. Penanggung Jawab: Menteri Kehutanan RI, Gubernur Sumatera Utara, dan Bupati Padang Lawas Utara;

b. Tim Pusat:

1) Staf Ahli Bidang Antar Lembaga, Kementerian Kehutanan selaku koordinator;

2) Staf Ahli Bidang Keamanan Hutan, Kementerian Kehutanan;

3) Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Jampidsus Kejagung RI;

(24)

5) Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan.

c. Tim Daerah:

1) Kepala Kejaksaan tinggi Sumatera Utara, selaku koordinator; 2) Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara;

3) Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan; 4) Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Sumatera Utara; 5) Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara;

6) Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara;

7) Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan; 8) Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Selatan; 9) Komandan Kodim 121 Tapanuli Selatan;

10) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Padang Lawas Utara; dan 11) Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara.

Hukum harus mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku penegak hukum dan masyarakatnya.

(25)

Sub-sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.39

Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.

40

Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur yang harus dimiliki aparatur dalam sistim hukum untuk menciptakan hukum yang pasti itu.

41

Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”.42

Koordinasi dan keterikatan masing-masing instansi dalam proses penegakan hukum membutuhkan profesionalisme. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum. Konsekuensinya

39

Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. Lihat juga: Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:

Kencana, 2009), hal. 204.

40

Wishnu Basuki, Ibid., hal. 213.

41

Achmad Ali, Ibid, hal. 204. Yakni: pertama, profesionalisme, mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan kedua, kepemimpinan, mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.

42

(26)

adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara atau melaksanakan putusan pengadilan yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab.

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.43

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam mendukung program Pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi ini. Pasal 41 ayat (1) UUPTPK menegaskan kepada pihak masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasakan ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPTPK ini dalam hal pemberantasan, masyarakat harus Warga masyarakat Padang Lawas Utara sebagai pihak ketiga terikat dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan DL. Sitorus dkk menolak dan tidak setuju dilakukan eksekusi terhadap lahan ± 47.000 Ha beserta bangunan yang ada di atasnya. Namun, demikian tidak berarti putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007 dihentikan eksekusinya. Keberatan apapun yang muncul dari pihak ketiga tidak berarti bahwa putusan tersebut tidak dieksekusi. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) menegaskan pula dalam Pasal 19 ayat (3) bahwa keberatan dari pihak ketiga tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

43

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 2.

(27)

turut serta membantu kelancaran program Pemerintah yang baik dan bersih (Good

Goverment) melalui eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006

tersebut seharusnya warga yang bertempat tinggal dan sebagai karyawan PT. Torganda milik DL. Sitorus harus menyadari bahwa lahan ± 47.000 Ha tersebut bukan milik DL. Sitorus karena telah diputuskan oleh Hakim Mahkamah Agung RI.

Walaupun demikian faktanya, pada eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006 tersebut Pemerintah tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan seperti yang dilakukan pada tahap sosialisasi I, II, dan III yang disampaikan bahwa eksekusi itu dilakukan tidak akan berakibat atau membuat perekonomian warga atau karyawan yang bekerja di PT. Torganda menjadi terhenti sebab Pemerintah tetap memberikan kesempatan kepada warga untuk memperoleh hasil dari sawit-sawit yang ditanami tersebut dengan ketentuan bahwa Pemerintah tetap memperhatikan pula hak-hak yang menjadi milik Negara.

Apabila dianalisis dari sisi teori-teori keadilan bahwa para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ”keadilan”.44 Kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).45

44

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20.

45

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

(28)

Plato, mengatakan keadilan sebagai nilai kebijakan yang paling tertinggi.46 H.L.A. Hart, mengatakan keadilan itu sebagai nilai kebajikan yang paling legal. 47

Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual. Oleh karena itu, apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang, inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.

48

John Rawls mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum. Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing, prinsipnya: terpenuhinya hak yang sama dan perbedaan perekonomian sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu: terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah; dan terciptanya kesempatan bagi semua orang.49

Keadilan menurut utilitarian adalah jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu.50

46

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

Menyangkut bahwa keuangan negara termasuk semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat

47 Ibid. 48 Ibid, hal. 93. 49 Ibid, hal. 94. 50 Ibid.

(29)

(1) dan Pasal 2 UU Keuangan Negara, maka secara umum, keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup maupun bagi benda-benda yang ada di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang terjadi secara alamiah, sehingga seluruh makhluk harus berlaku adil kepada yang lainnya, sebagai salah satu jalan mempertahankan keseimbangan yang alami tersebut.

2. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tindak Pidana Korupsi adalah segala tindakan yang dimaksud dalam UUPTPK yang merugikan keuangan negara atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung;

b. Keuangan Negara adalah segala harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP);

(30)

c. Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk,51

d. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

dalam hal ini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

e. Barang sitaan adalah segala sesuatu barang yang dapat dijadikan bukti baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak; dan

f. Aset Tidak Bergerak adalah barang yang tidak bisa berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya misalnya lahan atau tanah, bangunan-bangunan, rumah, pabrik dan telah dilakukan penyitaan terhadap barang atau aset tidak bergerak tersebut.

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.52 Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.53

51

Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUPTPK.

Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang

52

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

(31)

bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.54

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Sehingga dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.55

2. Sumber Data

Putusan pengadilan yang diteliti adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas terdakwa DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan di Padang Lawas Utara.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu UU No.3 Tahun 1971 jo UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK);

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

54

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

55

Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum

(32)

terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar, putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian ini; dan

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia), dan Kamus Bahasa Inggris sepanjang memuat penjelasan yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dan melakukan identifikasi data lapangan (field research) terhadap kasus yang yang berhubungan dengan eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti hingga disistematisasikan untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan.

(33)

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Kemudian data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

Referensi

Dokumen terkait

Dari Sisi Proses, Penampilan pendidik dalam pembelajaran dari hasil pengamatan/observasi dan wawancara maka dapat disebutkan sebagai berikut dalam pelaksanaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenyamanan di DKI Jakarta secara harian dan kecenderungan tingkat kenyamanan dari tahun ke tahun menggunakan

bahwa untuk melaksanakan Pasal 33 ayat 3 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 18 Tahun 2020

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada mata kuliah IPA terhadap sikap ilmiah dan hasil belajar mahasiswa jurusan

Analisis proses bisnis pendaftaran menggunakan usulan sistem dilakukan oleh pasien melalui website. Tahap pertama pasien membuat akun terlebih dahulu, apabila pasien

Pada tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian berkaitan dengan metode yang digunakan untuk memprediksi hambatan pada kapal cepat.. Penelitian ini akan menganalisis

Sebelum peneliti mengadakan uji coba produk (buku ajar), terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan pakar bidang penyusunan buku ajar bahasa Arab untuk

Hasil penjajaran urutan asam amino penyusun sitrat sintase antar spesies Pseudomonas menunjukkan adanya kemiripan yang tinggi satu dengan lainnya.. Namun, urutan asam