• Tidak ada hasil yang ditemukan

IJTIHAD UMAR BIN KHAṬṬĀB Oleh: Lutfi Nur Fadhilah S2 Ilmu Falak UIN Walisongo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IJTIHAD UMAR BIN KHAṬṬĀB Oleh: Lutfi Nur Fadhilah S2 Ilmu Falak UIN Walisongo"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1 IJTIHAD ‘UMAR BIN KHAṬṬĀB

Oleh: Lutfi Nur Fadhilah S2 Ilmu Falak UIN Walisongo

lutfinurfadhilah@gmail.com

Abstrak

„Umar terkenal sebagai seorang sahabat yang memiliki kemampuan mensinergikan nas dengan maqāṣid al-syarī‟ah demi mewujudkan kemaslahatan dan keadilan sesuai dengan kaidah umum syariah. Kemaslahatan bisa diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial, untuk selanjutnya menafsirkan hukum yang telah mapan. Ruang lingkup ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb tentang hukum Islam yang berlaku dalam syariat pada waktu itu yaitu ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb pada nas-nas khusus dan ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb pada masalah yang tak ada nas-nya. Adapun contoh ijtihad fikih „Umar adalah penghapusan pemberian hak zakat al-mu‟allafah

qulūbuhum, penolakan „Umar bin Khaṭṭab membagikan harta

rampasan perang, dan penghentian hukuman potong tangan terhadap pencuri. Namun, para pemikir kontemporer beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Umar adalah sesuatu yang liberal karena menyalahi nash. Padahal, jika ditelaah secara mendalam, apa yang diijtihadkan oleh Umar adalah bentuk usaha implementasi syariat Islam, bukan menyelisihinya apalagi menghapusnya.

Key word: „Umar, Ijtihad, Maslahah.

Pendahuluan

Umat Islam pada masa Rasulullah tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah yang baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan petunjuk ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya

(2)

2

mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.

Sepeninggal Rasulullah, para sahabat menghadapi berbagai permasahalan baru. Mereka melakukan ijtihad terhadap permasalahan tersebut. Salah satu yang terkenal dengan ijtihadnya yaitu „Umar bin Khaṭṭāb yang merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar. Ia terkenal tegas dan cerdas. Ijtihad „Umar sering kali bertentangan dengan zahir nas, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas Ijtihad „Umar serta metode yang digunakannya.

Biografi ‘Umar bin Khaṭṭāb

Nama lengkap dari „Umar adalah „Umar ibn al-Khaṭṭāb ibn Nufayl ibn „Abd al-„Uzzā ibn Riyah ibn „Abdullāh ibn Qurṭ ibn Razah ibn „Ādī ibn Ka'ab ibn Lu'ay al-Quraisy al-Adawiy. Orang tuanya bernama Khaṭṭāb ibn Nufail al-Mahzumi al-Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim ibn Mughīrah ibn „Abdullāh ibn „Umar ibn Makhzum. „Umar lahir di Mekah dan berasal dari Bani „Adi (salah satu rumpun suku Quraisy). „Umar adalah seorang sahabat terdekat dan setia kepada Rasulullah. Ia bertemu dengan nasab Rasulullah Saw pada Ka‟ab ibn Lu‟ay. Kecerdasan Umar dalam berpikir dan memahami syari‟at Islam sangat luar biasa dan diakui sendiri oleh Nabi.1

1

Jalāluddīn „Abd Raḥmān bin Abī Bakr al-Sayūṭī, al-Jāmi‟ al-Ṣagīr, (Kairo: Dār al-Fikr, tt), h. 8.

(3)

3

Pada masa kecilnya, „Umar giat bekerja menggembalakan kambing milik ayahnya. Didikan keras dan disiplin ayahnya membuat „Umar tumbuh menjadi pribadi yang tegas dan dikenal tanpa kompromi. Bagi kabilahnya sendiri, „Umar adalah seorang kurir yang istimewa dalam menghubungkan Quraisy dengan kabilah-kabilah lain. Ia seorang yang vokal berbicara, fasih lidahnya dan pandai menjelaskan sesuatu. Ia juga seorang penyair yang mampu menghafal banyak syair dan bahkan juga membacakannya kepada orang lain.2 Sebelum masuk Islam „Umar sangat menentang seruan Rasulullah dan termasuk salah satu tokoh Quraisy yang dengan nyata menolak Islam. „Umar baru memeluk Islam ketika berumur 27 tahun, tepatnya 5 tahun setelah kenabian. Dakwah Islam menjadi semakin terbantu dengan kehadiran „Umar, karena ia hadir sebagai kekuatan besar dan berharga dalam penyebaran Islam ketika itu.3

Pengetahuan „Umar dalam ilmu agama dan sosial, Maḥmūd al-„Akkad menjelaskan bahwa „Umar adalah seorang laki-laki yang cukup terpandang memiliki pengetahuan pada zamannya. „Umar adalah seorang sastrawan, sejarawan, dan ahli fikih, terlatih dalam gerak badan dan memiliki kemampuan dalam pidato dan berorasi. Oleh Sebab itu, „Umar merupakan seorang yang istimewa dalam hal

2

Syibli Nu‟mani, „Umar yang Agung, Sejarah dan Analisa Kepemimpinan

Khalifah II, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 30.

3

Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tārīkh al-Khulafā‟, (Mesir: Maṭba„ah Sa„ādah, 1952), h. 121.

(4)

4

pengetahuan yang dimilikinya.4 Muhammad „Alī al-Sāys mengatakan bahwa „Umar adalah orang yang paling terampil dan berani di antara para sahabat Nabi Saw dalam menggunakan pikiran (berijtihad) dan orang yang paling luas pandangannya. Hal ini karena ia diberi daya pandang dan akal yang luar biasa. Lebih lanjut, al-Sāys menganggap „Umar sebagai filosof hukum Islam. Hal ini dikarenakan „Umar tidak selalu berhenti pada zahir nas, namun ia juga mendalami jiwanya, kemudian dilaksanakan ketentuan hukum sesuai dengan jiwa yang mendasarinya.5

Suatu ketika Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tatkala aku sedang tidur, aku diberi segelas susu. Aku meminumnya hingga aku lihat ar-rayy (sari pati) mengalir pada kuku-kukuku. Lalu lebihnya aku berikan pada Umar”. “Bagaimana anda menakwilnya?” Tanya sahabat. Beliau menjawab “(Itu adalah) ilmu”. (HR. Bukhori dan Muslim). Adapun yang dimaksud dengan ilmu pada hadits tersebut adalah ilmu untuk memimpin muat manusia dengan perpedoman pada kitab Allah dan sunah Rasulullah Saw.6 Inilah kedudukan istimewa Umar, yaitu kemampuan berpikirnya yang kreatif.

4

Abbas Mahmoud al-„Akkad, Kecemerlangan Khalifah „Umar bin

Khaṭṭāb, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang,

1978), h. 23-24. 5

Muḥammad „Alī Sāyis, Nasy‟ah Fiqh Ijtihādi, (Kairo: Silsilah al-Buḥūṡ al-Islāmiyah, 1970), h. 65.

6

Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Umar bin Khattab, Cet. 1, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 191.

(5)

5

Ketika masih jahiliyah, „Umar adalah orang yang paling berbahaya bagi kaum Muslimin saat itu, dan tatkala ia masuk Islam, maka ia adalah orang yang paling berani menyatakan keislamannya, sehingga Abū Mas‟ūd berkata: Tidak ada seorangpun yang berani

menyembah Allah secara terang-terangan di depan umum sampai „Umar masuk Islam.7

Begitu pula ketika selesai perang Badar, terjadi musyarawah di kalangan sahabat beserta Nabi Saw. Dalam musyawarah tersebut ia menyatakan pendapat bahwa para tawanan semuanya hendaknya dibunuh, namun dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah menolak usulannya itu.

Ketika menjabat sebagai khalifah, ia bersikap tegas kepada para gubernurnya, karena ia merasa khawatir para gubernurnya bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. „Umar bin Khaṭṭāb selalu membuka dirinya untuk menerima segala macam pengaduan rakyatnya, baik yang beragama Islam maupun orang-orang kafir yang hidupnya berada dalam kekuasaan Islam. Ia sangat memperhatikan rakyatnya, khususnya kaum muslimin, baik dalam masalah kehidupan, kesejahteraan, maupun harta kaum muslimin dan harta yang menjadi milik negara.

„Umar meninggal dunia dalam usia 63 tahun, pada bulan Zulhijjah tahun 23 H/644 M. Ia meninggal pada saat akan mengimami jamaah Subuh karena ditikam oleh seorang budak yang

7

Ibnu Hajar, Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣahābah, (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1323 H), h. 169.

(6)

6

bernama Fairuz yang lebih dikenal dengan nama Abū Lu‟lu„ah, ia adalah seorang budak milik al-Mugīrah bin Syu‟bah. Abū Lu‟lu„ah membunuh „Umar bin Khaṭṭāb dengan sebilah pisau bermata dua.8

Metode Ijtihad ‘Umar bin Khaṭṭāb

Ijtihad secara harfiyah merupakan bentuk masdar dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mencurahkan segala kemampuan dan menanggung beban. Al-Gazāli (w. 505 H) dalam

al-Mustasyfā min „Ilmi al-Uṣūl memberikan definisi ijtihad sebagai:

ْ ذَب

ْ ل

ِْدِيَت ج م لا

ْ وَع س ً

ْ يِف

اِبَلَط

ِْن لِع ل

ِْماَكَحأِب

ِْةَع ي زَشلا

“Kesungguhan mujtahid untuk mencurahkan kemampuan maksimal untuk menemukan hukum-hukum syara‟.9

Ijtihad menurut Khudari Bek yaitu pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara‟.10 Ijtihad secara umum diartikan

pengerahan seluruh kemampuan seorang fāqih (ahli fikih) untuk menggali dan merumuskan hukum-hukum amaliyah (hukum praktis)

8

Hasan Ibrahim Hasan, Tārīkh Islām Siyāsiy wa Ṡaqāfiy wa

al-Ijtimā‟iy, terjemahan: Sejarah Kebudayaan Islam oleh A. Bahaudin, (Jakarta: Kalam

Mulia, 2001), h. 479. 9

Abu Hamid al-Gazālī, al-Mustaṣfā min „Ilmi al-Uṣūl, (Kairo: Maktabah

Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2004), h. 479.

10

Amir Mualim Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Pers, 2004), h. 12.

(7)

7

dari dalil-dalil yang terperinci.11 Ijtihad memiliki beberapa esensi,

yaitu:

a. Ijtihad adalah mencurahkan usaha dan kemampuan seorang faqīh semaksimal yang ia bisa;

b. Tujuan ijtihad adalah untuk mencapai hukum yang ẓannī; c. Yang dituju oleh ijtihad adalah hukum yang bersifat praktis; d. Cara untuk mendapatkan hukum yang dituju dengan istinbāṭ; e. Objek ijtihad hanyalah pada dalil-dalil yang ẓanni atau tidak

ada dalilnya sama sekali.12

Beberapa poin tersebut menunjukkan adanya kecenderungan tekstualitas yang begitu kuat dalam konsep ijtihad. Adapun ijtihad „Umar adalah sesuatu yang menarik. Umar berani keluar dari teks dengan mempertimbangkan realitas sosial yang tengah ada.

Terhadap kasus yang telah diijtihadi oleh „Umar bin Khaṭṭāb, beberapa alasan yang melatarbelakangi perubahan hukum dalam ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb, baik sebagai pemikiran tentang implikasi teks ataupun pemikiran yang berkenaan dengan kejadian-kejadian yang terjadi ketika absennya teks-teks itu secara langsung. Pada akhirnya terlihat bahwa pertimbangan „Umar bin Khaṭṭāb senantiasa bertumpu kepada kemaslahatan.13 Ruang lingkup ijtihad „Umar bin

11

Muḥammad Abū Zahrah, Muḥāḍarah fī Tārīkh Madhāhib

al-Fiqhiyah (Mesir: Maṭba‟ah al-Madānī, t.th.), h. 235.

12

Fahmi Jawwas, Posisi Naṣ dalam Ijtihad „Umar ibn Khaṭṭāb, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 10, No. 2, (Palu: STAIN Datokarama, 2013), h. 363.

13

(8)

8

Khaṭṭāb tentang hukum Islam yang berlaku dalam syariat pada waktu itu di antaranya:

1. Ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb pada nas-nas khusus

Bukan berarti „Umar bin Khaṭṭāb berijtihad pada wilayah yang sudah ada nas-nya. Namun, perlakuannya terhadap beberapa nas yang sekilas terlihat bertentangan, tetapi hakikatnya tidaklah demikian.

2. Ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb pada masalah yang tak ada nas-nya „Umar bin Khaṭṭāb juga melakukan ijtihad di berbagai masalah yang tidak ada nas-nas khusus seperti ide mengumpulkan alqur‟an, penanggalan hijriyah, perpajakan,

dīwān al-māl, bait al-māl, administrasi negara, dan lain-lain.14

Perubahan hukum secara formal dilakukan oleh „Umar bin Khaṭṭāb karena adanya pemahaman yang total terhadap pesan-pesan al-Qur‟an dan Sunnah. Perubahan bukan berarti pembatalan nas-nas al-Qur‟an itu adalah suatu kekeliruan. Sebenarnya „Umar bin Khaṭṭāb telah menerapkannya dengan baik dan memahami secara kreatif tanpa keraguan terhadap tujuan-tujuan syariat. Walaupun pembatalan terjadi antara syariat, namun pembatalan semacam itu tidak berlaku lagi setelah berakhirnya wahyu. Perubahan dan pembatalan hukum menurut Muhammad Ma‟ruf Dawalibi ada beberapa perbedaan. Pembatalan (naskh) menyangkut eksistensi teks itu sendiri. Teks

14

(9)

9

yang datang belakangan menasakh yang terdahulu. Sedangkan perubahan (tagyīr) hukum adalah pengamalan dan penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi teks itu yang dikaitkan dengan kepentingan atau kemaslahatan yang sifatnya situasional. Perbedaan lainnya bahwa yang berhak membatalkan adalah syari‟ (Allah) sesuai dengan tuntutan titah-Nya yang terbaru, sedangkan yang mengubah penerapan hukum adalah mujtahid untuk disesuaikan dengan kemaslahatan yang telah berubah.15

Berikut kaidah umum dan metode „Umar bin Khaṭṭāb yang sering digunakan dalam berijtihad di antaranya adalah:16

1. Berpegang pada nas/teks al-Qur‟an dan Sunnah

2. Ijma‟ dan qiyas. Namun bukanlah yang dimaksud disini Ijma‟ sebagaimana yang ada dalam istilah-istilah sebagian pendapat ushul fikih. Namun dengan kesepakatan orang-orang yang mengerti permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya. Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa „Umar bin Khaṭṭāb. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu masalah dengan yang yang serupa. Kecerdasan „Umar dalam mengklasifikasikan suatu masalah sehingga masalah yang lain bisa diqiyaskan. Seperti ijtihadnya zakat „urūdh tijārah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak.

15

Amiur Nuruddin, Ijtihad..., h. 171-172. 16

Muhammad Baltaji, Manhaj „Umar bin Khaṭṭāb fī al-Tasyrī‟, (Kairo: Maktabah al-Syabāb, 1998), h. 533-587.

(10)

10

3. Bermusyawarah dengan para sahabat. Terkadang Umar meminta pendapat mereka atau mereka membenarkan ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb dengan ijma‟ sukuti.

4. Berpikir realistis. Pola ijtihad dan berpikirnya bukan pada hal-hal iftirāḍī (yang diperkirakan ada). Sangat jarang kita menemukan ia memberikan penyelesaian hukum pada permasalahan yang memang belum ada. Ia menyelesaikan kasus perkasus yang benar-benar terjadi dan dihadapi pada masanya dan pada masyarakatnya secara realistis dan cerdas.

5. Kemungkinan benar dan salah. Ketika berijtihad, ia tak memaksakan pendapatnya. Sebaliknya, ia sangat menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya.

6. Maṣlaḥah dan naṣ. Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh „Umar bin Khaṭṭāb dalam pengambilan hukum fikih. Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan cenderung membentur nas. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan menabrak nas, seperti pada contoh had pencuri atau masalah mu‟allaf.

7. Memperhatikan kemaslahatan bersama dan kemaslahatan pribadi atau golongan. Jika bertentangan maka kemaslahatan umumlah yang diprioritaskan.

8. Mentarjih salah satu kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada kemaslahatan.

9. Maslahah dan saż al-żarāi‟. „Umar bin Khaṭṭāb memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada proteksi hukum

(11)

11

dan akidah dengan saż al-żarāi‟yang dikedepankan dari pada maslahah. Seperti penebangan pohon bai‟at al-Riḍwān. Hal tersebut ia lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon tersebut dan salat di bawahnya. Ia mengkhawatirkan hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara perlahan dan berproses.

10. Ta‟zir, hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak ditentukan Rasulullah saw.

11. Qarīnah yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya suami. Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ditafsirkan maka ia pun akan memutuskan lain.

12. Lafaz dan niat. 13. Konsep keadilan.

14. Menghargai hak milik pribadi.

15. Memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan dan hak-haknya. 16. Persamaan hak dan akidah dan lain-lain.

Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh Umar adalah menggunakan ijtihad yang sesuai dengan tujuan syariat Islam dan kemaslahatan umat. Apa yang dilakukannya ini karena munculnya masalah baru yang belum ada pada masa Rasulullah Saw.

Ijtihad-Ijtihad ‘Umar bin Khaṭṭāb, Latar Belakang Pemikirannya

(12)

12

Beberapa hasil ijtihad yang dilakukan oleh „Umar bin Khaṭṭāb yaitu: 1. Penghapusan pemberian hak zakat al-mu‟allafah qulūbuhum

Dalam surat al-Taubah ayat 60 diterangkan bahwa terdapat delapan aṣnāf yang berhak mendapatkan zakat, sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin. pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”17

Pada ayat tersebut bahwa mustaḥiq zakāt (orang yang berhak menerima zakat) ada delapan, di antaranya adalah

al-muallafah qulūbuhum. Atas dasar ayat tersebut Nabi Saw selalu

memberikan zakat kepada delapan aṣnāf tersebut. Tetapi pada masa akhir pemerintahan Abu Bakar dan masa „Umar bin Khaṭṭāb keadaan berubah. Pada suatu hari „Uyainah bin Hasan

17

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: JABAL, 2010), h. 196.

(13)

13

dan Aqra‟ bin Habas datang meminta bagian zakat kepada Abu Bakar. Mereka menjelaskan bahwa sejak masa Nabi terus menerus mendapat zakat, tetap untuk tahun ini mereka belum mendapatkan zakat. Lalu Abu bakar memberikan surat kepada keduanya untuk menemui „Umar dan menyampaikan pesan Abu Bakar. Spontan „Umar menjawab:

طعيْناكْءىشْاذى

ْنكلْافيلْأتْنلسًْويلعْاللهْىلصْاللهْلٌسرْهٌمكي

عأْمٌيلاْمأف

ْلاإًْملاسلإاْىلعْنتبثْنإفْنكنعْىنغأًْْملاسلإاْاللهْز

ْْفيسلاْنكنينبًْْانينبف

ْ

“Ini adalah sesuatu yang Rasulullah dahulu memberikannya padamu untuk mendekatkan dan melunakkan hatimu. Sekarang Allah telah meninggikan Islam dan kamu tidak diperlukan lagi. Jika kamu tetap pada Islam (terserah kepadamu) dan jika tidak, maka di antara kami dengan kamu adalah pedang.18

Setelah mendengar jawaban dari „Umar, „Uyainah dan Aqra‟ terkejut dan merasa bingung. Keduanya lalu kembali ke Abu Bakar dan berkata: Apakah tuan yang khalifah atau „Umar?

Tuan memberikan surat kepada kami lalu „Umar merobeknya.

Abu Bakar menjawab: Memang dia, jika dia menghendaki.19 Sejak saat itu al-mu‟allafah qulūbuhum sampai akhir pemerintahan „Umar.

18

Shobirin, Ijtihad Khulafā‟ al-Rasyidīn, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), h. 153-154.

19

Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah Dirasah Muqaranah li Ahkamiha

wafalsafatiha fi Diui al-Qur'an wa al-Sunnah, Juz II, Cet. XXII, (Beirut: Muassasah

(14)

14 Ijithad „Umar tersebut memancing sebuah problem

apakah penghapusan pemberian zakat kepada al-Muallafah

Qulūbuhum itu mengubah ketentuan nash al-Qur‟an? Padahal

dalam al-Qur‟an telah disebutkan dengan jelas.20 Kita harus

mengetahui pengertian dari al-mu‟allafah qulūbuhum yang secara bahasa artinya orang yang dijinakkan hatinya.21 Sedangkan menurut istilah adalah sekelompok orang yang dibujuk hatinya agar bergabung kepada Islam atau tetap padanya, agar mereka menahan diri tidak melakukan kejahatan terhadap orang-orang Islam, atau orang-orang diharapkan jasanya untuk membantu dan membela kaum muslimin dari segi kemauan.22 Latar belakang pemikiran dari ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb adalah bahwa bagian zakat diberikan kepada

al-mu‟allafah qulūbuhum karena diharapkan agar mereka berubah

dan masuk Islam serta menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka.

Bagian Muallaf, sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh fuqaha dan ditulis Rasyid Rida dalam tafsirnya, diberikan karena ada tujuan-tujuan dan maksud tertentu yang sifatnya kondisional. Zakat diberikan untuk melindungi muallaf dari kejelekan dan hal yang membahayakan imannya, serta untuk

20

Shobirin, Ijtihad..., h. 154. 21

Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, Juz X, (Mesir: Matbah al-Manar, 1928), h. 494.

22

Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), h. 328.

(15)

15

melemah lembutkan hati mereka. Jika Islam sudah berjaya dan jumlah orang Islam sudah banyak serta mereka menjadi kuat, maka mereka tidak boleh diberi bagian zakat. Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa pernah ada seorang musyrik meminta uang kepada Umar, namun beliau tidak memberinya. Umar berkata “siapa yang mau beriman, maka berimanlah. Dan siapa yang mau kafir, kafirlah.”23

Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam memang berada dalam akar budaya akhlak yang rusak sehingga mereka dijuluki dengan jahiliyah. Masa Umar adalah masa gemilang bagi perkembangan Islam. Prestasi yang dicapai sangat banyak, termasuk dalam bidang ekonomi dan keamanan serta perluasan wilayah sehingga ada yang mengatakan „Umar sebagai pendiri negara Islam.24 Namun, penyebutan negara Islam ini alangkah lebih kepada tujuan utamanya yaitu memperkuat akidah, bukan memperluas wilayah semata.

Maka, saat kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah mantap, „Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar. „Umar berijtihad bahwa Rasulullah telah memberikan bagian kepada muallaf qulūbuhum dengan tujuan

23

Muhammad Rawwas, Mausu‟ah Fiqhi „Umar Ibn al-Khaṭṭāb RA, terj. M. Abdul Mujieb AS. Eksikloedi Fiqih Umar bin Khattab ra., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 679.

24

Abbas Mahmud Al Akkad, Abqariyatu Umar, Terj. Gazirah Abdi Ummah “Kejeniusan Umar”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 95.

(16)

16

memperkuat Islam, tetapi karena keadaan yang telah berubah maka bagian itu tidaklah sesuai.25

2. Penolakan „Umar membagikan harta rampasan perang Pembagian harta rampasan perang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Anfal ayat 41, sebagai berikut:

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari al-Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu”26

Ayat tersebut menyebutkan bahwa seperlima dari harta rampasan dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Adapun empat perlimanya Rasulullah membaginya kepada bala tentara yang ikut perang,

25

Shobirin, Ijtihad..., h. 154-155. 26

(17)

17

pembagian jumlahnya disesuaikan dengan peranan masing-masing tentara.27 Fazlur Rahman, Rasulullah sering melaksanakan jika suatu suku tertentu tidak menyerah secara damai, tetapi melalui pertempuran, maka tanah mereka disita sebagai harta rampasan perang dan dibagi-bagikan kepada kaum muslim yang ikut perang.28

Seperlima dibagikan kepada enam macam yaitu Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Sedangkan selebihnya dibagikan kepada para tentara yang ikut perang. Hal ini diperkuat oleh perbuatan Nabi membagikan harta rampasan perang di Khaibar kepada tentara-tentara yang telah berperang. Atas dasar al-Qur‟an dan hadis tersebut, para tentara yang ikut berperang meminta agar harta rampasan perang di Irak dan Syam 1/5 dari padanya segera dikeluarkan untuk enam macam yang disebutkan tadi dan selebihnya diberikan kepada tentara yang telah berperang.

„Umar menolak untuk membagikan rampasan tersebut. penolakan ini setelah diadakan musyawarah dengan para sahabat. Karena, walaupun sekeras dan setegas apapun Umar, ia tetap selalu menggunakan musyawarah sebagai

27

Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar ibn al-Khattab: Studi tentang

Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 155.

28

Fazhur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 271-272.

(18)

18

jalan mengambil keputusan. „Umar menetapkan agar tanah tersebut tetap berada pada pemilik dan penggarapnya, hanya saja mereka diwajibkan membayar pajak dan pajak tersebut untuk baitul mal yang nantinya juga digunakan untuk kemaslahatan muslimin, termasuk para tentara.29 Maksud „Umar membuat keputusan tersebut adalah:

a. Perlu adanya pemeliharaan setelah didapatkannya tanah rampasan tersebut. Maka perlu ditempatkan tentara untuk pengamanannya, yang tentunya tentara itu perlu diberi tanah untuk tempat tinggal. Jika tanah tersebut dibagi maka pemeliharaan tidak tercapai.

b. Apabila tanah itu dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, dikhawatirkan akan timbul perpecahan karena pemilik tanah-tanah akan mengelompok kepada kalangan tertentu yaitu tentara yang ikut berperang. c. Dikhawatirkan akan melemahkan kekutan tentara Islam

karena akan menstimulasi untuk berperang dengan niat untuk mendapatkan harta rampasan perang, bukan murni karena Allah.30

3. Penghentian hukuman potong tangan terhadap pencuri

29

Shobirin, Ijtihad..., h. 164. 30

(19)

19

Allah menjelaskan dalam al-Qur‟an bahwa hukuman tindakan pencurian adalah potong tangan sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 38:

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”31

Pada zaman Rasulullah Saw dan Abu Bakar, setiap pelaku pencurian yang mencapai satu nisab dikenai hukuman potong tangan. Besarnya nisab barang yang dicuri menurut Rasulullah adalah majni. Pada suatu hadis Nabi riwayat Muslim dari Aisyah, tidaklah dipotong tangan pencuri yang

kurang dari delapan majni.

Para ulama berbeda pendapat tentang delapan majni, namun mereka sepakat tentang adanya batas minimal untuk dilaksanakannya hukuman potong tangan. Pencuri laki-laki pertama yang dikenai potong tangan pada masa Rasulullah adalah Khiyar bin „Ady bin Naufal bin Abdi Manaf, sedangkan pencuri perempuan adalah Marrah binti Sufyan bin Abd al-Asad dari Bani Makhzum. Pada zaman Abu

31

(20)

20

Bakar pencuri yang dipotong tangannya adalah Asma binti Umais sedangkan pada masa „Umar adalah Ibnu Samrah. Saudara dari Abdurrahman bin Samrah.

Ketika „Umar dihadapkan seorang pencuri bernama Alamah al-Hatib bin Abi Baltaah. Pencuri tersebut mengakui perbuatannya dan „Umar memerintahkan agar segera dilakukan hukuman potong tangan padanya. Ketika hukuman

segera dilakukan, „Umar memerintahkan untuk

menghentikan hukuman karena ia tidak mengetahui bahwa pencuri tersebut mencuri karena kelaparan. Kemudian, ia bebaskan pencuri tersebut dari hukuman.32

Ijtihad „Umar dilatar belakangi oleh perbuatan pencurian dilakukan saat musim kelaparan, sehingga dia mencuri karena kepalaran. Menurut Fazlur Rahman, Umar menangguhkan hukum hadd ketika makanan sulit diperoleh.33 Keterangan lebih lanjut datang dari Taha Husein bahwa peristiwa ini terjadi pada musim kemarau panjang, yang karena kegersangan tanah yang tidak tertimpa hujan selama sembilan bulan berturut-turut, bumi menjadi abu, sehingga tahun itu diberi nama tahun abu („am al-ramadah). Diperkirakan tahun Abu ini terjadi menjelang akhir abad kedelapan belas hijriyyah, yang meliputi daerah-daerah

32

Shobirin, Ijtihad..., h. 177-179. 33

Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Pakistan: Islamic Research Institute, 1964), h. 182.

(21)

21

Hijaz, Tihama, dan Najd.34 Munculnya wabah pers di negeri Syam yang menyebabkan banyak warga meninggal, menjadikan para pedagang yang mondar-mandir ke Syam menghentikan dagangannya. Hal ini menjadi berpengaruh pada arus perdagangan dari dan ke Syam, begitu pula membawa pengaruh negatif bagi Hijaz. Inilah sebab terjadinya krisis ekonomi dan masa paceklik di negeri Hijaz pada masa Umar atau yang disebut dengan „am al-ramadah.

Sementara itu, terdapat hadis yang mengatakan bahwa Nabi tidak memotong tangan pencuri yang melakukan pencurian di daerah peperangan dan saat berlangsungnya pertempuran. Menurut riwayat Abu Daud dari Junadah bin Abi Umayah, Nabi bersabda: Tidaklah dipotong tangan

(pencuri) dalam (kondisi) peperangan.

Hadis ini menerangkan adanya pengecualian dalam pelaksanaan potong tangan agar kekuatan Islam tetap utuh dan terpusat dalam menghadapi orang kafir atau jangan sampai dimanipulasi pihak lawan sebagai bahan provokasi tentang ketidakbaikan Islam.

„Umar mungkin berfikir bahwa pada masa perang Nabi mengecualikan suatu hukum guna menjaga kemaslahan, maka untuk menjaga kemaslahatan kaum

34

Taha Husein, al-Syaikhan, al-Tab‟ah al-Rabi‟ah, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1969), h. 194.

(22)

22

muslimin, pencuri dalam masa kelaparan (paceklik) dikecualikan dari hukuman potong tangan.35 Pada masa sekarang, adanya perbedaan hukuman pada pelaku kesalahan merupakan wujud implementasi bahwa maqashid al-syar‟iyyah atau maslahah „ammah sebagai pertimbangan penentu dalam menggali sebuah hokum pada tiga ranah utamanya. Tiga ranah itu meliputi daruriyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah.36

Kesimpulan

„Umar adalah seorang sahabat terdekat dan setia kepada Rasulullah. Kecerdasannya dalam berpikir dan memahami syari‟at Islam diakui sendiri oleh Nabi Saw. „Umar melakukan ijtihad seperti halnya sahabat yang lain setelah meninggalnya Rasulullah. Ruang lingkup ijtihad „Umar bin Khaṭṭāb tentang hukum Islam yang berlaku dalam syariat pada waktu itu yaitu ijtihad pada nas-nas khusus dan ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam nas.

Terdapat banyak hasil ijtihad „Umar di antaranya yaitu penghapusan pemberian hak zakat terhadap al-mu‟allafah qulūbuhum, penolakan „Umar membagikan harta rampasan perang,

penghentian hukuman potong tangan terhadap pencuri pada saat masa paceklik. Dilihat dari hasil ijtihadnya, „Umar tidak terpaku pada

35

Shobirin, Ijtihad..., h. 180.

36 Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui

Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, al-Ahkam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang 25 (2015), 1.

(23)

23

teks, namun ia melihat makna dari teks dan menyesuaikannya dengan konteks yang terjadi pada mayarakat saat itu.

Dalam menetapkan keputusan pada permasalahan sosial, „Umar terlebih dahulu mempertimbangkan kasus-kasus serupa pada masa Rasulullah beserta metode penyelesaiannya dalam konteks sosial historis. Ini berarti Umar menggunakan metode qiyas, walaupun pada saat itu belum muncul istilah metode pengambilan hukum melalui qiyas, dll. Namun Umar telah mempraktekannya. Dalam pengambilan keputusan, ia sering mengaitkannya dengan kondisi masyarakat dan waktu diturunkannya ayat tersebut, sehingga maslahat yang dihasilkan pun sesuai dengan jiwa Sunnah. Karena pada dasarnya ijtihad Umar adalah untuk tujuan syariah dan kemaslahatan umat.

Daftar Pustaka

al-„Akkad, „Abbas Maḥmūd, Abqariyatu Umar, Terj. Gazirah Abdi Ummah “Kejeniusan Umar”, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002. al-Gazālīy, Abū Ḥāmid, al-Mustaṣfā min „Ilmi al-Uṣūl, Kairo:

Maktabah Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2004.

al-Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakah Dirasah Muqaranah li Ahkamiha

wafalsafatiha fi Diui al-Qur'an wa al-Sunnah, Juz II, Cet.

(24)

24

al-Sāyis, Muḥammad „Alī, Nasy‟ah al-Fiqh al-Ijtihādī, Kairo: Silsilah al-Buḥūṡ al-Islāmiyah, 1970.

al-Sayūṭī, Jalāluddīn „Abd Raḥmān bin Abī Bakr, al-Jāmi‟ al-Ṣagīr, Kairo: Dār al-Fikr, t.th.

al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, Tārīkh al-Khulafā‟, Mesir: Maṭba„ah Sa„ādah, 1952.

Baltaji, Muḥammad, Manhaj „Umar bin Khaṭṭāb fī al-Tasyrī‟, Kairo: Maktabah al-Syabāb, 1998.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: JABAL, 2010.

Hajar, Ibnu, Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣahābah, Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1323 H.

Hasan, Ibrahim, Tārīkh Islām Siyāsiy wa Ṡaqāfiy wa

al-Ijtimā‟iy, terjemahan: Sejarah Kebudayaan Islam oleh A.

Bahaudin, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Husein, Taha, Syaikhan, Tab‟ah Rabi‟ah, Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1969.

Jawwas, Fahmi, Posisi Naṣ dalam Ijtihād „Umar ibn Khaṭṭāb, Jurnal Studia Islamika, vol. 10, No. 2, Palu: STAIN Datokarama, 2013.

(25)

25

Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, al-Ahkam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 25 (2015).

Nu‟mani, Syibli, „Umar yang Agung, Sejarah dan Analisa

Kepemimpinan Khalifah II, Bandung: Penerbit Pustaka,

1981.

Nuruddin, Amiur, Ijtihad „Umar ibn al-Khattab: Studi tentang

Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers,

1987.

Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Pakistan: Islamic Research Institute, 1964.

Rahman, Fazhur, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1983. Rawwas, Muhammad, Mausu‟ah Fiqhi „Umar Ibn al-Khaṭṭāb RA,

terj. M. Abdul Mujieb AS. Eksikloedi Fiqih Umar bin

Khattab ra., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Riḍā, Rasyid, Tafsīr al-Manār, Juz X, Mesir: Matba‟ah al-Manar, 1928.

Sābiq, Al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut: Dār al-Fikr, 1983. Shobirin, Ijtihad Khulafā‟ al-Rasyidīn, Semarang: RaSAIL Media

(26)

26

Yusdani, Amir Mualim, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Pers, 2004.

Zahrah, Muḥammad Abū, Muḥāḍarah fī Tārīkh Mażāhib

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuan- titatif kausal. Dalam penelitian ini peneliti mengukur hubungan sebab akibat antara variabel independen yaitu pemulihan jasa:

dimaksud dalam Pasal 3 huruf a ditetapkan berdasarkan kontrak kerja sama antara Kepala Badan Layanan Umum Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan pada Kementerian

SIP merupakan material berupa panel sandwich yang terdiri dari foam insulasi (umumnya dari EPS) yang diapit oleh panel OSB, terbuat dari kayu yang mudah

Dari analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi maka nilai pH pewarna merah cair dari ekstrak bunga rosella akan semakin meningkat

Perjalanan dilanjutkan menuju Jericho untuk mengunjungi Mesjid dan Maqom Nabi Musa, Mt of Temptaion, setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Allenby Bridge untuk

Sesuai dengan hasil analisis statistik dengan uji independen t-test pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan status gizi balita

Untuk itu pada generasi berikutnya perlu dilakukan seleksi lagi untuk mendapatkan karakter tanaman produksi per plot tinggi dengan nilai kemajuan genetik yang

Analisis isi kandungan kualitatif berteraskan kaedah analisis pembingkaian Entman (1993) dengan merujuk empat fungsi pembingkaian iaitu pendefinisian masalah, mentafsiran