• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Epoksidasi Minyak Jarak Pagar

Epoksida minyak jarak pagar (EJP) yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna yang relatif sama dengan minyak jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku. Minyak jarak pagar sebagai bahan baku utama penelitian diperoleh dari BPPT Serpong Jawa Barat. Minyak diambil dari hasil pengepresan biji jarak pagar menggunakan unit pengepres yang dimiliki oleh BPPT, kemudian dilanjutkan dengan proses degumming sehingga diperoleh minyak jarak pagar yang terbebas dari kandungan getah/lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, dan poliol tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak.

Analisis bilangan iodin dan bilangan oksirana yang dilakukan terhadap EJP yang dipisahkan dari campuran reaksi dan telah dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kualitas Minyak Jarak Pagar dan EJP

Parameter Minyak Jarak Pagar EJP

Bilangan iodin (g I2/100g) Bilangan Oxirana (%) 108.9 0.04 10.8 3.15

Tabel 5 memperlihatkan nilai bilangan iodin minyak jarak pagar sebesar 108,9 g I2/100g menurun pada EJP menjadi 10,8 g I2/100g, sebaliknya bilangan oksirana pada EJP meningkat dibandingkan bilangan oksirana minyak menjadi sebesar 3,15%. Penurunan bilangan iod yang terjadi mengindikasikan terjadinya proses oksidasi ikatan rangkap akibat perlakuan penelitian, sedangkan peningkatan bilangan oksirana mengindikasikan telah terbentuk cincin epoksida sebagai salah satu produk oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada minyak jarak. Reaksi pembentukan epoksida dari minyak nabati telah dilaporkan oleh Hill (2000); Guner et al. (2006); Sugita et al. (2007a); dan Meyer et al. (2008).

(2)

C C O O H C R O C C O C R O + O H

Gambar 11 Mekanisme reaksi epoksidasi menggunakan asam perkarboksilat

Gambar 11 menggambarkan mekanisme reaksi epoksidasi ikatan rangkap menggunakan asam perkarboksilat dalam suasana asam yang termasuk reaksi adisi elektrofilik (Edenborough 1999). Epoksida yang terbentuk merupakan senyawa antara yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk senyawa diol dengan adanya nukleofil. Gugus pergi berupa anion karboksilat dapat bereaksi lebih lanjut dengan epoksida terprotonasi membentuk asam konjungat yaitu asam karboksilat dan epoksida netral.

Nilai bilangan oksirana EJP sebesar 3,15% yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Meyer et al.

(2008) sebesar 4,75% menggunakan pereaksi HCOOH dan H2O2 50%, suhu 50oC dan waktu reaksi 5 jam. Rendahnya bilangan oksirana diduga disebabkan oleh penggunaan H2O2 yang berlebih yang dapat menyebabkan reaksi pembukaan cincin epoksida dari EJP. Selain itu, pembukaan cincin juga diduga karena katalis Amberlite IR-120 yang digunakan merupakan resin asam penukar kation.

Persentase EJP hasil epoksidasi yang diperoleh dapat berkurang akibat adanya serangan nukleofil terhadap cincin epoksida menghasilkan senyawa diol. Serangan nukleofil terhadap cincin epoksida dapat terjadi dalam suasana asam maupun basa. Secara umum, mekanisme reaksi pembentukan diol dalam suasana asam dapat dilihat pada Gambar 12.

(3)

Suasana asam O H O OH Nu +H+ Nu Suasana basa O O OH OH H OH SN2 HO OH + OH

Gambar 12 Mekanisme reaksi pembentukan diol

Hasil analisis menunjukkan dalam penelitian ini telah terbentuk gugus hidroksil pada produk EJP akibat reaksi samping epoksida dengan sisa peroksida, H2O, dan asam asetat. Reaksi pembukaan cincin epoksida oleh sisa peroksida dalam campuran reaksi yang dikatalis asam didukung oleh penelitian yang dilaporkan oleh Campanella & Baltanas (2005), dimana pada kondisi tersebut reaksi pembukaan cincin secara kinetik memiliki Ea = 16,3 ±0,72 kkal/mol. Lama waktu reaksi sebesar 12 jam yang digunakan dalam proses epoksidasi pada penelitian ini juga diduga menjadi penyebab terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida. Hasil penelitian yang dilaporkan Chou & Chang (1986); Gan et al.

(1992); dan Rangarajan et al. (1995), waktu reaksi proses epoksidasi yang dapat meminimalkan reaksi pembukaan cincin adalah 4 jam.

Reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menjadi EJP memiliki energi aktivasi sebesar 45,43 kJ/mol (Sugita et al. 2007b) yang setara dengan 10,86 kkal/mol relatif lebih rendah dibandingkan energi aktivasi reaksi pembukaan cincin sebesar 16,3 kkal/mol (Campanella & Baltanas 2005). Secara teoretis reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menghasilkan EJP lebih dominan dibandingkan reaksi pembukaan cincinnya. Namun demikian, perbedaan energi

(4)

aktivasi yang juga relatif kecil tersebut tetap memungkinkan terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida sehingga sebagian produk EJP telah mengalami reaksi pembukaan cincin.

Gambar 13 menunjukkan reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati oleh adanya air, peroksida, asam karboksilat dan asam peroksikarboksilat dalam suasana asam (Campanella & Baltanas 2005). Bilangan oksirana EJP yang relatif rendah dalam penelitian diprediksi disebabkan oleh reaksi ini.

Gambar 13 Reaksi Pembukaan cincin epoksida minyak nabati

Berdasarkan hasil analisis FTIR produk epoksidasi (Lampiran 7), spektrum EJP menunjukkan adanya serapan untuk gugus -OH, C-O, C=O, dan oksirana berturut-turut diperoleh pada bilangan gelombang 3472 cm-1, 1241 cm-1; 1743 cm-1; 1169 cm-1 dan 723 cm-1. Munculnya pita serapan yang melebar pada 3472 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil yang terbentuk akibat reaksi pembukaan cincin epoksida. Serapan pada bilangan gelombang 1377 cm-1

(5)

memberikan indikasi adanya gugus hidroksil sekunder, sehingga dapat disimpulkan gugus hidroksil yang terbentuk adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom C sekunder.

Poliol yang dihasilkan pada penelitian ini berwujud cair berwarna kekuningan. Gambar 1

sintesis dibandingkan poliol komersial, minyak jarak pagar dan isosianat. Warna kekuningan yang tampak pada minyak jarak pagar, EJP, dan poliol hasil sintesis diprediksi berasal dari senyawa pengotor berwarna yang belum mampu dipisahkan dari bahan baku minyak jarak pagar pada proses pemurnian minyak. Senyawa beta karoten yang berwarna kuning merupakan salah satu senyawa yang lazim terdapat pada bahan nabati termasuk min

minyak yang lebih optimal diprediksi dapat mengurangi hingga menghilangkan warna kuning pada produk akhir poliol berbasis minyak jarak pagar ini.

Keterangan: MINYAK EJP K L.OHV H.OHV ISO Gambar 1

Bahan baku pembuatan poliol minyak jarak pagar adalah EJP hasil epoksidasi minyak jarak pagar pada tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini, memberikan indikasi adanya gugus hidroksil sekunder, sehingga dapat disimpulkan gugus hidroksil yang terbentuk adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom C sekunder.

Pembuatan Poliol

oliol yang dihasilkan pada penelitian ini berwujud cair

berwarna kekuningan. Gambar 14 memperlihatkan perbedaan warna poliol hasil sintesis dibandingkan poliol komersial, minyak jarak pagar dan isosianat. Warna ampak pada minyak jarak pagar, EJP, dan poliol hasil sintesis si berasal dari senyawa pengotor berwarna yang belum mampu dipisahkan dari bahan baku minyak jarak pagar pada proses pemurnian minyak. Senyawa beta karoten yang berwarna kuning merupakan salah satu senyawa yang lazim terdapat pada bahan nabati termasuk minyak jarak pagar. Proses preparasi minyak yang lebih optimal diprediksi dapat mengurangi hingga menghilangkan warna kuning pada produk akhir poliol berbasis minyak jarak pagar ini.

: Minyak jarak pagar; : Epoksida jarak pagar; : Poliol komersial;

: Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil rendah; : Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil tinggi; : Isosianat

Gambar 14 Hasil sintesis poliol dari minyak jarak pagar

Bahan baku pembuatan poliol minyak jarak pagar adalah EJP hasil epoksidasi minyak jarak pagar pada tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini, memberikan indikasi adanya gugus hidroksil sekunder, sehingga dapat disimpulkan gugus hidroksil yang terbentuk adalah gugus hidroksil yang terikat

oliol yang dihasilkan pada penelitian ini berwujud cair agak kental memperlihatkan perbedaan warna poliol hasil sintesis dibandingkan poliol komersial, minyak jarak pagar dan isosianat. Warna ampak pada minyak jarak pagar, EJP, dan poliol hasil sintesis si berasal dari senyawa pengotor berwarna yang belum mampu dipisahkan dari bahan baku minyak jarak pagar pada proses pemurnian minyak. Senyawa beta karoten yang berwarna kuning merupakan salah satu senyawa yang yak jarak pagar. Proses preparasi minyak yang lebih optimal diprediksi dapat mengurangi hingga menghilangkan warna kuning pada produk akhir poliol berbasis minyak jarak pagar ini.

: Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil rendah; : Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil tinggi;

dari minyak jarak pagar

Bahan baku pembuatan poliol minyak jarak pagar adalah EJP hasil epoksidasi minyak jarak pagar pada tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini,

(6)

reaksi pembukaan cincin epoksida pada EJP menjadi poliol dilakukan dengan menggunakan pereaksi utama asam akrilat mengacu pada prosedur yang dilaporkan oleh Chasar et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Penggunakan TEA selain sebagai katalis reaksi juga dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya reaksi oligomerisasi (Wool & Koht 2007).

Transformasi EJP menjadi poliol pada berbagai ragam %AA, %TEA dan waktu reaksi telah berhasil dilakukan pada penelitian ini. Variasi %AA, %TEA dan waktu reaksi sebanyak 48 jenis perlakukan dengan tiga kali ulangan menghasilkan respon bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen reaksi yang berbeda-beda. Data pengujian poliol hasil sintesis meliputi: bilangan hidroksil, bilangan oksirana, dan rendemen hasil reaksi dapat dilihat pada Lampiran 6.

Data hasil analisis menunjukkan bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen poliol berturut-turut berkisar 70.23 – 134,96 mg KOH/g, 0,03 – 0,14 % dan 58,93 – 91,53%. Data bilangan hidroksil yang lengkap digunakan untuk mempelajari pengaruh asam akrilat, katalis TEA, dan waktu reaksi terhadap pencapaian bilangan hidroksil poliol. Bilangan hidroksil merupakan parameter utama kualitas poliol yang digunakan untuk perhitungan dalam reaksinya dengan isosianat menghasilkan poliuretan.

Data bilangan oksirana poliol pada semua ragam perlakuan menunjukkan penurunan dibandingkan dengan data bilangan oksirana sebesar 3,15% pada EJP, hal ini mengindikasikan bahwa reaksi pembukaan cincin epoksida pada penelitian ini berhasil. Salah satu bukti hasil reaksi pembukaan cincin oksirana adalah terbentuknya gugus hidroksil yang ditunjukkan oleh hasil analisis bilangan hidroksil. Penurunan bilangan oksirana tidak secara linier berimbas terhadap kenaikan bilangan hidroksil sebab reaksi pembukaan cincin epoksida diduga menghasilkan produk yang beragam selain poliol. Dugaan produk dari hasil reaksi pembukaan epoksida dapat dilihat pada Gambar 13.

Rendemen poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 58,93% dan 91,53% dengan rata-rata 80,24%. Rendemen terendah terjadi pada kondisi reaksi 1,4% AA, 2% TEA dan waktu reaksi 120 menit, sedangkan

(7)

rendemen tertinggi dicapai pada penggunaan 2,9% AA, 3% TEA dan waktu reaksi 180 menit. Data rendemen poliol sintesis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil analisis keragaman terhadap rendemen poliol menunjukkan bahwa %AA, %TEA, dan waktu reaksi berpengaruh secara nyata terhadap rendemen poliol yang dihasilkan. Variasi level %AA. %TEA dan waktu reaksi secara parsial dapat digunakan untuk memprediksi penurunan atau peningkatan rendemen dari poliol yang dihasilkan. Analisis keragaman rendemen poliol ditunjukkan pada Lampiran 8.

Reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati dengan asam akrilat dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi ester (Guner et al. 2005; Mannari & Goel 2007). Berdasarkan hasil analisis, bilangan hidroksil poliol minyak jarak pagar yang dihasilkan meningkat secara signifikan dengan meningkatnya %AA. Grafik peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Pengaruh parsial %AA terhadap bilangan hidroksil

Gambar 15 menunjukkan peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA yang cukup signifikan. Peningkatan bilangan hidroksil disebabkan oleh asam akrilat merupakan donor proton yang baik yang dapat

79.34 94.18 119.23 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 1.4 2.9 4.3 %AA Bi la ng an H id ro ks il (m g K O H /g )

(8)

mengkatalisis reaksi pembukaan cincin epoksida. Kelimpahan proton dalam campuran reaksi yang berasal dari asam akrilat menyebabkan terbentuknya cincin epoksida yang terprotonasi dalam suasana asam. Serangan nukleofil akrilat terhadap cincin epoksida terprotonasi menghasilkan senyawa beta hidroksi ester akrilat.

Fungsi utama penggunaan TEA dalam penelitian ini adalah sebagai katalis dan penghambat terjadinya reaksi oligomerisasi (Mannari & Goel 2007). Reaksi oligomerisasi dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi H+ yang berasal dari asam akrilat. Pengaruh penggunaan TEA terhadap bilangan hidroksil secara parsial dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Pengaruh parsial %TEA terhadap bilangan hidroksil

Pada konsentrasi TEA yang rendah, poliol yang dihasilkan cenderung memiliki bilangan hidroksil yang rendah karena sebagian gugus epoksida terkonversi menjadi dimer, trimer, dan atau oligomer. Penggunaan TEA pada konsentrasi yang tinggi dapat menekan terjadinya reaksi oligomerisasi, tetapi penggunaan TEA dengan konsentrasi berlebihan justru diprediksi dapat memperlambat reaksi pembukaan cincin epoksida karena terjadi netralisasi proton dari asam akrilat oleh sifat basa dari TEA.

87.49 90.58 103.51 108.74 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 1 2 3 %TEA Bi la ng an H id ro ks il (m g K O H /g )

(9)

Gambar 17 Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil

Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil poliol pada Gambar 17 menunjukkan pola peningkatan bilangan hidroksil dengan nilai yang relatif kecil. Peningkatan bilangan hidroksil hanya berkisar antara 0,02 – 3,61 mg KOH/g untuk tiap kenaikan waktu 60 menit. Waktu reaksi 180 menit terlihat cukup efisien untuk menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil 99,90 mg KOH/g. Reaksi pembukaan cincin epoksida tidak memerlukan waktu yang lama karena protonasi epoksida oleh H+ dari asam akrilat cukup efektif untuk terjadinya reaksi ini.

Hasil analisis keragaman terhadap bilangan hidroksil poliol menunjukkan bahwa %AA, %TEA dan waktu reaksi berpengaruh nyata terhadap bilangan hidroksil. Hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 7.

Gambar 18 memperlihatkan respon bilangan hidroksil pada variasi %AA dan waktu reaksi. Pengaruh variasi %TEA belum bisa terlihat pada grafik tersebut, pengaruh variasi %TEA dapat dilihat secara jelas pada grafik kontur yang ditunjukkan pada Gambar 18. Pembahasan selanjutnya, karena grafik respon hanya memperlihatkan dua buah variabel dari tiga variabel yang ada, maka pengaruh ketiga variabel secara bersama-sama terhadap respon ditunjukkan melalui grafik kontur.

99.92 99.90 96.29 94.21 40 50 60 70 80 90 100 110 120 60 120 180 240

Waktu Reaksi (Menit)

Bi la ng an H id ro ks il (m g K O H /g )

(10)

Gambar 18 R

Pada Gambar

poliol apabila %AA bertambah besar, sedangkan kenaikan waktu reaksi memberikan pengaruh relatif kecil

Kenaikan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA secara jelas terlihat leb tinggi dibandingkan kenaikan bilangan hidroksil yang disebabkan oleh kenaikan waktu reaksi.

Gambar 19 memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh waktu reaksi dan %AA pada variasi penggunaan katalis TEA. Kenaikan %TEA secara konsisten me

4.0% dan waktu reaksi 60 menit, penggunaan TEA 0% menyebabkan kisaran bilangan hidroksil 90

penggunaan TEA 1% ternyata bilangan hidroksil berada pada kisaran

KOH/g (Gambar 19b). Pola yang sama terjadi pada penggunaan TEA 2% dan 3% yang berturut-turut menghasilkan bilangan hidroksil pada kisaran 110

KOH/g dan 120-130 mg KOH/g (Gambar

Respons bilangan hidroksil pada variasi %AA dan waktu reaksi

Pada Gambar 18, memperlihatkan terjadinya kenaikan bilangan hidroksil apabila %AA bertambah besar, sedangkan kenaikan waktu reaksi memberikan pengaruh relatif kecil terhadap kenaikan bilangan hidroksil. Kenaikan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA secara jelas terlihat leb tinggi dibandingkan kenaikan bilangan hidroksil yang disebabkan oleh kenaikan

memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh waktu reaksi dan %AA pada variasi penggunaan katalis TEA. Kenaikan %TEA secara konsisten menyebabkan kenaikan bilangan hidroksil. Pada kondisi AA 4.0% dan waktu reaksi 60 menit, penggunaan TEA 0% menyebabkan kisaran bilangan hidroksil 90 – 100 mg KOH/g (Gambar 19a), sedangkan pada penggunaan TEA 1% ternyata bilangan hidroksil berada pada kisaran

b). Pola yang sama terjadi pada penggunaan TEA 2% dan 3% turut menghasilkan bilangan hidroksil pada kisaran 110

130 mg KOH/g (Gambar 19c dan 19d).

hidroksil pada variasi %AA dan

terjadinya kenaikan bilangan hidroksil apabila %AA bertambah besar, sedangkan kenaikan waktu reaksi terhadap kenaikan bilangan hidroksil. Kenaikan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA secara jelas terlihat lebih tinggi dibandingkan kenaikan bilangan hidroksil yang disebabkan oleh kenaikan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh waktu reaksi dan %AA pada variasi penggunaan katalis TEA. Kenaikan %TEA nyebabkan kenaikan bilangan hidroksil. Pada kondisi AA 4.0% dan waktu reaksi 60 menit, penggunaan TEA 0% menyebabkan kisaran a), sedangkan pada penggunaan TEA 1% ternyata bilangan hidroksil berada pada kisaran 100-110 mg b). Pola yang sama terjadi pada penggunaan TEA 2% dan 3% turut menghasilkan bilangan hidroksil pada kisaran 110-120 mg

(11)

Gambar 19 Pengaruh waktu reaksi dan %AA pada %TEA 0% (a), 1% (b), 2% (c) dan 3% (d) terhadap bilangan hidroksil

Gambar 20 Respon

Pengaruh waktu reaksi dan %AA pada %TEA 0% (a), 1% (b), 2% (c) dan 3% (d) terhadap bilangan hidroksil

espons bilangan hidroksil pada variasi %AA dan %TEA (a)

(c)

Pengaruh waktu reaksi dan %AA pada %TEA 0% (a), 1% (b), 2% (c) dan 3% (d) terhadap bilangan hidroksil

bilangan hidroksil pada variasi %AA dan %TEA (b)

(12)

Pengaruh variasi %AA dan %TEA terhadap respon bilangan hidroksil dapat dilihat pada Gambar 2

respon bilangan hidroksil

terhadap kenaikan bilangan hidroksil, namun pada konsentrasi TEA yang lebih tinggi dari 2,5% memberikan respon yang re

pada konsentrasi TEA lebih besar dari 2,5%, kenaikan %TEA tidak memberikan dampak yang berarti terhadap bilangan hidroksil. Penggunaan katalis diprediksi optimal pada %TEA sebesar 3% pada berbagai variasi %AA dan wak

Gambar 21 Pengaruh %AA dan %TEA pada waktu reaksi 60 menit (a), 120 menit (b), 180 menit (c) dan 240 menit (d) terhadap bilangan hidroksil

Gambar 21 memberikan informasi lebih lanjut mengenai pengaruh %TEA dan %AA pada variasi waktu reaksi. Kenaikan waktu reaksi pada %AA dan %TEA berpengaruh kecil terhadap peningkatan bilangan hidroksil

gambaran, pada waktu reaksi 60 menit, AA 1,5% dan

Pengaruh variasi %AA dan %TEA terhadap respon bilangan hidroksil pada Gambar 20. Kenaikan %AA secara siginifikan meningkatkan respon bilangan hidroksil poliol. Kenaikan %TEA juga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan bilangan hidroksil, namun pada konsentrasi TEA yang lebih tinggi dari 2,5% memberikan respon yang relatif stabil. Hasil ini mengindikasikan pada konsentrasi TEA lebih besar dari 2,5%, kenaikan %TEA tidak memberikan dampak yang berarti terhadap bilangan hidroksil. Penggunaan katalis diprediksi optimal pada %TEA sebesar 3% pada berbagai variasi %AA dan wak

Pengaruh %AA dan %TEA pada waktu reaksi 60 menit (a), 120 menit (b), 180 menit (c) dan 240 menit (d) terhadap bilangan hidroksil

memberikan informasi lebih lanjut mengenai pengaruh %TEA dan %AA pada variasi waktu reaksi. Kenaikan waktu reaksi pada %AA dan %TEA berpengaruh kecil terhadap peningkatan bilangan hidroksil

gambaran, pada waktu reaksi 60 menit, AA 1,5% dan TEA 0%, (a)

(c)

Pengaruh variasi %AA dan %TEA terhadap respon bilangan hidroksil . Kenaikan %AA secara siginifikan meningkatkan . Kenaikan %TEA juga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan bilangan hidroksil, namun pada konsentrasi TEA yang lebih . Hasil ini mengindikasikan pada konsentrasi TEA lebih besar dari 2,5%, kenaikan %TEA tidak memberikan dampak yang berarti terhadap bilangan hidroksil. Penggunaan katalis diprediksi optimal pada %TEA sebesar 3% pada berbagai variasi %AA dan waktu reaksi.

Pengaruh %AA dan %TEA pada waktu reaksi 60 menit (a), 120 menit (b), 180 menit (c) dan 240 menit (d) terhadap bilangan hidroksil

memberikan informasi lebih lanjut mengenai pengaruh %TEA dan %AA pada variasi waktu reaksi. Kenaikan waktu reaksi pada %AA dan %TEA berpengaruh kecil terhadap peningkatan bilangan hidroksil poliol. Sebagai TEA 0%, poliol memiliki

(b)

(13)

bilangan hidroksil kurang dari 70 mg KOH/g, sedangkan pada waktu reaksi 240 menit dengan kondisi AA dan TEA yang sama diperoleh bilangan hidroksil kurang dari 80 mg KOH/g. Pola yang sama terjadi pada hampir seluruh kombinasi variabel AA dan TEA.

Gambar 22 R

Respon bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi pada Gambar 22 menunjukkan kenaikan waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan bil

interaksi antara waktu reaksi dan %AA terhadap respon bilangan hidroksil (Gambar 18). Disisi lain, kenaikan %TEA berpengaruh terhadap kenaikan bilangan hidroksil poliol

%TEA juga sejenis dengan pola sebelumya pada Gambar 2

Berdasarkan respon bilangan hidroksil akibat variasi %AA, %TEA dan waktu reaksi yang ditunjukkan oleh Gambar

hidroksil dipengaruhi secara

waktu reaksi merupakan variabel yang tidak dominan. Meskipun terjadi kenaikan bilangan hidroksil akibat kenaikan waktu reaksi namun kenaikan tersebut tidak cukup tinggi.

bilangan hidroksil kurang dari 70 mg KOH/g, sedangkan pada waktu reaksi 240 menit dengan kondisi AA dan TEA yang sama diperoleh bilangan hidroksil mg KOH/g. Pola yang sama terjadi pada hampir seluruh kombinasi el AA dan TEA.

Respons bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi

Respon bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi pada menunjukkan kenaikan waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan bilangan hidroksil, hal yang sama telah diperlihatkan pada interaksi antara waktu reaksi dan %AA terhadap respon bilangan hidroksil ). Disisi lain, kenaikan %TEA berpengaruh terhadap kenaikan poliol. Pola respon bilangan hidroksil akibat pengaruh variasi %TEA juga sejenis dengan pola sebelumya pada Gambar 20.

Berdasarkan respon bilangan hidroksil akibat variasi %AA, %TEA dan waktu reaksi yang ditunjukkan oleh Gambar 18, 20 dan 22, peningkatan bilangan hidroksil dipengaruhi secara dominan oleh variabel %AA dan %TEA, sedangkan waktu reaksi merupakan variabel yang tidak dominan. Meskipun terjadi kenaikan bilangan hidroksil akibat kenaikan waktu reaksi namun kenaikan tersebut tidak bilangan hidroksil kurang dari 70 mg KOH/g, sedangkan pada waktu reaksi 240 menit dengan kondisi AA dan TEA yang sama diperoleh bilangan hidroksil mg KOH/g. Pola yang sama terjadi pada hampir seluruh kombinasi

bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan

Respon bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi pada menunjukkan kenaikan waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan angan hidroksil, hal yang sama telah diperlihatkan pada interaksi antara waktu reaksi dan %AA terhadap respon bilangan hidroksil ). Disisi lain, kenaikan %TEA berpengaruh terhadap kenaikan akibat pengaruh variasi Berdasarkan respon bilangan hidroksil akibat variasi %AA, %TEA dan , peningkatan bilangan dominan oleh variabel %AA dan %TEA, sedangkan waktu reaksi merupakan variabel yang tidak dominan. Meskipun terjadi kenaikan bilangan hidroksil akibat kenaikan waktu reaksi namun kenaikan tersebut tidak

(14)

Gambar 22 memperlihatkan pengaruh %TEA

penggunaan AA 1,4%, 2,9% dan 4,3% terhadap respon bilangan hidroksil. Pola grafik secara umum menunjukkan variasi waktu reaksi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan hidroksil

menunjukkan kenaikan %TEA mampu meningkatkan bilangan hidroksil secara konsisten pada berbagai level %AA yang digunakan. Pengaruh %TEA lebih dominan dibandingkan pengaruh waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil

Gambar 23 Pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada %AA 1,4% (a), 2,9% (b), dan (c) 4,3% terhadap bilangan hidroksil

Penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, berdasarkan Gambar 2

KOH/g. Pada Gambar 2

poliol yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran KOH/g. Sedangkan, pada Gambar 2

menit, poliol yang dihasilkan memiliki bilangan hid

memperlihatkan pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada penggunaan AA 1,4%, 2,9% dan 4,3% terhadap respon bilangan hidroksil. Pola grafik secara umum menunjukkan variasi waktu reaksi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan hidroksil poliol seperti pada grafik respon. Grafik kon

ukkan kenaikan %TEA mampu meningkatkan bilangan hidroksil secara konsisten pada berbagai level %AA yang digunakan. Pengaruh %TEA lebih dominan dibandingkan pengaruh waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil

Pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada %AA 1,4% (a), 2,9% (b), dan (c) 4,3% terhadap bilangan hidroksil

Penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, poliol

berdasarkan Gambar 23a memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 70

a Gambar 23b, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran

KOH/g. Sedangkan, pada Gambar 23c, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 1

(a)

(c)

dan waktu reaksi pada penggunaan AA 1,4%, 2,9% dan 4,3% terhadap respon bilangan hidroksil. Pola grafik secara umum menunjukkan variasi waktu reaksi tidak berpengaruh nyata seperti pada grafik respon. Grafik kontur ukkan kenaikan %TEA mampu meningkatkan bilangan hidroksil secara konsisten pada berbagai level %AA yang digunakan. Pengaruh %TEA lebih dominan dibandingkan pengaruh waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil poliol.

Pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada %AA 1,4% (a), 2,9%

yang dihasilkan a memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 70-75 mg b, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 85-90 mg c, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 roksil pada kisaran 110-115

(15)

mg KOH/g. Hasil ini menunjukkan %AA berpengaruh kuat terhadap bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini.

Bilangan hidroksil poliol hasil sintesis yang dihasilkan dari penelitian ini berada pada kisaran 70.23 – 134,92 mg KOH/g, lebih rendah dari prediksi teoretis 230 – 240 mg KOH/g dengan asumsi fungsionalitas EJP memiliki 3 gugus epoksida/mol. Bilangan hidroksil poliol yang lebih rendah diduga disebabkan oleh terjadinya reaksi-reaksi antara gugus hidroksil yang terbentuk dan gugus epoksida membentuk dimer, trimer atau oligomer. Reaksi oligomerisasi dapat terjadi lebih cepat dengan adanya H+ dari asam akrilat. Secara fisik, reaksi oligomerisasi ditandai dengan kenaikan viskositas poliol akibat kenaikan bobot molekul poliol (Ionescu 2005).

Dalam penelitian ini, upaya untuk mencegah terjadinya reaksi oligomerisasi telah dilakukan dengan menambahkan katalis TEA yang bersifat basa sehingga diharapkan dapat menurunkan konsentrasi H+ dalam campuran reaksi. Mannari & Goel (2007), melaporkan poliol yang dihasilkan dari epoksida minyak kedelai yang secara teoretis memiliki bilangan hidroksil 440-450 mg KOH/g, tetapi akibat dari terjadinya reaksi oligomerisasi poliol yang dihasilkan hanya memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 200 – 250 mg KOH/g. Hasil tersebut sebanding dengan capaian bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini. Penggunaan TEA selain berfungsi sebagai katalis dan mencegah terjadinya reaksi oligomerisasi, juga berfungsi lebih lanjut dalam mengkatalis reaksi poliol dengan isosianat dalam reaksi pembentukan poliuretan.

Reaksi pembukaan cincin epoksida selain dengan menggunakan asam akrilat seperti yang telah dilaporkan, juga dapat dilakukan dengan cara hidrolisis, alkoholisis dan hidrogenolisis (Ionescu 2005). Reaksi pembukaan cincin epoksida dengan menggunakan alkohol dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi eter dan keton (Rios 2003). Hasil transformasi gugus epoksida menjadi gugus hidroksil pada epoksida minyak nabati lebih dikenal sebagai poliol oleokimia. Penggunaan asam akrilat dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan target aplikasi produk yang diinginkan yaitu sebagai bahan pelapis poliuretan.

(16)

Senyawa beta hidroksi ester yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara EJP dan asam akrilat secara teoretis menyediakan gugus hidroksil sekunder yang dapat direaksikan dengan isosianat menghasilkan poliuretan. Adanya ikatan rangkap pada rantai ujung ester akrilat memungkinkan terjadinya reaksi lanjutan menghasilkan polimer dengan bobot molekul yang lebih besar. Gugus akrilat dalam matrik polimer yang akan terbentuk setelah direaksikan dengan isosianat diharapkan dapat memberikan karakter keras yang dibutuhkan dalam aplikasi pelapis.

Pembuatan Bahan Pelapis Poliuretan

Pembuatan bahan pelapis poliuretan berbasis minyak jarak pagar dilakukan dengan tahap-tahap, yaitu 1) pencampuran poliol dengan pelarut dan aditif; 2) penambahan isosianat dengan rasio molar ekuivalen dengan poliol; 3) pelapisan pada panel plastik ABS; 4) penguapan pelarut; 5) pengeringan oven bersuhu 70oC selama 30 menit; dan 6) pendinginan. Pembuatan film poliuretan dilakukan dengan tiga jenis poliol, yaitu poliol L.OHV, poliol H.OHV, dan poliol komersial. Jenis isosianat yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu isosianat A dan isosianat B.

Bahan pelapis poliuretan dalam penelitian ini dibuat dari poliol dari minyak jarak pagar. Poliol yang digunakan pada tahap ini merupakan hasil sintesis yang dipisahkan menjadi dua kelompok dan dilakukan analisis ulang bilangan hidroksil. Poliol dengan bilangan hidroksil 81,28 mg KOH/g disebut dengan poliol L.OHV, sedangkan poliol dengan bilangan hidroksil 117,43 mg KOH/g disebut dengan poliol H.OHV.

Lapisan film poliuretan dari poliol hasil sintesis menampakkan warna film agak kekuningan dibandingkan film poliuretan dari poliol komersial. Warna kuning pada poliol sintesis diduga disebabkan adanya pengotor dalam bahan baku poliol. Penyempurnaan proses preparasi bahan baku minyak jarak pagar diprediksi dapat mengurangi timbulnya warna kuning pada film poliuretan. Hasil analisis lapisan film poliuretan yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6.

(17)

Tabel 6 Hasil Uji Film Poliuretan

Jenis Poliol Jenis Isosianat Daya Kilapa) Tingkat kekerasanb) Daya rekat (Adhesi)c) L.OHV Iso A 901 932 913 31 32 33 901 952 953 Iso B 911 892 853 31 32 23 981 912 863 H.OHV Iso A 901 902 883 31 32 43 941 902 913 Iso B 891 912 943 31 42 33 961 922 893 Komersial Iso A 951 972 943 31 32 43 1001 982 1003 Iso B 961 992 963 41 42 33 991 952 973 Keterangan : 1 ulangan ke-1; 2 ulangan ke-2; 3 ulangan ke-3

a) diukur dengan glossmeter bersudut 60o

b) (data hasil konversi) diukur dengan Mitsubishi pencil hardness c) diukur dengan metode crosscut test

Dalam teknologi poliuretan, bilangan hidroksil didefinisikan sebagai banyaknya gugus hidroksil yang dapat bereaksi dengan isosianat (Ionescu 2005). Persen hidroksil (%OH) juga dapat digunakan untuk menunjukkan banyaknya gugus hidroksil dalam poliol. Konversi bilangan hidroksil menjadi %OH dapat dilakukan dengan membagi bilangan hidroksil dengan 33. Jika bilangan hidroksil poliol dan kandungan NCO dalam isosianat diketahui, maka dapat dihitung jumlah stoikiometrik poliol dan isosianat yang ekuivalen menggunakan persamaan berikut:

!

dengan,

a = bobot isosianat b = bobot poliol

x = % NCO dalam isosianat y = %OH dalam poliol

Berdasarkan perhitungan di atas, bobot poliol dan isosianat yang digunakan dalam formulasi dapat ditentukan secara tepat. Perhitungan ini perlu dilakukan untuk mencegah kelebihan salah satu komponen terhadap komponen lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kualitas film poliuretan. Pembuatan film

(18)

poliuretan diawali dengan pencampuran poliol dengan pelarut, aditif, dan dilanjutkan dengan pencampuran dengan isosianat.

Kelebihan jumlah komponen poliol dalam formulasi poliuretan menyebabkan adanya sisa gugus hidroksil yang tidak bereaksi dengan isosianat. Lapisan film poliuretan yang mengandung sisa gugus hidroksil mengakibatkan terbentuknya rantai polimer yang tidak sempurna. Dalam tahap awal polimerisasi, sisa gugus hidroksil menyebabkan lapisan film lambat kering, sedangkan lapisan film dengan gugus hidroksil bebas cenderung bersifat hidrofil sehingga mudah rusak oleh pengaruh uap air. Kelebihan jumlah komponen isosianat dalam formulasi poliuretan menyebabkan lapisan film poliuretan rapuh karena sisa isosianat dalam lapisan film bereaksi dengan uap air dari udara.

Gambar 24 Pengaruh Rasio Molar [NCO]/[OH] terhadap bobot molekul rata-rata poliuretan

Menurut Ionescu (2005), reaksi pembentukan poliuretan termasuk reaksi poliadisi sehingga rasio antara gugus reaktif dalam hal ini adalah rasio NCO terhadap gugus hidroksil memiliki pengaruh yang kuat terhadap bobot molekul poliuretan yang dihasilkan. Bobot molekul optimal dapat diperoleh pada rasio molar [NCO]/[OH] = 1. Kelebihan sedikit salah satu komponen (poliol atau

B ob ot m ol ek ul ra ta -r at a 0.5 1 1.5 Rasio molar [NCO]/[OH]

OH terminated

polyurethane -NCO terminated

(19)

isosianat), secara drastis menurunkan bobot molekul poliuretan yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 24.

Lapisan film poliuretan yang terbentuk merupakan hasil reaksi gugus hidroksil pada poliol dengan gugus NCO pada isosianat membentuk ikatan uretan. Reaksi poliol dengan isosianat membentuk ikatan uretan dapat dilihat pada Gambar 8. Sisa katalis TEA yang masih ada pada poliol sintesis dapat berfungsi sebagai katalis dalam reaksi ini. Lapisan film poliuretan yang terbentuk selanjutnya dianalisis daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekatnya.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada lampiran 9, 10 dan 11 diketahui bahwa jenis poliol dan jenis isosianat yang digunakan hanya berpengaruh terhadap daya kilap dan tingkat kekerasan. Daya kilap lapisan film yang berasal dari poliol komersial secara statistik tampak lebih baik dibandingkan dengan poliol hasil sintesis, tetapi secara visual relatif seimbang (Gambar 25).

Gambar 25 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya kilap lapisan film

Selanjutnya berdasarkan analisis keragaman pada Lampiran 9, jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap daya kilap film poliuretan yang dihasilkan secara signifikan, tetapi nampak dari Gambar 25, penggunaan isosianat A pada poliol L.OHV menghasilkan film dengan daya kilap lebih baik dibandingkan pada poliol H.OHV, tetapi penggunaan isosianat B berpengaruh sebaliknya.

50 60 70 80 90 100

L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol D ay a K ila p (% ) Iso A Iso B

(20)

Daya kilap lapisan film tergantung pada tingkat kehalusan lapisan film kering yang terbentuk (Talbert 2008). Permukaan lapisan film yang halus dapat menghasilkan daya kilap yang tinggi, sebaliknya permukaan lapisan film yang kasar menghasilkan daya kilap rendah. Daya kilap juga didefinisikan kemampuan permukaan lapisan film untuk memantulkan kembali sejumlah cahaya.

Kekerasan merupakan ukuran ketahanan film terhadap lekukan permukaan, gesekan, dan goresan. Sifat mekanis ini sangat penting bagi lapisan film untuk bertahan dari keausan akibat gesekan dan goresan. Menurut Marino (2003), kekerasan sangat diperlukan baik pada lapisan film yang digunakan untuk pemakaian di dalam (interior) maupun untuk pemakaian di luar (eksterior).

Gambar 26 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan Isosianat yang berbeda terhadap tingkat kekerasan lapisan film

Gambar 26 menunjukkan tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis poliuretan yang berasal dari poliol dengan nilai bilangan hidroksil yang tinggi cenderung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan bilangan hidroksil meningkatkan kemampuan pembentukan ikatan dengan isosianat. Semakin banyak ikatan (jaringan) yang terbentuk dalam matrik polimer, maka semakin keras lapisan film yang dihasilkan. Analisis keragaman pada Lampiran 10 menunjukkan, jenis poliol dan jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap tingkat kekerasan film poliuretan yang dihasilkan.

0 1 2 3 4

L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol T in gk at K ek er as an Iso A Iso B

(21)

Tingkat kekerasan film poliuretan dari poliol komersial menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan film poliuretan dari poliol sintesis dengan bilangan hidroksil yang bersesuaian meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Karakteristik struktur kimia poliol diduga menjadi penyebab munculnya fakta ini. Film poliuretan dari poliol sintesis memiliki struktur yang cenderung meruah karena berasal dari turunan trigliserida, sehingga gaya antar molekul menjadi lebih lemah dibandingkan dengan poliol komersial yang memiliki struktur relatif linier. Gaya antar molekul pada poliol komersial yang lebih kuat menyebabkan penataannya didalam matriks polimer lebih rapat sehingga secara fisik menjadi lebih keras.

Menurut Mannari & Massingill (2006), pada poliuretan berbasis minyak nabati, tingkat kekerasan film poliuretan cenderung meningkat dengan peningkatan bilangan hidroksil. Tingkat kekerasan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya kerapatan ikatan silang yang terbentuk dalam matrik polimer. Dalam penelitian ini, poliuretan dari poliol H.OHV terbukti memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan poliuretan yang berasal dari poliol L.OHV. Perbedaan jenis isosianat yang digunakan juga turut berpengaruh terhadap tingkat kekerasan lapisan film poliuretan terutama pada poliuretan yang berasal dari poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih rendah.

Gambar 27 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film

50 60 70 80 90 100

L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol D ay a re ka t ( % ) Iso A Iso B

(22)

Gambar 27 memperlihatkan pengaruh jenis poliol pada penggunan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film poliuretan. Lapisan film yang berasal dari poliol komersial memiliki daya rekat yang lebih baik dibandingkan film dari poliol hasil sintesis. Perbedaan bilangan hidroksil antara poliol L.OHV dan H.OHV tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap daya rekap lapisan film. Penggunaan Isosianat jenis A cenderung meningkatkan daya rekat pada poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih kecil (L.OHV dan poliol komersial).

Menurut Baghdachi (1997), daya rekat antara film pelapis dan media dapat ditimbulkan oleh gaya ikatan primer (ikatan kimia), gaya ikatan sekunder (ikatan hidrogen, gaya dispersi, dipol dan induksi), dan perekatan secara mekanis (pori-pori) atau kombinasinya. Daya rekat tersebut sangat tergantung pada sifat permukaan media serta jenis resin/polimer yang digunakan. Daya rekat film yang baik dapat tercapai bila terjadi ikatan antara media dengan resin/polimer. Menurut Backman & Linberg (2002), untuk mendapatkan ikatan yang baik media dan polimer harus bersifat kompatibel dan dapat membangun beberapa macam gaya ikatan. Berdasarkan hal tersebut di atas, daya rekat yang cukup baik lapisan film poliuretan dalam media lembaran ABS disebabkan oleh terbentuknya gaya-gaya ikatan antara lembaran ABS dengan film poliuretan.

Dari hasil analisis di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan jenis poliol berpengaruh terhadap kualitas lapisan film poliuretan yang dihasilkan. Sebaliknya, jenis isosianat terlihat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas lapisan film poliuretan.

Analisis Spektrofotometer Inframerah

Hasil analisis spektrofotometer inframerah yang dilakukan terhadap sampel EJP, poliol hasil sintesis, poliol komersial, isosianat, film poliuretan dari poliol hasil sintesis, dan film poliuretan dari poliol komersial disajikan pada Lampiran 12. Tabulasi data bilangan gelombang yang bersesuaian dengan gugus fungsi spesifik pada masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 7.

(23)

Pada pembahasan sebelumnya diketahui bahwa reaksi epoksidasi EJP menghasilkan poliol sintesis secara kimia dibuktikan oleh penurunan bilangan oksirana dan adanya bilangan hidroksil. Berdasarkan data serapan inframerah yang ditunjukkan pada Tabel 9, EJP menampakkan serapan –OH, C-O, C=O, epoksi, dan -OH sekunder berturut-turut pada bilangan gelombang 3472 cm-1, 1169 dan 1241 cm-1, 1743 cm-1, 1169 dan 723 cm-1, dan 1377 dan 1241 cm-1. Adanya serapan-serapan yang mengindikasikan adanya gugus –OH menunjukan sebagian epoksida yang terbentuk telah teroksidasi. Salah satu produk oksidasi epoksida tersebut teridentifikasi sebagai gugus hidroksil.

Tabel 7 Data korelasi bilangan gelombang serapan inframerah terhadap gugus fungsi

Gugus

fungsi Bilangan gelombang (cm

-1) A B C D E F -OH 3472 3521 3673 - - - N-H - - - 3339 3339 3369 C-O 1169 1241 1169 1242 1165 1237 - 1177 1237 1245 C=O 1743 1743 1731 1716 1717 1716 isosianat - - 2361 2270 2271 2338 epoksi 1169 723 1169 723 1165 847 - - - -OH sekunder 1377 1241 1376 1242 1382 - 1374 1245 -C-H 2854 2925 2854 2925 2945 3026 3060 2860 2936 2928 2856 2956 uretan - - 1499 - 1537 1450 Keterangan:

A : epoksida jarak pagar (EJP) B : Poliol hasil sintesis

C : Poliol komersial D : Isosianat

E : Film poliuretan dari poliol hasil sintesis F : Film poliuretan dari poliol komersial

Spektrum poliol hasil sintesis menunjukkan adanya serapan gugus –OH, C-O, C=O, epoksi, dan -OH sekunder berturut-turut pada bilangan gelombang 3521 cm-1, 1169 dan 1242 cm-1, 1743 cm-1, 1169 dan 723 cm-1, dan 1376 dan

(24)

1242 cm-1. Masih munculnya pita serapan epoksida menunjukkan didalam sampel masih mengandung gugus epoksida yang diduga disebabkan gugus epoksida pada EJP yang belum bereaksi. Adanya pita serapan –OH sekunder menunjukkan gugus hidroksil yang terbentuk pada poliol berikatan dengan atom C sekunder. Dugaan ini memperkuat hasil penelitian Petrovic et al. (2002), bahwa pembuatan poliol melalui tahapan epoksida dapat menghasilkan poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder.

Poliol komersial menunjukkan pola serapan inframerah yang mirip dengan poliol sintesis, tetapi terdapat perbedaan dengan adanya serapan gugus uretan pada kombinasi bilangan gelombang 1499 cm-1. Adanya serapan uretan pada poliol komersial diduga jenis poliol komersial yang digunakan dalam penelitian ini mengandung campuran poliol dan prepolimer poliuretan. Prepolimer ini biasanya ditambahkan dalam poliol untuk meningkatkan reaktifitas dengan isosianat dan mempertinggi berat molekul polimer poliuretan yang terbentuk.

Analisis pita serapan inframerah dari isosianat menunjukkan adanya serapan N-H, C=O, dan isosianat berturut-turut pada bilangan gelombang 3339 cm-1, 1716 cm-1, dan 2270 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang 2270 cm-1 adalah pita serapan karakteristik dari isosianat seperti yang dilaporkan oleh Kong & Narine (2007).

Analisis serapan inframerah pada lapisan film poliuretan yang berasal dari poliol sintesis dan komersial menunjukkan adanya serapan yang hampir sama. Perbedaan intensitas serapan antara film dari poliol sintesis dan komersial pada bilangan gelombang 2271 cm-1 dan 2338 cm-1 yang menunjukkan serapan karakteristik isosianat disebabkan oleh perbedaan laju reaksi isosianat dengan poliol yang bersesuaian. Intensitas serapan isosianat pada poliol sintesis nampak lebih tinggi dibandingkan pada Poliol komersial karena laju reaksi polimerisasinya lebih lambat. Laju reaksi yang lebih cepat pada film dari poliol komersial didukung oleh adanya campuran prepolimer pada Poliol yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sisa isosianat yang belum bereaksi pada film poliuretan yang terbentuk akan bereaksi dengan sisa poliol yang masih ada pada matriks polimer yang ada

(25)

dan uap air disekitarnya. Masih adanya serapan –OH sekunder pada film poliuretan menunjukkan progres reaksi yang belum sempurna dari matrik polimer. Hilangnya serapan karakteristik dari isosianat dapat digunakan untuk memprediksi berakhirnya reaksi polimerisasi pada matriks poliuretan.

Dalam teknologi poliuretan, posisi gugus hidroksil berpengaruh terhadap reaktifitasnya dengan isosianat. Poliol dengan gugus hidroksil primer lebih reaktif daripada poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder. Perbedaan reaktifitas ini menentukan jenis aplikasi dari poliuretan. Poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pelapis poliuretan, karena memiliki reaktifitas terhadap isosianat yang lebih rendah pada suhu ruang. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Kong & Narine (2007), poliol dari minyak Canola dengan gugus hidroksil pada posisi primer dapat digunakan untuk bahan plastik poliuretan karena memiliki reaktifitas yang lebih tinggi daripada poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder.

Gambar

Gambar 11 Mekanisme reaksi epoksidasi menggunakan asam perkarboksilat
Gambar 12 Mekanisme reaksi pembentukan diol
Gambar  13  menunjukkan  reaksi  pembukaan  cincin  epoksida  minyak  nabati oleh adanya  air,  peroksida, asam karboksilat dan asam peroksikarboksilat  dalam suasana asam (Campanella & Baltanas 2005)
Gambar 14  Hasil sintesis poliol dari minyak jarak pagar
+7

Referensi

Dokumen terkait

makeup yang digunakan sebagian besar mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya adalah makeup flawless (natural), mereka menilai makeup syar’i adalah makeup yang

Berdasarkan pada pembahasan hasil penelitian berjudul pengaruh kinerja lingkungan dan biaya lingkungan terhadap kinerja keuangan dengan pengungkapan lingkungan

Penurunan persentase bonggol pisang dalam pembuatan silase meningkatkan kandungan selulosa, hal ini diduga kandungan selulosa bonggol sebelum silase yaitu 9,61%

171. Seorang wanita berumur 32 tahun menderita tb kekambuhan, kemudian dokter memberi terapi oat kategori II yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol dan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dapat dirumuskan permasalahan bagaimanakah potensi efek kemopreventif ekstrak metanol kulit kayu nangka (Artocarpus

[r]

Leswono (UMS, 2001) dalam tesisnya yang berjudul ”Masjid dalam Strategi Pengembangan Pendidikan Agama Islam”, menemukan bahwa masjid manual Islam telah ditampilkan