• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi. Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi. Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Penelitian

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan

Sadikin Tahun 2012–2013

Mutivanya Inez M, Dewi Yulianti Bisri, Achmad Adam... 157–61

Laporan Kasus

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral

pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Ahmado Oktaria, Dewi Yulianti Bisri ... 162–70

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi

Tumor Otak

Caroline Wullur, M Adli Boesoirie, Dewi Yulianti Bisri ... 171–76

Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural

yang Tertunda

Sandhi Christanto, Sri Rahardjo, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh ... 177–86

Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan

Herniasi Serebral

Silmi Adriman, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ... 187–92

Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

Buyung Hartiyo Laksono, Nazaruddin Umar, Marsudi Rasman ... 193–202

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

Bau Indah Aulyan, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ... 203–11

Tinjauan Pustaka

Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

(2)

157

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan

Sadikin Tahun 2012–2013

Mutivanya Inez M*), Dewi Yulianti Bisri**), Achmad Adam***)

*)Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran**)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung, ***)Departemen Bedah Saraf Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Tumor otak adalah kumpulan sel tidak normal pada otak yang bermultiplikasi

dan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya dan organ-organ terkait. Tumor supratentorial adalah tumor otak yang terletak superior terhadap tentorium serebeli. Tentorium serebeli adalah lapisan dural yang memisahkan lobus oksipital pada otak besar dengan otak kecil. Tumor supratentorial adalah 33% dari total tumor otak. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan angka kejadian tumor supratentorial berdasarkan jenis dan letak tumor.

Subjek dan Metode: Objek penelitian adalah rekam medis pasien dengan diagnosis tumor supratentorial

yang masuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif memakai rancangan studi kasus. Data dibagi kedalam kelompok sesuai dengan jenis dan letak tumor kemudian dilihat karakteristiknya.

Hasil: Terdapat 494 pasien tumor supratentorial tapi hanya ada 168 yang memiliki informasi lengkap. Berdasarkan

jenisnya, tumor dikelompokkan secara garis besar menjadi glioma (14,88%), tumor kranial dan paraspinal (0,60%), tumor meningen (70,24%), tumor pada region sella (10,12%) dan tumor metastasis (4,17%). Berdasarkan letaknya, secara garis besar tumor terletak di sisi kanan (35,12%), sisi kiri (36,90%), region sellar (13,69%), sisi tengah (4,16%) dan bilateral (10,12%)

Simpulan: Jenis tumor supratentorial terbanyak adalah meningioma dan lokasi tumor supratentorial paling banyak

adalah pada sisi kiri otak secara umum, atau pada lobus frontal secara spesifik.

Kata Kunci: jenis, letak, tumor supratentorial

JNI 2015;4(3): 157–61

Incidence of Supratentorial Tumor based on Types and Locations of Tumor in Hasan

Sadikin Hospital Year 2012–2013

Abstract

Background and Objective: Brain tumor is a group of abnormal cells in the brain which multiplies and causes

damage to the surrounding tissues and related organs. Supratentorial tumor is a brain tumor which is located at superior of tentorium cerebelli. Tentorium cerebelli is the dural layer which separates the occipital lobe of cerebrum with the cerebellum. Thirty three percent of brain tumor is supratentorial tumor. This study was aimed to observe the prevalence of supratentorial tumor based on the type and location of the tumor.

Subject and Method: The objects of the study were the medical records of patients diagnosed with supratentorial

tumor whom admitted to Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January 2012 until December 2013. This study was a case- descriptive study and data was divided into groups based on type and location of the tumor and then analyzed based on the characteristics.

Result: There were 494 patients with supra tentarial tumor, but only 168 patients had complete infomation. Based

on the type, tumors were categorized generally into glioma (14.88%), cranial and paraspinal tumor (0.60%), meningeal tumor (70.24%), sellar region tumor (10.12%) and metastatic tumor (4.17%). Based on the location in the brain, tumors were located generally in the right side (35.12%), left side (36.90%), sellar region (13.69%), middle (4.16%) and bilateral (10.12%).

Conclusion: The most common type of supratentorial tumor is meningioma and most common location of

supratentorial tumor is in the left side of the brain, particularly in the frontal lobe.

Key Words: location, supratentorial tumor, type

(3)

I. Pendahuluan

Tumor otak adalah kumpulan sel patologi pada otak yang bermultiplikasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya dan organ-organ terkait. Tumor otak merupakan salah satu dari jenis kanker yang paling sulit untuk dilawan.1 Tumor otak masih merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 14 dari 100.000 penduduk Amerika didiagnosis dengan tumor otak primer setiap tahunnya.2 Pasien tumor otak di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU)

RSUP Dr. Karyadi pada periode Februari 2010 hingga Februari 2012 berjumlah 1 orang atau 5% dari total 20 orang pasien kanker pada periode tersebut.3 Insidensi tumor otak meningkat sebanyak 25% selama dua dekade terakhir.4

Tumor otak dibagi berdasarkan letaknya menjadi supratentorial dan infratentorial. Tumor supratentorial adalah tumor yang terletak diatas tentorium serebeli dan areanya mencakup serebrum. Badan Penelitian Kanker Internasional melaporkan bahwa angka kejadian tumor supratentorial adalah 33% dari total tumor otak.5 Penelitian di Institusi Bedah Saraf Universitas Roma menunjukkan 193 dari total 440 tumor serebrum adalah supratentorial. Dari 193 tumor, 95 tumor (49%) merupakan jenis tumor glioma. Jenis tumor kraniofaringioma merupakan kedua terbanyak dengan jumlah 32 tumor (17%).6

Penelitian di divisi Bedah Saraf, Toronto Western Hospital, Kanada, menunjukkan bahwa dari 610 pasien tumor supratentorial, jenis tumor glioma merupakan jenis terbanyak dengan jumlah total 367 (60,2%) diikuti dengan tumor metastasis sebanyak 197 tumor (32,3%) dan meningioma sebanyak 11 tumor (1,8%).7 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan angka kejadian tumor supratentorial berdasarkan jenis dan letak tumor di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin pada periode tertentu.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif memakai rancangan studi kasus. Objek penelitian adalah rekam medis (medical record) pasien dengan diagnosis tumor supratentorial yang masuk ke rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Kriteria inklusinya adalah rekam medis semua pasien yang masuk ke RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan diagnosis tumor supratentorial dengan keterangan letak dan hasil pemeriksaan histopatologi pada tahun 2012–2013. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap. Besar sampel ditetapkan berdasarkan total populasi (sensus). Setelah itu, data dilihat karakteristiknya berdasarkan letak dan jenis tumor. Microsoft excel ver.15 (2010) digunakan sebagai alat bantu dalam mengolah data.

(4)

159

III. Hasil

Terdapat total 494 pasien dengan tumor otak supratentorial yang masuk ke RS Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Setelah melalui proses inklusi dan eksklusi, untuk penghitungan letak dan jenis tumor otak supratentorial, 326 dari 494 rekam

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Hasan Sadikin Tahun 2012–2013

Diagram 2. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Letak Tumor

Tabel 1. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Jenis Tumor

Jenis Tumor Supratentorial Jumlah Persen

Astrosistik 18 Oligoastrosistik 1 Oligodendroglial 2 Embrional 1 Glioma lainnya 3 Neurofibroma 1 Meningioma 111 Mesenkim 7 Kraniofaringioma 1 Adenoma hipofisis 16 Metastasis adenokarsinoma 2 Metastasis karsinoma 5

Letak Tumor Jumlah Persen

Sisi Kanan 59 35,12%

Sisi kanan singular 34 20,24%

Frontal 23 13,69%

Parietal 6 3,57%

Temporal 1 0,60%

Lainnya 4 2,38%

Sisi kanan campuran 25 14,88%

Frontotemporoparietal 2 1,19% Temporoparietal 9 5,36% Frontoparietal 8 4,76% Parietooksipital 3 1,79% Frontotemporal 2 1,19% Frontooksipital 1 0,60% Sisi Kiri 62 36,90%

Sisi kiri singular 33 19,64%

Frontal 21 12,50%

Parietal 6 3,57%

Temporal 2 1,19%

Oksipital 1 0,60%

Lainnya 3 1,79%

Sisi kiri campuran 29 17,26%

Parietooksipital 6 3,57% Frontotemporal 4 2,38% Frontoparietal 10 5.95% Temporoparietal 5 2.98% Frontotemporoparietal 2 1,19% Lainnya 2 1,19% Regio Sellar 23 13,69% Regio sellar 19 11,31% Suprasellar 3 1,79%

Regio sellar dan parietal kiri 1 0,60%

Sisi Tengah 7 4,17% Midfrontal 6 3,57% Midparietal 1 0,60% Bilateral 17 10,12% Singular 9 5,36% Frontal 9 5,36% Campuran 8 4,76%

medis dieksklusi karena tidak memiliki informasi lengkap mengenai letak dan jenis tumor sehingga hanya 168 rekam medis yang dapat dipakai.

Berdasarkan jenis tumor supratentorial, mayoritas tumor supratentorial adalah jenis tumor meningioma dengan jumlah 111 dari total 168 sampel atau sebesar 66,07%. Jenis tumor supratentorial terbanyak berikutnya adalah jenis

Tabel 2. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Letak Tumor

(5)

tumor astrosistik dengan jumlah 18 atau sebesar 10,71% dari total sampel. Jenis tumor adenoma hipofisis berjumlah 16 atau 9,52%, diikuti dengan jenis tumor mesenkim sebanyak 7 atau 4,17%, jenis tumor metastasis karsinoma sebanyak 5 atau 2,98%, jenis tumor glioma lainnya sebanyak 3 atau 1,78%, jenis tumor metastasis adenokarsinoma sebanyak 2 atau 1,19%, jenis tumor oligodendrogial sebanyak 2 atau 1,19%, jenis tumor embrional sebanyak 1 atau 0,59%, jenis tumor neurofibroma sebanyak 1 atau 0,59%, dan jenis tumor kraniofaringioma sebanyak 1 atau 0,59%. Berdasarkan letak tumor supratentorial, tumor pada sisi kiri otak merupakan terbanyak dengan jumlah 62 sampel (36,90%) yang terdiri dari 33 tumor singular dan 29 tumor campuran. Tumor pada sisi kanan otak merupakan terbanyak kedua dengan jumlah 59 sampel (35,12%) yang terdiri dari 34 tumor singular dan 25 tumor campuran. Secara spesifik, tumor pada bagian frontal merupakan terbanyak dengan jumlah 23 tumor pada frontal kanan, 21 tumor pada frontal kiri, dan 9 tumor pada frontal bilateral.

IV. Pembahasan

Berdasarkan jenis tumor supratentorial, dapat dilihat bahwa pada penelitian ini, jumlah tumor jenis meningioma merupakan terbanyak dengan jumlah 111 atau 66,07%. Penelitian di divisi Bedah Saraf pada Toronto Western Hospital menunjukkan bahwa jenis tumor supratentorial terbanyak adalah glioma dengan jumlah total 367 dari 610 tumor (60,16%). Sedangkan meningioma menduduki peringkat ketiga terbanyak dengan jumlah total 11 dari 610 tumor (1,80%). Penelitian serupa pada Institusi Bedah Saraf Universitas Roma juga menunjukkan bahwa jenis tumor supratentorial terbanyak adalah glioma dengan jumlah total 95 dari 193 tumor (49,22%). Jenis tumor kraniofaringioma merupakan kedua terbanyak dengan jumlah 32 tumor (16,58%). Agen penyebab tumor otak khususnya glioma belum teridentifikasi. Selain itu, rendahnya variasi dari insidensi tumor otak di sepanjang Eropa menunjukkan tidak adanya faktor penyebab khusus dari lingkungan.8 Meningioma biasanya bersifat asimptomatik sehingga baru diketahui ketika pasien melakukan

pemindaian otak karena alasan lain atau ketika pasien diautopsi. Insidensi meningioma semakin meningkat seiring waktu karena semakin banyak pasien melakukan pemindaian otak (CT scan) karena indikasi penyakit lain yang berbeda-beda. Meningioma saat ini ditetapkan sebagai tumor otak primer yang paling sering ditemukan. Karena itu, adanya perbedaan hasil penelitian terhadap jenis tumor supratentorial adalah wajar.9 Berdasarkan letak tumor supratentorial, tumor pada sisi kiri otak lebih banyak daripada tumor pada sisi kanan otak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Rumah Sakit Anak Los Angeles pada tahun 1979–2005 menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan umur dibawah 6 bulan, insidensi tumor supratentorial pada bagian otak kiri lebih banyak daripada pada otak bagian kanan.10 Penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tumor supratentorial paling banyak terdapat pada lobus frontal dengan jumlah 53 dari total 168 atau sebesar 31,54%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian studi kasus berbasis wawancara terhadap 2708 pasien glioma dan 2409 pasien meningioma di 13 negara yang menunjukkan bahwa letak tumor supratentorial terbanyak adalah pada lobus frontal dan parietal sebanyak 54,80% dari total pada glioma dan 53,14% dari total pada meningioma.11

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain data rekam medik yang kurang lengkap. Selain itu, banyak pasien tumor supratentorial yang terdata di departemen Bedah Saraf tetapi tidak terdata di departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin.

V. Simpulan

Angka kejadian tumor supratentorial di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012–2013 dijumpai sebanyak 494 kasus, akan tetapi, hanya 168 kasus yang mempunyai informasi lengkap tentang lokasi dan tipe tumor supratentorial. Gambaran karakteristik tumor supratentorial di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012–2013 berdasarkan jenisnya sebagai berikut: Jenis tumor terbanyak adalah tumor meningioma sebanyak 111 kasus (66,07%), diikuti oleh astrosistik sebanyak 18 kasus (10,71%),

(6)

161

adenoma hipofisis sebanyak 16 kasus (9,52%), tumor mesenkim sebanyak 7 kasus (4,17%), metastasis karsinoma sebanyak 5 kasus (2,98%), glioma lainnya sebanyak 3 kasus (1,78%), metastasis adenokarsinoma sebanyak 2 kasus (1,19%), oligodendroglial sebanyak 2 kasus (1,19%), embrional sebanyak 1 kasus (0,59%), neurofibroma sebanyak 1 kasus (0,59%), dan kraniofaringioma sebanyak 1 kasus (0,59%). Gambaran karakteristik tumor supratentorial di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012– 2013 berdasarkan letaknya sebagai berikut: Letak tumor terbanyak adalah pada sisi kiri sebanyak 62 kasus (36,90%), diikuti oleh sisi kanan sebanyak 59 kasus (35,12%), regio sellar sebanyak 23 kasus (13,69%), bilateral sebanyak 17 kasus (10,12%) dan sisi tengah sebanyak 7 kasus (4,17%).

Saran

Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tumor supratentorial di Jawa Barat. Perbaikan sistem pencatatan dan penyimpanan rekam medis yang secara lengkap dengan sistem digital. Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi lebih lanjut untuk pasien yang sudah didiagnosis tumor supratentorial.

Daftar Pustaka

1. Taylor LP, Umphrey ABP, Richard D. Navigating life with a brain tumor. New York: Oxford University Press, USA; 2012; (1): 15–6.

2. Newton HB, Ray-Chaudhury A. Handbook of Brain Tumor Chemotherapy. San Diego: Elsevier Science; 2005; 1: 3–5.

3. Grahakusuma G, Pujo JL. Angka Kematian Pasien Kanker di ICU dan HCU RSUP Dr. Kariadi Periode Februari 2010–Februari 2012. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012; 5: 26.

4. Ross BJ. Disorders of the central and peripheral nervous systems and the

neuromuscular junction. Dalam: McCane KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS, editors. Patophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. United States of America: Mosby; 2010; 17: 611. 5. Mapstone T. Supratentorial hemispheric

nonglial neoplasm. Dalam: Albright AL, Pollack IF, editors. Principles and Practice of Pediatric Neurosurgery. 2nd ed: Thieme; 2011; 30: 531–2.

6. Sandro M, Antonio R, Lucio P. Hemispheric supratentorial astrocytomas in children: long-term results in 29 cases. Neurosurg. 1981; 55: 170–3.

7. Demitre S, Mark B. Prospective study of awake craniotomy used routinely and nonselectively for supratentorial tumors. Neurosurg. 2007;107:1–6.

8. Wessel PH, Weber WE, Raven G, Ramaekers FC, Hopman AH, Twijnstra A. Supratentorial grade II astrocytoma: biological features and clinical course. Lancet Neurology. 2003;2:395–403.

9. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison's Principle of Internal Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2012; 379: 3383.

10. Serowka K, Chiu Y, Gonzalez I, Gilles F, McComb G, Krieger M, dkk. Central nervous system (CNS) tumors in the first six months of life: The Childrens Hospital Los Angeles Experience, 1979–2005. Pediatric Hematology and Oncology. 2010;27:90–102. 11. The Interphone Study Group. Brain tumour

risk in relation to mobile telephone use: results of the interphone international case-control study. International Journal of Epidemiology 2010. 2010:1–20.

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Hasan Sadikin Tahun 2012–2013

(7)

162

Ahmado Okatria, Dewi Yulianti Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin–Bandung

Abstrak

Sekitar 50% dari semua kematian karena trauma berhubungan dengan cedera kepala. Tinjauan terbaru, angka kematian yang disebabkan trauma pada ibu hamil karena cedera langsung pada kepala sekitar 10%. Pertimbangan anestesi untuk pembedahan selama kehamilan mencakup keselamatan terhadap ibu dan janin. Perubahan anatomi dan fisiologi ibu yang disebabkan kehamilan memiliki dampak klinis dan risiko tinggi bagi ibu dan janin yang menjalani tindakan anestesi. Wanita berusia 22 tahun yang tengah hamil 22 minggu (G1P0A0) tertabrak mobil saat mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien menderita cedera kepala disertai penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 9 (E2M5V2), tekanan darah 120/80 mmHg, denyut jantung 92 x/menit, respirasi 22–24 x/menit dan saturasi oksigen 99% dengan sungkup muka non-rebreathing (SMNR) 8 liter per menit. Kraniotomi evakuasi dilakukan dalam anestesi umum, induksi anestesi dengan menggunakan isofluran 2 vol%, lidokain 75 mg, fentanil 100 mcg, propofol 80 mg, vecuronium 5 mg dan O2: udara 50:50. Denyut jantung janin diperiksa setiap jam dengan hasil sekitar 120–130 x/menit.

Pada trauma selama kehamilan, janin dapat mengalami cedera langsung atau tidak langsung yang disebabkan karena pengaruh obat-obatan (inotropik, manitol, furosemid), hipotensi, hipoksemia atau tindakan yang dilakukan terhadap ibu (hiperventilasi untuk mengontrol tekanan intrakranial). Seksio sesarea tidak dilakukan kecuali untuk alasan obstetrik.

Kata kunci: anestesi, perdarahan intraserebral, kehamilan

JNI 2015;4(3): 162–70

Anesthesia Management for Hematoma Evacuation caused by Intracranial Hemorrhagic

on Pregnant Woman with 22–24 Gestational Weeks: Non Cesarean Section

Abstract

Approximately 50% of all trauma deaths are associated with head injury. In a recent review of pregnant trauma deaths, approximately 10% of maternal trauma deaths were directly due to head injury. Anesthetic considerations for surgery during pregnancy include concern for the safety of both the mother and fetus. Alterations in maternal anatomy and physiology induced by pregnancy have clinical anesthetic implications and present potential hazards for the mother and fetus undergoing anesthesia. A 22 years old female with 22 weeks of gestation (G1P0A0) hit by a car while riding a motorcycle without using helmet 4 hours before admission. She got a traumatic head injury with drecreased level of consciousness. The physical examinations were GCS 9 (E2M5V2), blood pressure 120/80 mmHg, heart rate 92 bpm, respiration rate 22–24 times per minute and SpO2 99% with simple mask

non rebreathing 8 liter per minute. Emergency craniotomy surgery was held under general anesthesia by using isoflurane 2 vol%, lidocaine 75 mg, fentanyl 100 mcg, propofol 80 mg, vecuronium 5 mg with O2 : air 50:50. The

fetal heart sound was checked every hour which was approximately 120–130 bpm. In trauma during pregnancy, the fetus may have affected by the direct injury itself or affected by any other insult caused by hypotension, hypoxemia or maternal therapeutic drugs or maneuvers (e.g. inotropes, mannitol, furosemide, hyperventilation for control of intracranial pressure). Caesarean delivery is not performed except only for obstetric reasons.

Key words: anesthesia, intracerebral hemorrhage, pregnancy

(8)

163

I. Pendahuluan

Pasien hamil yang akan menjalani operasi membawa sejumlah tantangan penting bagi ahli anestesi. Manajemen yang optimal memerlukan pemahaman menyeluruh tentang fisiologi ibu dan janin, perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik, dan pendekatan kepada ibu hamil yang bersifat sensitif sehingga harus hati-hati ketika konseling tentang risiko dan manfaat dari intervensi. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan anestesi yang aman untuk ibu sekaligus meminimalkan risiko persalinan prematur atau kematian janin. Masukan multidisiplin dari ahli bedah, ahli anestesi, dan dokter kandungan sangat penting untuk memastikan kesejahteraan janin dan ibu selama periode perioperatif. Keberhasilan menyelamatkan ibu dan janinnya bergantung pada manajemen dari ahli bedah dan anestesi.1 Trauma merupakan penyebab utama kematian terkait selama kehamilan. Trauma itu sendiri mempersulit 6–7% dari kehamilan dan mungkin melibatkan cedera tengkorak atau tulang belakang yang akan membutuhkan operasi. Kehamilan dengan multi-trauma akan memberikan tantangan klinis dalam perawatan ibu dan janin. Penekanannya adalah pada resusitasi ibu dan yang mengancam jiwa pada multi-trauma. Resiko pada janin mungkin juga terjadi akibat dari hipoksia ibu, hipovolemia, asidosis, kehilangan darah akut, infeksi atau sebagai akibat dari obat yang digunakan selama proses resusitasi.2

Ketika akan melakukan tindakan operasi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah nonobstetrik, seorang ahli anestesi harus memastikan anestesi yang aman untuk ibu dan anak. Prosedur standar anestesi mungkin harus diubah untuk mengakomodasi perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu hamil dan adanya janin. Dua laporan terbaru the Confidential Enquiries into Maternal

and Child Health di Inggris menunjukkan bahwa

kematian pada awal kehamilan dikarenakan perdarahan, sepsis tromboemboli, dan anestesia. Risiko pada janin yaitu (1) efek dari proses penyakit itu sendiri atau terapi terkait; (2) teratogenisitas dari obat anestesi atau obat lain yang diberikan selama perioperatif; (3) gangguan

intraoperatif dari perfusi uteroplasenta dan atau oksigenasi janin, dan (4) risiko aborsi atau kelahiran prematur.3

II. Kasus Anamnesis

Seorang wanita umur 22 tahun, kurang lebih 4 jam yang lalu ketika sedang mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm, mengalami kecelakaan ditabrak mobil minibus, kemudian penderita dibawa ke RS AMC dikarenakan tidak memiliki peralatan memadai, penderita kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Penurunan kesadaran (+), mual dan muntah (–), pendarahan dari telinga hidung dan mulut (–), kejang (–). Penderita tidak memilik riwayat asma, alergi, hipertensi, diabetes mellitus, aktivitas sehari hari sebelumnya tidak ada gangguan, tidak ada riwayat penyakit tertentu seperti ginjal, dan jantung, belum pernah operasi, saat ini penderita diketahui sedang hamil kurang lebih 22 minggu (G1P0A0).

Hasil konsultasi ke bagian:

Bedah Thorax : Tidak ada kelainan. Bedah Digestif : Tidak ada kelainan, USG :

tidak ada kelainan. Obstetri dan

Ginekologi : Gravida 22–24 minggu, tindakan khusus tidak ada, terapi: prolutan 1x1 i.m, asam folat 1 x 1, Fe 1x1.

Bedah Saraf : Pemberian terapi manitol 150 cc.

Pemeriksaan Fisik

KU : sakit berat

Kesadaran : GCS 9 E2M5V2 Tekanan darah: 120/80 mmHg, Nadi: 92 x/m, reguler. Respirasi: 22–24 x/m. Suhu: febris SpO2: 99% dengan simple

mask non rebreathing 8 Lpm

Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat anisokor, OD 3 mm, OS 4 mm, refleks cahaya +/-Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan

(9)

Rontgen thorak: tidak tampak kardiomegali, tidak tampak TB paru aktif.

CT Scan:

Mulut : Sulit dinilai

Leher : Tekanan vena jugularis tidak terisi, pergerakan leher baik. Thoraks : Bentuk dan gerak simetris,

Paru: suara nafas kiri = kanan, ronkhi (–)/(–),

wheezing (–)/(–), slem (+)

Jantung : S1, S2, reguler, gallop (-), murmur (–).

Abdomen : cembung, distensi, bising usus (+) meningkat.

Ekstremitas : capillary refill <2’’,

akral hangat, edema (–), sianosis (–) motorik: kesan hemiparese dextra.

Diuresis : 80 cc/jam, jernih.

Diagnosis : Cedera kepala sedang + fraktur linier tertutup di regio temporal dextra + SDH di regio temporal sinistra + ICH di regio temporal sinistra + G1P0A0 22–24 minggu. R e n c a n a

operasi : Kraniotomi dekompresi

Pemeriksaan Laboratorium

Hb 9,5 g/dl PT 11,3 detik

Ht 27 InR 0,9

Leukosit 24.400 mm3 ApTT 25,8detik Trombosit 355.000 mm3 Na 129

meq/L

PH 7,43 K 2,8

mEq/L PCO2 27 mm Hg SGOT 86 U/L

PO2 227 mmHg SGPT 30 U/L HCO3 18 mEq/L Ur 10 mg/dl TCO2 19 mmol Cr 0,29 mg/ dl BE -5 mEq/L GDS 139 mg / dL

SpO2 100% Laktat 1,4 mmol

Pengelolaan Anestesi

Pada pukul 20.00 pasien dibawa ke kamar operasi untuk dilakukan operasi. Sebelumya telah dilakukan persiapan kamar operasi. Ketika pasien tiba di ruang operasi, pasien segera dipersiapkan dengan dihubungkan ke monitor serta dilakukan penilaian ulang terhadap pasien. Pada saat itu kondisi pasien dengan GCS 9 : E2M5V2, tekanan darah 118/70 mmHg, denyut jantung 97 x/menit, respirasi 21 x/menit, saturasi oksigen 99% dengan sungkup muka non rebreathing 8 Lpm. Dari pemeriksaan fisik lainnya didapatkan hasil yang sama seperti saat pasien diperiksa di Instalasi Gawat Darurat Bedah. Pasien telah terpasang jalur infus untuk koreksi natrium (NaCl 3%). Sebelum induksi anestesi, pasien diberikan

loading cairan RL 200 cc, dengan kondisi terakhir

GCS 9, tekanan darah 124/78 mmHg, denyut jantung 87 x/menit, respirasi 17 x/menit, SpO2 99% dengan sungkup muka non rebreathing 8 Lpm pasien mulai dilakukan preoksigenasi • Hematoma pada jaringan lunak regio

temporoparietal dextra.

• Diskontinuitas pada tulang temporal dextra • Sulcus, gyrus, fisura Sylvian, dan ventrikel

terkompresi.

• Tampak massa hiperdens berbentuk bulan sabit di regio temporal sinistra dan massa hiperdens di regio temporoparietal sinistra.

• Midline shift >5 mm, bergeser ke kanan.

Saran anestesi: surat ijin operasi, surat ijin anestesi, puasa, koreksi natrium dengan NaCl 3% 14 tetes per menit (tpm), koreksi kalium dengan KCl 25 meq dalam RL, 500 cc 30 gtt/menit, sedia darah.

(10)

165 Hb 8,4 g/dl PT 12,1 detik Ht 24 InR 0,97 Leukosit 27.900 mm3 ApTT 38,8 detik Trombosit 268.000 mm3 Na 133 meq/L PH 7,394 K 5,3 mEq/L PCO2 25,2 mm Hg Cl 108 mEq/L PO2 212,1 mmHg Ca 3.93 mEq/L HCO3 16 mEq/L Ur 11 mg/dl TCO2 16,8 mmol Cr 0,38 mg/ dl BE 9,7 mEq/L GDS 109 mg / dL SpO2 99,8 % Laktat 2,9 mmol Lab Pascabedah

Pengelolaan Pascabedah

dengan O2 10 Lpm melalui sungkup no 5 selama 5 menit. Kemudian pasien diinduksi dengan menggunakan lidokain 75 mg, fentanyl 100 mcg, dan vecuronium 5 mg isofluran 2 vol%, propofol 80 mg. Kemudian pasien dilakukan intubasi, dan pipa endotrakhea no 7 dengan kedalaman 20 cm. Pasien dihubungkan ke ventilator mode

volume control, VT 400 mL, PEEP 3, FiO2 50%, I:E 1:2. Pasien dilakukan pemasangan jalur vena tambahan di kaki kiri dengan kateter intravena no 18. Operasi dimulai sekitar pukul 20.30,

dengan rumatan anestesi menggunakan isofluran 0,8%, vecuronium 2 mg/jam, propofol 10 mcg/ menit. Obat-obatan lain yang ditambahkan selama operasi dengan fentanyl, mannitol 100 mg, ondansentron 4 mg, dan metamizole 500 mg. Selama operasi denyut jantung janin diperiksa setiap jam, dengan rata-rata denyut sekitar 120– 130 x/menit. Operasi berlangsung sekitar 4 jam dengan total perdarahan sekitar 600 cc, dan urine

output sekitar 150 cc/jam. Pukul 00.00, operasi

selesai, pasien dipersiapkan untuk ditransfer ke ICU, dengan kondisi kesadaran GCS 7T, tekanan darah 121/80 mmHg, denyut jantung 75 x/menit, respirasi 16 x/menit, SpO2 99% dengan T-piece 6 lpm. Denyut jantung janin didapatkan 150-160 x/menit. Pasien diberikan analgetik post operasi dengan metamizole 1500 mg dalam RL 500 cc yang habis dalam 8 jam. Kemudian pasien dipindahkan ke ICU untuk dilakukan perawatan lebih lanjut. Pada hari ke-2 pascaoperasi pasien diekstubasi, dan kemudian dirawat selama 5 hari di ICU sebelum akhirnya dipindah ke ruang perawatan dan pasien beserta janinnya dapat selamat.

III. Pembahasan

Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologi ibu yang mempengaruhi manajemen anestesi. Sedangkan perubahan ini digambarkan dengan baik pada akhir kehamilan, ada beberapa studi sistematis tentang bagaimana perubahan fisiologi akibat kehamilan dapat mempengaruhi manajemen anestesi pada trimester pertama atau kedua. Secara umum, perubahan fisiologis pada paruh pertama kehamilan berada di bawah kendali hormonal, sedangkan di paruh kedua kehamilan, disertai efek mekanik dari membesarnya rahim. Selama kehamilan, fisiologi ibu mengalami perubahan besar. Perubahan utama terjadi dibawah pengaruh hormon kehamilan, yang penting untuk menjamin pasokan oksigen dan nutrisi ke janin dan mempersiapkan untuk kelahiran. Perubahan sekunder terjadi sebagai akibat dari efek mekanik uterus yang gravid.4 Penggunaan obat-obat anestesi pada kasus tersebut akan menimbulkan berbagai macam perubahan pada sistem organ, dan terutama akan berpengaruh terhadap kehamilan pasien Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan

(11)

tersebut. Obat-obat anestesi yang diberikan akan berpengaruh langsung terhadap ibu, yang mana akan terjadi perubahan aktif berupa perubahan hemodinamik dan paralisis. Namun pada janin yang dikandung akan terjadi perubahan pasif, yang mana pada janin tidak akan terjadi stimulasi operasi, kehilangan darah, maupun paralisis, namun setiap perubahan yang berpengaruh terhadap aliran darah ke uterus akan mempengaruhi aliran darah plasenta dan berpengaruh terhadap hantaran oksigen ke janin.6 Obat-obat anestesi intravena seperti fentanyl, lidokain, propofol, dan vecuronium akan mempengaruhi hemodinamik berupa penurunan tekanan darah rerata, menumpulkan simpatis sehingga mengurangi lonjakan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, menurunkan aliran darah ke otak, serta sebagai anti konvulsan, dimana semua ini dapat berpengaruh terhadap aliran darah ke plasenta sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan janin. Penggunaan anestetika inhalasi (isofluran) juga dapat mempengaruhi aliran darah ke uterus. Pemberian gas anestesi antara 0,5–1,5 MAC hanya akan memberikan sedikit efek atau sama sekali tidak mempengaruhi aliran darah ke uterus.2 Pada kasus ini diberikan isofluran 2 vol% pada saat awal induksi untuk memperdalam anestesi dan kemudian dosis rumatan diberikan selama operasi (0,5–1,5 MAC), sehingga efek gas anestesi terhadap aliran darah ke uterus terjaga dan otak tetap terlindungi.

Pemberian mannitol diperuntukkan untuk mengurangi pembengkakan otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Pemberian mannitol dapat menyebabkan dehidrasi pada janin dan beberapa pendapat menilai mannitol sebaiknya tidak digunakan pada kasus kehamilan. Namun pemberian dengan dosis 0,5–1 g/kgbb ternyata tidak menyebabkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan cairan pada janin.10

Perubahan Kardiovaskuler

Selama kehamilan, sistem kardiovaskular menjadi semakin lebih hiperdinamik untuk memenuhi meningkatnya permintaan metabolisme janin. Ini adalah hasil dari perubahan volume darah dan sel darah merah. Peningkatan volume plasma pada ibu hamil, adalah 50% lebih besar daripada ibu

tidak hamil. Peningkatan volume plasma yang paling cepat terjadi pada tengah kehamilan, antara 24 dan 28 minggu. Pada waktu bersamaan, terjadi peningkatan volume sel darah merah yang lebih rendah dari peningkatan volume plasma. Oleh karena itu, bahkan diawal kehamilan, hematokrit wanita hamil lebih rendah (33%–35%) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Peningkatan volume plasma juga menghasilkan hemodilusi konstituen darah lainnya. Misalnya, meskipun jumlah total protein plasma meningkat selama kehamilan, konsentrasi protein per mililiter plasma menurun relatif terhadap wanita hamil. Akibatnya, ada peningkatan efek anestesi karena fraksi bebas dari protein-terikat agen anestesi. Curah jantung meningkat secara progresif selama kehamilan, terkait dengan total volume darah. Namun, adanya redistribusi curah jantung mengakibatkan peningkatan aliran darah ke rahim dan kelenjar susu. Bersamaan dengan hal itu, resistensi vaskular sistemik menurun karena efek relaksasi dari progesteron prostasiklin pada otot polos, yang meningkat selama kehamilan, dan juga karena pertumbuhan plasenta, sebagai respon dari penurunan resistensi vascular. Penurunan curah jantung dapat terjadi dalam posisi terlentang pada masa kedua kehamilan akibat kompresi aorta dan vena cava inferior oleh membesarnya rahim. Kompresi vena kava dapat mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung namun masih dibawah tingkat obstruksi. Dalam bentuk yang paling parah, kompresi pembuluh darah besar dalam posisi terlentang disebut "Sindrom Hipotensi Supine," yang mempengaruhi 10%– 15% dari ibu dan diwujudkan oleh sakit kepala ringan, hipotensi, takikardia, diaforesis, dan bahkan sinkop. Dengan demikian, dari bulan kelima dan seterusnya sangat penting untuk memastikan bahwa rahim memadai selama anestesi dan operasi.4

Sistem Respirasi dan Keseimbangan Asam-Basa

Ventilasi alveolar meningkat 25%–30% atau lebih pada tengah-tengah usia kehamilan. Peningkatan ini menyebabkan pernapasan alkalosis kronis, dengan PaCO2 mencapai 28 hingga 32 mmHg, pH sedikit basa (sekitar 7,44), dan penurunan tingkat bikarbonat dan dasar buffer. Walaupun konsumsi

(12)

167

oksigen meningkat, PaO2 biasanya sedikit meningkat atau tetap dalam kisaran normal. Fungsionil kapasitas residu (FRC) berkurang sekitar 20% sebagai akibat perkembangan rahim, sehingga cadangan oksigen menurun dan potensi untuk penutupan jalan napas. Ketika FRC semakin menurun (misalnya, obesitas morbid, distensi intra-abdomen perioperatif, penempatan pasien terlentang, trendelenburg, atau posisi litotomi, atau induksi anestesi), penutupan jalan nafas dapat menyebabkan hipoksemia. Kenaikan berat badan selama kehamilan dan pembengkakan kapiler dari mukosa saluran pernapasan lebih sering menyebabkan masalah saat ventilasi dengan masker dan intubasi endotrakeal. Gagal intubasi (penyebab utama terkait kematian ibu karena anestesi) mempunyai resiko yang sama selama awal kehamilan dan operasi nonobstetric maupun selama operasi SC. Penurunan FRC, peningkatan konsumsi oksigen mengakibatkan cepat terjadi hipoksemi dan asidosis selama periode hipoventilasi atau apnea. Selain itu induksi inhalasi terjadi lebih cepat selama kehamilan karena hiperventilasi alveolar dan penurunan FRC akibat ekuilibrasi anestetika inhalasi yang cepat tercapai. Sejak awal kehamilan konsentrasi MAC menurun 30%–40% untuk anestetika volatil. Ahli anestesi harus waspada ketika pemberian konsentrasi analgesik dan anestetika kepada pasien hamil, kerena penurunan kesadaran dapat terjadi dengan cepat dan tak terduga.2

Volume Darah dan Konstitusinya

Volume darah mengembang pada trimester pertama dan meningkat 30%–45%. Anemia dilusi terjadi sebagai akibat dari peningkatan yang lebih kecil dalam volume sel darah merah daripada plasma volume. Meskipun kehilangan darah moderat ditoleransi selama kehamilan, pada perdarahan yang bermakna dapat menyebabkan penurunan reserve pasien. Kehamilan terkait dengan benign leukositosis, akibatnya jumlah sel darah putih sulit diandalkan sebagai indikator infeksi. Secara umum, kehamilan menginduksi keadaan hiperkoagulasi, dengan peningkatan fibrinogen, faktor VII, VIII, X, dan XII, dan produk degradasi fibrin. Kehamilan dikaitkan dengan peningkatan trombosit, pembekuan,

dan fibrinolisis, dan ada rentang yang luas dalam jumlah trombosit yang normal, sehingga kehamilan merupakan keadaan akselerasi namun dapat dikompensasi oleh koagulasi intravaskuler. Benign trombositopenia terjadi pada sekitar 1% dari wanita hamil. Bagaimanapun, masih mungkin terjadi hiperkoagulopati. Pada pasca operasi, pasien hamil berada pada kondisi risiko komplikasi tromboembolik tinggi, sehingga dianjurkan pemberian profilaksis tromboemboli.2 Sistem Gastrointestinal

Inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah dan distorsi anatomi lambung dan pilorus meningkatkan risiko gastroesophageal reflux, sehingga wanita hamil memiliki resiko untuk regurgitasi isi lambung dan pneumonitis aspirasi. Tidak jelas pada tahap apa selama kehamilan ini resiko menjadi signifikan. Meskipun esophageal

sphincter tone terganggu awal kehamilan

(terutama pada pasien dengan heartburn), faktor mekanis tidak menjadi relevan sampai nanti pada akhir kehamilan. Oleh karena itu, tampaknya bijaksana untuk mempertimbangkan setiap pasien hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk aspirasi setelah usia kehamilan 18–20 minggu, dan beberapa ahli anestesi berpendapat bahwa perempuan hamil beresiko untuk aspirasi dari awal dan kedua trimester seterusnya.2

Pertimbangan pada Janin

Potensi risiko pada janin dari ibu yang menjalani anestesi dan operasi selama kehamilan yaitu potensi untuk kelainan kongenital, aborsi spontan, kematian janin dalam kandungan, dan kelahiran prematur. Paparan janin untuk obat anestesi mungkin akut, seperti yang terjadi selama anestesi untuk pembedahan atau subakut yang terjadi dengan paparan dari salah satu atau kedua orangtua oleh anestetika yang terhirup di tempat kerja.4

Risiko Teratogenisitas

Meskipun masalah besar ibu adalah hal hal yang menyebabkan hipoksia atau hipotensi berat yang menimbulkan risiko besar bagi janin, perhatian tetap difokuskan pada peran obat anestesi sebagai aborsi dan teratogen. Teratogenisitas didefinisikan sebagai perubahan yang signifikan Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan

(13)

dalam fungsi postnatal atau bentuk dalam janin setelah perawatan prenatal. Perhatian tentang potensial efek berbahaya dari anestetika berasal dari efeknya pada sel mamalia. Tidak ada data khusus menghubungkan salah satu kejadian dengan perubahan selular teratogenik. Sayangnya, prospektif klinis studi tentang efek teratogenik anestetika tidak praktis, studi tersebut akan membutuhkan sejumlah besar pasien terpapar obat yang diselidiki. Oleh karena itu, penyelidikan tentang anestetika telah mengambil salah satu arah berikut: (1) studi efek reproduksi dari anestetika pada hewan, (2) survei epidemiologi personil kamar operasi yang terus-menerus terkena konsentrasi subanestetik anestetika inhalasi, dan (3) studi hasil kehamilan pada wanita yang telah menjalani operasi saat hamil.2,5 Waktu Pembedahan

Wanita hamil yang akan menjalani operasi non-obstetri merupakan situasi klinis yang unik dimana kesehatan ibu adalah yang terpenting, tetapi pertimbangan yang hati-hati, perlu diberikan untuk perawatan kesejahteraan janin. Pada usia kehamilan lebih dari 24 minggu pertimbangan harus diberikan untuk terminasi kehamilan dan mengenai waktu terminasi yang terkait dengan intervensi bedah saraf keputusan yang dicapai memiliki beberapa pilihan, diantaranya: i) persalinan dengan seksio sesarea dilanjutkan dengan operasi bedah saraf, ii) terminasi

dengan seksio sesarea dengan operasi bedah saraf dilakukan dikemudian hari, iii) menjaga kehamilan dan lanjutkan dengan bedah saraf. Di usia kehamilan <24 minggu tidak ada pilihan untuk terminasi kehamilan intervensi bedah saraf dapat dilakukan. Mengoptimalkan fisiologi ibu dan pertimbangan untuk kesejahteraan janin harus menghasilkan hasil terbaik. Manajemen setelah operasi kemudian berdasarkan indikasi obstetri.1

Pencegahan Persalinan Prematur

Banyak studi epidemiologi operasi selama operasi nonobstetrik pada ibu hamil melaporkan insiden aborsi dan persalinan prematur yang tinggi. Penyebab tidak jelas apakah dikarenakan operasi, manipulasi rahim, atau kondisi yang mendasarinya. Dalam sebuah penelitian terhadap 778 perempuan yang mengalami usus buntu selama kehamilan, ditemukan bahwa 22% dari perempuan yang menjalani operasi dengan kehamilan antara 24 dan 36 minggu melahirkan seminggu setelah operasi. Pada wanita yang hamil terus melampaui seminggu setelah operasi, tidak ada kelahiran prematur. Operasi pada trimester kedua dan operasi yang tidak melibatkan manipulasi rahim memberikan resiko terendah untuk persalinan prematur. Meskipun anestetika volatil menekan iritabilitas miometrium dan secara teoritis menguntungkan untuk operasi daerah perut, bukti tidak menunjukkan bahwa salah satu

(14)

169

anestetika atau teknik memberi pengaruh positif atau negatif terhadap resiko persalinan prematur. Bukti yang dipublikasikan tidak mendukung penggunaan agen tokolitik profilaksis. Pemantauan kontraksi rahim dapat dilakukan sebelum dan selama operatif dengan tocodynamometer eksternal (apabila memungkinkan) dan selama beberapa hari pascabedah, mungkin dilaksanakan terapi tokolitik.

Surveilans tambahan diperlukan pada pasien yang menerima analgesia poten pascaoperasi, yang mungkin tidak disadari timbul kotraksi rahim ringan. Secara umum pada kehamilan dengan resiko lahir prematur dan normal, dapat diprediksi melalui penggunaan berbagai metode, seperti pengukuran fibronektin janin dalam cairan servikovaginal dan penentuan panjang serviks menggunakan transvaginal ultrasonografi. Sebuah kelas baru obat tokolitik- antagonis reseptor oksitosin (misalnya, atosiban) telah dipelajari. Atosiban selektif menumpulkan masuknya kalsium dalam miometrium dan dengan demikian menghambat kontraktilitas miometrium. Pengawasan yang lebih besar dan tokolitik awal terapi akan mengurangi risiko kelahiran prematur setelah operasi selama kehamilan tidak diketahui.2,5

Aliran Darah Uterus

Tujuan utama dari anestesi harus menjamin keselamatan ibu dan menjaga perfusi uteroplasenta. Oksigenasi yang memadai dan ventilasi harus dijaga terutama karena hipoksia dan hiperkarbia telah terbukti meningkatkan resiko kelainan kongenital pada hewan. Hipotensi ibu mungkin karena kompresi aortocaval atau anestesi. Kompresi aortocaval sangat berbahaya bagi janin karena dapat mengurangi perfusi uteroplasenta. Dari bulan kelima kehamilan uterus harus rutin diperiksa. Hipotensi harus ditangani dengan meningkatkan laju infus kristaloid, dan jika diperlukan, pemberian dosis kecil indirect-acting vasopressor, seperti ephedrine. Ventilasi kendali pada anestesi umum dapat meningkatkan tekanan intrathoracal, sehingga menekan dan mengurangi perfusi uteroplasenta pada hewan sebagai akibat dari aliran balik vena dan curah jantung menurun. Hipokarbia dapat

memperburuk masalah dengan menyebabkan kontriksi umbilical cord dan pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin.4

Pemantauan Janin

Pemantauan denyut jantung janin (DJJ) terus menerus dari usia kehamilan 18 minggu apabila memungkinkan. Hal ini mungkin sulit pada ibu dengan obesitas. Pemantauan jantung janin harus diinterpretasikan oleh operator yang berpengalaman selama operasi dan anestesi. Ketika teknis memungkinkan, pemantauan janin adalah wajib apabila stabilitas hemodinamik ibu tidak memadai sebagai indikator kesejahteraan janin. Tingkat variabilitas jantung janin merupakan indikator yang berguna kesejahteraan janin dan dapat dipantau dari usia kehamilan.2,5 Obat anestesi mengurangi baik DJJ baseline dan DJJ variabilitas, sehingga pembacaan harus ditafsirkan dalam konteks obat yang diberikan. Janin manusia dapat merespon sejumlah rangsangan dari lingkungan termasuk kebisingan, tekanan, nyeri, dan suhu dingin. Rangsangan berbahaya menghasilkan respon otonom dan peningkatan stres hormon. Persisten bradikardia janin umumnya menunjukkan janin distress dan harus meminta tindakan cepat untuk perbaikan. Satu peringatan bahwa neostigmine dapat menyebabkan bradikardi janin bila diberikan dengan glycopyrrolate karena transfer plasenta berkurang. Nilai pemantauan DJJ intraoperatif adalah sebagai peringatan awal, optimalisasi hemodinamik dan oksigenasi dengan cairan yang sesuai, vasopressors, produk darah, hiperventilasi, atau posisi.1

Periode Pascabedah

Jika kehamilan berlanjut minggu pertama pascabedah, maka kejadian persalinan prematur tidak lebih tinggi dibandingkan pada pasien hamil yang tidak dilakukan pembedahan. Tokometri selama periode ini berguna untuk memantau penggunaan analgesia pascabedah, memantau kontraksi dini ringan, dan menunda tokolisis. Pemberian rutin tokolitik profilaksis adalah kontroversial dan umumnya terbatas pada pasien yang telah terjadi manipulasi rahim intraoperatif. Pemberian analgesia yang memadai juga penting Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan

(15)

pada periode pascabedah, karena rasa sakit telah terbukti meningkatkan risiko persalinan prematur.1

IV. Simpulan

Cedera kepala pada ibu hamil merupakan kejadian yang cukup sering terjadi, dimana tindakan operatif diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Pada prinsipnya penanganan anestesi pada kondisi ibu hamil dan tidak hamil dianggap tidak berbeda, namun pada saat ibu hamil terdapat 2 nyawa yang harus diselamatkan, walaupun tetap ibu yang menjadi prioritas. Dengan perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan serta adanya janin didalam kandungan, akan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Tindakan operatif dan anestesi, manuver-manuver yang terjadi selama pembedahan, dan obat-obatan yang diberikan selama operasi berpotensi untuk menjadi morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin, oleh karena itu diperlukan pengetahuan khusus, pemantauan yang ketat, serta kerjasama yang baik antar bagian terkait untuk penaganan kasus seperti ini.

Daftar Pustaka

1. Roisin M, O’Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical Anesthesia. 2006; 18: 60–66.

2. Chesnut DH, Polley LS. Chestnut’s Obstetric anesthesia principles and practice. 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2009; 337–53.

3. World Federation of Societies of Anaesthesilogist. Neurosurgey and the parturient anaesthesia tutorial of the week. 5th March 2012: 1–9

4. Braveman FR. Obstetric and gynecologic anesthesia the requisites in anesthesiology. 1st ed. Philadelphia: Mosby; 2006, 23–29 5. Datta S. Obstetric anesthesia handbook. 4th

ed. Boston: Springer; 2006, 333–46

6. Rosen MA. Management of anesthesia for the pregnant surgical patient. Anesthesiology. 1999; 91:1159–63.

7. Foley MR. Obstetric Intensive Care Manual. Arizona: McGraw-Hill Companies, Inc; 2011; 503–13

8. Foley MR. Obstetric Intensive Care Manual: McGraw-Hill Companies, Inc; 2011. Arizona. 503–13

9. Datta S. Anesthetic and Obstetric Management of High-Risk Pregnancy. New York: Springer-Verlag New York Inc; 2004 247–53

10. Bellfort MA. Critical care obstetric. 5th ed Oxford: Wiley Blackwell; 2011, 78–97

(16)

171

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi

Tumor Otak

Caroline Wullur, M Adli Boesoirie, Dewi Yulianti Bisri

Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Angka kejadian tumor intrakranial pada masa kehamilan sangat jarang. Keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala dan gangguan penglihatan serupa dengan hiperemesis dan eklampsia. Sebagian besar pasien tidak memerlukan tindakan emergensi namun pada beberapa kasus, kraniotomi tumor otak dilakukan lebih awal atau bahkan bersamaan dengan seksio sesarea. Seorang wanita 40 tahun, G3P2A0 datang dengan penurunan kesadaran GCS 6 (E2M2V2). CT-scan menunjukkan adanya masa pada daerah temporoparietal kiri, curiga high grade glioma, disertai dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral. Pemeriksaan obstetri menunjukkan usia kehamilan 32 minggu dengan gawat janin. Dengan pertimbangan resiko herniasi dan gawat janin, pasien menjalani operasi emergensi seksio sesarea diikuti dengan kraniotomi tumor otak. Operasi berlangsung selama 6 jam. Pada pasien hamil dengan tumor otak, waktu pembedahan bergantung pada jenis tumor, usia kehamilan dan kondisi janin. Keberhasilan anestesi bergantung pada pengetahuan menyeluruh mengenai fisiologi dan farmakologi wanita hamil yang disesuaikan dengan individu terkait untuk mengontrol tekanan intrakranial, dengan tujuan menjaga kesejahteraan ibu dan anak.

Kata kunci: seksio sesarea, kraniotomi tumor otak, kehamilan

JNI 2015;4(3): 171–76

Anaesthetic Management for Combined Emergency Cesarean Section and Craniotomy

Tumor Removal

Abstract

The occurrence of primary intracranial tumors in pregnancy is an extremely rare event. Symptoms of brain tumor include nausea, vomitting, headache, visual disturbances and seizures which mimic symptoms of pregnancy-related hyperemesis or eclampsia. These central nervous system disorders seldom require immediate surgical attention during pregnancy. However in very few cases, craniotomy tumor removal is performed earlier or even simultaneous with fetal delivery. A 40-year-old woman at 32 weeks of gestation presented to the emergency room with decreased level of consciousness GCS 6 (E2M2V2). CT scan revealed a mass lesion over the left temporoparietal region, suggestive of a high grade glioma, with midline shift and intratumoral bleeding. Obstetric examination revealed a single live fetus of 32 weeks gestation in distress. In view of high risk of herniation and fetal distress, she underwent emergency cesaren section followed by craniotomy tumor removal. Both procedures were completed in 6 hours. In a parturient with brain tumor, the time of combined surgery of tumor removal and cesarean section is decided upon clinical symptoms, type of tumor, gestational age and fetal viability. A successful anaesthetic management requires a comprehensive knowledge of physiology and pharmacology, individually tailored to control intracranial pressure while ensuring the safety of both mother and fetus.

Key words: cesarean section, craniotomy tumor removal, pregnancy

(17)

I. Pendahuluan

Angka kejadian pembedahan non-obstetri pada masa kehamilan mencapai 0,75–2%. Angka kejadian tumor primer pada susunan saraf pusat pada wanita hamil adalah 6 pada setiap 100.000 pasien dan angka ini lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dengan usia yang serupa. Keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala, gangguan penglihatan dan kejang serupa dengan keluhan yang terjadi pada hiperemesis gravidarum selama kehamilan awal atau eklamsia saat akhir kehamilan. Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering terjadi dan sebagian besar tumor ini bertumbuh lebih cepat saat kehamilan, berkaitan dengan reseptor estrogen dan progesteron. Tumor yang sebelumnya tidak diketahui dan tidak mempunyai gejala, dapat menjadi simptomatik pada masa kehamilan karena adanya pertumbuhan tumor atau edema di sekitarnya. Sebagai tambahan, peningkatan vaskularitas juga dapat terjadi pada masa kehamilan sehingga keluhan yang dirasakan oleh pasien meningkat.1,2

Pada sebagian besar kasus tumor pada kehamilan, pembedahan ditunda hingga bayi lahir. Namun, resiko mortalitas yang tinggi pada tumor yang menyebabkan perburukan neurologis akut dengan resiko herniasi sehingga memerlukan pembedahan segera. Penatalaksanaan anestesi untuk kombinasi seksio sesarea dan kraniotomi tumor otak tidaklah mudah karena memerlukan keseimbangan antara pertimbangan ibu dan neonatus. Beberapa teknik neuroanestesia atau intervensi protektif yang menguntungkan ibu mempunyai resiko untuk janin. Rapid sequence

induction dapat meningkatkan tekanan darah ibu

dan tekanan intrakranial sedangkan hiperventilasi dan penggunaan manitol dapat mengurangi aliran darah uterus dan menyebabkan hipovolemia pada janin.1,2

II. Kasus Anamnesis

Seorang wanita 40 tahun G3P2A0 (160cm, 70kg) pada usia kehamilan 32 minggu, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran.

Pemeriksaaan Fisik

GCS 6 (E2M2V2) dengan tekanan darah 150/90mmHg dan laju nadi 120x/menit. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit neurologi sebelumnya. Diagnosa banding saat itu adalah infeksi (meningitis), perdarahan (aneurisma, hipertensi, eklamsia, sindroma HELLP) dan penyebab peningkatan tekanan intrakranial lainnya seperti tumor otak. Pada pemeriksaan obstetri, janin berusia 32 minggu, dalam keadaan gawat janin

Pemeriksaaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb13,4g/dL, Ht 40%, leukosit 13.000, trombosit 266.000, Na 140, K 3,4, Cl 101, Ca 5,62, Mg 2,48, PT 9,2, INR 0,87, APTT 22,6, GDS 140. CT scan menunjukkan masa berukuran 6x7x10 cm pada daerah temporoparietal kiri, sugestif meningioma dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral (Gambar 1). Dilakukan diskusi multidisipliner antara dokter bedah saraf, obstetri dan anestesi dan diputuskan bahwa pasien mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya herniasi otak. Setelah dilakukan diskusi dengan keluarga, maka pasien dijadwalkan untuk operasi emergensi gabungan seksio sesarea dan kraniotomi tumor otak.

Pengelolaan Anestesi

Pasien diberikan premedikasi dengan 50mg ranitidin dan 10mg metoklopramid intravena 30 menit sebelum induksi. Posisi pasien dimiringkan ke kiri untuk mencegah terjadinya kompresi aortokaval dan 15° reverse Trendelenburg untuk mengurangi tekanan intrakranial. Pasien diberikan 100% oksigen melalui sungkup muka dengan monitoring berupa tekanan darah non-invasif, elektrokardiogram dan pulse oksimetri. Sebagai tambahan monitoring hemodinamika, arterial line dipasang pada arteri radialis kanan. Kondisi pasien sebelum induksi dengan tekanan darah 144/88 mmHg, laju nadi 110 x/menit dan saturasi oksigen 100%. Lidokain 1,5 mg/kg diberikan dan induksi dilakukan dengan fentanil 2mcg/kg, propofol 2mg/kg dan rokuronium 1,2 mg/kg dengan tekanan krikoid. Sevofluran 2–3vol% dengan 50% udara : O2 digunakan untuk rumatan anestesi. Ventilasi terkontrol

(18)

173

dengan volume tidal 6 cc/kg dengan laju nafas 14x/menit. Endtidal CO2 dipertahankan 30 ±2mmHg. Lahir bayi perempuan dengan APGAR 6, 7, 8 pada menit 1, 5 dan 10, kemudian 50 mcg fentanil ditambahkan setelah bayi lahir untuk mempertahankan kedalaman anestesi. Setelah plasenta lahir, 10 IU oksitosin diberikan dengan tetes lambat dalam 500 cc NaCl 0,9%. Seksio sesarea berlangsung selama 55 menit dengan tekanan darah sistol 110–130mmHg, diastol 70–80mmHg, laju nadi 70–90 x/menit, saturasi oksigen 98–99%, perdarahan 500 cc dan urine

output 100cc. Dilakukan pemberian 210 cc PRC

dengan 700cc Ringerfundin.

Sebelum dilakukan kraniotomi tumor otak, dipasang kateter vena sentral pada vena subklavia kanan. Kraniotomi tumor otak dilakukan dalam posisi supine dengan elevasi kepala 30°. Manitol dengan dosis 0,5 g/kg diberikan sebelum insisi kulit kepala. Rumatan anestesi dengan sevofluran 2vol% dengan 50% udara: O2, rokuronium intermiten dan propofol kontinu 25–50mcg/ kg/menit. Parameter hemodinamika stabil selama operasi yang berlangsung 5 jam dengan tekanan sistol 100-130mmHg, tekanan diastol 60–80mmHg, laju nadi 70–90 x/menit, saturasi oksigen 98–99%, CVP 11–14 cmH2O. Tumor berhasil diangkat 90% dengan perdarahan 800 cc dan urine output 1200 cc. Pasien diberikan 500 cc gelofusin, 2000cc Ringerfundin dan 210 cc PRC. Pascabedah, pasien ditransfer ke ruang rawat intensif. Ekstubasi dilakukan pada hari ke-empat pascabedah dengan GCS 15 (E4M6V5)

Gambar 1. CT scan menujukkan masa pada daerah temporoparietal kiri dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral

tanpa adanya gangguan neurologis.

III. Pembahasan

Penatalaksanaan pasien hamil dengan tumor otak memerlukan pendekatan multidisipliner dengan melibatkan dokter bedah saraf, obstetri dan anestesi. Waktu yang tepat untuk dilakukannya pembedahan harus disesuaikan dengan pasien, yang bergantung pada status neurologis pasien, kemungkinan adanya preterm labour, usia kehamilan dan kematangan paru janin. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai hasil yang optimal seperti efek fisiologis dari kehamilan pada ukuran tumor, sirkulasi serebral ibu, autoregulasi dan tekanan perfusi serebral. Beberapa prinsip yang dipakai sama sedangkan beberapa yang lain saling bertentangan. Teknik neuroanestesi perlu dirancang untuk menghindari hipoksia fetus, hiperkarbia dan hipotensi. Pendekatan neuroanestesi seperti hiperventilasi dan penggunaan diuretik dapat menyebabkan hipokarbia, penurunan perfusi uterus dan meningkatkan osmolaritas janin atau dehidrasi sehingga dapat mengancam nyawa janin. Prosedur neuroanestesi harus dapat memberikan hasil optimal untuk ibu dengan resiko yang minimal bagi janin juga paparan yang minimal terhadap obat-obatan anestesi, yang mencakup pemberian profilaksis terhadap aspirasi, preoksigenasi, stabilitas hemodinamika dan monitoring ketat.1-3 Angka kejadian tumor intrakranial saat masa kehamilan kecil. Angka kejadian tumor intrakranial primer pada wanita adalah 6 setiap 100,000 orang dan lebih jarang pada wanita hamil. Tumor-tumor tersebut cenderung mengalami pertumbuhan pada masa kehamilan karena adanya rentensi cairan, peningkatan aliran darah dan perubahan hormon. Umumnya, pembedahan untuk tumor-tumor dengan pertumbuhan lambat dapat ditunda hingga bayi lahir, bergantung pada pemeriksaan neurologi, namun tumor ganas dan tumor yang bertumbuh cepat seringnya memerlukan intervensi segera. Efek lokal tumor pada masa kehamilan mencakup hilangnya fungsi yang berkaitan dengan penekanan saraf dan kejang. Efek tumor secara umum biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranila, karena masa tumor dan

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesaria dan Kraniotomi Tumor Otak

(19)

hidrocefalus, yang disebabkan oleh sumbatan sirkulasi cairan serebro-spinal dan edema serebral. Hal ini merupakan komplikasi yang membahayakan nyawa dan dapat menyebabkan herniasi, kompresi struktur otak dan kematian.1,2 Pada kasus ini, pasien tidak pernah mengalami gangguan neurologi hingga terjadi penurunan kesadaran. CT scan menunjukkan masa yang besar yang menyebabkan pergeseran midline dan perdarahan intratumor. Dari pandangan neurologi, pasien ini memerlukan kraniotomi tumor otak emergensi karena resiko terjadinya herniasi dan kematian. Dari pandangan obstetri, cardiotocograhy menunjukkan kegawatan janin sehingga memerlukan emergensi seksio sesarea. Pendekatan anestesi yang menggabungkan neuroanestesi dan anestesi umum untuk seksio sesarea memerlukan pengetahuan komprehensif akan fisiologi ibu dan janin, fisiologi dan farmakologi neuroanestesia dengan tujuan perawatan yang optimal untuk ibu dan janin. Dengan prinsip neuroanestesi, intubasi endotrakeal perlu difasilitasi sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Namun, rapid sequence induction untuk seksio sesarea akan meningkatkan tekanan intrakranial. Pada kasus ini, digunakan lidokain dan fentanil untuk menghambat stimulasi simpatis saat dilakukannya intubasi trakea. Dosis rokuronium yang tinggi (1,2 mg/ kg) dengan penekanan krikoid digunakan 60 detik sebelum intubasi, sebagai pengganti suksinilkolin. Premedikasi dengan ranitidin dan metoklopramid diberikan karena adanya resiko aspirasi.3-6 Penggunaan opioid seperti fentanil untuk seksio sesarea masih kontroversial. Opioid dikhawatirkan dapat menyebabkan rigiditas otot dinding dada dan apnea bagi janin sedangkan menguntungkan bagi ibu karena dapat menekan respon stres dan peningkatan tekanan intrakranial. Semua opioid yang diberikan sebelum bayi lahir berpotensi menyebabkan depresi pernafasan maka seseorang yang ahli dalam resusitasi dan monitoring neonatus perlu diberitahu dan hadir saat bayi tersebut lahir disamping penyediaan nalokson. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa opioid dengan durasi pendek seperti fentanil (2–5 mcg/kg) atau remifentanil (1mcg/

kg) aman digunakan. Lidokain (1,5–2mg/kg) juga dapat digunakan bersamaan dengan opioid untuk menekan respon simpatis saat intubasi. Pada kasus ini, kami gunakan kombinasi lidokain dan fentanil saat induksi dengan hasil yang baik.4-8 Kesejahteraan janin dapat terganggu jika terjadi hipotensi maternal, vasokonstriksi arteri uterina, hipoksemia maternal, perubahan asam basa dan perubahan fisiologi ibu lainnya yang dapat menyebabkan gangguan hemodinamik sehingga mengurangi perfusi uteroplacenta dan janin. Untuk mempertahankan perfusi serebral dan uteroplacenta, resusitasi cairan penting untuk menjaga stabilitas hemodinamika, menghindari terjadinya kompresi aortokaval dan monitoring tekanan darah invasif.3,10-12 Anestetika inhalasi dapat digunakan untuk seksio sesarea. Semua anestetika inhalasi dan N2O dapat meningkatkan tekanan intrakranial karena vasodilatasi serebral, yang dapat diperbaiki dengan hiperventilasi. Dengan menghindari penggunaan N2O dengan dosis anestesi inhalasi yang tinggi, tekanan intrakranial mungkin meningkat dan kontraksi uterus terganggu, maka menyebabkan perdarahan pasca melahirkan. Untuk rumatan anestesi umum, anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran dengan dosis 1–2 MAC efektif. Dosis anestesi inhalasi pada wanita hamil 25% lebih rendah. Pada konsentrasi ini, gangguan aliran darah uterus dan resiko perdarahan minimal dan autoregulasi serebral juga dapat dipertahankan. Pada kasus ini, N2O tidak digunakan dan anestesi inhalasi dosis rendah digunakan untuk rumatan anestesi, digabungkan dengan propofol kontinu, rokuronium intermiten dan opioid. Oksitosin diberikan untuk mencegah perdarahan postpartum. Penggunaan metergin dihindari karena kemungkinan terjadinya hipertensi dan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan tekanan intrakranial yang sudah tinggi dengan sawar darah otak yang terganggu.3,12-14 Jumlah cairan yang digunakan harus disesuaikan dengan darah yang hilang, urine output dan kebutuhan rumatan. Koloid dan produk darah diberikan dengan rasio 1:1 terhadap jumlah perdarahan sedangkan kristaloid dengan rasio 3:1. Kita memilih menggunakan Ringerfundin sebagai kristaloid karena dianggap sebagai cairan dengan kandungan yang paling seimbang. Penghantaran

(20)

175

oksigen optimal pada hematokrit 30% maka kami berikan transfusi darah untuk mempertahankan hematokrit 30%.1,6 Diuretik digunakan rutin pada kraniotomi tumor otak untuk menciptakan otak yang slack saat pembedahan. Diuretik dapat menyebabkan balans cairan yang negatif sehingga membahayakan janin. Pada kasus ini, kami memberikan manitol setelah bayi dilahirkan sehingga tidak berpotensi membahayakan janin. Pasien diposisikan dengan 30° head elevation untuk menurunkan tekanan intrakranial dan otak yang slack. Hiperventilasi maternal ringan hingga ETCO2 of 28–30 mmHg juga digunakan untuk menurunkan volume serebral saat pembedahan.1,3

IV. Simpulan

Operasi non-obstetrik selama kehamilan menjadi tantangan tersendiri bagi dokter ahli anestesi, dimana penatalaksanaan anestesi harus menjaga kesejahteraan ibu dan fetus. Pemilihan waktu tindakan kraniotomi tumor otak bergantung pada lokasi dan patologi tumor, keluhan klinis, masa kehamilan dan viabilitas janin. Pada masa kehamilan terjadi pertumbuhan masa tumor sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial, pergeseran midline dan meningkatkan morbiditas ibu. Bila terdapat resiko herniasi, kraniotomi tumor removal dilakukan secara emergensi. Keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, pengetahuan menyeluruh mengenai fisiologi dan farmakologi maternal dan janin, serta perawatan suportif pascabedah dan analgetik yang sesuai. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan janin.

Daftar Pustaka

1. Hool A. Anesthesia in pregnancy for non-obstetric surgery. Anaesthesia tutorial of the week. 2010;185:1–9.

2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman

JD, Tubbs RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical management of intracranial lesions in the pregnant patient: A 36-year institutional experience and review of the literature. J Neurosurg 2009; 3:1–8

3. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cotttrell and Young's Neuroanesthesia. 5th edition. Philadephia, Elsevier 2010. Chapter 23, 416–24.

4. Ng J, Kitchen N. Neurosurgery and pregnancy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 79: 745–752

5. Khurana T, Taneja B, Saxena KN. Glioma brain for cesarean section immediately followed by craniotomy. J Anaest Clin Phar 2014; 30: 397–9

6. Reitman E, Flood P. Anaesthetic consideration for non-obstetric surgery during pregnancy. Br J Anaesth 2011; 107 suppl 1: 172–8 7. Morgan GE Jr, Mikhail MS, Murray MJ.

Clinical anesthesiology. 4th ed. New York, McGraw-Hill companies. 2006; 216–7

8. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg 2008;107:193–200

9. Khurana T, Taneja B, Saxena KN. Anesthetic management of a parturient with glioma brain for cesarean section immediately followed by craniotomy. J of Anaest Clin Pharm 2014; 30(3): 397–9

10. Sahu S, Lata I, Gupta D. Management of pregnant female with meningioma for craniotomy. J Neurosci Rural Pract 2010;1:35–7

11. Chung J, Rho JH, Jung TH, Cha SC, Jung HK, Lee C, Woo SC. Anaesthetic management of a parturient for combined cesarean section and surgical removal of pituitary tumor. Korean J Anesthesiol 2012; 62(2): 579–83

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesaria dan Kraniotomi Tumor Otak

(21)

12. Van De Velde M, De Buck F. Anesthesia for non-obstetric surgery in the pregnant patient. Minerva Anestesiol. Apr 2007;73(4):235–40 13. Qaiser R, Black P. Neurosurgery in pregnancy.

Semin Neurol. Nov 2007;27(5):476–81

14. Kuczkowski KM. The safety of anaesthetics in pregnant women. Expert Opin Drug Saf. Mar 2006;5(2):251–64

(22)

177

Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural

yang Tertunda

Sandhi Christanto*), Sri Rahardjo**), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***)

*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi

& Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen

Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan serius karena merupakan pemicu kematian di seluruh dunia. Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya. Perdarahan subdural akut (PSDA) adalah salah satu kelainan yang menyertai cedera kepala berat. Insidennya mencapai 12– 30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat. PSDA merupakan tantangan yang berat karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi (55–70%). Waktu antara trauma dan evakuasi perdarahan merupakan faktor paling penting dalam menentukan luaran pasien dengan PSDA. Interval waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma meningkatkan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila dilakukan dibawah empat jam (30%). Disamping itu, penundaan tindakan evakuasi bekuan darah menambah pelik permasalahan yang ada. Laki-laki 29 tahun, 75 kg diagnosa cedera kepala berat, perdarahan subdural akut fronto-temporo-parietal kiri, dan direncanakan evakuasi hematoma segera. Setelah stabilisasi didapatkan jalan napas potensial obstruksi, tekanan darah 160–170/90 mmHg, laju nadi 65–70 x/menit irregular, GCS 1–1–2 , pupil anisokor 3mm/4mm, hemiparese kanan. Pasien diintubasi, pernapasan di kontrol dan dirawat sementara di ICU karena penundaan evakuasi hematoma. Operasi dilakukan setelah 7 jam pasca pasien tidak sadar. Interval waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma menyebabkan peningkatan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila dilakukan dibawah empat jam (30%). Beberapa cara dapat dilakukan selama waktu penundaan evakuasi untuk mencegah herniasi sehingga klinisi memiliki harapan dalam pengelolaan PSDA yang mengalami penundaan evakuasi. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas tindakan-tindakan tersebut dengan harapan mendapat masukan sehingga pengelolaan pasien cedera kepala dengan PSDA menjadi lebih baik

Kata kunci: Cedera kepala traumatik, perdarahan subdural akut

JNI 2015;4(3): 177–86

Severe Head Injury Management with Delayed Subdural Hematoma

Abstract

Traumatic brain injury (TBI) is major health problem and leading cause of death worldwide. Approximately 1-1,5 milion people in Europe and United States suffered from TBI yearly. Acute subdural hematoma (ASDH) is commonly seen in severe TBI. The incidence of ASDH is between 12 to 30% with high morbidity and mortality rate (55-70%). Time to surgery is the most important factor that determined the outcome. Time to surgery more than 4 hours is associated with higher mortality rate (85%) compare to when the surgery is done within 4 hours (30%) from the onset of TBI. Furthermore, delayed in surgical clot removal may worsen the outcome. A 29 years old man, 75kgs, suffered from TBI with left fronto-temporo-parietal ASDH and was planned for emergency evacuation of subdural. The airway tended to suffer from obstruction, blood pressure 160-170/90 mmHg, heart rate was irregular around 65-70 bpm, GCS 1-1-2, pupil was anisokor 3mm/4mm, and right hemiparese was found. Patient.was then intubated, the ventilation was controlled and he was managed in the ICU because the operation was delayed. The operation was done after more than 7 hours since the neurological deterioration initiated. There are several methods may be conducted during the delay surgery time to prevent herniation, so phycisiant may regain better result on delayed ASDH surgery. This case report will discuss methods in managing patient with delayed evacuation of ASDH for a better outcome.

Key words: Traumatic brain injury, acute subdural hematoma

Gambar

Diagram 1. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Jenis Tumor
Tabel 2. Distribusi Pasien Tumor Otak  Supratentorial berdasarkan Letak Tumor
Gambar 1. CT scan menujukkan masa pada  daerah temporoparietal kiri dengan pergeseran  midline dan perdarahan intratumoral
Gambar 1. Perdarahan Subdural Fronto
+7

Referensi

Dokumen terkait

J : Data yang perlu dicantumkan dalam laporan kredit antara lain nomor rekening, nama, bunga, tanggal mulai, tanggal jatuh tempo, kolektibilitas, angsuran, plafond, baki

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ketinggian dinding berdasarkan hasil simulasi yang telah dilakukan, dibandingkan dengan hasil perhitungan, dengan

Sebagian besar alkaloida mempunyai kerangka dasar polisiklik termasuk cincin heterosiklik nitrogen serta mengandung substituen yang tidak terlalu

Demam merupakan kenaikan suhu tubuh diatas normal. Demam ter-adi karena pelepasan piro#en dari dalam leukosit !an# sebelumn!a telah teran#san# oleh piro#en ekso#en

Penelitian dilaksanakan di sentra produksi jeruk siam, yaitu di Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari, Kabupaten Jember, pada jenis tanah Asosiasi Glei humus rendah dan

Oleh sebab itu, kadar aspal yang diperlukan dalam suatu campuran lapis perkerasan adalah kadar aspal optimum, yaitu suatu kadar aspal yang memberikan stabilitas tertinggi pada

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON MIPA-PT) sebagai bagian untuk

Pada halaman ini dirancang sebuah interface Sistem Informasi Posisi versi web dari aplikasi desktop Arcview. Dalam halaman ini user dapat mengakses peta dan