• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir mereka. Baik fiksi maupun non fiksi, teks bacaan untuk anak-anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pola pikir mereka. Baik fiksi maupun non fiksi, teks bacaan untuk anak-anak"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

“It was good—yes, it was good—to be English” (French, 2011: 100) 1.1 LATAR BELAKANG

Apa yang dibaca oleh anak-anak sangat mempengaruhi proses terbentuknya pola pikir mereka. Baik fiksi maupun non fiksi, teks bacaan untuk anak-anak berperan penting bagi tumbuh kembang mental. Walaupun segmen pembacanya berusia belia, teks-teks anak di seluruh dunia hingga saat ini kebanyakan diproduksi dan direproduksi oleh orang dewasa. Oleh karenanya, selalu ada permainan kepentingan dan kekuasaan yang terjadi dalam proses produksi teks, terutama sastra, anak. Orang dewasa, dalam hal ini penulis teks anak, merasa berkepentingan dan memiliki otoritas untuk menyajikan sesuatu yang layak bagi pembaca ciliknya. Secara sadar atau tidak, otoritas tersebut memberikan efek pada perspektif bacaan yang mereka produksi, Dengan kata lain, sastra anak cenderung lebih didaktif dan instruktif dibandingkan dengan bacaan untuk orang dewasa.

Walaupun masih sering dipandang sebelah mata, sastra anak di dunia telah berkembang dengan cukup signifikan. Di Inggris, sastra anak kanon telah lahir sejak berabad-abad yang lalu, beberapa diantaranya adalah Alice in the Wonderland karya CS Lewis dan The Jungle Book karya Rudyard Kipling. Sementara di Amerika, keberadaan Walt Disney menyumbang peran besar bagi persebaran film dan dongeng secara komersial di seluruh dunia. Selain kedua negara tersebut, Australia juga

(2)

dipandang memiliki sastra anak yang perkembangannya cukup mengesankan. Berbagai program televisi, novel maupun buku bergambar diproduksi dengan kualitas terbaik. Namun yang tak kalah menarik adalah sejarah dan latar belakang budaya Australia yang membuat kesusastraannya, terutama sastra anak, memiliki ciri khas tersendiri.

Sebagai salah satu negara persemakmuran, Australia tentulah memiliki sejarah dan kebudayaan yang unik, termasuk dalam bidang sastra. Kesusastraannya, walaupun belum dikenal terlalu luas bila dibandingkan dengan kesusastraan Inggris, memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut terbentuk salah satunya karena pengaruh masa lalu, yaitu masa pembentukan negara dan masa pencapaian identitas sebagai negara yang ‘merdeka’. Kemerdekaan Australia berada diantara tanda kutip karena pada dasarnya negara ini tidak mengalami penjajahan seperti yang dirasakan oleh negara lain seperti India, Nigeria atau Indonesia. Maka dari itu, berbeda dengan negara lain yang disebut sebagai bekas jajahan, Australia memiliki sebutan sebagai settler society, atau negara dengan penduduk pendatang yang hidup bersama-sama dengan kaum pribumi (Bradford, 2007: 2).

Latar belakang tersebut memberikan efek yang cukup besar terhadap produksi teks bagi anak-anak di Australia. Status jati diri masyarakatnya yang masih terkesan ‘di antara’, keberadaan berbagai macam ras baik pribumi maupun pendatang serta keinginan untuk mendefiniskan diri membuat isu mengenai identitas banyak tertuang dalam sastra anaknya. Sebagai contoh, pada awal masa pendudukan Inggris, teks yang dibaca oleh anak-anak Australia kebanyakan berasal dari Inggris Raya. Pada

(3)

tahun-tahun menjelang pemerolehan status sebagai negara yang berdaulat, sastra anak mulai dihasilkan sendiri oleh penulis Australia. Kemunculan ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh gerakan Bush Literature—gerakan sastra pedalaman— yang diprakarsai oleh Banjo Peterson.

Bacaan anak pertama yang muncul di Australia berjudul A Mothers’s Offering to Her Children yang ditulis secara anonym pada tahun 1841. Selanjutnya, sastra anak Australia gelombang awal, seperti misalnya Seven Little Australians karya Ethel Turner atau Billabong Books karya Mary Grant Bruce mulai berisi tentang kehidupan anak-anak Australia baik yang pribumi maupun non pribumi. Novel-novel yang disebutkan di atas, saat ini masuk dalam golongan buku anak klasik, dan dianggap karya yang keberadaannya mulai langka.

Tiga nama penulis yang telah disebutkan pada paragraph sebelumnya adalah keturunan kulit putih. Pada awal perkembangannya sastra anak populer memang dihasilkan kebanyakan oleh penulis non pribumi. Namun, kaum pribumi sendiri sebenarnya adalah pencerita yang handal, tidak kalah dengan penulis pendatang. Seiring dengan berkembangnya kesusastraan, cerita mengenai mereka lebih sering disampaikan oleh orang lain dan melalui suara yang lain. Hal ini berdampak pada melekatnya bias dan prasangka yang diwariskan pihak kolonial terhadap pencitraan kaum Pribumi, terutama adanya kesalahpahaman akan kebudayaan, tradisi dan kebiasaan hidup mereka. Banyak aspek dari sejarah sosial Australia yang berhubungan dengan penduduk Aborigin tertutupi selama ratusan tahun. Apa yang telah diketahui oleh banyak orang, namun belum secara masif diterbitkan di

(4)

halaman buku sejarah, akhirnya telah mulai ditulis melalui cerita anak-anak. Keberadaan pribumi, dalam hal ini kaum Aborigin, dalam cerita anak yang ditulis oleh penulis non-pribumi disampaikan dari perspektif yang agaknya cukup subjektif. Beberapa penggambaran kaum Pribumi yang mengandung unsur rasisme banyak ditemukan dalam kedua novel tersebut, terutama pada seri Billabong Books.

Sudut pandang yang diliputi prasangka dan kesalahpahaman tersebut umum terjadi pada abad ke-19, baik dalam dunia kesusastraan maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Australia, perspektif yang dihadirkan melalui karya cenderung homogen. Sekuat apapun kampanye yang dilakukan untuk menghadirkan kesadaran akan keberagaman, hal-hal sensitif seperti stereorip ras masih banyak ditemukan hingga saat ini. Stereotip tersebut bisa jadi tertulis secara sengaja karena pola pikir penulisnya yang masih sangat ke-Barat-baratan, atau secara tidak sengaja karena memang cara pandang orientalis masih melekat kuat dalam benak kaum pendatang.

Sebagai contoh, isu-isu tentang liyan atau the others telah banyak dibahas di Australia, karena memang hingga saat ini fenomena tentang ras lain yang dianggap tereksklusi dari kelompok masyarakat Australia juga masih sering terjadi. Misalnya, di sekolah-sekolah dasar di Australia terdapat sebuah buku pelajaran dengan judul Our Society and Others (Oakley, 1985). Pada suatu bab mengenai Aborigin, orang-orang Pribumi digambarkan melalui perpektif yang berjarak, seolah-olah mereka adalah bagian dari masyarakat yang lain, bukan dari negara yang sama. Sudut pandang yang berjarak inilah yang membuat pembaca sulit memahami karakteristik kaum Pribumi.

(5)

Contoh lainnya adalah, hingga saat ini, kaum pribumi Australia lebih memilih untuk disebut dengan istilah Indigenous yang berarti Pribumi dibandingkan dengan sebutan Aborigin yang memiliki peyorasi kasar dan terpinggirkan. Dari fenomena tersebut kita paling tidak bisa meneropong adanya sebuah luka lama yang menyebabkan keengganan kaum pribumi untuk disebut sebagai Aborigin. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya rekognisi dan pengakuan terhadap keberadaan mereka sebagai penduduk asli Australia dan segregasi mental yang dilakukan koloni selama berabad-abad.

Jika ditelaah lagi ke masa lalu, yaitu pada akhir abad ke-19 ketika isu rasisme dan supremasi kulit putih di Australia masih gencar berkembang di masyarakat, tepatnya tahun 1899 terbit sebuah novel anak berjudul Dot and the Kangaroo karangan Ethel C. Pedley. Novel ini dianggap mengandung semangat nasionalisme yang kuat karena adanya deskripsi dan eksposisi yang detail mengenai daratan dan alam liar serta makhluk pribumi Australia.

Selain itu, novel ini oleh banyak kritikus disebut sebagai karya yang sangat didaktif dan mendidik karena secara umum menginstruksi pembaca anak untuk selalu menjaga dan mencintai lingkungan. Namun, sebenarnya terdapat narasi lain yang ingin dihadirkan oleh pengarang, yaitu isu tentang kesetaraan. Sang penulis, Pedley, adalah seorang keturunan kulit putih, sementara Dot, anak perempuan yang menjadi tokoh utama cerita juga merupakan tokoh kulit putih. Jika dilihat lebih dalam, pengarang masih menyajikan sudut pandang yang memojokkan kaum lain diluar kelompoknya, dalam hal ini adalah kaum pribumi.

(6)

Karya Pedley kini telah menjadi satu diantara sastra anak klasik Australia. Isu-isu yang dapat ditemukan dalam novelnya, walaupun telah melekat selama lebih dari satu abad, masih terasa gaungnya hingga saat ini. Setelah masa kejayaan Turner, Bruce dan Pedley, berpuluh tahun kemudian muncul banyak penulis sastra anak kontemporer di Australia. Diantaranya adalah Andy Griffith, Sally Ripins dan Jackie French.

Jackie Freanch adalah salah satu pengarang kontemporer yang tampaknya paling produktif dalam menulis sastra anak. Karya yang dihasilkannya terdiri dari berbagai macam genre seperti buku bergambar seri Wombat yang memenangkan penghargaan dari Australian Children’s Books Council, genre petualangan, novel sejarah dan ensiklopedia. Jackie French adalah penulis sastra anak yang bisa dikatakan paling populer di Australia di adan ke-21 ini. Jackie French merupakan penulis keturunan kulit putih serta penerbit yang menaungi karya-karyanya adalah penerbit mainstream yang menerbitkan banyak karya-karya populer, hal ini mengindikasikan bahwa karya-karyanya diproduksi melalui perspektif yang cenderung memihak pada budaya mayoritas, yaitu budaya White Australian. Sementara itu, puluhan karyanya merupakan best selling yang telah dibaca oleh sebagian besar anak-anak Australia. Karena segmen pembacanya sangat luas, maka semakin besar pula kemungkinan teks-teks ini memberi pengaruh pada pembaca anak-anak. Terdapat kemungkinan besar bahwa perspektif yang cenderung memihak budaya mayoritas tersebut dapat mempengaruhi sudut pandang pembaca dalam melihat fenomena keberadaan budaya yang lebih marginal.

(7)

Salah satu karya French yang memuat hubungan antara Pribumi dan non Pribumi adalah Walking the Boundaries. Novel ini ditulis hampir satu abad setelah terbitnya Dot and the Kangaroo. Hampir serupa dengan Dot and the Kangarooo, novel ini juga diceritakan dari sudut pandang tokoh anak kulit putih yang diciptakan oleh French. Oleh karena itu, penggambaran pribumi yang disampaikan di dalam novel pun memiliki kesubjektifitiasan tersendiri. Selain itu, dalam novel Walking the Boundaries terdapat isu menarik mengenai kepemilikan tanah turun temurun dari masa lalu hingga masa ketika orang kulit putih telah mendiami benua Australua. Konsep tentang ‘land ownership’ atau kepemilikan tanah ini sejatinya problematis dan memungkinkan untuk dikaji lebih dalam.

Selain Walking the Boundaries, terdapat satu novel sejarah berjudul Nanberry Black Brother White yang ditulis pada tahun 2011 oleh Jackie French. Jika Walking the Boundaries diceritakan sepenuhnya dari sudut pandang karakter anak kulit putih, Nanberry memiliki keunikan tersendiri karena narasinya disampaikan dari sudut pandang beberapa karakternya. Yang menarik dari novel ini salah satunya adalah, narasi yang disampaikan melalui sudut pandang Nanberry—seorang anak Pribumi yang diadopsi oleh Sersan dari Inggris—dan melalui tokoh lain yang Non-Pribumi sama-sama diciptakan oleh seorang penulis kulit putih. French menyebutkan bahwa kisah Nanberry benar-benar diangkat dari kisah nyata, namun sebuah pencitraan suatu ras tidak hanya bisa dilihat dari jalan ceritanya saja, melainkan juga dari narasi yang disampaikan oleh penulis.

(8)

Pribumi yang dihidupkan dan diceritakan dalam novel-novel Jackie French adalah Pribumi yang ada dalam benak si penulis. Bagaimana dan siapakah kaum Pribumi Australia tidak terucap dari mulut kaumnya sendiri, melainkan dari tulisan seorang keturunan pendatang. Pencitraan oleh kaum non-pribumi tersebut menyebabkan narasi yang diasilkan menjadi cenderung tidak stabil. Ketidakmapanan tidak hanya dapat dilihat melalui jalan cerita, namun juga bahasa yang digunakan untuk menciptakan sebuah narasi.

Publik telah mengenal Jackie French sebagai seorang penulis yang sangat peduli pada kesetaraan dan memiliki ketertarikan mendalam pada alam dan hewan-hewan asli Australia. Hal ini tercermin salah satunya dari narasi singkat yang biasa dimuat di sampul novel. Pada sampul belakang novel Walking the Boundaries, tertulis bahwa novel tersebut adalah novel mengenai local wisdom, budaya dan warisan leluhur. Sementara pada Nanberry Black Brother White, tertulis sinopsis singkat mengenai Nanberry yang diadopsi oleh seorang dokter asli Inggris karena kecerdasan dan bakatnya. Pada narasi singkat dalam sinopsis sampul tersebut, French menampakkan keberpihakan dan pandangan positifnya terhadap kebudayaan Pribumi yang selama ini termarginalkan. Akan tetapi, narasi singkat yang tercantum pada halaman sampul tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur kadar keberpihakan seorang pengarang pada satu pemikiran tertentu. Diperlukan pembedahal lebih dalam pada narasi dalam novel sehingga dapat diketahui bagaimanakah perspektif French yang sebenarnya. Apabila diketemukan bukti bahwa dalam narasinya French lebih

(9)

memihak pada pola pikir budaya mayoritas, maka artinya narasi yang dihasilkannya memiliki sifat yang cenderung tidak stabil.

Apa yang tersirat dari kedua novel karya Jackie French tersebut hanyalah satu diantara banyak contoh sastra anak yang mengusung tema serupa. Walaupun ditujukan untuk pembaca muda, sastra anak tidak serta merta selalu memuat tema yang remeh temeh. Sebaliknya, topik dan narasi yang disajikan seringkali sangat krusial dan secara tersirat mampu mencerminkan adanya segregasi, opresi dan ketidaksetaraan ras melalui gaya tutur yang menghibur dan sederhana.

Hingga saat ini, kajian terhadap sastra anak, termasuk yang diprodusi di negara settler society, telah banyak dikembangkan. Bidang kajiannya pun bermacam-macam. Mulai dari pengkajian unsur intrinsik, kajian gender, moral maupun genre. Akan tetapi tampaknya belum banyak kritikus sastra yang melihat bahwa sastra anak merupakan salah satu jenis teks yang juga bisa kental akan isu-isu efek kolonisasi seperti kepemilikan tanah, identitas kaum Pribumi, pencitraan Pribumi oleh karakter kulit putih dan narasi Eurosentris yang secara sengaja atau tidak disampaikan oleh pengarang. Arus kritik sastra pascakolonial dewasa ini banyak berpusat pada karya sastra berat yang ditulis oleh penulis pascakolonial.

Kritik sastra pascakolonial yang khusus ditujukan pada sastra anak masih sangat terbatas, terutama kajian pascakolonial terhadap karya sastra dari negara settler society seperti Australia. Padahal, teks –teks anak yang diproduksi di negara-negara settler society seperti Australia memiliki kecenderungan untuk “ varying

(10)

degree of unease, a sense of being unsettled, or de-settled” atau mencerminkan kegelisahan danketidakmapanan dalam narasi yang disampaikan (Bradford, 2007: 3).

Unsettling narratives dapat tercermin melalui bahasa. Oleh karenanya Bradford menambahkan bahwa bahasa adalah media paling dasar yang digunakan oleh pihak yang menguasai dan dikuasai untuk berhubungan dengan satu sama lain. Selain itu, bahasa juga merupakan alat yang sangat penting dimana relasi kekuasaan mulai dipertanyakan. Bahasa yang digunakan dalam buku untuk anak-anak mengandung berbagai macam ideologi, karena memang teks untuk anak-anak kebanyakan memiliki misi tertentu untuk mengintervensi kehidupan pembacanya sehingga anak-anak memiliki berbagai pilihan untuk menjalani kehidupan riil mereka. Di dalam teks-teks untuk anak-anak yang diproduksi di negara settler society terdapat konsep yang sangat penting dan berpengaruh besar mengenai karya pascakolonial yang mengkonstruksi ide dan nilai mengenai kolonisai, budaya pascakoloni serta mengenai identitas individu dan nasional. Sayangnya, seperti yang telah disebutkan berulangkali sebelumnya, pengkajian pascakolonial terhadap sastra anak masih dipandang sebelah mata.

Maka, untuk menganalisis lebih jauh isu-isu yang secara umum telah terlihat dalam kedua novel karya Jackie French berjudul Walking the Boundaries dan Nanberry Black Brother White penulis menggunakan teori unsettling narratives yang diperkenalkan oleh Clare Bradford. Walaupun dipengaruhi oleh pemikir pendahulunya seperti Bhabha dan Foucault, Bradford memiliki fokus tersendiri, yaitu pengkajian terhadap sastra anak pascakolonial di negara settler society. Bradford

(11)

memiliki tujuan akhir untuk mengungkap ketidakpastian dan unsettling narratives yang dituliskan oleh penulis sastra anak non pribumi melalui bahasa dan signifikansi tempat dan ruang.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Penggambaran kaum Pribumi oleh penulis kutit putih melalui fokalisasi karakter Pribumi maupun non-Pribumi menyiratkan adanyaketidakmapanan dalam narasi yang dihadirkan oleh Jackie French. Sebagai seorang penulis berdarah Inggris, French, secara sadar ataupun tidak, cenderung melanggengkan pola pikir Barat yang orientalis terhadap pribumi Australia. Narasi tersebut dihadirkan dalam cerita petualangan dan novel historis dengan gaya tutur yang sederhana dan menghibur.

Dari permasalahan tersebut, istilahunsettling narratives dapat diabarkan menjadi dua buah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pribumi digambarkan melalui subjektivitas French sebagai penulis non-pribumi?

2. Bagaimanakah tanah, rumah dan identitas dalam kedua novel saling dihubungkan oleh signifikansi pascakolonial?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka muncul tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu (1) untuk mengetahui pencitraan pribumi yang dilakukan oleh penulis non Pribumi, dalam hal ini Jackie French, sehingga dapat diketahui apakah

(12)

penulis menciptakan narasi yang tidak stabil yang ditunjukkan adanya kecenderungan berpihaknya pengarang pada pola pikir dan budaya mayoritas (Eropa); (2) untuk mengungkap bagaimanakah hubungan antara tempat dan ruang menjadi signifikan dalam konteks pascakolonial pada kedua novel, Walking the Boundaries dan Nanberry Black Brother White karya Jackie French.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah menerapkan teoriunsettling narratives dalam sastra anak yang merupakan bagian dalam kajian pascakolonial pada karya sastra, terutama sastra anak, karena memang kajian yang khusus diterapkan pada jenis sastra ini masih sangat terbatas dan dipandang sebelah mata. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa sastra anak juga dapat berperan sebagai lahan untuk melakukan resistensi. Ia tidak hanya sebuah hiburan yang sarat nilai edukasi, melainkan juga narasi yang menghadirkan berbagai macam potret segregasi dan resistensi terhadapnya.

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian karya sastra anak dengan menggunakan perspektif pascakolonialisme memang masih jarang dilakukan. Salah satu yang cukup memiliki kaitan dengan penelitian ini adalah sebuah jurnal terbitan St Jerome Publishing yang berjudul “Postcolonial Polysistem: Perceptions of Norms in the Translation of

(13)

Children’s Literature in South Africa” karya Haidee Kruger. Penulis jurnal ini meneliti perubahan norma yang terjadi dalam proses penerjemahan sastra anak di Afrika Selatan karena pengaruh perbedaan budaya antara asing dan lokal. Walaupun penelitian Kruger mengambil sastra anak sebagai objek materialnya dan menggunakan teori pascakolonial sebagai kacamata besarnya, metode dan prinsip dasar penelitian Kruger jelas sangat berbeda dengan penelitian ini karena prinsip dasarnya adalah penelitian terjemahan.

Penelitian lain yang telah dipublikasikan adalah milik Melissa Li Sheung Ying yang berjudul “Reading into the Voice: the Representation of Native Voices in Three Early Twentieth Century Children’s Story Collection”. Walaupun sama-sama merupakan penelitian sastra dengan fokus berupa kajian pascakolonialisme dalam sastra anak, isu yang diangkat berbeda dengan penelitian ini. Penelitian Ying lebih menekankan pada keberadaan pihak pribumi yang digambarkan dalam sastra anak dari abad ke-20, yang tentunya berbeda dengan penelitian yang dilakukan terhadap karya sastra anak Australia karangan French. Pada abad ke-20 isu mengenai ras masih sangat sensitif dan lugas, sementara karya yang ditulis sesudahnya mulai mengalami kekaburan. Hal ini tentunya memerlukan perlakuan yang berbeda untuk membedahnya. Penelitian Ying ini diterbitkan dalam sebuah jurnal berjudul Knowing Their Place? Identity and Space in Children’s Literature pada tahun 2011.

(14)

I.5 LANDASAN TEORI

Sebagai pembukaan dari sub bab landasan teori ini, penulis akan terlebih dahulu memberikan definisi mengenai istilah settler society. Menurut Bradford (2007: 6), settler society adalah negara dimana kolonisasi pernah berlangsung dalam bentuk dominasi kekuasaan bangsa Eropa. Di negara-negara ini, para koloni (kaum pendatang) mempraktekkan kekuasaan yang mereka miliki terhadap penduduk asli dari tanah yang mereka duduki. Sebagai efeknya, penduduk asli atau biasa disebut kaum Pribumi terus terjebak dalam usaha untuk memperoleh pengakuan, kompensasi dan identitas diri. Settler society atau negara dengan kaum pendatang yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah negara-negara yang merupakan produk dari pendudukan Britania Raya, salah satunya Australia.

Banyak teks untuk yang diproduksi di settler societies seperti misalnya New Zealand, Australia, Kanada dan Amerika Serikat menunjukkan gejala adanyaketidakmapanan dan kecemasan dalam narasinya.ketidakmapanan dan kekaburan itu hanya bisa dilihat dengan pembacaan melalui perspektif pascakolonial.

Studi pascakolonial dalam penelitian ini tidak hanya fokus pada teks-teks sastra yang ditulis oleh kaum marginal atau yang keberadaannya tersisihkan oleh kedatangan bangsa lain, melainkan juga pada teks yang ditulis oleh penulis non-Pribumi yang mengandung pencitraan karakter non-Pribumi. Bradford (2001: 131) dalam bukunya berjudul Reading Race Aboriginality in Australian Children’s Literature mengatakan bahwa walaupun jumlah penulis dan illustrator sastra anak yang berasal dari kalangan pribumi Australia meningkat semenjak tahun 1980an, mayoritas teks

(15)

untuk anak-anak yang memuat tema Aboriginalitas masih diproduksi oleh penulis non-Pribumi. Selain itu, penerbit yang mempublikasikannya mayoritas juga merupakan penerbit mainstream. Jika tema-tema mengenai aborigin diproduksi melalui perspektif Barat, maka pembaca pun akan melihat apa yang dicitrakan oleh penulis dan badan penerbitan mainstream yang cenderung melanggengkan pola pikir Eurosentris ynag mempercayai bahwa orang kulit Putih itu lebih manusiawi, normal dan berperadaban tinggi.

Selain itu, McGillis (2003: 11) menambahkan bahwa di negara-negara seperti Kanada dan Australia, beberapa penulis masih melangggengkan cara berpikir Eurosentris, bahkan ketika mereka sedang berjuang mengartikulasikan identitas mereka sebagai bangsa yang sebenar-benarnya Kanada atau Australia.

Di negara-negara seperti misalnya Australia inilah teks-teks kontemporer diproduksi oleh penulis non-Pribumi dan penerbit mainstream. Di tempat itu pula lah ideologi kolonial dan usaha-usaha asimilasi mendapatkan banyak pertentangan dari kelompok anti rasis dan anti kolonial. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bervariasinya latar belakang penduduk yang ada dalam negara tersebut.

Lebih jauh lagi, teks-teks yang layak untuk diteliti pun tidak hanya terbatas pada teks untuk orang dewasa, melainkan juga teks untuk anak-anak. Bradford sejak beberapa tahun telah fokus dalam mengembangkan teori pascakolonial untuk mengkaji sastra anak yang dihasilkan di negara-negara ‘settler society’. Menurut Bradford , teori pascakolonial merupakan strategi pembacaan suatu teks yang mampu

(16)

menelisik wacana-wacana yang mengandung konflik yang diproduksi di negara-negara dengan kaum pendatang.

Bradford (2007: 24) memiliki alasan bahwa sastra anak menghadirkan isu-isu mengenai kolonialisme melalui berbagai kemungkinan: melalui narasi tentang sejarah yang disajikan dalam genre fantasia tau realis; melalui adegan-adegan tentang interaksi antara karakter pribumi dan non-pribumi; melalui representasi karakter yang merupakan keturunan campuran ras-ras tertentu; dan yang terakhir melalui metaphor dan simbol-simbol yang berhubungan erat dengan isu kolonisasi.

Bradford menjelaskan peran krusial bahasa dan narasi dalam kajian pascakolonial terhadap sastra anak Australia. Ia menjelaskan bahwa

“Language is the primary mode through which colonizers and colonized encountered one another, and it is the principal means whereby relations of power are challenged and altered. The languages of children’s books perform and embody the ideologies of all kinds, since children’s texts purposively intervene in children’s lives to propose ways of being in the world. Settler society text for children thus constitute an important and influential body of postcolonial works that construct ideas and values about colonization, about postcolonial cultures and about individual and national identity (Bradford, 2007: 23)”

Bahasa yang digunakan penulis dalam bacaan untuk anak-anak, walaupun sederhana, tak pelak mengandung ideologi-ideologi yang, baik sengaja atau tidak, disertakan oleh penulis. Hal ini wajar karena sejatinya sastra anak memang mayoritas ditulis oleh orang dewasa yang memiliki intense tidak hanya untuk menghibur, namun juga memberikan intervensi bagi cara berpikir pembacanya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, teks-teks sastra anak di negara settler society mengandung ide-ide mengenai kolonisasi, budaya pascakolonial dan identitas nasional.

(17)

Namun demikian, kritik sastra anak yang menggunakan pendekatan pascakolonial belum banyak dilakukan. Nodelman, dalam artikelnya yang berjudul “The Other: Orientalism, Colonialism and Children’s Literature” membuat analogi antara anak-anak vs dewasa dengan oriental vs orientalis. Ia menjelaskan bahwa orang dewasa memandang anak-anak sebagaimana cara orientalis mempersepsikan oriental. Akan tetapi, Nodelman tidak sepenuhnya menjelaskan pascakolonial sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji sastra anak.

Sementara itu, Bradford mencoba hadir dengan menawarkan sebuah pendekatan pascakolonial untuk kritik sastra anak. Pendekatan yang ditawarkannya tidak hanya menawarkan daftar panjang mengenai sastra anak mana yang ‘baik’ dan yang ‘jelek’. Ia berangkat dari sebuah kepercayaan bahwa teks merefleksikan intensi pembuatnya dan bahwa teks diproduksi tidak hanya oleh seorang pengarang namun juga oleh wacana kebudayaan tertentu. Bradford menawarkan sebuah pembacaan untuk mengidentifikasi formasi wacana dan ideologi-ideologi yang tersembunyi dalam sebuah teks untuk anak-anak. Secara khusus, Bradford (2007: 56) menambahkan bahwa pendakatan ini berarti membaca sastra anak sebagai sebuah teks pascakolonial dengan cara melihat lebih dalam pada retorisnya, fantasi-fantasi di dalamnya, implikasi-implikasi yang terkandung dan juga ideologi.

I.5.1 ‘White Imaginings’: Pencitraan Aborigin oleh Penulis Kulit Putih

Di negara-negara settler society, sebagian besar representasi pribumi diproduksi dan direproduksi oleh kaum pendatang. Hal ini dibuktikan dengan fakta

(18)

bahwa budaya Eropa (kulit putih) lah yang mendominasi perspektif dan narasi kesusastraan di negara-negara ini. (Bradford, 2007: 71)

Aboroginalitas biasanya didefinisikan sebagai bagian dari kebudayaan Australia, dibayang-bayangi oleh kebudayaan yang dominan. Sebagai hasilnya, subjektivitas, aspirasi, cara pandang dan bahasa Aborigin kemudian cenderung dieksklusi. Tidak ada tempat yang benar-benar tersedia untuk Aboriginalitas yang sesungguhnya.

Hal tersebut juga dapat terlihat dari teks-teks untuk anak-anak yang ditulis oleh kaum non pribumi. Teks-teks yang mereka hasilkan biasanya menghadirkan representasi Pribumi melalui tokoh-tokoh yang tidak terlalu beragam seperti misalnya figure-figur bijaksana, aktivis polotik, dan anak-anak muda yang terjebak diantara persimpangan budaya. Sedangkan tipe narasinya berputar antara: seorang anak kulit putih yang berteman dengan tokoh Pribumi; permasalahan dalam novel mencakup dilemma pembentukan identitas tokoh Pribumi; sedangkan polanya cenderung menyerupai novel realistic kontemporer, misalnya persahabatan antara anak kulit putih dengan tokoh Pribumi yang berkontribusi pada proses pendewasaan si anak non Pribumi tersebut. (Bradford, 2007: 71)

Menurut Bradford (2007: 72), representasi Aboriginalitas atau Pribumi dalam novel anak-anak berkaitan erat dengan penciptaan sudut pandang dan fokalisasi yang membentuk subjektivitas dan posisi pembaca. Penulis non-Pribumi cenderung lebih memilih bercerita dari sudut pandang tokoh non-Pribumi dibandingkan dengan tokoh pribumi, sehingga mereka dapat merepresentasikan kebudayaan pribumi dari luar

(19)

atau dari perspektif kebudayaan yang dominan. Penggambaran representasi Eropa dan Pribumi Australia sejalan dengan oposisi biner yang selama ini telah dibangun oleh kolonial: budaya bertentangan dengan alam; kompleksitas bertentangan dengan kesederhanaan; pengetahuan bertentangan dengan ketidakpedulian dan orang dewasa bertentangan dengan anak-anak.

Teks-teks anak yang diproduksi oleh penulis non-pribumi, seperti Pocahontas, seolah-olah berusaha menampilkan sosok sentralnya sebagai tokoh yang mandiri dan seorang agen perubahan. Namun kemudian, teks-teks seperti ini justru mengafirmasi mitos nationhood dengan cara mereproduksi pandangan kolonial mengenai pencabutan hak milik kaum pribumi terhadap tanah dan kebudayaan yang ditinggali, tentang keunggulan budaya Eropa dan ide mengenai pengorbanan diri tokoh Pribumi yang fungsi utamanya adalah untuk memfasilitasi kolonialisme.

Contoh lain dalam kesusastraan anak Australia adalah novel karya Patricia Wrightson. Dalam salah satu karyanya, Wrightson menggambarkan perbedaan tajam antara kota dan semak belukar, antara orang-orang kota dan orang-orang pedalaman, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa Australia “yang sesungguhnya” adalah daerah yang jauh dan dihuni oleh penduduk kulit putih.

Pencitraan Pribumi yang dilakukan oleh penulis kulit putih tidak selalu hanya berputar pada penokohan dan keadaan lingkungan tokoh, namun juga otentisitas budaya dan sejarah yang berusaha dituangkan dalam narasi. Bagi masyarakat settler society, otentisitas diasosiasikan dengan masa lalu, yang keberlangsungannya terhenti oleh adanya modernitas. Budaya Pribumi yang modern

(20)

dianggap tidak otentik. Namun, implementasi tersebut nampaknya adalah satu-satunya cara agar budaya Pribumi tetap hidup, walaupun itu berarti harus menyelaraskan kebiasaan dan kepercayaan Pribumi dengan budaya mayoritas. (Bradford, 2007: 87). Salah satu usaha ‘penyelerasan’ itu tampaknya hadir dalam bentuk pencitraan kaum Aborigin melalui perspektif budaya mayoritas.

I.5.2 Tempat dan Signifikansi Pascakolonial

Bradford (2007:17) mengatakan bahwa setiap negara settler society memiliki mitosnya masing-masing yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai negara yang dibentuk oleh kedatangan bangsa dari negeri lain. Di Australia sendiri, terdapat konsep bernama terra nullius yang dikembangkan oleh kaum pendatang. Terra nullius adalah konsep yang digarap dan diperkenalkan oleh bangsa Inggris yang berarti bahwa tanah Australia tidak dimiliki oleh ras dan bangsa manapun, sehingga bebas untuk digunakan dan dikuasai oleh kaum pendatang. Dari konsep tersebut tersirat anggapan bangsa Inggris bahwa kaum Aborigin adalah sekelompok manusia yang primitif, tidak memiliki aturan dan tidak memiliki sistem hierarki yang jelas seperti bangsa Inggris. Oleh karenanya, mereka dianggap tidak mampu dan tidak layak menyandang status sebagai pemilik tanah daratan Australia. Alasan inilah yang digunakan untuk menjustifikasi kedatangan koloni-koloni Inggris ke Australia karena bagi mereka, siapa yang datang terlebih dahulu, merekalah yang berhak memiliki dan mengelola daratan itu.

(21)

Berabad-abad setelah konsep terra nullius pertama kali diperkenalkan, negara Australia telah mengalami banyak perubahan. Mayoritas perubahan tersebut disebabkan oleh kehadiran kaum pendatang. Sebagai negara dengan sejara okupasi tanah seperti demikian, isu mengenai keberadaan dan hak kepemilikan tanah antara warga pendatang dengan Pribumi masih banyak diperdebatkan. Dalam beberapa teks, termasuk teks untuk anak-anak, terdapat gambaran kabur akan signifikansi tempat. Misalnya, ketidakpastian apakah tanah sejatinya bisa atau harus dimiliki oleh perorangan ataukah menjadi fasilitas dan tempat hidup yang dimanfaatkan secara komunal, juga mengenai ambivalensi yang berakar dari perbedaan cara pandang pribumi dan non-pribumi mengenai nilai dan sistem kepemilikan suatu tempat. Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan kerancuan. Sehingga muncul lagi pertanyaan akan bisakah dua kelompok ras yang memiliki pandangan yang begitu berseberangan hidup berdampingan.

Sikap kaum Pribumi dalam memperlakukan tanah leluhur mereka agaknya berbeda dengan cara yang dilakukan oleh kaum pendatang, dalam hal ini kaum pendatang dari Inggris. Bagi kaum Pribumi, tanah tempat mereka tinggal adalah sebuah tempat yang sakral, memiliki nilai historis, mengandung simbol jati diri, dan merupakan warisan yang harus dijaga demi kehidupan generasi yang akan datang. Tanah bukanlah sekedar warisan nenek moyang, namun juga merupakan tabungan berharga yang harus dikelola sedemikian rupa demi kepentingan keturunan selanjutnya. Tanah dan sumber daya alam dikonsumsi tetapi tidak boleh dieksploitasi demi kepentingan materi. Anggapan ini cukup bertentangan dengan prinsip sebagian

(22)

besar ras yang menganggap tanah dan sumber daya di dalamnya sebagai sebuah komoditas dagang.

Wacana mengenai tanah, rekognisi kebudayaan dan identitas nampaknya sudah mulai banyak diangkat oleh penulis Pribumi. Akan tetapi, di dalam teks karangan penulis non-pribumi wacana mengenai pengambilalihan tanah oleh kaum pendatang sekaligus kerugian yang disebabkan olehnya dipaparkan sebagai sesuatu yang wajar dan normal.

Bradford memaparkan bahwa, teks-teks untuk anak yang ditulis oleh pengarang pribumi, walaupun tidak secara langsung membicarakan mengenai usaha perebutan tanah, selalu berisi tentang nilai budaya dan historis suatu tanah kelahiran. Sebaliknya, penulis non-Pribumi cenderung membenarkan cerita-cerita kolonial melalui narasi-narasi mereka.

Masih dalam konteks signifikansi tempat, konsep rumah juga layak untuk dibahas dalam kajian teori ini. Dalam teks-teks anak kontemporer yang diproduksi di negara settler society, rumah digambarkan sebagai tempat yang justru tidak memberikan kenyamanan terhadap penghuninya. Dalam bukunya yang berjudul Post-Colonial Transformation, Bill Ashcroft (2001: 78) memaparkan bahwa rumah tidak hanya semata-mata satu tempat yang dikelilingi tembok dan dilindungi oleh atap saja. Sebagai bagian dari efek konstruksi tatanan hidup yang baru (order kolonial), rumah adalah suatu tempat dimana kita bisa mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya dan menjadi apa kita nantinya.

(23)

Namun bagi kaum Pribumi, tempat yang dianggap sebagai rumah adalah yang telah ditinggali selama berabad-abad. Tempat dimana mereka melakukan ritual adat dan melanggengkan narasi kebudayaan Aborigin, disitulah rumah mereka. Sayangnya, hingga saat ini perjuangan kaum pribumi untuk memperoleh pengakuan akan kepemilikan terhadap kampung halaman mereka (Bradford, 2007: 170)

1.5.2.1 Konsep Ruang dan Waktu dalam Sastra Anak Australia

Studi pascakolonial fokus tepatnya pada politik dan ideologi geografi manusia dengan cara menginvestigasi bagaimana kekuatan dan kuasa penjajah membentuk ruang di tanah jajahan menjadi serupa model pemikiran dan kepercayaan mereka, dan dengan cara menguji tingkat tekstualitas pascakolonial dalam menginterogasi atau justru mendukung konsep-konsep pascakolonial tersebut (Bradford, 2007: 123). Menurut Foucault (via Bradford, 2007: 123) ruang adalah sesuatu yang mati, pasti, tidak dialektikal dan tidak mengalami pergerakan. Sebaliknya, waktu adalah satu hal yang hidup, dialektikal dan produktif. Ruang dianggap hanya sebagai latar belakang terjadinya sejarah.

Pengertian ruang yang dianut oleh imperialis Inggris mayoritas adalah visual. Bill Ashcrift (via Bradford, 2007: 123) mencatat bahwa istilah “occularcentrism” yang dianut oleh dunia Barat melibatkan komponen-komponen berikut ini: kebiasaan mengagungkan objektivitas, perkembangan pemetaan modern yang revolusioner, penemuan garis bujur, penetapan Greenwich sebagai pusat waktu dunia dan lain sebagainya. Strategi penetapan dan kategorisasi berdasarkan paham

(24)

occularcentrism menyebabkan adanya perbedaan antara konsep ruang (konsep abstrak mengenai tanah dan teritori) dan place (lokasi yang dihuni dan diketahui banyak orang).

Anthony Giddens (Via Bradford, 2007: 124) menambahkan bahwa pada masyarakat pra-modern, tempat dan ruang berhimpitan, karena dimensi spasial dalam hubungan sosial antar masyarakat kebanyakan didomonasi oleh keberadaan atau ‘yang ada’. Selebihnya, kegiatan sosial seperti halnya berburu, arisan, dan upacara-upacara adat biasanya diadakan berdasarkan rutinitas harian atau musiman sehingga waktu dan tempat saling berkaitan satu sama lain. Penjajah, selain menguasai tanah jajahan, menyebabkan kaum pribumi harus berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan, mereka juga mengacaukan hubungan antara waktu-tempat yang mnegindikasikan adanya praktek budaya Pribumi. (Bradford, 2007: 124). Di dalam Sastra Anak yang diproduksi pada lingkungan semacam ini, perhatian utamanya ditujukan pada bagaimana ke-aku-an dan tempat saling berubungan satu sama lain (Bradford, 2007: 124)

Sementara itu, Stephen Slemon (via Bradford, 2007: 144) menyatakan bahwa penduduk Non-Pribumi di tanah pendatang masuk ke dalam kategori “neither/nor territory”. Artinya, penduduk kulit putih berperan sekaligus sebagai penjajah dan yang terjajah, secara serempak mereka menjadi subjek atas kekuasaan imperial dan terlibat dalam proses kolonisasi terhadap kaum Pribumi. Begitupun keturunannya, sama hal dengan imigran-imigran lain, turut menikmati manfaat yang

(25)

didapatkan dari proses praktek kekuasaan yang dilanggengkan oleh penduduk non-pribumi.

Keberadaan budaya “neither/nor” ini diturunkan dan termanifestasi dalam berbagai teks kontemporer dalam wujud ambivalensi dan kegelisahan tekstual yang dirasakan para karakter ketika mereka memasuki sebuah ruang (hutan, hamparan es, pegunungan) yang tampak berbahaya, asing atau mengancam. Aspek-aspek latar tempat seperti itu biasa disajikan sebagai metaphor terhadap ke-liyan-an penduduk pribumi. Karakter pribumi dianggap liyan karena sistem penilaian dan kepercayaannya sama sekali berbeda dengan sistem nilai dan kepercayaan yang dianut oleh karakter kulit putih. (Bradford, 2007: 125)

a. Tempat dan Identitas

Doreen Massey (via Bradford, 2007: 125) mengamati bahwa dalam tradisi pemikiran Barat, waktu biasanya diasosiasikan maskulin, sedangkan space feminin. Waktu dianggap berasosiasi dengan perkembangan, kemajuan, perjalanan sejarah. Peradaban manusia serta politik, maka dari itu ia dikodekan maskulin. Sementara segala sesuatu yang bertentangan dengan semua itu, dalam tradisi Barat, dianggap feminine. Hal yang statis, pasif dan depolitisasi memiliki asosiasi erat dengan konsep ruang, maka ia dikodekan feminin.

Dalam novel anak-anak yang diproduksi di negara settler societies, masih banyak stereotip yang menggambarkan bahwa kaum pendatang, terutama warga Inggris adalah kaum yang progressive, sementara kaum pribumi cenderung pasif dan

(26)

selalu bergulat dengan masa lalu. Hal ini identik dengan oposisi ruang dan waktu di atas. Progresivitas kaum pendatang identik dengan kode maskulin, sementara pasivitas kaum Pribumi memiliki asosiasi feminine. Dalam pemikiran Barat, keduanya tentu memiliki kedudukan yang berbeda dalam tangga hierarki, yaitu maskulin lebih dominan dibandingkan feminine. Cara berpikir seperti itu sering dituangkan dalam cerita anak-anak, termasuk di Australia.

Selain itu, dalam berbagai teks anak-anak yang diproduksi di tengah masyarakat pendatang, terdapat banyak narasi yang menceritakan karakter anak kulit putih yang ‘diubah’ menjadi pribumi. ‘Diubah’ berada di dalam tanda kutip karena memang secara fisik dan komunitas tokoh-tokoh tersebut tetap sama. Namun secara identitas, tokoh-tokoh kulit putih tersebut merasa sebagian dari dirinya merupakan bagian dari Pribumi. Perasaan sebagai Pribumi ini didapatkan melalui adegan-adegan dimana para tokoh terlibat dengan kehidupan tokoh pribumi. Akhirnya, walaupun telah pulang ke rumah dari mana ia berasal (tempat), perasaannya tetap memiliki keterkaitan dengan kelompok yang telah berinteraksi dengannya (space).

Penulisan karakter anak kulit putih yang cenderung menjadi bagian dari pribumi memiliki fungsi tersendiri dalam narasi suatu teks anak. Bradford (2007: 127) menjelaskan bahwa penokohan seperti itu berguna untuk meyakinkan pembaca akan legitimasi penduduk kulit putih. Legitimasi ditunjukkan dengan adanya tokoh anak kulit putih yang memiliki akses dan hak terhadap suatu tempat pribumi. Akan tetapi, Bradford menambahkan bahwa pencitraan karakter tersebut sebenarnya cukup problematis. Permasalahan yang pertama adalah, keberadaan karakter anak kulit putih

(27)

yang memiliki hubungan dengan kaum Pribumi menggaungkan keresahan yang dirasakan pihak koloni akan adanya perkawinan silang antara bangsa putih dan kaum pribumi. Keresahan tersebut berakar dari kepercayaan bahwa yang keturunan yang paling ideal dan beradab adalah yang murni berkulit putih. Perkawinan dengan bangsa pribumi akan mengurangi idealitas keturunan tersebut. Keyakinan tersebut menjadi terancam ketika muncul narasi yang menggambarkan adanya karakter kulit putih yang menjadikan dirinya bagian dari pribumi.

Prinsip-prinsip kepemilikan tanah yang digambarkan di beberapa novel anak dari Selandia Baru dan Kanada mencerminkan adanya konsep tempat yang berdasarkan pada okularsentrisme. Contoh penerapan konsep tersebut adalah adanya kepercayaan bahwa suatu tempat sama dengan ruang yang dapat diukur, dipetakan dan memiliki batas. Menurut pihak kolonial, ‘tanah kosong’ yang tidak berpenghuni terbuka untuk dimanfaatakan untuk aktivitas penduduk pendatang. Sementara itu, pihak koloni justru tidak dapat melihat relevansi kepemilikan tanah dengan dengan hubungan sosial budaya kaum Pribumi. Bagi pihak koloni, suatu tempat (tanah kosong) harus selalu dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan duniawi yang dapat mendukung kelangsungan hidup anggota komunitasnya. Sementara bagi pihak Pribumi, suatu tempat dimiliki secara komunal, dimanfaatkan tanpa harus mengubah bentuknya sebagai tanah yang tidak memiliki batas ataupun harus dipetakan. Di waktu yang sama, kaum pendatang merasa terdislokasi karena terpisah dari tempat yang mereka anggap rumah (Inggris) sekaligus merasakan urgensi untuk segera membentuk dunia yang baru.

(28)

b. Rumah dan Habitasi

Salah satu isu yang paling polemik dalam kajian teks pascakolonial adalah mengenai tempat tinggal dan atau rumah. Dilihat dari maknanya, istilah rumah dan tempat tinggal cenderung memiliki perbedaan. Tempat tinggal cenderung diartikan sebagai tempat saja tanpa adanya ruang yang menambahkan makna atau art i tertentu mengenai tempat tersebut. Sedangkan kata ‘rumah’ memiliki kesan yang dalam— mengandung nilai emosional tertentu—dan spesifik secara kultural. Adalah aroma, bau, suara dan pemandangan yang menimbulkan kesan seperti berada di rumah. Tempat tinggal, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan house, belum tentu merupakan sebuah rumah atau home bagi penghuninya. Pembahasan mengenai rumah boleh terkesan sederhana, namun banyak konteks yang terhubung dengannya yang menjadikan topik habitasi ini menjadi berinterseksi dengan masalah identitas, ras dan bahkan kebangsaan.

Pencabutan hak milik atas tanah dan tempat tinggal pada masa kolonial mungkin dianggap sebagai satu hal yang tidak bisa dihindarkan, namun bagi Pribumi, hal tersebut dianggap sebagai satu bentuk penjajahan. Di lain pihak, dari sisi para pendatang, mereka mengalami berbagai bentuk dislokasi yang disebabkan oleh hilangnya hal-hal habitual yang membuat mereka merasa seperti berada di rumah dan oleh kebutuhan serta keharusan untuk membangun dunia baru di tanah yang baru tersebut.

Dalam teks-teks-kontemporer, banyak tempat tinggal digambarkan sebagai tempat yang kurang memberikan kenyamanan. Jika meminjam istilah Homi Bhabha

(29)

(via Bradford, 2007: 186), keadaan tersebut dinamakan ‘the deep stirring of unhomely’ yang berarti bahwa suatu tempat tinggal yang nampak nyaman dan aman ternyata merupakan refleksi pergolakan politik pada masa kolonialisme.

Menurut Bradford (2007: 146), penggambaran mengenai rumah dan habitasi serta signifikansinya dengan konteks pascakolonial dalam novel anak-anak di Australia dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama ialah yang narasinya menerima proses historis yang menyebabkan transformasi tanah Pribumi menjadi tempat yang terkolonisasi sebagai suatu hal yang normal. Jenis yang lain ialah yang narasinya menawarkan negosiasi yang lebih kompleks mengenai kemungkinan rekonsiliasi antara budaya Pribumi dan Pendatang; yang mana negosiasi tersebut berpusat pada pertanyaan mengenai ruang, tempat dan habitasi.

1.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menemukan data-data yang ada dalam karya sastra untuk kemudian dianalisis dan diuraiakan secara deskriptif. Data primer dalam penelitian ini adalah novel anak-anak milik Jackie French.

Sebelum melakukan analisis, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan objek material untuk dijadikan data primer. Selanjutya, dari objek material tersebut mulai dikumpulkan data yang berhubungan dengan penggambaran kaum Pribumi oleh penulis kulit putih yang ada dalam novel Walking the Boundaries

(30)

dan Nanberry Black Brother White. Tahap selanjutnya yang akan ditempuh adalah klasifikasi data yang mencakup pencitraan kaum Pribumi dalam kedua novel atas pengaruh subjektivitas penulis serta penggambaran border, ruang dan identitas di dalam novel dalam signifikansi pascakolonial.

Tahap selanjutnya adalah menyeleksi data. Tahap pemilihan data ini bertujuan untuk menfokuskan penelitian. Dari sekian banyak karnya Jackie French, hanya dua judul yang akan digunakan sebagai objek penelitian dengan asumsi bahwa kedua novel tersebut cukup mewakili genre-genre karya yang telah dihasilkan oleh French. Selain itu, di dalam kedua novel terdapat isu-isu mengenai pribumi yang diangkat oleh Jackie French. Maka, dua novel dengan judul Walking the Boundaries dan Nanberry Black Brother White dirasa sudah cukup untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Hal berikutya yang dilakukan setelah mengumpulkan data, klasifikasi data dan menyeleksi data adalah menganalisis dengan kajian pustaka menggunakan konsep kajian pascakolonial terhadap sastra anak, khususnya konsepunsettling narratives yang diperkenalkan oleh Clare Bradford. Ananlisis dengan menggunakan teknik kajian pustaka artinya penulis harus menempuh beberapa tahapan, diantaranya mencari, mengumpulkan, membaca, dan mempelajari buku-buku acuan, artikel serta tulisan yang mempunyai hubungan atau yang menunjang penelitian. Setelah itu, proses terakhir dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan dari hasil analisis.

(31)

1.2 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari empat bab yang secara garis besar memuat isi sebagai berikut; pendahuluan, pembahasan masalah dan kesimpulan. Bab I berisi pendahuluan. Dalam pendahuluan terdapat beberapa sub judul, diantaranya adalah latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan yang terakhir adalah sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi alasan penulis mengambil kajian pascakolonial dalam sastra anak Australia sebagai fokus penelitiannya. Rumusan masalah memuat dua permasalahan yang akan penulis angkat di dalam tesis ini. Manfaat dan tujuan penelitian juga dipaparkan dengan maksud supaya tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya di kemudian hari. Tinjauan pustaka dalam bab 1 berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk mengkomparasi kajian tesis ini dengan kajian lain yang hampir serupa, sehingga dapat dilihat keotentikannya sebagai sebuah studi ilmiah. Selanjutnya, salah satu hal yang paling penting di bab 1 adalah landasan teori. Sub judul ini berisi uraian konsep pascakolonial, khususnyaunsettling narratives dalam sastra anak Australia yang dikemukakan oleh Clare Bradford. Metode penelitian berisi gambaran tentang cara atau langkah penulis dalam melakukan analisis data. Terakhir adalah sistematika penyajian yang mendeskripsikan gambaran masing-masing bab yang ada dalam penelitian ini.

Karena dalam rumusan masalah terdapat dua pertanyaan penelitian, maka pembahasannya akan dibagi menjadi dua bab yang berbeda yaitu bab I dan bab II.

(32)

Bab II berisi pembahasan dari pertanyaan penelitian yang pertama yaitu subjektifitas Jackie French dalam menggambarkan Pribumi dalam kedua novelnya. Sedangkan bab III akan membahas mengenai bagaimana tempat, border dan identitas disajikan dalam signifikansi pascakolonial di dalam dua novel anak Australia karangan Jackie French.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas, peneliti telah merumuskan masalah utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu ”Bagaimana Pemikiran Gus Dur

Sebagai contoh, galakan kepada golongan penerima miskin untuk mengubah hidup kepada tahap yang lebih baik dengan bantuan zakat atau dalam kata lain galakan tersebut

Permasalahan yang dialami saat ini adalah belum membudayanya mengkonsumsi olahan susu sapi seperti yoghurt karena belum ada tahap pengenalan atau promosi sebelumnya

Persentase mata kuliah bidang studi yang nilai mata kuliahnya rendah untuk prodi S1 sebesar 84,2% dan prodi D3 87,7 %; (2) Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar

1) Mempersiapkan pendidik dan pengelola melalui pelatihan dan pemagangan. Pelatihan dapat memberikan pembekalan konsep sedangkan magang memberikan pengalaman praktik.

Sagulung(100 meter) Pekerjaan Kontruksi 170.000.000,00 Sagulung Kota 59 Dinas Tata Kota - Kota Batam Pembangunan/ Rehabilitasi Jalan Lingkungan di Kawasan Permukiman

Pada stadium awal demensia, pasein menunjukkan kesulitan untuk kesulitan untuk mempertahankan kinerja mental, fatigue, dan kecendrungan untuk gagal jika suatu

Dan hasil penelitian di KB Masitoh Silirejo adalah peran pendidikan anak usia dini dalam membentuk karakter anak di KB Masitoh Silirejo sebagai peran pembentukan karakter