• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PANTANG LARANG PADA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK. Deskripsi Umum Pantang Larang Masyarakat Melayu Pontianak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI PANTANG LARANG PADA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK. Deskripsi Umum Pantang Larang Masyarakat Melayu Pontianak"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI PANTANG LARANG PADA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK

Deskripsi Umum Pantang Larang Masyarakat Melayu Pontianak

Bagi masyarakat Melayu Pontianak dalam berbagai tradisi yang mereka lakukan merupakan tradisi yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Tradisi pantang larang dalam masyarakat Melayu Pontianak terdapat dalam setiap siklus kehidupan yang mempunyai makna pesan bagi masyarakat agar tetap melaksanakan nilai- nilai yang ada pada tradisi tersebut. Tradisi pantang larang ini telah ada sejak nenek moyang mereka dahulu sehingga tetap dipertahankan oleh orang tua-tua.

Menurut Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak, Lisyawati Nurcahyani, tradisi pantang larang yang cenderung mengenai daur hidup yang berkaitan dengan kebudayaan. Sebelum Islam datang sudah punya kebudayaan sendiri, jadi punya warisan nenek moyang. Tahap pertama, berdasarkan sejarah sebelum ada proses sekarang ada proses yang terdahulu, dimana yang pertama itu kepercayaan dengan animisme dan dinamisme, munculnya kebudayaan itu karena baru mempunyai sebatas kemampuan untuk itu. Jangkauan pemikiran manusia pada saat itu mengatakan bahwa ada kekuatan lain selain dirinya, ada kekuatan yang lebih besar, ini terjadi karena pengalaman-pengalaman yang mereka alami setiap hari. Kemudian ada perkembangan dimana muncul suatu keyakinan, suatu agama, agama Hindu, Budha, Kristen dan akhirnya orang masuk Islam. Penyebaran agama Islam yang lebih lunak, mengikuti adat dan tradisi masyarakat, sehingga mudah diterima. Saat ini selama tradisi pantang larang tidak melanggar aturan-aturan dalam Al-Qur’an maka tradisi pantang larang boleh dilakukan.

Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang gererasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak menyatakan bahwa tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak yaitu :

1. Tradisi pantang larang sebaga i suatu sistem kepercayaan pada masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat pada pantang larang yang menjadi suatu pengalaman dari orang-orang tua mereka pada zaman dahulu, sehingga

(2)

mereka menyakini tradisi pantang larang tersebut sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh orang tua mereka. Unsur kepercayaan pada pantang larang bagi masyarakat Melayu Pontianak, diungkapkan oleh salah seorang warga masyarakat, yaitu :

“Kite percaya same pantangan yang diberikan oleh orang tua karne pantangan itu udah ade dari duloknye, kamek ikot jak, contoh pantangan yang sehari-hari sering kite dengar kalo anak gadis tak boleh dudok ditepi pintu, sampai sekarang pon maseh kamek sampaikan seme anak-anak kamek,”

Pantang larang ini menjadi suatu kepercayaan karena diyakini oleh masyarakat. Kepercayaan akan adanya pantang larang diungkapkan juga oleh generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, ibu Salma, yaitu :

“Ade pantangan dan larangan yang maseh kamek ikot tu, waktu kamek hamel, kate orang tue orang hamel tak boleh macam-macam,apelagi sampai bunuh binatang”

Kepercayaan akan tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak menjadi unsur budaya yang dipandang penting untuk dilakukan.

2. Tradisi pantang larang sebagai suatu nilai pada masyarakat Melayu Pontianak karena dilihat dari batasan nilai sebagai ukuran perasaan seseorang yang berhubungan dengan pesan yang disampaikan apa berupa baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu pantang larang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini dilihat pada pandangan anak untuk memaknai pesan pantang larang yang diberikan oleh orang tua sebagai suatu yang baik buat dirinya.

3. Tradisi pantang larang sebagai unsur sikap dari suatu kebudayaan pada masyarakat Melayu Pontianak dilihat dari sikap masyarakat yang memandang dari kepercayaan atau keyakinan serta nilai- nilai yang melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Sikap yang merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya, jadi sikap seseorang melaksanakan pantang larang karena adanya kepercayaan dan nilai yang terkandung pada pantangan dan larangan tersebut. 4. Tradisi pantang larang sebagai unsur personal, norma dan tata kelakuan pada

masyarakat Melayu Pontianak yang menjadikan pantang larang sebagai suatu kebiasaan atau tradisi dalam masyarakat. Unsur kebudayaan ini merupakan

(3)

komponen yang penting dalam menjalani tradisi pantang larang oleh masyarakat. Dari unsur kebudayaan personal atau individu, norma dan tata kelakuan masyarakat membuat suatu proses komunikasi.

Dalam melaksanakan siklus kehidupan tersebut, terdapat tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak, seperti pada prosesi tradisi perkawinan, ketika seorang wanita hamil dan melahirkan, pada masa itu diberlakukan pantang larang bagi calon pengantin, calon ibu dan ayah. Tetapi tidak semua tradisi yang ada dalam masyarakat Melayu Pontianak diberlakukan pantang larang. Dari hasil pengamatan peneliti tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak dalam masa perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran sangat sarat dengan pantang larang pada nilai- nilai yang terkandung didalamnya.

Pantang Larang dalam Prosesi Perkawinan

Masyarakat Melayu Pontianak bila sudah ditetapkan hari perkawinan berarti pantang larang juga juga dibuat untuk calon pengantin. Apa yang telah ditetapkan harus diikuti oleh calon pengantin untuk kebaikan mereka. Pantang larang bukanlah menjadi kewajiban tetapi sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Melayu khususnya Melayu Pontianak. Pesan pantang larang perkawinan selalu ada pada prosesi tradisi perkawinan, di mana setiap prosesi perkawinan yang dilaksanakan akan terdapat pantang larang bagi calon pengantin untuk mempermudah menjalani proses awal perkawinan sampai selesai menjalani prosesi perkawinan. Pantang larang ya ng dibuat untuk menjaga agar calon pengantin menjaga diri dari bahaya-bahaya sebelum mereka menikah. Adapun prosesi perkawinan yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai budaya berupa pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak, seperti :

1. Meminang

Meminang pada masyarakat Melayu Pontianak, lazimnya dilakukan oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, apakah pinangnya ditolak atau diterima. Kalau ditolak biasanya dilakukan secara halus agar pihak laki- laki tidak tersinggung, kalau diterima maka persiapan alat-alat dan kelengkapan untuk meminang, baik dari pihak laki- laki maupun pihak perempuan yang dipinang, berupa :

(4)

1) Pembicaraan waktu yang telah disepakati untuk acara peminangan tersebut, berapa orang yang akan datang dari pihak laki- laki, agar pihak perempuan dapat melakukan persiapan.

2) Tempat sirih lengkap dengan isinya seperti sirih, pinang, kapur, gambir serta tembakau.

3) Kesepakatan dua belah pihak mengenai antar tanda.

4) Menetapkan hari akad nikah dan hari pesta perkawinan (resepsi).

Setelah acara meminang selesai, pantang larang kepada kedua calon pengantin diharapkan dapat menjaga diri masing- masing agar jangan sampai terpikat dengan gadis atau perjaka lain, karena jika hal ini terjadi akan memalukan kedua belah pihak calon pengantin. Selain itu pantang larang ini dibuat agar calon pengantin lebih memaknai nilai- nilai agama Islam sebelum menjadi suami istri.

Prosesi perkawinan pada acara meminang yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak karena menjalankan tradisi sesuai syariat Islam sehingga terjadi keterhubungan antara agama dan tradisi dalam budaya masyarakat.

2. Berinai

Berinai atau berpacar dalam bahasa Melayu Pontianak adalah memasang inai yang sudah digiling halus dan lumat pada kuku jari tangan dan kuku kaki serta telapak tangan, kaki dan tumit. Dalam tradisi Melayu Pontianak berinai termasuk rangkaian prosesi perkawinan.

Berinai biasanya di mulai empat hari sebelum upacara pernikahan, berinai dilakukan baik oleh calon pengantin laki- laki maupun calon pengantin perempuan. Acara ini dilakukan bersamaan walaupun terpisah di rumah masing-masing. Berinai ini dimaksudkan agar menolak bala, supaya tubuh dan wajah calon pengantin tampak bercahaya, cantik dan menarik sebagai lambang siap meninggalkan hidup membujang untuk berumah tangga.

Menginai ibu jari dimaksudkan agar sifat egois dan merasa hebat sendiri dapat dijauhi. Menginai jari telunjuk dimaksudkan agar jangan hanya suka memerintah saja, tetapi dapat membuktikan dalam kelakuannya. Menginai jari tengah agar dapat menghilangkan rasa takut karena salah dan berani karena benar. Menginai jari manis agar terbiasa berbuat yang baik-baik saja. Menginai jari

(5)

kelingking dimaksudkan agar dalam diri muncul rasa kebersamaan dan tolong menolong.

Berinai dilakukan karena tradisi ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Melayu Pontianak bila akan melangsungkan perkawinan, berinai dilakukan sebagai petanda bahwa mereka telah menikah.

3. Berbedak

Berbedak atau luluran di masyrakat Melayu Pontianak wajib dilakukan oleh calon pengantin, khususnya pengantin perempuan. Berbedak dimaksudkan agar membersihkan badan dari kotoran dan agar badan calon pengantin wangi. Berbedak biasanya dilakukan seminggu sebelum acara akad nikah.

Pantang larang kalau sudah berbedak tidak boleh lagi keluar rumah bagi calon pengantin. Pantang larang ini di buat agar calon pengantin dapat menjaga tubuhnya dengan tidak boleh lagi melihat cermin karena akan hilang cahaya wajah dan tidak boleh memakai emas. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang generasi tua masyarakat Melayu Pontianak, ibu Jamilah, yaitu :

“Pantang misalnye kite nak kawen, kalo nak jatohkan bebedak tu tak boleh bekace, ilang cahaye muke, kedua tak boleh makai emas, kalo pakai mas tu cahaye tak ade, ketige barulah kite jatohkan bedak, udah jatohkan bedak, setelah bebedak kite pon betanggas”

Pantang larang ini sudah belangsung lama, sehingga bila tidak dilakukan maka dalam menjalani proses perkawinan tidak lengkap. Berbedak ini juga masih sering dilakukan oleh generasi muda sekarang pada waktu mereka menikah, sebagaimana mana yang dikatakan oleh Ibu Salma, yaitu

“Dulok waktu saye kawen, saye juga disuroh bebedak karne kate orang tue saye dengan bebedak,badan kita akan wangi, orang yang nak kawen tuh harus wangi, selain itu bebedak udah menjadi kewajiban kalo orang mau kawen”

Dari hasil pengamatan peneliti pada salah satu calon pengantin pada masyarakat Melayu Pontianak , bila berbedak ini sudah dilakukan khsususnya pada calon pengantin perempuan, maka pantang larang yang diberlakukan yaitu calon pengantin tidak boleh lagi keluar rumah, karena calon pengantin sudah harus masuk dalam masa di pinggit.

(6)

Bebedak merupakan tradisi yang sudah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Melayu Pontianak dalam melaksanakan perkawinana. Bebedak sudah dilakukan oleh orang tua-tua dahulu sebagai suatu tradisi yang wajib dilakukan sebelum melakukan pernikahan. Pada saat ini, tradisi bebedak juga masih tetap dilakukan oleh generasi muda tapi tidak dilakukan selama satu bulan seperti orang tua dahulu, mereka hanya melakukan paling lama satu minggu saja sebagai syarat dalam prosesi perkawinan pada masyarakat Melayu Pontianak.

4. Betangas

Betangas yang dilakukan oleh calon pengantin untuk membersihkan badan atau mengeluarkan keringat agar badan menjadi wangi menjelang perkawianan. Betangas umumnya dilakukan oleh pihak calon pengantin perempuan, tetapi biasanya juga dilakukan oleh calon pengantin laki- laki.

Bahan-bahan atau peralatan yang digunakan untuk betangas pertama kali yang harus disiapkan adalah paku, keminting, pucuk lidik, danti, kesuri, pala sari dan daun-daun wewangian, dimasukkan dalam periuk atau belangga yang ditutup dengan daun pisang kemudian direbus sampai mendidih. Selanjutnya calon pengantin dimasuk dalam gulungan tikar pandan yang ditutup rapat dengan menggunakan kain, kemudian menusuk periuk tersebut secara perlahan hingga menguarkan aroma yang wangi.

Bagi calon pengantin yang sudah melakukan berbedak dan betangas maka pantang larang untuk keluar rumah, dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada calon pengantin karena aroma pengantin yang sudah wangi. Sebagaimana yang dikatakan oleh dukun kampung, ibu Syarifah Rohani, yaitu :

“Kalo calon penganten udah betangas, calon penganten tak boleh agik keluar rumah,karne penganten udah wangi, selaen itu kalo pun udah betangas calon penganten tak boleh mandi dengan sabun, ditakutkan wangi tangas akan ilang, jadi mandi dengan bersehkan gitu jak, dulok ade orang yang melanggar itu, mandi dengan sabun tibe-tibe badannye jadi biru-biru lebam”

Betangas ini dilakukan selama tiga hari sampai empat hari sebelum perkawinan. Bagi masyarakat Melayu Pontianak, baik generasi tua dan generasi muda betangas wajib dilakukan sebelum perkawinan karena tradisi ini sudah berlangsung dari zaman dahulu.

(7)

5. Makan- makan

Tradisi makan- makan dilakukan sebelum akad nikah bagi calon pengantin, dimaksudkan untuk mempermudah menjalin rumah tangga, atau sebagian menganggap ini merupakan nafkah atau makanan terakhir yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Tradisi makan-makan yang harus disiapkan, yaitu : a. Empat jenis pulut atau ketan.

b. Ayam panggang. c. Nasi kuning. d. Pisang berangan.

e. Telur ayam kampung yang diatasnya dikasih emas. f. Air putih.

g. Lilin merah dan lilin kuning. h. Beras kuning.

i. Berteh. j. Minyak bau. k. Kelapa. l. Benang.

Makanan ini ditelakkan di atas pahar. Sebelum acara makan- makan dimulai diadakan dulu pembacaan “Do’a Selamat dan Do’a Tolak Bala” oleh tokoh Agama. Dalam tradisi makan- makan, empat jenis pulut mempunyai arti atau makna, yaitu:

a. Pulut atau ketan berwarna kuning melambangkan keturunan Melayu.

b. Pulut warna merah dimaksudkan penghormatan terhadap orang-orang tua dahulu.

c. Pulut warna putih dimaksudkan bersih. d. Pulut warna hitam dimaksudkan keras hati.

Empat warna pada ketan ini juga melambangkan empat elemen dalam kehidupan. Merah dilambangkan merupakan unsur api, kuning dilambangkan merupakan unsur udara, hitam dilambangkan merupakan unsur tanah atau bumi, putih dilambangkan merupakan unsur air. Waktu pertama yang diambil oleh calon pengantin untuk dimakan melambangkan sifat dari calon pengantin tersebut.

(8)

Pantang larang untuk makan-makan dilakukan agar calon pengantin terhindar dari berbagai macam bahaya sebelum dan sesudah perkawinan. Makan-ini dilakukan oleh dukun atau bahasa Melayu Pontianak dikatakan “tukang beri makan-makan”. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang dukun yang memberi makan-makan bagi calon pengantin, yaitu :

“Kalo tak dibawa tu, pantangnye yang udah didapat tu, kite pasti dapat anok ye, balak, biase pantangannye kalo tak dilaksanakan nampak dalam kite nak kawen, macam- macam terjadi tu, ade lah entah ape-apelah dirumah, cekcok-cekcok lah di rumah, ntah dari penganten lah, ntah ape-apelah, pasti tu, makenye harus dibuat biar sikit, adat tu harus dibawa”

Tradisi makan- makan ini bagi calon pengantin wajib bagi yang mau melakukan tradisi Melayu. Dalam pelaksanaan tradisi makan- makan, calon pengantin harus duduk di atas tujuh macam kain, salah satunya adalah kain kuning. Kain kuning ini melambangkan atau simbol bagi orang Melayu. Pahar untuk sajian makan- makan juga di alaskan dengan kain kuning.

Tradisi makan-makan tidak semua dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak karena tergantung kepada orang tua masing- masing. Bila orang tua masih memegang kuat tradisi makan-makan, maka wajib dilakukan oleh setiap keturunannya tetapi bila orang tua sudah tidak lagi memegang kuat tradisi ini maka tidak dilakukan. Bagi generasi tua tradisi makan- makan dilakukan sebagai tradisi untuk menghormati nenek moyang mereka karena bila tidak dilakukan makan-makan maka calon pengantin akan mengalami berbagai macam permasalahan dalam menjalani hidup berumah tangga tetapi bagi generasi muda tradisi makan- makan sebagai sebuah tradisi dalam menjalani prosesi perkawinan saja dan mereka menganggap sebagai pemberian makan terakhir dari orang tua kepada anaknya.

6. Penik ahan

Setelah tiba pada hari yang telah ditetapkan, diadakan acara akah nikah. Rombongan calon pengantin laki- laki ke rumah calon pengantin perempuan dengan membawa perlengkapan baik menurut syariat maupun adat yaitu berupa mahar (mas kawin) yang telah disepakati. Upacara akad nikah biasanya diawali

(9)

dengan penyambutan calon pengantin laki- laki dengan pembacaan Maulid dan Sholawat Nabi.

Penyambutan calon pengantin ditandai dengan penaburan beras kuning oleh nenek atau seorang perempuan yang dianggap tua dari calon pengantin perempuan, selanjutnya dilakukan ijab kabul. Setelah selesai proses ijab kabul, undangan dan rombongan pihak laki- laki pulang setelah makan, dilanjuti dengan undangan untuk para perempuan. Undangan kepada perempuan akan dilakukan proses upacara jamu besan, dalam rangkaian jamu besan ini biasanya masyarakat Melayu Pontianak akan memperlihatkan hantaran dari pihak laki- laki dan diteruskan dengan upacara “cucur air mawar”. Kegiatan cucur air mawar ini diawali dengan tepung tawar kepada kedua mempelai kemudian baru mencucurkan air mawar ke telapak tangan kedua mempelai, cucur air mawar ini dilakukan oleh tujuh orang dari pihak laki- laki dahulu baru tujuh orang dari pihak perempuan.

7. Mandi- mandi

Mandi- mandi dilaksanakan setelah selesai semua prosesi perkawinan. Mandi- mandi dilaksanakan waktu siang, upacara ini dengan menyandingkan kedua mempelai, mereka didudukan di atas kursi di tempat terbuka, misalnya di teras rumah atau halaman rumah. Pelaksanaan ini dilaksanakan di tempat pengantin perempuan dan tidak mengundang orang lain kecuali kerabat dekat atau sanak famili yang membantu pada upacara perkawinan.

Adapun alat-alat yang dipergunakan dalam mandi- mandi, yaitu : a. Cermin

b. Benang c. Lilin

d. Satu buah telur e. Air tujuh bunga

f. Rangkaian bunga yang dibuat pakai daun kelapa

Kedua mempelai yang telah duduk lalu dilakukan proses tepung tawar oleh orang-orang yang telah diminta sebelumnya, orang-orang yang akan memandikan kedua mempelai berjumlah ganjil, bisa tiga orang atau tujuh orang. Setelah tepung tawar, lalu kedua mempelai melaksanakan mandi- mandi, setelah

(10)

mandi kedua mempelai disuruh berdiri, kemudian dilingkarkan benang dan disuruh melangkah sebanyak tiga kali, setelah itu cermin kecil bersama lilin yang dibuat dipasangkan api, kemudian diputar kepada kedua mempelai sebanyak tiga kali, lalu pada putaran ketiga berlomba untuk meniup lilin. Proses yang terakhir kedua mempelai harus menginjak telur yang telah disiapkan secara bersama-sama. Makna dalam rangkaian terakhir pada waktu meniup lilin dan memecahkan telur, diyakini akan lebih kerasnya dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.

Setelah melaksanakan berbagai macam prosesi upacara perkawinan yang didalamnya terdapat pantang larang, maka upacara mandi- mandi menjadi upacara yang terakhir bagi calon pengantin setelah itu pantang larang sudah tidak ada lagi, karena mereka sudah masuk dalam kehidupan yang baru yaitu kehidupan berumah tangga.

8. Pantang Larang Lain dalam Perkawinan

Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak dan penga matan peneliti, maka ada beberapa tradisi pantang larang yang harus dilakukan oleh calon pengantin selain pantang larang pada prosesi perkawinan diatas, berupa :

1) Calon pengantin tidak boleh memakai emas atau perhiasan agar tidak hilang cahaya wajah pada waktu melaksanakan perkawinan. Pesan ini dimaksukan pada saat melaksanakan akad nikah atau pesta perkawinan calon pengantin harus kelihatan bercahaya wajahnya agar indah dipandang oleh orang atau tamu, terutama bagi calon pengantin laki- laki. Pantang larang ini masih dilakukan oleh calon pengantin pada masyarakat Melayu Pontianak.

2) Calon pengantin tidak boleh memandang cermin ketika berhias dan setelah berhias oleh juru rias pengantin karena dikhawatirkan akan hilang cahaya wajah waktu melaksanakan perkawinan. Bagi masyarakat Melayu Pontianak tradisi berhias yang dilakukan oleh juru hias merupakan adat yang wajib dilakukan, bila calon pengantin sudah berhias sampai waktu akad nikah tidak boleh melihat cermin, karena wajah calon pengantin sudah berubah. Makna pesan ini agar pengantin tidak terkejut melihat perubahan bentuk wajahnya yang telah di rias oleh juru rias, pelaksanaan berhias pengantin ini biasanya

(11)

dilakukan tiga atau dua hari sebelum akad nikah. Tradisi berhias bagi calon perempuan dilengkapi dengan bahan-bahan sebagai syarat untuk berias, yaitu : a. Satu kilogram padi atau berteh dalam bahasa Melayu Pontianak

b. Satu bungkus garam c. Satu buah gula merah d. Satu buah lilin kuning e. Satu buah kelapa

f. Satu bungkus asam Jawa g. Satu meter kain putih h. Satu sisir pisang

i. Empat jenis kue-kue khas Melayu Pontianak

Bahan-bahan ini mengandung makna untuk memberikan keindahan kepada calon pengantin sehingga para tamu akan senang melihat pengantin. Adapun bahan-bahan sebagai syarat tersebut bila telah selesai proses upacaranya akan diserahkan kepada juru rias pengantin.

Tradisi pantang larang ini pada masyarakat Melayu Pontianak ada yang masih melaksanakan dan ada juga yang tidak lagi, biasanya pantang larang ini terngantung pada juru rias pengantin yang masih memakai tradisi ini atau tidak.

3) Calon pengantin tidak boleh makan makanan sembarangan, seperti nanas, pepaya agar tubuh dalam kondisi baik menjelang perkawinan. Pantang larang tidak boleh makan sembarang bagi calon pengantin mempunyai pesan agar pengantin selalu dalam kondisi sehat sampai menjelang perkawinan, bagi masyarakat Melayu Pontianak biasanya makanan calon pengantin dibuatkan khusus oleh orang tuanya.

4) Hindarkan terkena cahaya matahari karena dikhawatirkan hitam dan tidak bercahaya pada saat perkawianan. Pantang larang ini bermakna pesan kalau pengantin yang sudah di pinggit oleh orang tua jangan keluar rumah sampai terkena sinar matahari, karena calon pengantin sudah melaksanakan serangkaian prosesi pada perkawinan seperti berbedak, bertangas dimana badan calon pengantin sudah wangi sehingga dikhawatirkan akan hilang aura seorang pengantin.

(12)

5) Perbanyak minum jamu agar pengantin dalam kondisi kuat. Dalam tradisi masyarakat Melayu Pontianak sebelum upacara perkawinan, calon pengantin akan dibuatkan jamu khusus yang namanya “jamu pengantin” oleh orang tua-tua, diharapkan calon pengantin dalam kondisi sehat dan kuat tubuhnya menjelang perkawinan.

6) Pantang larang untuk tidak keluar rumah ditakutkan akan terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, ini juga menjaga nama baik keluarga. Pantang larang ini bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang masyarakat Melayu Pontianak dalam bahasa Melayu, yaitu :

“Dulok-dulok tu maseh kuat pantangan, orang pengenten tak boleh turon, baru-baru pengenten gitu jak karne maseh wangi, takot di anok orang, takot ade buaya kate cakap orang dulok-dulok, karne kamek yakin, kemek ikot jak ape kate orang tue-tue”.

Saat ini pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah tidak belangsung lama, biasanya calon pengantin tidak boleh keluar rumah selama sepuluh hari atau tujuh hari saja. Tetapi pantang larang ini tetap dilakukan pada masyarakat Melayu Pontianak.

7) Perbanyak baca Al-Qur’an untuk menghindarkan gangguan syetan, senantiasa selalu menginnggat Allah.

8) Calon Pengantin selalu berbicara yang baik-baik.

9) Jangan makan atau minum seperti sayur bersifat sejuk seperti kangkung, bayam, ketimun, jambu batu dan air kelapa agar wajah tampak segar.

10) Melemparkan baju di atas bumbung atau atap rumah tanpa diketahui oleh orang dimaksudkan mengelakkan hujan turun ketika pesta akan berlangsung. 11) Sebelum menjadi pengantin, tempat tidur antaran tidak boleh tiduri oleh calon

pengantin karena tidak baik. Seperti yang diceritakan oleh salah seorang generasi muda yang melaksanakan pantang larang pada waktu perkawinan, Ibu Alawiyah, yaitu :

“Proses pra nikah yang diberitahukan oleh orang tua saya, pada saat pra nikah biasanya karna saya dari pihak calon mempelai perempuan, penganten perempuan itu dilarang keluar rumah, ye minimal tujuh hari, kalo dulu mungkin sebulan, di pinggit

(13)

istilahnye. Tak boleh keluar kemane- mane, tapi sekarang karne tak mungkin lagi berlaku sebulan, minimal tujuh hari jak, kite dilarang keluar, kemudian penganten perempuan tu selama proses sebelum dia ada acaranye berias, dilarang melihat cermin dikhawatirkan auranya akan hilang, kemudian penganten perempuan juga dilarang makan-makanan laut, terus pengenten perempuan juga tak boleh tidur ditempat tidur atau ranjang yang menjadi hantaran dari pihak laki- laki, kemudian penganten perempuan juga tidak boleh terlalu sering kena sinar matahari atau angina sehingga kamar tu dibuat tertutup mungkin gitu”

Pantang larang pada perkawinan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan tradisi yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang jumlah cukup banyak. Mereka percaya dengan mematuhi pantang larang itu, berarti mereka sudah menanamkan nilai-nilai budaya dan norma sosial masyarakat kepada anaknya.

Tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak yang merupakan sistem nilai budaya yang ada sejak lama dari generasi ke generasi. Didalam fungsinya sebagai pedoman kelakuan dan tata kelakuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana.

Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Sedangkan pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada tradisi pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak.

Pola Bersikap

Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap pantang larang.

(14)

Pantang larang calon pengantin tidak boleh keluar rumah apabila telah melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan, berupa berinai, berbedak, betangas, dan makan-makan serta pantang larang lain pada perkawinan ini ditakutkan akan terjadi hal- hal yang tidak diinginkan. Pantang larangan ini muncul karena untuk menjaga nama baik keluarga. Pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin.

Perubahan pola sikap pada masa lalu dimana pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan menjadi suatu yang harus ditaati karena sudah menjadi tradisi orang tua dahulu sehingga pantang larang ini menjadi suatu kewajiban buat mereka untuk dilaksanakan. Masa kini pantang larang bagi calon pengantin untuk tidak keluar selama satu bulan sudah tidak lagi menjadi kewajiban buat generasi muda karena bagi mereka banyak hal yang harus mereka lakukan dalam menjelang perkawinan.

Pantang larang calon pengantin tidak boleh makan makanan sembarangan, seperti nanas, pepaya agar tubuh dalam kondisi baik menjelang perkawinan. Pantang larang tidak boleh makan sembarang bagi calon pengantin mempunyai makna pesan agar pengantin selalu dalam kondisi sehat sampai menjelang perkawinan. Pada masa dahulu pantang larang ini dibuat oleh orang-orang tua karena calon pengantin harus menjaga dirinya agar tidak sakit pada saat hari pernikahan mereka.

Pola sikap pada masa dahulu tidak membolehkan calon pengantin makan makanan yang sembarangan karena mereka menganggap penting untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam melaksanakan pesta perkawinan. Masa dahulu prosesi menjelang perkawinan dilakukan selama satu minggu secara penuh oleh calon pengantin sehingga mereka tubuh calon pengantin harus sehat jasmani, makanan calon pengantin dibuatkan khusus oleh orang tua mereka selama dua minggu menjelang perkawinan. Pada masa kini sikap calon pengantin untuk tidak makan makanan sembarangan hanya dilakukan pada waktu menjelang hari pernikahan saja. Masa kini, generasi muda lebih memilih makanan yang praktis-praktis saja buat mereka, begitu juga makanan yang mereka makan menjelang perkawinan,

(15)

walaup un begitu untuk tidak makan makanan sembarangan masih selalu diingatkan oleh orang tua mereka.

Pantang larang bagi calon pengantin untuk menghindari terkena cahaya matahari karena dikhawatirkan hitam dan tidak bercahaya pada saat perkawianan. Pantang larang ini bermakna pesan kalau pengantin yang sudah di pinggit oleh orang tua jangan keluar rumah sampai terkena sinar matahari, karena calon pengantin sudah melaksanakan serangkaian prosesi dalam perkawinan sehingga dikhawatirkan akan hilang aura seorang pengantin.

Pada masa dahulu pola sikap mereka untuk tidak keluar rumah karena serangkaian prosesi yang telah dilakukan oleh calon pengantin, calon pengantin sudah tidak boleh lagi terkana sinar matahari sampai didalam kamar tidur pun tidak boleh terkena sinar matahari. Adanya kepercayaan akan hilangnya cahaya pada wajah bila terkena matahari membuat calon pengantin pada masa dahulu menjaga dirinya secara hati-hati. Pada masa kini pola sikap generasi muda untuk tidak menghindari terkena cahaya matahari hanya pada saat-saat menjelang hari pernikahan saja.

Adanya perubahan pola sikap dari masa dahulu dan masa sekarang diatas memberikan perubahan terhadap pola kelakuan masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalankan tradisi pantang larang.

Pola Kelakuan

Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang.

Segala aktivitas tradisi pantang larang sampai saat ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Pontianak. Tradisi yang masih tetap dilakukan dari dahulu sampai sekarang pada tradisi makan- makan, betanggas dan mandi- mandi. Tradisi ini dilakukan pada saat prosesi menjelang perkawinan. Apabila telah dilakukan berbagai macam kegiatan prosesi perkawinan maka setiap pantang larang juga mempengaruhi pola kelakuan masyarakat Melayu Pontianak.

Pola kelakuan pada masa dahulu pada pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan dilakukan dengan mengikuti apa yang diajarkan oleh

(16)

orang tua mereka, sedangkan masa kini pola kelakuan tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu dalam masa satu minggu saja karena mereka juga harus membantu dalam melaksanakan perkawinan mereka, misalnya harus menyebarkan undangan sendiri dan kelengkapan-kelengkapan lain.

Perubahan pola kelakuan pada masa dahulu untuk menjalani pantang larang tidak makan sembarangan menjelang perkawinan karena menjadi suatu keyakinan bagi mereka sehingga harus dilakukan oleh mereka secara penuh, sedangkan pada masa kini pola kelakuan generasi muda tidak makan sembarangan menjelang perkawinan tidak begitu penting, karena kesibukan yang banyak dalam menjelang perkawinan membuat mereka hanya ingin makan yang praktis atau mudah dilakukan.

Pada masa dahulu kelakuan calon pengantin untuk tidak keluar rumah agar tidak terkena cahaya matahari dalam melaksanakan pantang larang didukung oleh orang tua mereka, sehingga mereka melaksanakan pantang larang secara hati-hati. Pada masa kini adanya kesibukan calon pengantin maka tindakan atau kelakuan generasi muda untuk tidak terkena cahaya matahari sangat susah dilakukan karena banyak kesibukan dalam menjalankan aktivitas dalam menjelang perkawinan, sehingga pantang larang tidak sepenuhnya dilakukan, mereka melakukan pantang larang ini semampu mereka saja, buat generasi muda pelaksanaan berbagai macam tradisi masih bisa dilakukan walaupun tidak sepenuhnya seperti generasi dahulu.

Terjadinya perubahan pola sikap dan kelakuan pada masyarakat Melayu Pontianak juga mempengaruhi terhadap pola sarana (wujud fisik), yaitu pendukung dalam menjalankan pantang larang.

Pola Sarana

Pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak.

Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak mempunyai pola sikap yang berbeda setiap generasi. Adanya pola sikap untuk melaksanakan pantang larang memberikan pengaruh terhadap pola tindakan atau kelakuan bagi calon pengantin. Pola sikap dan pola kelakuan yang berbeda pada setiap generasi

(17)

mempengaruhi terhadap pola sarana dalam melaksanakan tradisi pantang larang perkawinan.

Sarana atau peralatan yang digunakan pada prosesi perkawinan, dapat dilihat pada alat-alat yang dipersiapkan untuk melakukan prosesi betangas, bebedak dan makan- makan. Pada berbagai macam prosesi perkawinan peralatan atau bahan-bahan yang digunakan berupa :

1. Belangga atau panci yang berisi paku, kemiting, pucuk lidik, danti, kesuri, pala sari dan daun-daun wewangian. Peralatan dan bahan-bahan ini digunakan untuk melaksanakan prosesi betangas pada masyarakat Melayu Pontianak. Masa dahulu persiapan pada peralatan atau bahan-bahan ini telah disiapkan oleh orang tua atau keluarga calon pengantin sehingga betangas bisa dilakukan dalam waktu seminggu. Pada masa kini untuk mempersiapkan hari pernikahan calon pengantin juga ikut membantu dalam menyiapkan peralatan-peralatan sehingga untuk betangas calo n pengantin membeli atau minta dibuatkan oleh orang lain sehingga betangas hanya dilakukan tiga hari atau dua hari menjelang perkawinan.

2. Pahar. Peralatan ini pada prosesi makan- makan pada masyarakat Melayu Pontianak. Pahar merupakan tempat untuk meletakkan berbagai sajian untuk makan-makan. Pada masa kini pelaksanaan makan- makan terngantung kepada orang tua masing- masing. Bila orang tua yang masih kuat memegang adat maka anak yang akan melangsungkan pernikahan harus tetap melaksanakan prosesi makan-makan, karena mereka takut akan terjadi bala atau sanksi bila tidak melakukan prosesi makan- makan.

3. Kain kuning. Pada prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak, kain kuning harus selalu ada. Kain kuning merupakan simbol masyarakat Melayu Pontianak, kain kuning digunakan dalam berbagai prosesi perkawinan. Pola sarana ini pada generasi muda sekarang masih digunakan sebagai petanda tetap melaksanakan nilai- nilai budaya pada masyarakat Melayu Pontianak. 4. Berias bagi calon perempuan yang harus dilengkapi dengan bahan-bahan atau

peralatan sebagai pola sarana harus memenuhi syarat, yaitu: satu kilogram padi atau berteh, satu bungkus garam, satu buah gula merah, satu buah lilin kuning, satu buah kelapa, satu bungkus asam Jawa, satu meter kain putih, satu

(18)

sisir pisang, empat jenis kue-kue khas Melayu Pontianak. Adapun bahan-bahan atau peralatan tersebut bila telah selesai proses berias akan diserahkan kepada juru rias pengantin. Tradisi pantang larang ini pada generasi muda masyarakat Melayu Pontianak ada yang masih tetap melaksanakan dan ada juga yang tidak lagi, biasanya pantang larang ini terngantung pada juru rias pengantin yang masih memakai atau tidak.

Pantang Larang Pada Kehamilan

Bagi masyarakat Melayu Pontianak pentingnya nilai- nilai budaya, berbagai cara dan upaya dilakukan untuk menanamkannya kepada anak sejak dini. Upaya itu bahkan sudah dilakukan sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Berbagai pantang larang, upacara dan lambang- lambangnya memberi petunjuk adanya upaya untuk menanamkan nilai- nilai budaya kepada anak.

Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak, pada masa selama kehamilan calon ibu diberikan pantang larang karena kalau tidak akan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik, bukan saja terhadap dirinya sendiri, tetapi dapat pula mempengaruhi kesehatan anaknya. Pantang larang kehamilan itu antara lain :

1. Dilarang berbicara yang kurang baik, mencaci, membuat fitnah, mengumpat, berbicara seenaknya tanpa memikirkan akibatnya apa orang tersakiti atau tidak. Apabila seorang ibu tidak dapat menahan pantangan ini, maka diyakini anak yang dikandungnya itu kelak akan bersifat seperti ibunya pula, bahkan mungkin lebih parah lagi. Oleh karena itu, seorang calon ibu dituntut untuk menjaga mulutnya, bersifat sabar dan lapang dada. Sifat-sifat ini akan melekat ke dalam jiwa anak yang dikandungnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang masyarakat Melayu Pontianak, ibu Jamilah, yaitu :

“Dulok-dulok waktu ibu hamil, kate orang tue dilarang ngomong yang jelek-jelek, menghine orang apalagi mencaci orang, karne kate orang tue takot anak yang dikandung akan same sifatnye dengan orang yang kite omongkan, pantangan ini juga ibu kasih tau same anak ibu yang lagi hamil, karna takot juga hal yang burok terjadi, dulok kalo pantangan ini harus benar-benar di kerjekan,karne kite ikot ape kate orang tue jak. ”

(19)

Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat dilakukan, apalagi pada awal-awal kehamilan, seorang ibu harus menjaga kehamilannya dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, Ibu Salma, yaitu :

“Saye dikasih tau same orang tue, kalo hamil jangan nak ngomong yang macam- macam, takot anak yang ade dalam perot kena imbasnye, saye percaya dan yakin apa yang dikatekan oleh orang tue saye, karne kalo diliat sekarang banyak hal- hal yang aneh, jadi mulot emang harus dijage waktu hamil, buat amannye jak”

Pantang larang ini mengajarkan seorang ibu menjadi seorang yang sabar dalam mendidik anak pada dimulai pada masa kehamilan.

2. Dilarang menyapu rumah sangkut-sangkut, dikhawatirkan tersangkut tali tembuni bayi dalam perut. Pantangan ini sangat diyakini oleh calon ibu karena kalau menyapu rumah tidak bersih ditakutkan anak dalam kandungan akan tersangkut pula tali tembuni anaknya. Sebagaimana mana yang dikatakan oleh Ibu Alawiyah, yaitu :

“Kite kalo nyapu ndak boleh setengah-setengah atau sangkut-sangkut, takot tali tembuni akan melilit bayi”

Pantang larang ini bagi ibu hamil masih diyakini, oleh sebab itu bagi seorang ibu pada masyarakat Melayu Pontianak kalau sedang menyapu rumah harus sebersih mungkin.

3. Pantang larang melilit kain ditakutkan bayi terlilit tali tembuni. Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak menjadi hal yang paling diingat oleh calon ibu, bagaimana pun keadaannya. Diharapkan calon ibu mempunyai sifat yang waspada dan hati- hati dalam bertingkah laku sehari-hari.

4. Dilarang menganiaya dan membunuh binatang ditakutkan anak akan mengalami kecacatan anggota badannya. Pantang ini sangat berlaku bagi masyarakat Melayu Pontianak baik oleh istri atau suami pun yang akan menjadi ayah dan ibu, ketakutan mereka dikarenakan bisanya hal itu akan terjadi kepada anaknya. Oleh karena itu, perilaku seorang suami dan istri harus sangat dijaga pada waktu istri hamil. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang Ustadz di Pontianak , yaitu :

“Aturan orang dulok-dulok tu yang berkaitan dengan agama, dapat diterima yang tadak ade tadak diterima, seperti orang dulok-dulok

(20)

memantangkan orang hamil tu jangan bunuh-bunuh binatang, jangan metak- metak ikan, nanti die ngiman, ngiman tu artinye same dengan anak yang dihamilkan itu. Sebenarnye bukan ikan yang di tetak-tetak itu menyebabkan anak tu ngiman, sebenarnye perilaku dari suami istri, jangan macam- macam, jangan nak bertingkah”.

Calon ibu dituntut untuk bersikap pengasih dan penyayang, suka membantu dan memberi pertolongan. Sifat mulia ini juga akan mempengaruhi kepada anak yang dilahirkan.

5. Dilarang berbicara bohong. Pantangan ini berlaku bila sedang hamil suka berbohong, maka anak yang dikandungnya itupun kelak akan menjadi orang yang pembohong juga. Oleh sebab itu calon ibu dituntut memiliki sifat jujur, berkata benar, ikhlas dan penyabar. Sifat ini akan tertanam dan melekat pada jiwa anak yang dikandungnya itu.

6. Dilarang memaku, mengunci, menggali lubang dan duduk di atas tanah ditakutkan anak yang akan lahir akan mengalami cacat anggota tubuhnya. 7. Dilarang melihat gerhana bulan maupun matahari ditakutkan anak yang lahir

akan cacat atau berkulit hitam.

Ada ungkapan pada masyarakat Melayu Pontianak dikatakan : “taat memegang pantang larang, yang pantang dibuang jauh, yang larang ditanam dalam, yang budi ditanam tumbuh, yang niat dihajat dapat, yang pintak turun ke anak”. Sebaliknya seorang ibu yang tidak mengikuti pantang larang dianggap menyia-yiakan hidup anaknya. Bila kelak anaknya tidak menjadi “orang”, maka kegagalan itu pada dasarnya selalu dikaitkan dengan sikap orang tuanya yang melanggar pantang larang. Kesemua pantang larang mengandung makna bahwa seorang calon ibu yang sedang hamil mestilah menjadi orang yang selalu memelihara diri dari segala perbuatan yang tidak baik. Ada ungkapan orang Melayu “terlanggar ke pantang larang, yang pantang menjadi hutang, yang larang membawa malang, yang hajat tak berkesampaian, yang niat tak terkabulkan”.

Masa pantang larang kehamilan pada masyarakat Melayu Pontianak , biasanya berlaku dari awal kehamilan sampai pada masa tujuh bulan kehamilan, karena bulan-bulan awal kehamilan sampai tujuh bulan dikatakan disitulah awal pembentukan manusia, terutama pada bulan keempat, roh seorang manusia

(21)

ditiupkan ke bayi. Biasanya setelah masa kehamilan mencapai tujuh bulan, masyarakat Melayu Pontianak mengadakan acara tujuh bulanan.

Tradisi yang umum dilakukan adalah tradisi tujuh bulan, yang dalam bahasa Melayu disebut juga dengan upacara melenggang perut. Tradisi ini dilakukan setelah kandungan berusia tujuh bulan, terutama hamil pertama. Tradisi dilaksanakan dengan berbagai bentuk dan variasi, melibatkan hampir semua lapisan masyarakat sekitarnya. Tujuan yang mendasar dari upacara ini ialah untuk mendo’akan keselamatan ibu dan anaknya, agar kelak dapat melahirkan dalam keadaan sehat dan sempurna.

Melenggang perut atau disebut juga menggoyang- goyang perut dengan cara, calon ibu disuruh baring di kasur ya ng beralaskan kain sebanyak tujuh helai. Setelah itu dukun beranak menggoyang- goyang perut calon ibu sambil menarik selembar kain pengalas itu satu persatu sampai habis. Maksudnya menggoyang-goyang perut calon ibu ini ialah untuk mendudukkan keletakkan bayi dalam perut pada posisi yang benar, agar kelak akan mudah melahirkan. Adapun tujuh helai kain menandakan hamil pertama sudah tujuh bulan, dengan harapan juga tujuh hari setelah bayi lahir, tali pusarnya akan lepas. Selesai melenggang perut, dukun beranak mendudukkan calon ibu, kemudian memotong anak rambut, agar anak yang akan lahir kelak akan menyukai kebersihan dan kerapian. Upacara ditutup dengan menyampaikan pesan atau nasehat kepada calon ibu, dan diakhiri dengan pembacaan Do’a Selamat dan Do’a Tolak Bala.

Pelaksanaan pantang larang pada kehamilan oleh masyarakat Melayu Pontianak oleh generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang pada kehamilan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana.

Pola Bersikap

Pantang larang dalam masa kehamilan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan pantang larang yang sangat diyakini. Pantang larang untuk berbicara yang kurang baik, mencaci, membuat fitnah, mengumpat, berbicara seenaknya tanpa memikirkan akibatnya apa orang tersakiti atau tidak, misalnya. Apabila seorang ibu tidak dapat menahan pantangan ini, maka diyakini anak yang dikandungnya itu kelak akan bersifat seperti ibunya pula, bahkan mungkin lebih

(22)

parah lagi. Oleh karena itu, seorang calon ibu dituntut untuk menjaga mulutnya, bersifat sabar dan lapang dada. Sifat-sifat ini akan melekat ke dalam jiwa anak yang dikandungnya. Sikap orang tua masa dahulu melihat pantang larang ini dibuat karena mereka takut akan terjadi hal buruk pada bayi mereka dan agar calon ibu dapat menjaga diri dan bayinya dalam hal yang kurang baik sehingga anaknya menjadi anak yang baik.

Sikap orang tua masa dahulu menjalani pantang larang ini karena pantang larang ini telah ada dari zaman nenek moyang mereka, sehingga kelakuan orang tua dahulu untuk manjalani pantang larang tidak mencaci, membuat fitnah, mengumpat orang tua menjadi kepercayaan atau keyakinan buat mereka. Pada masa kini, sikap generasi muda memandang pantang larang untuk tidak mencaci, membuat fitnah, mengumpat orang lain juga masih diyakini karena mereka juga takut akan hal- hal yang kurang baik menimpa anaknya nanti.

Pantang larang yang paling ditakuti masyarakat Melayu Pontianak pada masa kehamilan adalah menganiaya dan membunuh binatang karena ditakutkan anak akan mengalami kecacatan anggota badannya. Pantang larang ini sangat berlaku bagi istri atau suami yang akan menjadi ayah dan ibu, ketakutan mereka dikarenakan bisanya hal itu akan terjadi kepada anaknya. Adanya pantang larang untuk tidak membunuh atau menganiaya binatang karena sudah banyak kejadian yang lihat oleh masyarakat bila ada yang membunuh atau menganiaya binatang bila istri dalam keadaan hamil.

Sikap orang tua masa dahulu percaya bahwa dengan membunuh atau menganiaya binatang maka anak yang akan lahir akan mengalami kecacatan bahkan mungkin sampai menyerupai binatang yang dibunuh tersebut. Sikap generasi tua juga mempengaruhi sikap generasi muda muda pada masyarakat Melayu Pontianak yang sedang hamil. Adanya pantang larang ini menjadikan generasi muda baik suami atau istri sangat menjaga diri mereka dari hal- hal yang tidak baik.

Pola Kelakuan

Pola sikap generasi tua mempengaruhi pola sikap generasi muda masyarakat Melayu Pontianak. Pola sikap generasi muda juga mempengaruhi pola kelakuan mereka dalam menjalani pantang larang masa kehamilan. Kelakuan

(23)

generasi muda dalam menjalani pantang larang masa kehamilan menjadi sesuatu yang sangat dijaga agar walaupun berbagai kesibukan calon ibu yang sedang bekerja. Kepercayaan akan pantang larang masa kehamilan baik generasi tua dan generasi muda maka perilaku seorang suami dan istri harus sangat dijaga pada waktu istri hamil.

Kelakuan suami atau istri harus benar-benar dijaga bila istri sedang hamil, pada masa dahulu kelakuan seorang suami dan istri selalu diingatkan oleh orang tua untuk tidak berbuat macam- macam atau sampai membunuh binatang karena sanksi atau akibat akan didapat bila kelakuan mereka yang menyimpang terhadap anak yang akan lahir. Pada masa kini kelakuan generasi muda dalam menjaga kelakuan mereka sudah masih diingatkan oleh orang tua mereka, karena mayoritas masyarakat Melayu Pontianak setelah menikah menetap di rumah orang tua perempuan. Kelakuan calon suami dan istri dalam menjaga anak yang masih dikandungkan diikuti dengan banyak membaca Al-Qur’an, jadi antara agama dan nilai- nilai budaya berjalan bersamaan, sehingga anak yang lahir diharapkan akan mempunyai sifat yang baik.

Pola Sarana

Sikap dan kelakuan generasi tua masa dahulu dan generasi muda masa sekarang masyarakat Melayu Pontianak memandang pantang larang pada masa kehamilan masih menjadi kepercayaan atau keyakinan yang masih diikuti, hanya saja perubahan terhadap sarana dalam menjalani aktivitas.

Pada masa dahulu kemajuan teknologi tidak seperti masa kini, kemajuan teknologi yang canggih masa kini mempengaruhi pola hidup generasi muda selain itu masa kini mobilitas penduduk juga yang tinggi. Sehingga pengaruh teknologi dan mobilitas penduduk mempengaruhi terhadap sarana dan prasarana pada masyarakat. Adanya aktivitas yang sibuk pada generasi muda masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi terhadap pola sarana dalam menjalani pantang larang.

Masa kini sarana dalam masa kehamilan begitu banyak, adanya susu tambahan buat kehamilan dan tekno logi untuk mengetahui janin bayi dapat diketahui pada masa kehamilan. Walaupun pantang larang tetap dilakukan oleh generasi muda sekarang tetapi mereka juga memberikan berbagai macam

(24)

tambahan buat calon bayi dan bisa mengikuti perkembangan calon bayi dalam kandungan.

Pantang Larang Pada Kelahiran

Pemulihan seorang ibu setelah melahirkan dalam pantang larang sama pentingnya pada waktu ibu sedang hamil. Seorang ibu harus memiliki tubuh yang sehat baik jasmani dan rohani. Pantang larang setelah kelahiran saat ini sangat terngantung pada diri ibu itu sendiri. Pantang larang yang dibuat oleh orang tua mengisyaratkan bahwa seorang ibu diberikan waktu yang cukup buat beristirahat selama empat puluh hari setelah mengalami proses kehamilan. Adapun makna pesan pantangan dan larangan bagi seorang ibu yang habis melahirkan, yaitu : 1. Pantang larang makan yang pedas-pedas atau bercabe supaya tidak

menganggu proses menyusui. Pantang larang makan yang pedas-pedas di maknai supaya seorang ibu harus memperhatikan kondisi diri dan bayinya yang sedang menyusui karena makanan seorang ibu sangat mempengaruhi kesehatan bayinya. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Khadijah, yaitu :

“ehh, kite dulok-dulok kalo lagi melahirkan tak boleh makan macam- macam, karena ibu yang menyusui anaknya. Pantangan ini kalo kamek liat budak-budak sekarang jarang agik yang mau ikot”. 2. Seorang ibu harus membawa paku dan melilitkan benang hitam pada jempol

kaki kanan dan kiri supaya anak jangan kemasukkan atau kesambat makhluk halus. Kepercayaan orang Melayu Pontianak akan hal- hal yang gaib pada seorang bayi yang baru dilahirkan akan ganggguan-gangguan makhluk halus sangat besar. Pesan pantang larang ini bagi seorang ibu harus mampu melindungi dan menjaga anaknya dari makhluk halus dan seorang ayah harus sering menbacakan ayat-ayat Al-Qur’an pada anaknya selama empat puluh hari dimaksudkan agar anaknya terbiasa mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti yang dikatakan salah seorang warga Pontianak, yaitu :

“Biasanya seorang ibu menyusui memakai benang hitam di jempol kaki kiri dan kanan, eh sepengetahuan saya itu diharapkan ibu- ibu yang menyusui ini jauh dari gangguan, ehh baik gangguan makhluk halus atau setan, karena dalam keadaan empat puluh hari mereka tidak sholat, mereka dalam keadaan nifas, dan menurut kepercayaan orang Melayu, ehh ibu yang baru melahirkan dan bayinya dalam keadaan yang sangat harum untuk

(25)

makhluk-makhluk halus lain sehingga mereka dikhawatirkan sering didekati, dan pada anaknya juga diberi kain hitam di atas kepalanya”.

3. Pantang larang keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini bermakna seorang ibu harus benar-benar istirahat total buat dirinya agar pemulihan setelah melahirkan cepat kembali normal. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, kesehatan ibu benar-benar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya.

Selain pantang larang bagi seorang ibu setelah melahirkan, pada masyarakat Melayu Pontianak masih ada beberapa tradisi dalam menyambut sang anak yang dilakukan oleh orang tua. Adapun acara setelah kelahiran anaknya adalah tradisi memotong rambut bayi, terlebih dahulu biasanya dilakukan Aqiqah bagi anaknya. Acara memotong rambut dilaksanakan setelah tali pusar bayi telah tanggal. Memotong rambut diawali dengan membaca Maulid oleh masyarakat yang di undang. Peserta acara berdiri, sedangkan orang tua membawa anaknya mengelilingi para tetua masyarakat atau tokoh agama untuk memotong rambut anaknya, di awali dengan tepung tawar, memasukkan rambut yang telah dipotong kedalam air kelapa. Peserta yang memotong rambut berjumlah ganjil, biasanya tujuh orang atau empat belas orang.

Tradisi masyarakat Melayu Pontianak nama anak diberikan setelah tujuh hari kelahiran. Nama diberikan oleh para ulama atau orang yang dituakan dalam keluarga. Kecenderungan nama yang diberikan dengan mengambil nama- nama Nabi dan para sahabatnya dan orang terkenal lainnya. Kalau anak perempuan diberikan nama-nama Islam, dan nama-nama yang mengandung unsur do’a lainnya, biasanya merujuk pada kosa kata Arab (Al-Qur’an) dan Asmaul Husna. Pemberian nama ini biasanya di akhiri dengan pembacaan do’a Selamat.

Pelaksanaan pantang larang pada masa kelahiran oleh masyarakat Melayu Pontianak oleh generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang pada kehamilan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana.

(26)

Pola Bersikap

Masa melahirkan adalah masa pemulihan bagi seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan anaknya. Untuk itu adanya pantang larang yang dibuat oleh orang tua zaman dahulu. Pantang larang untuk tidak makan yang pedas-pedas atau yang ada cabainya supaya tidak menganggu proses menyusui. Pantang larang makan yang pedas-pedas bermakna supaya seorang ibu harus memperhatikan kondisi diri dan bayinya yang sedang menyusui karena makanan seorang ibu sangat mempengaruhi kesehatan bayinya.

Pantang larang untuk tidak keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini bermakna seorang ibu harus benar-benar istirahat total buat dirinya agar pemulihan setelah melahirkan cepat kembali normal. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, kesehatan ibu benar-benar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya. Pantang larang ini dibuat agar seorang ibu menjaga kondisi tubuhnya setelah melahirkan.

Pantang larang seorang ibu harus membawa paku dan melilitkan benang hitam pada jempol kaki kanan dan kiri supaya anak jangan kemasukkan atau kesambat makhluk halus. Pantang larang ini dibuat karena masih adanya kepercayaan orang Melayu Pontianak akan hal- hal yang gaib pada seorang bayi yang baru dilahirkan akan ganggguan-gangguan makhluk halus karena mereka beranggap anak yang baru lahir tersebut dalam keadaan bersih dan suci. Sikap generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak masih tetap melakukan pantang larang ini. Pantang larang ini juga diberlakukan pada bayinya, yaitu dengan meletakkan kain hitam di atas kepala anaknya.

Pola Kelakuan

Masa dahulu sikap orang tua masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalani pantang larang dengan banyak makan sayuran seperti kacang hijau agar membantu proses menyusui buat bayinya. Sikap ini juga ditunjang dengan kelakuan sorang ibu yang tidak boleh banyak bergerak atau beraktivitas berlebihan sebanyak empat puluh hari karena ditakutkan banyak aktivitas dan keluar rumah maka ibu tersebut mengalami pendarahan dan meninggal dunia.

(27)

Masa kini, pola kelakuan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak untuk melaksanakan pantang larang tidak boleh makan makanan pedas tidak sepenuhnya mereka lakukan karena mereka sekarang kurang percaya akan hal tersebut, makan makanan pedas boleh saja asal tidak banyak karena bayi sekarang juga banyak dibantu dengan susu tambahan. Pola kelakuan untuk untuk tidak keluar rumah hanya dilakukan selama satu atau dua minggu saja. Pola kelakuan pada generasi muda ini dipengaruhi karena seorang ibu yang sibuk bekerja diluar rumah atau mengurusi rumah sendiri, sehingga pantang larang tidak dilakukan sepenuhnya.

Kepercayaan generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak akan pantang larang selalu melilitkan benang hitam di jempol kaki kiri dan kanan selama empat puluh hari setelah melahirkan mempengaruhi kelakuan seorang ibu dalam menjalani pantang larang, walaupun mereka sedang beraktivitas keluar rumah.

Pola Sarana

Adanya sikap dan kelakuan seorang ibu masa dahulu untuk menjalani pantang larang ini juga karena didukung oleh sarana yang telah disiapkan oleh orang tua mereka, seperti bahan-bahan makanan, jamu untuk pemulihan masa melahirkan yang disediakan dan dibuatkan oleh orang tua mereka sehingga ibu dalam masa empat puluh hari dapat menjaga tubuhnya dan bayi dengan baik. Sedangkan pola sarana pada masa kini segala sesuatu banyak dilakukan sendiri oleh seorang ibu, dimana bahan-bahan makanan hanya dibuatkan oleh orang tua paling lama dua minggu saja dan jamu untuk ibu melahirkan mereka tinggal membeli.

Penggunaan paku dan benang hitam setelah ibu melahirkan pada masa dahulu dan masa kini sebagai penangkal untuk melindungi seorang ibu dari bahaya-bahaya mahluk halus selama empat puluh hari karena seorang ibu dalam keadaan tidak sholat. Sedangkan penggunaan kain hitam diatas kepala bayi dimaksudkan juga sebagai penangkal untuk bayi dari mahluk-mahluk halus.

Adanya unsur- unsur budaya berupa pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dalam menjalani pantang larang memberikan perubahan terhadap makna pesan pantang larang bagi generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu

(28)

Pontianak. Pada dasarnya generasi muda tetap melaksanakan tradisi pantang larang pada masa prosesi perkawinan, masa kehamilan dan masa melahirkan hanya saja me maknai pesan pantangan dan larangan sesuai dengan kondisi pada masa kini.

Faktor Perubahan Tradisi Pantang Larang

Perubahan pantang larang masyarakat Melayu Pontianak pada pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dipengaruhi beberapa faktor berikut ini:

1. Faktor penduduk yang heterogen

Kecamatan Pontianak saat ini merupakan salah satu kecamatan dengan penduduk yang heterogen dan mobilitas penduduknya yang relatif tinggi. Oleh karena penduduk yang heterogen dan mobilitas yang relatif tinggi dan diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana membuat masyarakat membuka diri dengan hal- hal yang baru. Hal ini yang tampaknya mempengaruhi pada tradisi yang pernah ada dan berkembang di masyarakat Melayu Pontianak.

Faktor penduduk yang heterogen memberikan pengaruh terhadap perubahan pola sikap dan pola kelakuan pada masyarakat Melayu Pontianak. Perubahan pola sikap dan pola kelakuan mempengaruhi proses komunikasi dalam melaksanakan pantang larang oleh masyarakat Melayu Pontianak. Pantang larang calon pengantin tidak boleh keluar rumah apabila telah melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan, misalnya. Pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin.

Pola sikap pada pantang larang tersebut mempengaruhi terhadap pola kelakuan. Pada masa dahulu pada pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan dilakukan dengan mengikuti apa yang diajarkan oleh orang tua mereka, sedangkan masa kini pola kelakuan tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu dalam masa satu minggu saja karena mereka juga harus membantu dalam melaksanakan perkawinan mereka, misalnya harus menyebarkan undangan sendiri dan kelengkapan-kelengkapan lain.

Perubahan terjadi karena pengaruh dari lingkungan masyarakat setempat, masyarakat Melayu Pontianak sekarang yang banyak berakulturasi dengan

(29)

masyarakat dari suku lain, sehingga pola kelakuan dalam menjalani pantang larang mengalami perubahan oleh generasi muda sekarang.

2. Pendidikan formal yang maju

Masyarakat yang telah mengalami pendidikan yang relatif tinggi merasa cenderung meninggalkan tradisi, mereka cenderung memilih sesuatu yang praktis. Pendidikan formal yang maju akan memberikan pengaruh terhadap perubahan pola kelakuan dalam menjalani setiap tradisi yang ada dalam masyarakat.

Pantang larang untuk tidak keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini dibuat agar seorang ibu menjaga kondisi tubuhnya setelah melahirkan. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi generasi tua masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, karena kesehatan ibu benar-benar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya. Pada masa kini pola kelakuan untuk untuk tidak keluar rumah hanya dilakukan selama satu atau dua minggu saja. Perubahan pola kelakuan pada generasi muda ini dipengaruhi oleh pendidikan formal yang maju dan karena seorang ibu yang sibuk bekerja diluar ruma h sehingga pantang larang masa kelahiran tidak dilakukan sepenuhnya.

Adanya perubahan pendidikan formal yang maju pada masyarakat Melayu Pontianak memberikan pengaruh terhadap pola sikap dan pola kelakuan generasi muda dalam menjalani pantang larang. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi tua masyarakat Melayu Pontianak, yaitu :

“Banyak perubahan sekarang, kadang-kadang bedak penganten dibuangkannye, jamu dikasih tak dimakan, orang sekarang suke makan yang manes, tak mau makan jamu, tak kayak kite dulok, jamu dimakan, orang sekarang banyak yang pintar-pintar dah”.

3. Faktor sikap masyarakat

Masyarakat Melayu Pontianak secara umum yang menerima perubahan yang terjadi pada tradisi yang berlaku di dalam masyarakat. Tradisi pantang larang yang sebagian masyarakat menganggap sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang, tetapi ada sebagian pula yang menganggap masih penting untuk dilakukan, anggapan mereka bila seseorang tidak melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan dan pantang larangnya dikategorikan sebagai orang yang tidak

(30)

memegang tradisi. Tetapi ada sebagian yang teguh memegang tradisi, terutama anak yang mematuhi perkataan orang tuanya. Mereka takut bila tidak melaksanakan pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran akan mendapat sanksi atau bala sehingga mereka tetap dengan pendiriannya.

Perubahan-perubahan terjadi dikarenakan pengaruh kehidupan masyarakat kota besar sehingga berpengaruh pada pola pikir mereka tentang tradisi, hal ini juga mempengaruhi nilai- nilai budaya Melayu yang lainnya pada masyarakat Melayu di Kecamatan Pontianak. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi muda masyarakat Melayu Pontianak , yaitu :

“Saya memandang, khususnya tradisi pantang larang ini secara umum kebudayaan melayu, kemudian sampai pada tradisi pantang larang sebenarnya apapun yang diajarkan orang tua tadi, ehh sebenarnya bagi saya kearifan mereka, kearifan mereka mengajarkan untuk bisa hidup harmonis selain dengan manusia juga dengan makhluk selain manusia, itulah sebenarnya kearifan mereka”.

Adanya faktor perubahan tradisi pantang larang di atas pada masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalankan tradisi pantang larang.

Ikhtisar

Tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih diyakini untuk dilaksanakan, walaupun proses melaksanakan tradisi pantang larang tidak lagi seperti zaman dahulu. Tradisi pantang larangan yang peneliti amati adalah tradisi pantang larang pada proses masa perkawinan, masa kehamilan dan masa melahirkan. Proses masa tersebut di atas adalah proses masa dimana proses perubahan hidup seseorang dari awal pernikahan sampai melahirkan. Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak dan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa tradisi pantang larang masih dilakukan dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan.

Dari beberapa informan menyatakan bahwa tradisi pantang larang yang dilakukan pada masa perkawinan, menyatakan bahwa setiap pantang larang pada

(31)

awal pernikahan yang diberlakukan oleh orang tua dahulu merupakan nilai- nilai yang ditanamkan untuk tetap melaksanakan pesan moral yang terkandung didalamnya. Walaupun pantang larang tersebut tidak lagi dilakukan sepenuhnya, tetapi harus dilaksanakan walapun sedikit. Seperti pada tradisi sebelum pernikahan, yaitu tradisi beinai, tradisi berbedak, tradisi betangas dan tradisi makan-makan dimana pantang larang diberlakukan setelah melaksanakan tradisi tersebut, selain itu pantang larang bagi diri sendiri calon pengantin juga harus diikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua mereka menjelang pernikahan. Makna pesan melaksanakan pantang larang pada masa prosesi perkawinan agar calon pengantin dapat menjaga diri dan agar calon pengantin tetap menjalani tradisi pada masa prosesi perkawinan untuk tetap melaksanakan nilai- nilai budaya yang telah ada dalam masyarakat melayu Pontianak .

Pada masa kehamilan pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih kuat diyakini, dari beberapa informan baik dari generasi tua maupun generasi muda didapat bahwa pantang larang pada kehamilan masih sering dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak karena pada masa kehamilan diyakini anak yang dalam kandungan bila tidak dijaga dengan baik oleh kedua orang tua mereka semasa masih dalam kandungan maka biasanya akan mendapatkan sanksi atau bala dari orang tua yang tidak mengikuti pantang larang tersebut. Pantang larang yang diyakini mempunyai unsur sanksi yang akan nampak kepada anak bila tidak dijaga oleh orang tua adalah pantang larang untuk membunuh binatang. Makna pesan pantang larang pada masa kehamilan agar calon ibu dan bapak dapat mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang baik, mulai dari masa awal kehamilan sampai pada masa mela hirkan, selain itu makna pesan pantang larang ini agar dibuat agar calon ibu dan bapak bisa mengetahui bagaimana proses manusia diciptakan.

Makna pesan pantang larang pada masa melahirkan masyarakat Melayu Pontianak adalah untuk pemulihan seorang ibu setelah melahirkan dalam pantang larang sama pentingnya pada waktu ibu sedang hamil. Seorang ibu harus memiliki tubuh yang sehat baik jasmani dan rohani. Pantang larang setelah kelahiran saat ini sangat terngantung pada diri ibu itu sendiri. Pantang larang yang dibuat oleh

(32)

orang tua mengisyaratkan bahwa seorang ibu diberikan waktu yang cukup buat beristirahat selama empat puluh hari setelah mengalami proses kehamilan.

Perbedaan makna pesan tradisi pantang larang pada generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya pada tradsi pantang larang yaitu pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan ge nerasi muda terhadap tradisi pantang larang. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Sedangkan pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada tradisi pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak .

Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti, pelaksanaan akan tradisi pantang larang ini masih tetap dilaksanakan oleh generasi tua dan generasi muda, tetapi tidak semua generasi muda tentunya yang mengerti dan memahami makna pesan pantang larang, mereka hanya melaksanakan sebagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang anak dan anggota kemasyarakatan.

Adanya perubahan pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalani tradisi pantang larang, dapat dilihat pada beberapa faktor yaitu, faktor penduduk yang heterogen, pendidikan formal yang maju dan faktor sikap masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait