• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Agroklimat Klasifikasi Oldeman di Provinsi Bengkulu Menggunakan Data Observasi Permukaan dan Multi Satelit (TMPA dan IMERG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemetaan Agroklimat Klasifikasi Oldeman di Provinsi Bengkulu Menggunakan Data Observasi Permukaan dan Multi Satelit (TMPA dan IMERG)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

485

Pemetaan Agroklimat Klasifikasi Oldeman di Provinsi Bengkulu

Menggunakan Data Observasi Permukaan dan Multi Satelit

(TMPA dan IMERG)

Oldeman Classification of Agroclimate Mapping in Bengkulu Province Based

on Ground Observation and Multisatellite data (TMPA and IMERG)

Jaka Anugrah Ivanda Paski*), Alpon Sepriando, Gita Ivana S. L. Faski, M. Fajar Handoyo

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

*)E-mail: jaka.paski@yahoo.com

ABSTRAK - Klasifikasi iklim menurut Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air yang dihubungkan dengan pertanian menggunakan unsur iklim hujan, terutama pada tanaman pangan (Padi dan Jagung). Penyusunan tipe iklim ini berdasarkan jumlah bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) yang berlangsung secara berturut-turut. Bengkulu memiliki lebih dari 60 titik pengamatan hujan, namun data terakhir menujukkan pos hujan yang telah melakukan pengamatan dengan durasi lebih dari 19 tahun dengan kualitas data baik hanya terdapat 13 pos pengamatan hujan dan 3 stasiun BMKG. Jumlah titik observasi permukaan yang minim tidak dapat menghasilkan peta agroklimat Oldeman yang baik, karena banyak wilayah yang tidak diwakili oleh titik pengamatan. Untuk melengkapi kekurangan titik pos hujan maka digunakan data multi satelit, yaitu produk TMPA dan IMERG. TMPA (TRMM Multisatellite Precipitation Analysis) dan IMERG (Integrated Multisatellite Retrievals for GPM) level 3(3B43). Produk TMPA dan IMERG adalah data estimasi curah hujan menggunakan satelit dengan resolusi spasial 0,25o x 0,25o, periode data yang digunakan dari tahun 1998 sampai 2016. Penggunaan data satelit diawali dengan validasi terhadap titik pos hujan terpilih. Hasil penelitian menunjukan bahwa wilayah Bengkulu memiliki empat tipe iklim Oldeman yaitu: iklim A1, B1, C1, dan D1. Sebagian besar zona Agroklimat di Bengkulu adalah zona A1.

Kata kunci: agroklimat, satelit, Oldeman, hujan

ABSTRACT - The classification of climate according to Oldeman is based on the amount of water demand associated with agriculture using rainfall rate, especially in Rice and Corn. The compilation of this type of climate is based on the number of wet months (BB) and dry months (BK) which occurred simultaneously. Bengkulu has more than 60 points of rainfall observation. Of all these points, only 16 of them are operational for more than 19 years. 13 of them are the observation station, and the rest are BMKG stations. These limited amount of observation points would not provide sufficient Oldeman map. To overcomem the rainfall observation point deficiency, multi-satellite data are used, ie TMPA and IMERG products. TMPA (TRMM Multisatellite Precipitation Analysis) and IMERG (Integrated Multisatellite Retrievals for GPM) level 3 (3B43). TMPA and IMERG products are satellite precipitation estimates using satellites with spatial resolution of 0.25 o x 0.25 o, acquired from 1998 to 2016. These satellite data were used for validation of selected rain post. The results showed that the Bengkulu region has four types of climate Oldeman namely: climate A1, B1, C1, and D1. Most of the Agroclimate zone in Bengkulu is zone A1.

Keywords: agroclimate, satellite, Oldeman, rainfall

1. PENDAHULUAN

Informasi iklim sangat diperlukan terutama dalam bidang pertanian. Indonesia yang merupakan negara agraris, sangat memerlukan informasi iklim terutama klasifikasi iklim pada setiap wilayahnya. Sistem klasifikasi iklim yang banyak digunakan di Indonesia adalah klasifikasi Oldeman. Klasifikasi Oldeman digunakan karena mengaitkan hubungan antara iklim, jenis tanaman, dan waktu tanam yang sesuai di suatu tempat. Klasifikasi iklim Oldeman memakai unsur curah hujan sebagai dasar penentuan klasifikasi iklimnya. Pola curah hujan dalam setahun memegang peranan penting dalam pembuatan informasi klasifikasi iklim pada suatu wilayah.

Pola curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal seperti yang telah dijelaskan Bannu (2003). Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) berkaitan erat dengan variasi curah hujan tahunan dan semi-tahunan di wilayah Indonesia (Aldrian dan Susanto, 2003; Tjasyono, 2004). Monsun ini

(2)

486

mengatur iklim di bagian benua India yang menghasilkan adanya musim hangat basah dan musim dingin kering (Berliana, 1995). Sirkulasi angin lokal juga turut mempengaruhi kondisi iklim terutama proses sirkulasi angin darat dan angin laut. Periode angin monsun adalah musiman, sedangkan angin darat dan laut adalah harian (Tjasyono, 2006).

Provinsi Bengkulu merupakan wilayah pesisir yang terletak di pantai barat Sumatera berbatasan langsung dengan samudera Hindia dan disebalah timur dikelilingi oleh barisan pegunungan bukit barisan, hal ini menyebabkan provinsi Bengkulu memiliki kondisi cuaca yang sangat khas. Aliran massa udara yang berasal dari penguapan tinggi di Samudra Hindia yang bergerak menuju provinsi Bengkulu terangkat naik setelah terhalang oleh pegunungan Bukit Barisan sehingga pertumbuhan awan-awan konvektif sangat intensif. Wilayah Bengkulu umumnya memiliki tipe hujan ekuatorial dengan puncak hujan maksimum pada bulan Maret dan Desember (Paski, 2015).

Jika dilihat dari faktor letak geografis dan topografi, klasifikasi iklim sangat dibutuhkan untuk wilayah Bengkulu, namun Provinsi Bengkulu hanya memiliki sedikit titik pengamatan hujan. Data terakhir menujukkan pos hujan yang telah melakukan pengamatan dengan durasi lebih dari 19 tahun dengan kualitas data yang baik adalah 13 pos hujan kerjasama dan 3 stasiun BMKG. Jumlah titik pos hujan yang minim tidak dapat menghasilkan peta agroklimat Klasifikasi Oldeman yang optimal, untuk melengkapi kerenggangan titik pos hujan maka ditambahkan data estimasi curah hujan satelit. Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah pada penelitian ini bagaimana persebaran zona agroklimat klasifikasi Oldeman di Provinsi Bengkulu. Kriteria yang dikemukakan oleh Oldeman didasarkan pada banyaknya Bulan Basah (BB) dan Bulan Kering (BK). Dari perhitungan yang dilakukan jumlah curah hujan 200mm/bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah. Untuk curah hujan sebesar 100mm/bulan dipandang cukup untuk membudidayakan palawija. Oldeman (1975) dalam Tjasyono (2004) juga mendefinisikan bulan basah sebagai bulan dengan total curah hujan > 200mm/bulan dan bulan kering sebagai bulan dengan < 100mm/bulan, sedang bulan dengan curah hujan antara 100mm–200mm sebagai bulan lembab. Tipe utama klasifikasi Oldeman didasarkan pada jumlah bulan basah berturut-turut, yaitu: zona A, zona B, zona C, zona D, dan zona E. Sedangkan subtipenya didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut yaitu: zona 1, zona 2, zona 3 dan zona 4 (Lakitan, 1994). Karakteristik zona-zona tersebut berbeda satu dan lainnya yang disebut zona agroklimat. Zona agroklimat kemudian dipetakan menjadi peta agroklimat yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi acuan tanam baik pertanian maupun perkebunan.

2. METODE

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 1 Kota dan 8 Kabupaten dengan luas wilayah 19.788 km2. Data yang digunakan adalah data curah hujan bulanan dari 13 titik pos hujan di Bengkulu juga data estimasi curah hujan satelit TMPA (TRMM Multisatellite Precipitation Analysis) dan IMERG (Integrated Multisatellite Retrievals for GPM) level 3(3B43). Produk TMPA dan IMERG adalah data estimasi curah hujan menggunakan satelit dengan resolusi spasial 0,25o x 0,25o, periode data yang digunakan dari tahun

1998 sampai 2016. Grid TRMM dan GPM yang digunakan mencakup wilayah Bengkulu yaitu 5º 40' LS - 2º 0' LS dan 100º 40' BT - 104º 0' BT. Data pos hujan tersebar dari berbagai kota dan kabupaten, seperti Tabel 1.

Jumlah titik pos hujan serta stasiun BMKG berjumlah 16 dan jumlah titik grid satelit (TRMM dan GPM) berjumlah 169, sehingga jumlah data yang digunakan berjumlah 185 titik (lihat Gambar 1). Keterbatasan data curah hujan dari pos hujan, melatarbelakangi penggunaan data satelit (TRMM dan GPM), data satelit digunakan sebagai pelengkap dari kerenggangan titik pos hujan. Pada kajian ini digunakan data TRMM tipe 3B43 Versi 7, disingkat 3B43V7, yang dapat diunduh pada situs http://disc.sci.gsfc.nasa.gov, data TRMM dan GPM 3B43V7 merupakan data estimasi curah hujan level 3 yang telah dilakukan berbagai koreksi, termasuk penambahan data satelit lain. Meskipun data satelit telah melalui koreksi, namun untuk penelitian dan pembuatan peta Agroklimat tetap memerlukan koreksi lanjutan. Format data unduhan TRMM dan GPM berupa netCDF (network Common Data Form), dimana data netCDF (.nc) diekstraksi sesuai dengan grid yang ditentukan dan di konversi menjadi format ASCII. Ekstraksi dan konversi data menggunakan bahasa program Python 2.7.

(3)

487

Tabel 1. Lokasi Pos Hujan

Lokasi Kota/Kabupaten Lintang Bujur

Air Bening Rejang Lebong -3.518 102.443

Air Muring Bengkulu Utara -3.210 101.680

Batu Roto Bengkulu Utara -3.474 102.299

Bukit Kaba Rejang Lebong -3.486 102.650

Giri Mulya Bengkulu Utara -3.337 102.047

Kabawetan Kepahiang -3.604 102.594

Kanpel Linau Kaur -4.838 103.414

Karang Pulau Bengkulu Utara -3.304 101.740

Kelobak Kepahiang -3.618 102.620

Kembang Mumpo Seluma -4.310 102.756

Stasiun Meteorologi Kota Bengkulu -3.858 102.333

Stasiun Geofisika Kepahyang -3.651 102.581

Stasiun Klimatologi Kota Bengkulu -3.861 102.311

(a) (b)

Gambar 1. Sebaran Pos (a) Hujan dan Sebaran titik grid TMPA dan IMERG (b)

Koreksi data pos hujan menggunakan data TRMM dan GPM dilakukan dengan membandingkan rata-rata curah hujan bulanan pos hujan dengan data TRMM pada grid yang sama. Perbandingan data pos hujan dan data estimasi satelit menghasilkan persamaan regresi linier, sehingga didapatkan 12 persamaan regresi linier pada masing-masing bulan. Persamaan linier tersebut sebagai faktor koreksi untuk menentukan data TRMM dan GPM terkoreksi. Selanjutnya data estimasi satelit terkoreksi digabungkan dengan data pos hujan, masing-masing data dilakukan klasifikasi bulan basah (>200 mm) dan bulan kering (<100 mm). Hasil klasifikasi bulan basah dan bulan kering digunakan sebagai dasar penentuan klasifikasi Oldeman. Untuk klasifikasi Oldeman sebanyak 185 titik menggunakan bahasa program Python. Hasil klasifikasi Oldeman tiap titik kemudian dipetakan dengan metode interpolasi IDW (Inverse Distance Weighting) menggunakan aplikasi ArcGIS 10.1. Klasifikasi iklim Oldeman pada penelitian ini menggunakan data curah hujan rata-rata bulanan selama 19 tahun (1998-2016), curah hujan rata-rata bulanan dibagi menjadi bulan basah dengan kriteria lebih dari 200 milimeter dan bulan kering kurang dari 100 milimeter. Jumlah curah hujan 200 milimeter tiap bulan dipandang cukup dalam pembudidayaan pada sawah, sedangkan sebagian besar palawija memerlukan minimal 100 milimeter tiap bulan (Tjasyono, 2004). Perhitungan dalam penetuan klasifikasi Oldeman menggunakan

(4)

488

pedoman Tabel 2, klasifikasi Oldeman menghasilkan zona agroklimat dengan inteprtasi seperti pada Tabel 3. Hasil dari pengolahan data kemudian dipetakan menjadi peta agroklimat klasifikasi iklim Oldeman.

Tabel 2. Tipe Utama Klasifikasi Oldeman

Tipe  Bulan basah

(CH > 200 mm)  Bulan Kering ( CH < 100 mm) A1 > 9 bulan < 2 bulan A2 > 9 bulan 2 bulan B1 7 - 9 bulan > 2 bulan B2 7 - 9 bulan 2 - 3 bulan B3 7 - 9 bulan 4 -5 bulan C1 5 - 6 bulan < 2 bulan C2 5 - 6 bulan 2 - 3 bulan C3 5 - 6 bulan 4 - 6 bulan C4 5 - 6 bulan 7 bulan D1 3 - 4 bulan < 2 bulan D2 3 - 4 bulan 2 - 3 bulan D3 3 - 4 bulan 4 -6 bulan D4 3 - 4 bulan 7 - 9 bulan E1 < 3 bulan < 2 bulan E2 < 3 bulan 2 - 3 bulan E3 < 3 bulan 4 - 6 bulan E4 < 3 bulan 7 - 9 bulan E5 < 3 bulan 10 -12 bulan

Tabel 3. Interpretasi Klasifikasi Oldeman

Tipe Iklim Keterangan

A1 ; A2 Sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya intensitas radiasi rendah sepanjang tahun B1 Sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim tanam yang baik. Produksi tinggi bila panen musim kemarau B2; B3 Dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk tanaman palawija

C1 Tanam padi dapat sekali dan palawija dua kali setahun

C2; C3; C4 Setahun hanya dapat satu kali tanam padi dan penanaman palawija kedua harus berhati-hati jangan jatuh pada bulan kering D1 Tanam padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bias tinggi karena kerapatan fluks radiasi tinggi. Waktu tanam palawija cukup D2; D3; D4 Hanya mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun, tergantung pada adanya persediaan air irigasi E Daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung adanya hujan

(5)

489

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data 13 pos hujan kerjasama dan stasiun BMKG di wilayah Bengkulu (Tabel 4), terlihat rata-rata curah hujan bulanan di beberapa wilayah memiliki bulan basah (>200 mm) lebih banyak dibanding bulan kering (<100 mm). Bahkan pos hujan Baturoto dalam setahun terdapat 12 bulan basah dengan rata-rata curah hujan bulanan tertinggi mencapai 598 mm di bulan November dan terendah mencapai 298 mm di bulan Juni. Dalam penentuan klasifikasi iklim dan pembuatan peta agroklimat, data curah hujan rata-rata bulanan dari TRMM dikoreksi terhadap data pos hujan. Dari perhitungan kemudian dihasilkan faktor koreksi berupa regresi linier, dengan y adalah curah hujan estimasi dan x adalah curah hujan TRMM, didapat faktor koreksi seperti pada Gambar 2.

Tabel 4. Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1998-2016 (mm)

Nama_Pos Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Air Bening 267 212 210 288 216 145 179 177 192 249 294 303 Air Muring 287 223 229 259 192 213 192 271 286 355 370 342 Baturoto 512 398 432 532 422 298 377 308 396 421 598 472 Bukit Kaba 257 191 204 284 180 113 142 156 143 237 269 258 Girimulyo 320 266 265 315 280 269 216 236 224 366 399 349 Kabawetan 387 290 326 314 219 139 181 148 164 268 408 426 Kanpel Linau 234 199 177 176 223 153 165 232 255 287 428 342 Karang Pulau 242 182 195 240 167 166 160 241 206 286 350 231 Kelobak 398 331 410 395 272 120 171 139 145 305 474 490 Kembang Mumpo 260 186 195 213 165 135 191 216 290 305 390 309 Kuro Tidur 283 231 227 258 233 211 182 210 218 373 341 306 Manna 284 260 237 235 219 168 269 303 409 414 468 415 Medan Jaya 266 229 173 250 164 171 185 234 250 269 382 291 Stasiun Meteorologi 348 260 293 296 210 173 191 210 196 279 420 447 Stasiun Geofisika 355 302 306 318 196 132 134 114 140 267 384 423 Stasiun Klimatologi 340 271 311 281 213 205 187 203 209 273 437 481

(6)

490

Gambar 2. Regresi Linear Data Observasi dan Satelit perbulan

Dari data observasi pos hujan kerjasama maupun stasiun BMKG di wilayah Provinsi Bengkulu, data digunakan untuk proses koreksi data estimasi curah hujan satelit TRMM dan GPM. Hasil koreksi data estimasi satelit seperti yang terlihat pada Gambar 2, digunakan untuk mengolah data estimasi curah hujan satelit setiap titik grid yang berjumlah 169. Hasil koreksi data tersebut diolah dan disesuaikan dengan klasifikasi iklim Oldeman hingga pemetaan dan menghasilkan peta agroklimat klasifikasi iklim Oldeman seperti terlihat pada Gambar 3. Perhitungan dalam penetuan klasifikasi Oldeman di wilayah Provinsi Bengkulu menggunakan pedoman Tabel 2, klasifikasi Oldeman menghasilkan zona agroklimat dengan inteprtasi seperti pada Tabel 3. Jika dilihat dari korelasi antara nilai estimasi curah hujan satelit terhadap nilai observasi pos hujan, nilai yang didapatkan sebagian besar diatas 0,5. Di beberapa bulan seperti Februari dan Oktober, nilai korelasi diatas 0,84. Hal ini menandakan bahwa curah hujan estimasi satelit sudah cukup baik. Untuk bulan Mei korelasi antara nilai estimasi curah hujan satelit terhadap nilai observasi pos hujan kurang baik, dimana nilai korelasi hanya mencapai 0,4392.

(7)

491

Gambar 3. Peta Agroklimat Oldeman Provinsi Bengkulu

Berdasarkan peta hasil persebaran agroklimat klasifikasi iklim Oldeman (lihat Gambar 3), Provinsi Bengkulu memiliki 4 tipe iklim yaitu tipe A1, B1, C1, dan D1. Dari 19.788 km2 luas Bengkulu, mayoritas

bertipe iklim A1 yang mencapai 83,9 %, bertipe iklim A1 sebanyak 4,8%, bertipe iklim C1 sebanyak 1,2% dan bertipe iklim D1 sebanyak 0,1%. Untuk wilayah Kabupaten Lebong dan Bengkulu Selatan hanya memiliki satu klasifikasi iklim yaitu A1. Kabupaten Muko-muko dan Kota Bengkulu memiliki 2 tipe iklim yaitu A1 dan B1. Untuk wilayah kabupaten yang memiliki 3 tipe iklim (A1, B1, dan C1) yaitu Bengkulu Utara, Seluma dan Kaur. Khusus untuk Kabupaten Rejang Lebong memiliki 4 tipe iklim yaitu A1, B1, C1, dan D1. Luasnya tipe iklim A1 menandakan bahwa berdasakan faktor curah hujan sebagian besar wilayah di Bengkulu sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya intensitas radiasi rendah sepanjang tahun. Sebanyak 4,8% wilayah di Bengkulu sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim tanam yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau, untuk wilayah yang tanam padi dapat sekali dan palawija dua kali setahun sebanyak 1,2% dan wilayah tanam padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bias tinggi karena kerapatan fluks radiasi tinggi dengan waktu tanam palawija cukup sebanyak 0,1%.

4. KESIMPULAN

Dari observasi 13 pos hujan kerjasama dan 3 stasiun BMKG di wilayah Bengkulu menunjukan rata-rata curah hujan bulanan memiliki bulan basah (>200 mm) yang lebih banyak dibanding bulan kering (<100 mm). Penambahan data estimasi curah hujan dari citra satelit dapat menambah kerapatan dan sebaran curah hujan di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan koreksi linier, sehingga menghasilkan peta Klasifikasi Oldeman yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar wilayah di Provinsi Bengkulu masuk dalam zona iklim Oldeman A1, yang berarti sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena pada umumnya intensitas radiasi rendah sepanjang tahun.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Pada akhir penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada kepala sub-bidang pengelolaan citra satelit BMKG beserta staf yang telah membantu dalam penyediaan dan diskusi dalam pengolahan data satelit Himawari-8 sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

(8)

492

6. DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. dan Susanto, R.D. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. J. Climatol, 23:12, 1435-1452.

Bannu. (2003). Analisis Interaksi Monsun, Enso dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia, Tesis, ITB, Bandung.

Berliana, S. (1995). The Spectrum Analysis of Meteorological Elements in Indonesia, Thesis, Nagoya University, Japan. Lakitan, B. (1994). Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Oldeman L.R. dan M. Frere. (1982). A Study of the Agroclimatology of the Humid Tropics of South-east Asia. WMO Interagency Project on Agroclimatology.

Paski, J. A. I dan Anjasman. (2015). Penggolongan Sel Awan Konvektif Penyebab Angin Kencang di Pesisir Barat Bengkulu Berdasarkan Gema Citra Radar (Studi Kasus 22 Februari 2014). Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG Jakarta).

Tjasyono, B. (2004). Klimatologi. Ed. Ke-2. Penerbit ITB, Bandung

Gambar

Gambar 1. Sebaran Pos (a) Hujan dan Sebaran titik grid TMPA dan IMERG (b)
Tabel 2. Tipe Utama Klasifikasi Oldeman
Tabel 4. Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1998-2016 (mm)
Gambar 2. Regresi Linear Data Observasi dan Satelit perbulan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan citra satelit ALOS dan melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai, pola dan sebaran suhu permukaan laut berdasarkan data citra satelit Aqua MODIS, Terra MODIS dan NOAA AVHRR, serta

Selain itu, Nugroho, et al., (2014) melakukan penelitian mengenai verifikasi data estimasi curah hujan dari Satelit TRMM dan pos pengamatan hujan BMKG di

Penggunaan tiga data citra satelit pada lokasi yang sama dan waktu yang berbeda yaitu 2003, 2013, dan 2018, menghasilkan tiga peta potensi longsor dengan seri waktu yang

Secara umum dari parameter evaluasi ketelitian tahap simulasi, pemodelan hidrologi hujan-aliran IFAS yang menggunakan data hujan curah satelit lebih baik dengan

Untuk menentukan kondisi agar data hujan satelit TRMM dapat digunakan dalam analisa kekeringan, maka nilai RMSE dari hasil perhitungan dengan : tanpa koreksi, koreksi

Berikut adalah tahapan penelitian yang akan dilakukan dalam proses penelitian yang berjudul “Pengolahan Citra Satelit NOAA Frekuensi 137,9 MHz Menggunakan Morfologi Erison “

Penelitian ini bertujuan membuat algoritma untuk estimasi parameter kualitas perairan berupa konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL) dengan menggunakan citra