• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyimak Kenyataan Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui Rekonstruksi Pemikiran Rousseau Oleh: H.M. Thalhah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menyimak Kenyataan Politik dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui Rekonstruksi Pemikiran Rousseau Oleh: H.M. Thalhah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: H.M. Thalhah ∗ Abstrak

Pada realitasnya, sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia saat ini lebih bertumpu pada legislative heavy. Seiring dengan proses tersebut, ternyata banyak kesalahan yang terjadi. Persoalannya sebenarnya bukan terletak pada sistem semata, akan tetapi lebih dari itu, merujuk kepada kesalahan individu-individu yang duduk di kursi legislatif. Inilah yang kemudian menarik untuk diteliti menggunakan pemikiran Jean Jacques Rosseau. Teori yang diperkenalkan Rosseau sangat membantu kajian, siapa yang tepat untuk menduduku peran dan posisi pada lembaga tersebut. Merujuk pada metode kesejarahan yang pernah dilakukan oleh Rosseau, kesalahan kerajaan Roma dalah membiarkan peran legislator yang begitu besar. Banyak terjadi korupsi dan moralitas bukan menjadi sebuah pegangan dalam melihat konteks ketatanegaraan. Kesalahan inilah yang kemudian menyebabkan kerajaan Roma mengalami keruntuhan. Dengan sedikit mendalami filsafat Rousseau, akan sedikit menguak peran sesungguhnya dari para legislator tersebut.

Kata kunci: sistem ketatanegaraan, Jean Jacques Rosseau

A.Pendahuluan

Pemilu 2009 sudah berada di depan mata. Partai politik semakin berlomba-lomba mendapatkan simpati masyarakat. Pelbagai bentuk iklan politik semakin mengejawantah dalam media massa, baik yang berada dalam jangkauan lokal maupun yang berada dalam wilayah nasional. Kemunculan partai politik baru menambah daftar banyaknya partai politik yang mencoba peruntungannya di Pemilu mendatang.

Ruang publik penuh dengan slogan politik dan pemandangan visi misi partai yang kesemuanya bermuara kepada keinginan untuk memperbaiki keadaan bangsa. Selain itu, ada sebuah gejala yang cukup menarik, yang patut untuk ditelisik lebih lanjut. Dalam kancah perpolitikan nasional, tradisi petualangan politik dari para pelaku politik cukup kental terasa. Mereka, para petualang politik ini, tiada bosan-bosannya untuk melakukan manuver politik. Hal ini terutama bisa dirasakan secara gamblang sesaat menjelang Pemilu.

Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro, juga mengajar pada Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Lulus S-3 dari Program Pascasarjana Ilmu Hukum UII Yogyakarta.

(2)

Secara tidak sadar, apa yang mereka lakukan berorientasi kepada kekuasaan lewat politik praktis ini. Sejalan dengan kenyataan ini, patut direnungkan apa yang telah dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau,

seorang filsuf berhaluan calvinis1 yang hidup pada abad pertengahan.

Rosseau menyebut fenomena, yang sekarang terjadi di Indonesia, bisa dianggap sebagai sebuah langkah awal menuju kehancuran. Ini dikarenakan kepentingan individu jauh melampaui kepentingan bersama, yang pada hakekatnya, kenyataan ini merupakan lawan dari teori perjanjian sosial (du contract social) yang ia canangkan dan menjadi bahan ajar para filosof selanjutnya.

Secara sepintas, teori perjanjian sosial ini mengejawantahkan adanya keseimbangan antara kebebasan manusia dengan ketidakbebasan manusia yang terjadi ketika manusia tersebut membentuk sebuah kesatuan, yang pada nantinya terasosiasi menjadi sebuah negara. Pokok perhatian pada perjanjian sosial ini adalah menemukan sebuah bentuk kesatuan, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik setiap orang, sehingga karena itu semuanya dapat bersatu, akan tetapi meskipun demikian masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala.2

Jika teori perjanjian sosial yang dikemukakan oleh Rosseau ini diabaikan begitu saja akan berimbas pada minimnya partisipasi politik masyarakat Indonesia. Dalam demokrasi, suara rakyat lewat partisipasi politik adalah esensi dari demokrasi itu sendiri. Partisipasi politik adalah instrumen di mana masyarakat mengkomunikasikan semua keinginannya

kepada pemerintah.3

B.Analisis dan Pembahasan

a. Dari Masyarakat Menuju Sebuah Negara

Ketika masyarakat Indonesia menerima Pemilu sebagai sebuah mekanisme politik, maka mereka telah menerima demokrasi dengan sepenuhnya. Pemilu bersifat elementer bagi demokrasi dan merupakan tonggak utama bagi warga negara untuk bisa mengendalikan pemimpin politik mereka. Persoalannya adalah bagaimana masyarakat Indonesia yang

1 Banyak pemikir di abad modern yang menyatakan bahwa pemikiran Rosseau

banyak diilhami oleh teolog Kristen, Yohannes Calvin. Di lain sisi, pemikiran Calvin ini memang menjadi sebuah trend setter bagi banyak perubahan di Eropa.

2 Soehino, Ilmu Negara, Cet. II, (Yogyakarta: Liberty, 2002), p. 119.

3 Zezen Zaenal Muttaqien, Survei dan Demokrasi,

(3)

majemuk itu mampu menunjukkan partisipasi politik mereka melalui cara-cara yang beradab?

Sebuah elaborasi dari pernyataan tersebut tertuju pada kenyataan bahwa selain minimnya partisipasi politik, ternyata, tingginya persentase pemilih juga belum tentu menjamin partisipasi politik yang berkualitas dan efektif. Oleh karenanya, partisipasi politik juga mencakup usaha-usaha penyadaran dan pendidikan politik. Kehidupan politik yang ideal juga ditentukan oleh kesadaran dan kedewasaan berpolitik, seperti penekanan pada substansi atau nilai ketimbang simbol politik dan program ketimbang penokohan. Kualitas pemahaman terhadap ide dasar demokrasi menjadi nomor satu.

Lalu bagaimana Rousseau melihat hal ini? Pertama, perlu adanya kesepahaman untuk meredam konfik kepentingan. Kedua, perlu adanya kesadaran untuk menilai bahwa demokrasi adalah sebuah proses. Pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah proses bisa di telisik dari pernyataan Rousseau, bahwa jika kita menempatkan demokrasi secara kaku dan ideal, tidak akan pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak

akan pernah ada demokrasi.4

Kembali kepada konteks perlunya sebuah kesepahaman untuk meredam konflik kepentingan. Pada dasarnya manusia adalah sekumpulan individu yang lahir dan besar dalam sebuah kebudayaan yang telah ada sebelum mereka lahir. Kebudayaan itu begitu dalam mempengaruhi dan

begitu besar peranannya dalam membentuk pemikiran seseorang.5

Ketika merujuk pada realitas, sistem politik adalah sebuah derivasi atas kebijakan negara yang mana merupakan manifestasi dari kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat. Mengenai eksistensi kekuatan dominan dalam negara, secara tidak langsung, Satjipto Rahardjo pernah menyinggung permasalahan ini. Menurutnya, kekuatan dominan dalam sebuah negara akan berusaha untuk memaksakan kehendaknya agar diterima oleh lapisan-lapisan lain di dalam masyarakat. Semakin tinggi kekuatan kelompok dominan tersebut dalam segi ekonomi maupun politik, semakin besar pula kemungkinannya bahwa pandangan serta kepentingannya akan tercermin dalam hukum yang merupakan produk

politik sebuah negara.6

4 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cet. I, (Jakarta:

Visimedia, 2007), p. 113.

5 George Boeree, Personality Theories, Cet. II, (Yogyakarta: Prismasophie, 2005), p.

15.

6 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Cet. X, (Bandung: Angkasa, 1980), p.

(4)

Merujuk pada pendapat Satjipto tersebut, kekuatan dalam negara dalam realitas empiriknya bukanlah masyarakat secara utuh, namun adanya kelompok dominan dalam masyarakat itu sendiri. Secara otomatis kebijakan yang dikeluarkan oleh negara (terutama produk hukum) bukanlah pencerminan terhadap kemauan masyarakat semata, tetapi berdasar atas kompromi-kompromi yang terjadi dengan asumsi dasar

langgengnya kekuasaan kelompok dominan dalam masyarakat.7

Kompromi-kompromi yang terjadi dengan tujuan untuk

melanggengkan kekuasaan kelompok dominan merupakan definisi negara yang diasumsikan oleh Miriam Budiardjo. Negara menurut Miriam Budiardjo adalah merupakan integrasi daripada kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara dalam hal ini adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan

menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.8

Franz Magnis Suseno menginterprestasikan bahwa dalam pandangan Marx, negara tidak mengabdi terhadap seluruh kepentingan masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan-kepentingan

kelas-kelas sosial9 tertentu saja, menjadi alat suatu kelas dominan untuk

mempertahankan kedudukan mereka.10

Kelompok dominan yang berusaha mendominasi negara dan sistem politik, akan melakukan konsep dominasi demi tercitanya kelanggengan kekuasaan. Konsep dominasi ini dipahami dalam kerangka bahwasanya kelompok dominan akan menggunakan cara–cara kekerasan untuk menguasai masyarakat sipil. Ini bisa dibuktikan dengan keberadaan aparatur negara (polisi, tentara) yang menggunakan tindakan represif terhadap kaum oposan yang melawan kelompok dominan.

Inilah yang terjadi pada saat ini. Di sebagian besar masyarakat Indonesia muncul pemahaman bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, menghalalkan segala cara dan menisbikan orang lain demi mendapatkan kekuasaan. Kenyataan ini sebenarnya sangat merugikan.

Pasalnya, ketika pemahaman negatif ini tidak dikikis habis, maka proses demokrasi yang sedang kita jalankan akan berjalan di tempat

7 Lihat dan cermati Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta:

LP3S-UII Press), p. 14.

8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. X, (Jakarta: Gramedia, 1986), p.

38.

9 Pengertian mengenai mengenai kelas-kelas sosial (stratification) secara sederhana

dapat dibaca dalam Satjipto Rahardjo, Hukum,p. 40.

10 Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta:

(5)

(involutif) karena minimnya partisipasi politik masyarakat. Anggapan bahwa politik hanyalah mencari kekuasaan, menjadi wacana yang terus menerus didengungkan. Padahal, politik hanyalah salah satu elemen dari keseluruhan proses demokrasi.

Untuk itu, ada baiknya kita mencoba rekonstruksi kembali pemikiran Rousseau mengenai masyarakat dan bersatunya masyarakat dalam sebuah negara. Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bebas. Meskipun begitu, manusia mengalami sebuah proses untuk menjadi dewasa.

Dalam proses tersebut, manusia selalu mempunyai kekuatan perekat yang kemudian disebut sebagai keluarga. Keluarga inilah yang dianggap olah Rousseau sebagai masyarakat awal atau masyarakat yang pertama. Keluarga merupakan leluhur dari semua kelompok masyarakat dan merupakan satu-satunya kelompok sosial yang paling alami. Rousseau juga mengasosiasikan bahwa keluarga ini bisa dijadikan sebuah contoh bagi masyarakat politik. Penguasa diidentikkan sebagai ayah dan anak-anaknya bertindak sebagai masyarakat di bawah kekuasaan penguasa tersebut. 11

Terbentuknya sebuah negara sebenarnya berangkat dari konsensus antar masyarakat, yang sebelumnya berasal dari kelompok politik terkecil yang disebut keluarga. Konsensus antarmasyarakat pada sebuah wilayah ini yang pada akhirnya saling mengenal dan membentuk komunitas. Sebuah syarat bagi terbentuknya negara adalah adanya sebuah konsensus yang dijadikan patokan dan acuan bagi kehidupan. Ini dilakukan agar tidak terjadi pergolakan dan konflik antarkomunitas. Hal inilah yang kemudian pada nantinya disebut sebagai “hukum”.

Secara teoretis Rousseau tidak menolak persamaan antara negara, pemerintahan, dan kekuasaan. Ada dinding yang cukup tebal di antara tiga item tersebut. Menurut Rousseau, negara adalah sebuah bentuk pasif dari kesatuan komunitas yang terbentuk berdasarkan kolektivitas yang tinggi, sedangkan pemerintahan adalah bentuk pasif dari pengertian di atas.

Disebut sebagai kekuasaan, apabila pemerintahan tersebut

diperbandingkan dengan kekuasaan yang setara lainnya.12

b. Siapa Pemegang Ideal Kekuasaan Legislatif Versi Rousseau?

Sebelum memasuki ranah legislatif, ada baiknya mereview sistem ketatanegaraan di Indonesia. Garis besar sistem politik Indonesia menurut Hasil Amandemen ke-4 UUD 1945, adalah sebagai berikut: Sistem

11 Jean Jaqcues Rosseau, Du Contract, p. 5. 12 Ibid., p. 25.

(6)

pemerintahan kita adalah sistem presidensial, di mana presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilu yang demokratis. Sistem kepartaian kita adalah sistem multipartai (banyak partai). Pembentukan partai politik dijamin oleh konstitusi sebagai sebuah konsekuensi logis dari hak kebebasan politik untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Konstitusi kita menganut sistem demokrasi langsung. Sistem pemilu kita ditentukan oleh UU (pada pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan memilih tanda gambar; pada pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka; dan pada pemilu 2009 telah ditetapkan memakai sistem proporsional terbuka terbatas dengan angka bilangan pembagi pemilih (BPP) 30%). Pemilu diselenggarakan untuk memilih: Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; Anggota DPD; Presiden dan Wakil Presiden; Kepala Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Sistem perwakilan kita dimodifikasi dengan disepakatinya pembentukan lembaga baru yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPD dan anggota DPR adalah merupakan anggota lembaga MPR. Anggota DPD dipilih melalui pemilu yang demokratis. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Sistem peradilan kita juga dimodifikasi dengan disepakati pembentukan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), yang memiliki kewenangan di seputar pengkajian aspek konstitusional. Adanya amanat penyelenggaraan otonomi daerah secara luas.

Dalam konteks yang lebih umum, pemerintahan dalam arti yang luas menyangkut kekuasaan dan kewenangan dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sedangkan pengertian pemerintah dalam arti sempit itu sendiri hanya dimaknai sebagai kekuasaan eksekutif. Dari ketiga bidang dalam pemerintahan yang disebutkan di atas secara tradisional dibagi menjadi:

1) bidang legislatif, yang bertugas untuk melakukan pengawasan kepada

bidang eksekutif;

2) bidang eksekutif, yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan

pemerintahan; dan

3) bidang yudikatif, yang berperan sebagai wasit dalam konteks hubungan

legislatif dan eksekutif.

Gabriel Almond menyatakan bahwa pihak legislatif berfungsi sebagai rule making, sedangkan kekuasaan eksekutif pada dasarnya melakukan apa yang disebut dengan mengaplikasikan (rule application) apa yang sudah ditentukan dan ditetapkan, serta pihak yudikatif memiliki kewenangan judikasi terhadap penyimpangan atau penyelewengan dalam

(7)

mengeksekusikan keputusan dan aturan yang sudah ditetapkan (rule adjudication).8

Kita sudah melihat secara sepintas garis besar ketatanegaraan Indonesia, di samping itu kita juga sudah melihat fungsi-fungsi badan di bidang pemerintahan secara ideal. Merujuk pada realitas di Indonesia, banyak permasalahan menyangkut para wakil rakyat yang berfungsi sebagai legislator (DPR). Tuduhan korupsi, etika yang buruk, minimnya kinerja, serta banyaknya kepentingan masyarakat yang tidak terakomodir, menjadi sebuah pembahasan yang menarik. Bagaimana pandangan Rousseau terhadap hal ini?

Ia mengibaratkan bahwa legislator adalah insinyur yang menemukan mesin, sedangkan raja hanyalah mekanik yang menjalankan dan mengoperasikan mesin tersebut. Legislator menduduki posisi yang luar biasa terhormat dalam negara. Jika kemudian para legislator ini bermuka dua, bermoral buruk, maka ia mencontohkan keruntuhan Kerajaan Roma. Pada awal keruntuhan Roma, dimulai dari para legislator yang tidak mengetahui perannya secara pasti, banyak melakukan korupsi dan tidak mengetahui kepentingan masyarakatnya. Oleh karenanya, Rousseau sangat mengharap bahwa peran dan jiwa besar para legislator adalah salah satu

syarat untuk mengangkat kemuliaan sebuah negara.13

Posisi yang begitu terhormat dalam negara bukan berarti para legislator tersebut bisa berbuat seenaknya. Tetap ada syarat ketat, di mana posisi legislator tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan dan urusan

kehakiman.14 Kekuasaan legislator dibutuhkan ketika beranjak pada

sebuah kenyataan bahwa banyak kehendak bebas manusia saling bertentangan satu sama lain. Padahal dalam sebuah negara, kehendak bebas manusia harus terwujud ke dalam kehendak umum yang pada nantinya akan menjadi hukum.

Hanya saja kita perlu mencermati sedikit pernyataan Rousseau. Ia menyatakan bahwa secara umum, pemerintahan demokrasi cocok untuk satu negara kecil, pemerintahan aristokarsi untuk negara menengah, dan

pemerintahan monarki cocok untuk negara besar.15

8 Syaukani HR, dkk., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), p. 233.

13 Jean Jaqcues Rosseau, Du Contract, p. 72.

14 Apa yang dikemukakan oleh Rosseau sepintas hampir sama dengan apa yang

pernah diucapkan Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan. Hanya saja di dalam buku yang sama Rosseau tidak menenerangkan secara rigid mengenai pemisahan kekuasaan ini. Lihat Ibid., p. 67.

(8)

Pernyataan inilah yang mengusik banyak pemikir modern selanjutnya. Mungkin inilah salah satu kelemahan Rousseau. Sedikit mengganggu memang, padahal secara sepintas dikatakan bahwa demokrasi adalah sebuah proses dan Rousseau yakin akan hal itu. Hanya sejarah peradaban umat manusialah yang akan membuktikan kebenaran pernyataan Rousseau di atas.

C.Penutup

Demokrasi adalah sebuah tahapan atau proses yang harus dilalui oleh manusia sebagai sebuah perwujudan kehendak bebas manusia untuk melakukan kegiatan politik.

Peran legislator dalam sebuah negara adalah sangat besar, bahkan Rousseau menempatkan posisi yang terhormat dalam sebuah struktur ketatanegaraan.

Karena peran yang sangat besar inilah, individu yang duduk di dalam lembaga legislasi haruslah orang-orang yang terpilih, berwatak cerdas dan mampu merepresentasikan kehendak umum masyarakat di sekitarnya. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, sebuah negara akan mengalami kehancuran. Seperti kerajaan Roma yang hancur gara-gara sifat para legislatornya yang mementingkan diri sendiri dan banyak terjerembab dalam lubang korupsi.

Masyarakat Indonesia harus secara sadar mengetahu bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang membutuhkan kesabaran. Namun, demikian bukan berarti masyarakat bersifat pasif. Keaktivan dalam melakukan partisipasi politik ikut menentukan cepat tidaknya proses demokrasi itu berjalan pada sebuah negara.

Peran legislator (di Indonesia bisa disebut sebagai anggota DPR/DPRD) yang menempati posisi yang terhormat, jangan disikapi secara gegabah. Masyarakat sebagai konstituen harus tanggap menyikapi kinerja anggota legislator.

Masyarakat harus bisa melihat potensi dan kualitas para legislator secara bijak. Memilih mereka yang punya integritas, akan membawa perubahan nasib bangsa menuju ke arah yang lebih baik.

(9)

Daftar Pustaka

Boeree, George, Personality Theories, Cet. II, Yogyakarta: Prismasophie, 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. X, Jakarta: Gramedia, 1986.

Patria, Nezar dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Cet. X, Bandung: Angkasa, 1980.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cet. I, Jakarta: Visimedia, 2007.

Soehino, Ilmu Negara, Cet. II, Yogyakarta: Liberty, 2002.

Syaukani HR, dkk., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Zaenal Muttaqien, Survei dan Demokrasi,

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tanda nonverbal yang terdapat pada scene 4, 6, dan 7, menurut kode simbolik gerakan saling berpegangan tangan dan memegang bahu serta memanggul merupakan makna

[r]

Studi ini menjelaskan pelaksanaan home visit untuk mengembangkan ajaran Islam di SDIT al-Azhar Kediri. Ini adalah penelitian kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah;

penelitian ini data yang penulis dapatkan adalah proses produksi,.. flowchart, dan permasalahan yang terjadi

8 LINGKUP MATERI Berpikir Komputasional MATERI berpikir komputasional INDIKATOR SOAL Disajikan gambar yang dapat menstimulasi proses berpikir peserta didik untuk

Daerah (DPRD) Kabupaten Tanah Laut dengan Nomor 170.3/156/Pimp.DPRD/Kabupaten Tanah Laut/2015 tanggal 24 Februari 2015 tentang Peninjauan Ulang Besaran Tunjangan Perumahan

Nyeri nosiseptif muncul ketika cedera pada jaringan mengaktivitasi reseptor nyeri spesifik yaitu nosiseptor. Nosiseptor merupakan saraf aferen primer untuk menerima dan

Hasil penelitian ditemukan bahwa : (1) Secara simultan, Motivasi, Jenjang Karir, serta Disiplin Kerja berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan (2) Motivasi memiliki