• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 4, No. 3, November 2011 ISSN KEPALA BIDANG BARU DI ARSIP UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 4, No. 3, November 2011 ISSN KEPALA BIDANG BARU DI ARSIP UGM"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Vol. 4 , No. 3 , November 2011 ISSN 1978-4880

DAFTAR ISI Prakata

Dari Redaksi ... 2

Opini Mengoptimalkan Peran Arsip Universitas dengan Archival Metrics Herman Setyawan ... 3

Upaya Pemerintah Meningkatkan Peran Masyarakat dalam Pengembangan Kearsipan Anna Nunuk Nuryani ... 11

Telisik Menelusuri Jati Diri Universitas Gadjah Mada dalam Lembaran Arsip Zaenudin ... 21

Sejarah di Balik Nama dan Tanggal Kelahiran Universitas Gadjah Mada Musliichah ... 32

Resensi Mengurus Arsip Gereja Suprayitno ... 38

Informasi Implementasi ISO 9001:2008 di Arsip UGM ... 44

Magang D3 Kearsipan UGM di Arsip UGM ... 45

UGM Pertahankan Predikat Pengelola Kearsipan Terbaik Kemdiknas Tahun 2011 ... 46

Pendampingan dan Pengembangan Records Center ... 47

Syawalan Arsip UGM... 48

Kepala Bidang Baru di Arsip UGM... 50

KEPALA BIDANG BARU DI ARSIP UGM

Dalam satu bulan terakhir Arsip Universitas Gadjah Mada memiliki 2 pejabat baru. Pertama adalah Dra. Eny Kusumindarti Wahyuningrum sebagai Kepala Bidang Database dan kedua adalah Yukhron Fathoni, S.H., S.Sos. sebagai Kepala Bidang Layanan.

Setelah hampir sepuluh bulan Jabatan Kabid Layanan Arsip UGM kosong, akhirnya tanggal 5 Oktober 2011 terisi, menyusul dilantiknya Yukhron Fathoni, S.H., S.Sos. oleh WRS APPSM UGM, Ir. Adam Pamudji Rahardjo, M.Sc., Ph.D. Jabatan tersebut sebelumnya diduduki Dr. Ari Basuki, M.Pd. yang telah memasuki masa pensiun pada 31 Desember 2010.

Satu bulan sebelumnya, Jabatan Kabid Database Arsip UGM juga terisi dengan dilantiknya Dra. Eny Kusumindarti Wahyuningrum menggantikan Dra. Suwarni yang memasuki purna tugas pada 1 Agustus 2011. Pejabat baru tersebut dilantik oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. pada tanggal 5 September 2011.

(3)

I kompetisi unit kearsipan perguruan tinggi tingkat Kemdiknas tahun 2011 kepada unit-unit kerja di lingkungan yang terlibat, antara lain: Arsip UGM, SDM, TURT, HKTL, DPPA, Sekretariat SE, Fakultas Peternakan, Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknologi Pertanian.

Pada acara tersebut juga diserahkan kenang-kenangan kepada pegawai Arsip UGM yang memasuki masa purna tugas yaitu kepada Dra. Suwarni dan Ir. Al. Anung Nugroho oleh Kepala Arsip UGM. Acara diakhiri dengan uraian hikmah syawalan oleh Drs. Ahmad Rodhi, M.S.I., dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dilanjutkan halal bi halal dengan saling berjabat tangan. (Heri)

PRAKATA

Kearsipan selalu penuh dengan dinamika dan tantangan. Berbagai pendekatan dan paradigma baru perlu diupayakan. Khazanah edisi kali ini kami sajikan artikel “Mengoptimalkan Peran Arsip Universitas dengan Archival Metrics”. Peran masyarakat dalam pengembangan kearsipan sangat diperlukan, oleh karena itu dalam Opini kami sajikan pula artikel “Upaya Pemerintah Meningkatkan Peran Masyarakat dalam Pengembangan Kearsipan”.

Bertitik tolak dari sebuah pemikiran untuk lebih mendayagunakan arsip, mulai edisi kali ini kami memuat tulisan seputar sejarah dan nilai-nilai UGM dalam kolom Telisik sebanyak dua artikel yaitu “Menelusuri Jati Diri UGM dalam Lembaran Arsip” dan “Catatan Dibalik Nama dan Tanggal Kelahiran UGM”.

Wacana baru kearsipan kami segarkan melalui kolom Resensi yang kali ini diisi sebuah buku berjudul “Mengurus Arsip Gereja: Pegangan untuk Arsiparis Keuskupan dan Tarekat”.

Kolom Informasi kami publikasikan berbagai kegiatan Arsip UGM diantaranya Implementasi ISO 9001:2008 untuk pengelolaan dan layanan arsip kartografi, magang mahasiswa, kompetisi unit pengelola kearsipan Kemdiknas 2011, pendampingan kearsipan di unit kerja, syawalan dan dies Arsip UGM, serta pergantian pejabat di Arsip UGM.

Semua informasi ini semoga bermanfaat bagi para pembaca. Salam kami.

(4)

OPINI

MENGOPTIMALKAN PERAN ARSIP UNIVERSITAS DENGAN ARCHIVAL METRICS

Herman Setyawan

Para Tamu Agung jang mulia, Para Guru Besar jang allamah, Para Guru dan Doctor jang berilmu,

Tuan2 dan Nona2 Maha Siswa jang terhormat, Dan para hadirin jang memerlukan datang kesini, Pendengar jang budiman !

MERDEKA !

…………..

Didalam suasana kemerdekaan dan didalam saat pembangunan Negara Indonesia para tabib djuga harus turut menjumbangkan tenaga dan pikirannja agar supaja seluruh dunia mengakui, bahwa kita mempunjai tenaga dan kebidjaksanaan untuk mempertahankan kemerdekaan Negara kita. Terhadap ilmu saja, jaitu microbiologie, tiap-tiap orang harus mengetahui ukuran dan tingkatan ilmu pengetahuan biologie dilain-lain Negeri. Didalam dunia pengetahuan biologia, adalah Pasteur, Koch dan Ehrlich mendjadi Maha Gurunja. Sekarang di Indonesia ini, apakah sudah patut kita namakan murid dari Maha Guru tersebut?

………

Diperpustakaan dunia sudah tertjantum beberapa nama ahli penjelidik bangsa Indonesia; meskipun belum banjak djumlahnja, tetapi telah memperoleh tempat jang tidak mengetjewakan.

……….

Sekianlah !

Bangunlah Indonesia Raya ! Tetap Merdeka !

(Kutipan Pidato Pelantikan Guru Besar pada Perguruan Tinggi Kedokteran Tjabang Surakarta Tanggal 17 April 1946 Oleh Prof. Dr. M. Sardjito. Sumber: Arsip UGM)

sehingga pendataan arsip mudah dilakukan. Setelah penataan fisik selesai barulah proses entry data dilakukan.

Fakultas Geografi dalam mengelola arsip inaktif dalam tahap pengelompokan sub-sub masalah. Beberapa kelompok arsip yang sudah selesai dikelompokkan dan dideskripsi. Pengelolaan akan terus berlanjut sampai semua arsip inaktif selesai didaftar dan disimpan dalam boks arsip.

Di Fakultas Kedokteran Gigi, pengelolaan arsip inaktif dibantu oleh 2 orang mahasiswa D III Kearsipan yang magang pada bulan September 2011. pelaksanaannya dalam tahap pengelompokan sesuai kode klasifikasi arsip. Arsip yang telah dikelompokkan kemudian dimasukkan dalam boks dan diletakkan di rak arsip. Sama halnya dengan Fakultas Biologi, Fakultas Kedokteran Gigi melakukan penataan fisik arsip terlebih dahulu. Setelah selesai kemudian dibuat Daftar Pertelaan Arsip (DPA).

Kegiatan pendampingan dan Pengembangan Records Center ini akan terus dilakukan sampai bulan Desember 2011 di keempat fakultas tersebut.

DIES NATALIS, SYAWALAN DAN PENYERAHAN PIAGAM KOMPETISI UNIT KEARSIPAN TERBAIK TINGKAT KEMDIKNAS

Dalam rangka Dies Natalis Arsip Universitas Gadjah Mada ke-7, Pada tanggal 13 September 2011, Arsip Universitas Gadjah Mada Mengadakan syukuran dan syawalan yang bertempat di Rumah Makan Pakem Sari. Acara tesebut dihadiri oleh keluarga besar Arsip UGM, Sekretaris SDM dan Arsiparis dari Unit kerja di UGM.

Pada acara ini dilaksanakan prosesi pemotongan tumpeng oleh Sekretaris Direktorat SDM, Dra. Emmy Indjatmiati, M.Si. dan diserahkan kepada Kepala Arsip, Drs. Machmoed Effendhie M. Hum. Setelah pemotongan tumpeng dilanjutkan penyerahan piagam penghargaan juara I

(5)

Records Center Bersama Kinanti, dan Arsip UGM. Tim Penilai I dari Kemdiknas melakukan validasi ke UGM tanggal 28 dan 29 Juli 2011. Peserta yang lolos validasi tahap pertama sebanyak 6 perguruan tinggi yaitu : UGM, UNS, UI, IPB, Universitas Padang dan Unair. Setelah lolos validasi pertama, UGM dinilai oleh Tim Penilai II yang terdiri dari ANRI dan Kemdiknas pada tanggal 10 Agustus 2011.

Pemenang dalam kompetisi tahun ini sebagai berikut: pemenang pertama UGM, kedua UNS, dan ketiga IPB. Para Pemenang diundang Kemdiknas untuk menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional dan mengikuti upacara Peringatan HUT RI ke-66 di Istana Merdeka Jakarta. Pemenang mendapatkan sertifikat dan kenang-kenangan. Penerima penghargaan dari UGM diwakili oleh Kepala Arsip UGM, Drs. Machmoed Effendhie, M.Hum. (Ika).

PENDAMPINGAN DAN PENGEMBANGAN RECORDS CENTER

Arsip UGM melaksanakan program kerja pendampingan dan pengembangan records center di unit kerja. Pada tahun 2011 ini sudah 4 fakultas yang didampingi dalam mengelola arsip inaktif dan pembentukan records center. Unit kerja tersebut adalah Fakultas Biologi, Fakultas Geografi, Fakultas kedokteran Gigi, dan Fakultas Psikologi. Pendampingan telah berjalan selama 9 bulan dan menunjukkan kemajuan dalam pengelolaan arsip inaktif.

Penanganan arsip inaktif di masing-masing unit kerja berbeda tergantung dari kondisi arsip. Arsip yang teratur, seperti di Fakultas Psikologi, lebih mudah dan cepat dalam pengelolaannya. Fakultas Biologi melakukan penataan fisik arsip terlebih dahulu agar arsip teratur dan rapi

Itulah sepenggal kutipan pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada pertama kali, Prof. Dr. Sardjito, yang kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Pendidikan di kampus UGM. Sungguh membanggakan bagi bangsa Indonesia, saat itu kita yang di tengah-tengah suasana perjuangan melawan penjajah sudah melahirkan Guru Besar dari Perguruan Tinggi Negeri, yang kelak menjadi Universitas Gadjah Mada ini. Keberadaan Universitas Gadjah Mada dalam mendukung perjuangan kemerdekaan negeri ini memang tak terbantahkan, oleh karena itu UGM sudah lama dikenal sebagai kampus perjuangan.

Arsip di perguruan tinggi, baik tekstual, rekaman suara maupun video, apalagi yang bernilai sejarah mampu membantu memori kita mengenang kembali kejadian-kejadian masa lalu yang mana itu semua dapat menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme kita bangkit kembali. Tidaklah mungkin kita mengandalkan ingatan kita saja tanpa bantuan rekaman karena otak manusia sangatlah terbatas dalam mengingat suatu kejadian. Memang benar ada ungkapan, people forget records remember¸artinya manusia mudah lupa tapi rekaman (lebih tepatnya arsip) akan selalu ingat.

Permasalahannya, bagaimana mengoptimalkan pengelolaan arsip di lingkungan perguruan tinggi? Kegiatan kearsipan di negara kita belum baik karena fakta di lapangan menunjukkan masih banyak instansi yang tidak tertib administrasinya, banyak pelanggaran hukum terkait dengan kejahatan kearsipan seperti pemusnahan dokumen yang seharusnya diselamatkan, tidak tersedianya arsip yang otentik dan lengkap untuk pemutusan perkara hukum, dan lain-lain. Ditambah kurangnya apresiasi masyarakat terhadap arsip dan arsiparis.

Pendekatan kearsipan selama ini masih bersifat arsip pemerintahan, dimana arsip dianggap sebagai hasil samping organisasi yang harus dikelola secara efektif, efisien, dan logis. Dampak dari pendekatan ini adalah adanya anggapan bahwa arsip merupakan beban yang harus di“beres“kan, biasanya

(6)

dilakukan dengan menumpuk arsip di gudang. Hal ini banyak terjadi di instansi atau organisasi. Ketika ada perintah untuk mengelola arsip, seorang arsiparislah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola arsip yang jarang digunakan tersebut, sehingga secara sadar atau tidak sadar hal ini turut andil menyumbangkan image yang kurang baik. Fakta dan budaya ini masih berkembang di masyarakat.

Budaya ini juga merambah para birokrat atau petugas administrasi di lingkungan perguruan tinggi. Pemalsuan ijazah, hilangnya arsip penelitian dan arsip terkait status kepemilikan tanah adalah contoh dari kurang baiknya tata kearsipan. Insan perguruan tinggi idealnya mampu menjadi lambang atau menara gading pengetahuan, para pengelola baik pimpinan maupun pegawai mampu melakukan pendekatan kearsipan yang berbeda.

Pendekatan kedua dalam kearsipan yaitu pendekatan manuskrip historis. Pendekatan kearsipan ini melihat arsip bukan sebagai hasil samping (by product) dari kegiatan organisasi, tapi melihat arsip sebagai aset yang harus dilestarikan. Menurut Henry (1998:315), nilai guna arsip bersifat kultural dan humanistik, tidak selalu birokratis. Definisi arsip di lingkungan perguruan tinggi tidak harus dibatasi pada “bukti transaksi organisasi”, namun juga menjangkau “produk-produk individual” oleh para profesor/ guru besar yang bernilai penelitian seperti manuskrip, tesis dan disertasi. Pendekatan manuskrip historis berangkat dari nilai-nilai ilmu sejarah dan ilmu perpustakaan dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Menciptakan masyarakat yang sadar sejarah dengan menyelamatkan dokumen-dokumen yang bernilai guna sekunder;

2. Menyimpan dokumen apapun yang ditemukan, khususnya yang bernilai guna riset karena dokumen merupakan sumber primer; 3. Mempublikasikan arsip tersebut.

Dari ketiga karakteristik di atas, tampak bahwa poin nomor 1 dan 2 didasari atas ilmu sejarah, sementara nomor 3 oleh ilmu perpustakaan. Gabungan kedua disiplin ilmu ini merupakan strategi untuk menyelamatkan

UGM PERTAHANKAN PREDIKAT PENGELOLA KEARSIPAN TERBAIK KEMDIKNAS TAHUN 2011

Universitas Gadjah Mada (UGM) mampu mempertahankan predikat Pemenang Pertama dalam Kompetisi Unit Pengelola Kearsipan di lingkungan Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2011. Sebelumnya pada tahun 2007 UGM juga menjadi unit pengelola terbaik pertama pada kompetisi yang sama. Setelah menjadi pemenang pertama tahun 2007 UGM tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi dan baru tahun 2011 UGM diberi kesempatan mengikuti kembali. Kompetisi tersebut diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional dengan tim penilai terdiri dari Kemdiknas dan ANRI.

Kompetisi tahun ini diikuti oleh 17 universitas, 1 institut, dan 3 politeknik se-Indonesia. Dimensi/ unsur penilaian meliputi kelembagaan, SDM, sistem/ pedoman, sarana dan prasarana, arsip/ dokumen, pemberkasan, layanan arsip, pemeliharaan arsip, dan penyusutan arsip. Adapun sistem penilaian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama Tim Penilai I melakukan validasi dan melihat kesiapan dan kepatutan unit untuk mengikuti kompetisi. Bagi unit yang lolos validasi akan dinilai kembali oleh Tim Penilai II.

UGM dalam kompetisi ini diwakili oleh Fakultas Peternakan, Fakultas Psikologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Bidang Hukum dan Tata Laksana, Sub Bagian Tata Usaha Bagian TURT, Sekretaris Eksekutif, Direktorat Sumber Daya Manusia, Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset,

(7)

dilaksanakan audit internal oleh Tim ISO UGM. Audit internal ini merupakan audit awal sebelum dilakukan audit eksternal oleh Tim ISO dari luar UGM. (Ully)

MAGANG D3 KEARSIPAN UGM DI ARSIP UGM (PERIODE JULI – OKTOBER 2011)

Salah satu manfaat magang bagi mahasiswa adalah mahasiswa dapat merasakan langsung bekerja pada suatu instansi sehingga dapat memperoleh pengalaman kerja dan mengetahui lingkungan kerja yang sebenarnya, serta dapat mengaplikasikan dan membandingkan antara ilmu yang diperoleh di perkuliahan dengan pelaksanaan pekerjaan yang sebenarnya di suatu instansi. Oleh karena itu, Arsip Universitas memberi kesempatan bagi mahasiswa dan alumnus D3 Kearsipan UGM untuk magang kerja. Adapun mahasiswa dan alumnus D3 Kearsipan UGM yang magang di Arsip UGM selama periode Agustus – Oktober 2011 adalah sebagai berikut:

1. Gogor Simbar Sasi & Wegig Panji Wisnu Gati (Juli – Agustus) ditempatkan di Records Center F. Biologi

2. Annisa Salatia & Rossy Rizki Nurullah (Juli – Agustus) ditempatkan di Records Center F. Geografi

3. Herlina Ekawati, Okiana Widiastuti & Fitri Nur Aprilia Sari (Agustus) ditempatkan di Records Center F. Psikologi

4. Frika Aprialisa Vena, Lilik Septiyani, Dewi Arbaningsih & Fresty Nourmalinda Ferlanie (Agustus - September) ditempatkan di Records Center F. Kedokteran Gigi dan Direktorat SDM UGM.

5. Ayu Fadilah & Ersa Arsi Ningrum - alumnus D3 Kearsipan UGM (September – Oktober) ditempatkan di LPPM UGM. (Kurnia)

arsip-arsip statis di lingkungan perguruan tinggi, dimana arsip diperlakukan sebagai aset yang harus aktif diburu dan diselamatkan. Berbeda dengan arsip di pemerintahan yang dianggap by product yang terkesan menjadi beban bagi petugas arsip.

Penerapan Archival Metrics di Arsip Universitas

Standar, benchmark, dan penelitian merupakan karakter dari dunia akademik. Pengukuran dan penelitian dapat membantu pengambil keputusan pertimbangan yang matang atas apa yang harus dilakukan untuk tugas selanjutnya menuju ke arah yang lebih baik, karena sudah punya referensi sebelumnya.

Di dalam ilmu perpustakaan, pengukuran dan penelitian terkait dengan objek buku dikenal dengan istilah bibliometrik. Perkembangan dari bibliometrik ini melahirkan metrik-metrik yang lain seperti scientometrik dan webometrik. Bibliometrik dalam ilmu perpustakaan dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan suatu subjek ilmu, tendensi tema-tema penelitian, produktivitas penulis-penulis buku tertentu, dan analisis sitasi yang dapat dijadikan sebagai sumbangsih bagi ilmu pengetahuan.

Kini, lembaga kearsipan di perguruan tinggi (university archives), perlu mencoba bergerak ke arah ini karena lembaga kearsipan perguruan tinggi berbeda dengan lembaga kearsipan pemerintah, baik karakteristik arsipnya, maupun lembaga penciptanya. Hal ini merupakan peluang dan tantangan tersendiri bagi para arsiparis di lingkungan perguruan tinggi. Sebagai peluang, karena undang-undang kearsipan yang baru, UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang kearsipan sudah mengakomodasi keberadaan Arsip Gambar: http://dailyfreemanintern.blogspot.com/2011/02/marvelous-metrics.html

(8)

Universitas dimana trend terkini adalah menjadikan Arsip Universitas sebagai jantung kedua setelah perpustakaan sebagai penyedia informasi dan pengetahuan. Sebagai tantangan, karena merupakan hal baru dan belum menggejala di lingkungan perguruan tinggi.

Archival metrics adalah pengukuran yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk memonitor, menaksir, dan mengkomunikasikan informasi kearsipan yang penting mengenai hasil suatu program atau kegiatan kearsipan di perguruan tinggi. Tanpa penggunaan data yang terpercaya/ reliable, para pengelola arsip universitas tidak dapat mengambil keputusan manajemen secara optimal. Sebagai contoh kasus, selam ini kita mendefinisikan arsip inaktif sebagai arsip yang nilai kegunaannya bagi unit pencipta sudah menurun. Kata “menurun” ini susah diukur karena didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Sauki Hadiwardoyo (2002), hal ini dikarenakan kita tidak terbiasa melakukan penelitian di bidang kearsipan. Tujuan diadakannya archival metrics adalah untuk mengetahui:

• Seberapa efektifkah arsip universitas dalam mendukung kebutuhan penelitian para pengguna?

• Apakah kita (mau) belajar sebagai sebuah organisasi dari data yang dikumpulkan tentang penggunaan koleksi arsip kita untuk mendorong meningkatkan program kearsipan universitas?

• Dapatkah kita menunjukkan efektivitas kinerja kita dalam mendukung tujuan universitas?

Dari ketiga pertanyaan di atas, arsiparis akademik dituntut untuk menjadi seorang peneliti, perencana, dan manajer. Paling tidak, dari ketiga pertanyaan di atas kita dapat menjabarkan ke dalam bentuk pemetaan seperti di bawah ini.

1. Menentukan “aset” penjualan kita

Layaknya dunia bisnis, marketing berperan penting menggaet client kita, user kita seperti para peneliti dan pemangku kepentingan lainnya.

INFORMASI

IMPLEMENTASI ISO 9001:2008 DI ARSIP UGM

ISO 9001:2008 merupakan standar internasional yang menetapkan persyaratan untuk sistem manajemen mutu dimana suatu organisasi: 1. Perlu menunjukkan kemampuannya untuk menyediakan secara

konsisten produk yang memenuhi persyaratan pelanggan dan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, dan

2. Bertujuan meningkatkan kepuasan pelanggan melalui penerapan sistem yang efektif, termasuk proses peningkatan sistem secara berkelanjutan dan jaminan kesesuaian terhadap persyaratan pelanggan dan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Tahun 2011 ini UGM mengimplementasikan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 di 22 unit kerja di lingkungan Kantor Pusat UGM sebagai perluasan implementasi ISO 9001:2008 yang telah ada di lingkungan Kantor Pusat UGM sebelumnya. Arsip UGM ikut berpartisipasi menjadi salah satunya.

Sebelumnya Arsip UGM telah mengikuti Awareness Training ISO 9001:2008 pada tanggal 5 April 2011 bertempat di ruang sidang Direktorat Perencanaan dan Pengembangan UGM sebagai rangkaian kegiatan ISO. Training ini sebagai pengenalan terhadap sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 terutama mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi serta sistem dokumentasinya untuk mengimplementasikan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 di unit kerja masing-masing.

Untuk saat ini Arsip UGM hanya mengimplementasikan ISO 9001:2008 untuk Pengelolaan dan Layanan Arsip Kartografi, Kearsitekturan, dan Gambar Teknik. Tindak lanjut dari training diatas, Arsip UGM menyiapkan penyusunan dokumen-dokumen kelengkapan ISO sebagai langkah awal implementasi. Dan pada tanggal 22 September 2011 telah

(9)

sejarah perjuangan kemerdekaan ini perlu memiliki jiwa archivistic sehingga arsip-arsipnya dapat diselamatkan dan didayagunakan dan membantu merekam jejak sejarah ormas keagamaan di Indonesia. Harapan ke depan, tentunya ANRI sebagai pembina kearsipan nasional dapat menjembatani kegiatan kearsipan keagamaan di negara kita.

Di samping kelebihan yang dimiliki oleh buku ini, kekurangannya tentunya juga ada. Namanya saja buku pegangan (manual) tentu isi yang ada kebanyakan berisi poin-poin besar saja. Ibarat undang-undang, masih garis besarnya saja, perlu diatur dengan penjelasan-penjelasan yang mengatur tema-tema tertentu. Bila dilihat dari siklus manajemen arsip statis, isi dari buku ini juga belum menyentuh tentang exhibisi dan publikasi naskah sumber, padahal tidak menutup kemungkinan, arsip-arsip gereja yang bernilai guna sejarah suatu saat perlu diterbitkan guna membantu penelitian.

Ada pasal yang tidak nyambung dengan tema, misalnya Pasal 20 tentang Pencegahan Kerugian (hlm 36), tiba-tiba muncul butir nomor 3 sistem wilayah (geographic), tentu hal ini tidak tepat karena konteksnya berbeda. Dari segi tata tulis dan bahasa, sering dijumpai penulisan konsep-konsep kunci kearsipan dalam bahasa inggris yang tidak tepat, misalnya arsip dinamis inaktif disamakan dengan archives, harusnya untuk arsip statis. Selain itu, penulisan kata asing seperti records, archives, records management, archives management, archives arrangement, archives description yang seharusnya diketik miring (italic) masih diketik tegak (hlm.19-20). Teknik penulisan juga kurang menarik, misalnya jarak spasi yang tidak konsisten, serta penulisan daftar pustaka yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar. (Suprayitno, Arsiparis di Kemnakertrans Jakarta).

Apalagi “aset” yang “dijual” merupakan aset yang unik, tidak dapat ditemukan di instansi lainnya.

2. Menentukan stakeholders kita, seperti para fotografer/ wartawan universitas, bagian humas, bagian publikasi, para IT specialist, mahasiswa, litbang, dan pimpinan universitas;

3. Berkolaborasi dengan perpustakaan dan IT center dalam hal retrieval dan pengembangan data kearsipan secara elektronik.

Membangun Budaya Meneliti di Arsip Universitas

Arsiparis akademik layaknya pustakawan di perguruan tinggi harus membiasakan diri dengan penelitian dan mencari temuan-temuan baru di bidang kearsipan. Berbeda dengan arsiparis di lembaga kearsipan pemerintah, para arsiparis akademik dituntut juga sebagai pendidik atau guru bagi pengguna, baik bagi mahasiswa, peneliti maupun sejarawan dan stakeholders lainnya. Menurut Tom Nesmith, dkk. (1996) hendaknya arsiparis berhijrah, dari mengedepankan skill dan pengetahuan kepada pemahaman dan perilaku (understanding and attitude).

Pemahaman berarti tidak sekedar tahu namun lebih pada hakikat mengapa kita perlu mengelola informasi bukan sekedar bagaimana cara mengelolanya. Pemahaman yang baik yang dilandasi dengan hakikat ilmu kearsipan ini akan melahirkan perilaku yang mencerminkan jiwa arsip. Dalam bahasa Eric Ketelaar, adalah archivalization, yakni kearsipan tidak sekedar apa dan bagaimana suatu tindakan direkam di dalam lembaga kearsipan namun jangkauannya lebih luas dengan mengaitkannya secara sosial dan kultural, sehingga dikenal bahwa ilmu arsip itu bersifat inter dan multidisipliner karena ia bersinggungan dengan sosiologi, antropologi, khususnya sosiologi organisasi, antropologi organisasi dan informatika organisasi. Bertitik tolak dari inilah, lembaga kearsipan pada umumnya dan arsip universitas pada khususnya, sebaiknya membiasakan melakukan kegiatan penelitian.

(10)

Penutup

Berbeda dengan arsip yang tercipta dari hasil samping kegiatan di lembaga pemerintahan, arsip yang dihasilkan perguruan tinggi merupakan arsip yang unik. Unik dari segi karakteristiknya karena tidak semuanya merupakan hasil samping kegiatan organisasi, tetapi juga milieu yang melingkupinya dimana perguruan tinggi merupakan lembaga keilmuan yang menghasilkan karya-karya ilmiah yang tercermin dalam tri dharma perguruan tinggi.

Arsiparis akademik sudah selayaknya mengubah mindset arsiparis pada umumnya, dimana budaya meneliti belum menjadi hal yang biasa dilakukan. Meneliti bagi arsiparis akademik merupakan tantangan karena sebagai lembaga keilmuan, pendekatan-pendekatan ilmiah harus dilakukan agar hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan di arsip universitas memiliki standar, ukuran, benchmark dan pengalaman referensi yang mapan. Ketika dihadapkan pada permasalahan tentunya tidak lagi harus mengandalkan survey “instan” dengan alasan tidak ada literatur historis untuk menguji subjek dan hipotesisnya.

Arsiparis akademik, untuk menyebut arsiparis yang bekerja di lingkungan perguruan tinggi, juga dituntut untuk tidak sekedar mengedepankan skill dan pengetahuan semata, namun yang lebih penting adalah memahami dan mempraktekkan dalam perilaku yang mencerminkan ontologi dari kearsipan itu sendiri.

Dua aspek inilah yang sebenarnya diharapkan dari diterapkannya archival metrics di lingkungan arsip universitas.

persepsi para pelaku kearsipan seperti Mona Lohanda dari ANRI, maupun pandangan-pandangan para pastur dan para ahli penulisan sejarah. Bab IV atau terakhir berisi tulisan-tulisan yang berisi tentang kearsipan gereja dan penulisan sejarah tarekat.

Inti dari buku ini ada pada Bab I yaitu mengurus arsip gereja. Bahasan ini terdiri atas beberapa bab lagi. Bab I ketentuan umum tentang kearsipan (masih mengacu pada undang-undang kearsipan yang lama, UU Nomor 7 Tahun 1971), kearsipan gereja, keuskupan, dan tarekat. Bab II membahas tentang tujuan, nilai, dan fungsi. Bab III mulai berbicara “core” dari manajemen arsip statis, yang terdiri atas kegiatan akuisisi, penyimpanan dan penataan, jadwal retensi arsip, pemeliharaan dan perawatan, pengamanan, penyelamatan, serta akses dan pelayanan. Bab IV mengulas tentang sistem pemberkasan. Pencegahan kerusakan dan kerugian diatur dalam Bab V. Selanjutnya pada Bab VI diatur tentang fasilitas kearsipan, baik personel, tempat, maupun peralatan. Bab VII menjelaskan tentang kode etik. Sedangkan komputerisasi dan lain-lain diatur dalam bab selanjutnya.

Meskipun buku pegangan ini terbatas untuk kalangan gereja, namun buku ini dapat menjadi stimulus bagi organisasi keagamaan lain di Indonesia, misalnya untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam mengingat sepak terjang dan sumbangsih Islam di Indonesia dalam pergerakan kemerdekaan sangatlah besar. Tentu saja, tidak hanya kalangan gereja dan Islam saja yang perlu diprioritaskan penanganan arsipnya, agama lain seperti Hindu dan Budha juga demikian. Barangkali secara kebetulan, kalangan gereja diuntungkan dengan telah mapannya (established) penanganan arsip-arsip keagamaan mereka karena ilmu kearsipan berkembang dan dikembangkan oleh orang-orang Barat dan penyebaran agama Nasrani ke Indonesia juga dilakukan oleh orang-orang Barat yang sudah lebih dulu mengerti ilmu kearsipan. Oleh karena itu, ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, NU, dll. yang telah mewarnai

(11)

keagamaan/ ormas keagamaan hampir-hampir sulit ditemukan di toko-toko buku atau di perpustakaan. Kalaupun ada, tentunya sangat terbatas untuk kalangan sendiri.

Adalah buku “Mengurus Arsip Gereja: Pegangan untuk Arsiparis Keuskupan dan Tarekat” yang telah memberikan pencerahan kepada kita tentang perlunya buku panduan kearsipan di lingkungan gereja. Buku yang ditulis oleh Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia ini sebenarnya merupakan hasil lokakarya kearsipan arsiparis dan sekretaris Keuskupan dan Tarekat. Buku ini sengaja diperuntukkan bagi para Pempimpin Keuskupan beserta unit-unitnya (Paroki, Perangkat Kerja, Yayasan dan karya-karyanya, dsb), serta bagi Pimpinan Tarekat beserta unit-unitnya (Komunitas, Yayasan dan karya-karyanya).

Buku dengan cover berwarna biru kehijauan yang tebalnya 160 halaman ini terdiri atas empat bab. Dalam pengantar, tampaknya penulis merasakan kegelisahan yang sebenarnya dirasakan oleh semua organisasi, yakni bagaimana mengelola arsip dengan baik. Secara teori, arsip perlu dikelola untuk membantu lembaga induk membuat keputusan, sebagai penyedia informasi, dan sebagai memori organisasi sehingga jati dirinya tetap utuh. Sedangkan menurut pandangan gereja, banyak sekali dokumen-dokumen gereja yang mengharuskan pengelolaan arsip. Sebut saja salah satunya adalah dalam Kitab Hukum Kanonik kan.486-491. Di sana disebutkan adanya kewajiban penyimpanan dokumen dengan seksama, keharusan adanya inventaris arsip, pembedaan arsip umum, historis, dan rahasia. Namun dalam prakteknya, kearsipan tidak termasuk kebutuhan yang dirasakan, tidak termasuk daftar prioritas, dan petugasnya tidak profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan lokakarya kearsipan. Bab I membahas inti dari buku ini yaitu mengurus arsip gereja. Bab II membahas organisatoris yang berisi tentang prosesi acara dan daftar peserta lokakarya kearsipan. Bab III berisi makalah-makalah tentang kearsipan, baik dari

Referensi

Archival Metrics: Promoting a Culture of Assessment in Archives and Special Collections

Linda J. Henry, "Schellenberg in Cyberspace.," American Archivist 61:2 (Fall 1998), p. 309–327.

Nesmith, T. “Professional Eeducation in the Most Expansive Sense: What Will the Archivist Need to Know in the Twenty-First Century?”. Archivaria 42 (1996),92.

Pidato Pelantikan Guru Besar Pada Perguruan Tinggi Kedokteran Tjabang Surakarta Tanggal 17 April 1946 Oleh Prof. Dr. M. Sardjito. Sumber: Arsip UGM.

Sauki Hadiwardoyo. 2002. “Merumuskan Jadwal Retensi Arsip”. Suara Badar IV/2002 hlm 3.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. http://www.archivalmetrics.org/. Akses tanggal 5 Agustus 2011.

http://www2.sis.pitt.edu/~gaeconf/ketelaar.doc. Akses tanggal 5 Agustus 2011.

(12)

OPINI

UPAYA PEMERINTAH MENINGKATKAN PERAN MASYARAKAT

DALAM PENGEMBANGAN KEARSIPAN

Anna Nunuk Nuryani A. Pengantar

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan mengatakan bahwa arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komuniksi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai informasi terekam (recorded information) arsip mempunyai nilai dan arti penting karena merupakan bahan bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga dalam rangka usaha penyelamatan bahan bukti tersebut tidak hanya pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk mengembangkan kearsipan tetapi masyarakat umum juga diharapkan dapat ikut berperan dalam pengembangan kearsipan.

Arsip dalam pandangan masyarakat awam sering disamakan dengan istilah dokumen, manuskrip, atau pustaka. Padahal arsip bersifat unik yang tidak bisa disamakan dengan pustaka, manuskrip maupun dokumen lainnya. Lembaga kearsipan yang mempunyai tanggung jawab menyelamatkan memori kolektif bangsa masih harus berbuat banyak untuk terus merubah image masyarakat agar lebih paham akan arti pentingnya arsip sehingga dengan kesadaran tersebut arsip yang bernilai kesejarahan dapat disimpan dan diselamatkan sebagai warisan budaya bagi generasi yang akan datang.

kalah pentingnya dalam berkontribusi untuk memajukan bangsa, yang salah satunya adalah menghasilkan arsip. Pasca didirikannya arsip nasional Amerika sampai 30 tahun kemudian, kegiatan kearsipan hanya terbatas pada lembaga pemerintah, belum menjangkau pada ranah swasta atau nonpemerintah. Baru pada tahun 1970-an, muncullah kesadaran untuk mengelola arsip–arsip di luar kepemerintahan, khususnya tentang arsip agama (religious archives). Program arsip agama mulai berkembang dan para arsiparis keagamaan membentuk komunitas kearsipan tersendiri. Kemunculan komunitas baru ini telah mendapat perhatian, tetapi tidak secara serta-merta membawa misi yang jelas di antara lembaga kearsipan keagamaan. Bahkan menurut James M. O’Toole1, selama bertahun-tahun para arsiparis agama belum mampu mengidentifikasi “keunikan” yang mereka miliki untuk dijelaskan kepada publik. Untuk menjembatani aspirasi para arsiparis agama, The Society of American Archivists pada tahun 1980 menerbitkan buku karangan August Suelflow yang berjudul Religious Archives: an Introduction. Diharapkan buku ini menjadi pegangan bagi para arsiparis keagamaan di seluruh dunia.

Bagaimana dengan kearsipan keagamaan di Indonesia? Kearsipan di negara kita masih terfokus pada lembaga pemerintah. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan di sana disebutkan bahwa definisi arsip juga menjangkau arsip individu dan organisasi kemasyarakatan (arsip agama tentunya include di sini), namun dalam prakteknya ANRI sebagai lembaga pembina kearsipan nasional belum mengatur tentang arsip-arsip individu dan keagamaan. Khusus tentang pengelolaan arsip keagamaan, buku pedoman kearsipan bagi arsiparis

1 James M. O’Toole, “What’s Different About Religious Archives?” Midwestern Archivist 9 (1984): 91-92

(13)

manajemen arsip dengan pendekatan penyelamatan, dalam perkembangannya menjadi pendekatan pelestarian. Pendekatan ini kemudian menjadi model pengelolaan arsip di negara-negara Eropa untuk jangka waktu lama, karena didukung oleh landasan metodologis yang jelas sebagaimana tertuang dalam Manual Belanda karangan Muller, Feith, dan Fruin, Handleiding voor het Ordenen en Beschrijven van Archieven (Pedoman Penataan dan Deskripsi Arsip).

Pengaruh manual Belanda ini hampir dipakai oleh para arsiparis atau pengelola kearsipan di seluruh dunia. Di Amerika, tepatnya pasca Perang Dunia II, terjadi ledakan arsip yang terus menggunung sehingga menyebabkan para arsiparis dan teoris kearsipan memutar otak bagaimana menangani banjir arsip tersebut. Tidak seperti negara–negara Eropa yang cenderung stagnan dalam menangani arsipnya, Amerika justru lebih progresif dalam mengelola kearsipannya, sehingga untuk mencari solusi tepat adanya banjir arsip adalah dengan cara menyeleksi arsip-arsip yang bernilai guna keberlanjutan saja yang harus dilestarikan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pendekatan kearsipan antara Eropa dan Amerika. Atas gagasannya Theodore Roosevelt Schellenberg, arsiparis tidak hanya bertugas menyelamatkan (safeguarding) dan melestarikan (preserving), namun juga selecting dengan cara menilai arsip-arsip yang bernilai guna keberlanjutan karena tidak mungkin menyelamatkan dan melestarikan semua arsip.

Pada Tahun 1934 didirikanlah arsip nasional Amerika yang bertugas melestarikan arsip-arsip statis yang bernilai guna informasional dan kebuktian di seluruh Amerika. Pengaruh gagasan Schellenberg tentang perlunya “penilaian arsip” sampai saat ini masih diterapkan oleh semua lembaga kearsipan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pendekatan kearsipan Amerika ini terkesan HANYA menyentuh penanganan arsip-arsip lembaga/ organisasi pemerintah, sementara arsip-arsip individu dan swasta belum banyak disentuh padahal baik individu maupun swasta juga tidak

B. Peran Serta Masyarakat

Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam upaya merevisi Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan tahun 1971 dengan Undang-undang tentang Kearsipan tahun 2009 diantaranya adalah diaturnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kearsipan. Masyarakat diharapkan dapat berperan serta dalam penyelenggaraan kearsipan baik meliputi peran serta perorangan, organisasi politik, maupun organisasi kemasyarakatan.

Dalam Undang –undang Kearsipan disebutkan bahwa peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam ruang lingkup penyelenggaraan pengelolaan, penyelamatan, penggunaan arsip, dan penyediaan sumber daya pendukung, serta penyelenggaran pendidikan dan pelatihan kearsipan. Selain itu lembaga kearsipan dapat pula mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan perlindungan, pengawasan, serta sosialisasi kearsipan.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) dilaksanakan dengan cara :

a. menciptakan arsip atas kegiatan yang dapat mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban dalam rangka menjamin perlindungan hak–hak keperdataan dan hak atas kekayaan intelektual serta mendukung ketertiban kegiatan penyelenggaraan negara;

b. menyimpan dan melindungi arsip perorangan, keluarga, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peran serta masyarakat dalam penyelamatan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) dilaksanakan dengan cara :

a. menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan

b. melaporkan kepada lembaga kearsipan apabila mengetahui terjadinya penjualan, pemusnahan, pengrusakan, pemalsuan, dan

(14)

pengubahan arsip oleh lembaga negara tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam undang–undang.

c. melindungi dan menyelamatkan arsip dan tempat penyimpanan arsip dari bencana alam, bencana sosial, perang, sabotase, spionase, dan terorisme melalui koordinasi dengan lembaga terkait.

Peran serta masyarakat dalam penggunaan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) dilaksanakan melalui pembudayaan penggunaan dan pemanfaatan arsip sesuai prosedur yang benar. Dalam hal ini lembaga kearsipan telah mengatur akses dan layanan arsip yang menjamin kemudahan akses bagi masyarakat.

Peran serta masyarakat yang lain yang juga diharapkan oleh pemerintah adalah dalam hal penyediaan sumber daya pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) yang dapat dilaksanakan dengan cara :

a. menggalang atau menyumbangkan dana untuk penyelenggaraan kearsipan;

b. melakukan pengawasan penyelenggaraan kearsipan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. menjadi sukarelawan dalam pengelolaan dan penyelamatan arsip sesuai kompetensi yang dimilikinya.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan di atas masyarakat juga dapat melengkapi perannya dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kearsipan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) sesuai peraturan perundang-undangan.

Bila suatu organisasi politik, organisasi masyarakat, dan perseorangan melaksanakan kegiatan yang didanai dari anggaran negara atau bantuan luar negeri juga wajib menyerahkan rekaman kegiatannya ke lembaga kearsipan. Beberapa kewajiban yang diharapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat ini masih perlu

RESENSI

MENGELOLA ARSIP AGAMA (RELIGIOUS ARCHIVES)

Judul : Mengurus Arsip Gereja: Pegangan untuk Arsiparis Keuskupan dan Terekat Pengarang : Departemen Dokumentasi & Penerangan, Konferensi Waligereja Indonesia Cetakan : Pertama, Juni 2006 Penerbit : Pustaka Nusatama Tebal : 160 hlm.

ISBN : 979-719-337-3

Pendekatan manajemen kearsipan modern secara sistemik muncul pada pertengahan kedua abad ke-19, menyusul rentetan peristiwa sejarah panjang revolusi Perancis. Menghadapi kelangkaan arsip yang berkaitan dengan bukti hak dan kewajiban negara dan warga negara serta keberadaan berbagai institusi pemerintahan, timbullah kesadaran untuk mengelola arsip secara sistematis untuk kepentingan publik, dengan membentuk sebuah institusi arsip nasional. Dengan didirikannya arsip nasional di Perancis, menandakan kelahiran manajemen kearsipan modern (penanganan kearsipan secara praktis sudah ada bersamaan dengan peradaban manusia ketika mengenal tulisan, namun belum dibarengi dengan unsur-unsur manajemen modern). Misi didirikannya arsip nasional di Perancis saat itu adalah untuk menelusuri, mengumpulkan, menyelamatkan dan mendayagunakan arsip bukti dan hak serta kewajiban negara dan warga negara untuk kepentingan publik. Misi ini melahirkan

(15)

Dalam notulen tersebut juga dituliskan maksud dari monumen tersebut yaitu melambangkan pemberantasan yang kurang baik oleh Gadjah Mada. (GADJAH MENGINJAK ULAR).

Dari sejarah nama dan tanggal kelahiran UGM menyiratkan jati diri UGM. Hal ini terangkum dalam Mukadimah Anggaran Rumah Tangga Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan bahwa UGM lahir dari kancah perjuangan revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam menyelenggarakan kegiatannya, UGM menyatukan diri dengan kepentingan masyarakat Indonesia pada khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Pernyataan Mukadimah ini merupakan perwujudan dari citra/ jati diri UGM sebagai universitas perjuangan yang dibangun sejak awal kelahirannya.

Sumber :

1. Laporan Tahunan Rektor UGM September 1964 2. Notulen Rapat Senat UGM 27 September 1961

3. “Hubungan Dosen dan Mahasiswa dalam Menciptakan Kehidupan Kampus yang Kondusif” oleh Koesnadi Hardjasoemantri dalam buku “Menuju Tertib Kehidupan Kampus” UGM: 2006

4. PP No. 23 Tahun 1949.

5. Buku Kenangan Seperempat Abad UGM, 1974.

disosialisasikan oleh lembaga kearsipan, agar masyarakat dapat mengetahui dan melaksanakan peran sertanya dalam penyelenggaraan kearsipan di lingkungan sekitarnya. Untuk mencapai tujuan sesuai undang–undang tersebut memerlukan kerja keras dari pemerintah dalam hal ini lembaga kearsipan yang bertanggungjawab penuh dalam penyelenggaraan kearsipan karena selama ini masyarakat masih mempunyai pemahaman yang belum tepat terhadap arsip, arsip hanya dianggap sebagai dokumen yang sudah usang, sudah basi, atau dianggap sebagai dokumen yang sudah tidak bernilai lagi.

Oleh karena itu, dalam mendukung peran serta yang dilakukan oleh anggota masyarakat, pemerintah dapat pula memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan dalam kegiatan perlindungan dan penyelamatan arsip. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan imbalan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyerahan arsip penting yang termasuk dalam kategori DPA (Daftar Pencarian Arsip).

C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Peran Masyarakat 1. Program Masyarakat Sadar Arsip

Program Masyarakat Sadar Arsip bertujuan untuk memasyarakatkan pentingnya arsip kepada masyarakat, sehingga apresiasi masyarakat lebih antusias dan lebih besar terhadap arti pentingnya arsip. Undang –undang tentang kearsipan yang berlaku tahun 2009 merupakan momentum baru bagi lembaga kearsipan untuk mensosialisasikan dirinya kepada masyarakat umum. Kesadaran akan pentingnya arsip juga perlu ditumbuhkan dalam masyarakat umum, bukan hanya dalam komunitas pemerintah dan perkantoran saja.

Guna menunjang sosialisasi arsip kepada masyarakat umum lembaga kearsipan yang dipelopori oleh Arsip Nasional telah

(16)

memberikan mobil layanan Masyarakat Sadar Arsip dan seperangkat komputer dengan sistem aplikasinya kepada beberapa provinsi di Indonesia, yang masih dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang. Dengan mobil tersebut lembaga kearsipan daerah diharapkan dapat mempermudah mensosialisasikan arti pentingnya arsip kepada masyarakat luas dengan dijangkau oleh mobil tersebut ke lokasi–lokasi tertentu.

Dasar dari pemberian mobil layanan Masyarakat Sadar Arsip ini salah satunya dimaksudkan agar dengan adanya mobil ini layaknya ”perpustakaan keliling” masyarakat umum bisa memperoleh pembelajaran tentang apa itu arsip dan bagaimana cara memperbaiki arsip (restorasi arsip) bagi arsip masyarakat yang mengalami kerusakan agar dapat tetap diketahui dengan jelas isi informasinya. Mobil Masyarakat Sadar Arsip ini dilengkapi dengan peralatan pendukung syiar kearsipan seperti televisi layar datar 46 inci, perangkat komputer, speaker dan mike-nya, dan peralatan untuk restorasi arsip.

Sedangkan bantuan komputer beserta aplikasinya diharapkan agar arsip yang tersimpan di lembaga kearsipan dapat diakses oleh masyarakat, dan sebaliknya arsip yang ada di daerah dapat diakses pula oleh lembaga kearsipan di manapun.

2. Program Arsip Masuk Desa

Upaya lain untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan kearsipan lembaga kearsipan Arsip Nasional RI telah memberikan dukungan dana dekonsentrasi kepada provinsi mulai tahun 2009 untuk melaksanakan Program Arsip Masuk Desa. Program Arsip Masuk Desa ini akan berlangsung sampai tahun 2014 untuk memberikan pelatihan kepada seluruh

negara sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain. Sebagai hadiahnya tanggal 19 Desember 1949, satu tahun setelah penyerangan Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 (agresi militer Belanda), UGM didirikan sebagai perwujudan terima kasih pemerintah pusat kepada Rakyat Yogyakarta. Godaan kenikmatan sesaat muncul dengan adanya tawaran pemerintah untuk memboyong UGM ke Jakarta. Bisa dibayangkan saat itu UGM bekerja mencetak para generasi penerus bangsa dengan segala keterbatasan. Dengan pindah ke Jakarta tentu segala derita keterbatasan tersebut dapat diatasi. Akan tetapi, apa yang terjadi ternyata para pimpinan UGM menolak saran agar UGM sebagai universitas nasional dipindah ke Jakarta. Adalah Prof. Sardjito sebagai Presiden UGM, Prof. Notonagoro sebagai Sekretaris Senat, dan Koesnadi Harjdasoemantri sebagai wakil Dewan Mahasiswa, yang menghadap ke Jakarta dan menyuarakan keberatan atas saran dipindahkannya UGM ke Jakarta, padahal UGM ini adalah hadiah Pemerintah kepada Rakyat Yogyakarta. (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006).

Dalam notulen Rapat Senat UGM pada hari Rabu tanggal 27 September 1961 di Bulaksumur yang arsipnya tersimpan di Arsip UGM tertulis bahwa dalam rapat senat tersebut dibahas beberapa agenda diantaranya adalah rencana pembangunan monumen untuk rotonde dengan surjo dan tjondro sengkolo-nya yang berhubungan dengan tahun berdirinya UGM. Dalam rapat tersebut terjadi pro dan kontra namun kemudian dicapai kesepakatan sebagai berikut :

a. Tjondro sengkolo :

Maha Manggala Gadjah Loko = 1881 1 8 8 1

Hendaknya diganti dengan : Ngradjani gadjah ulaning djagat;

b. Lobang2 supaya dibuat sembilan supaya sempurna

c. Pada lambung stupa (=tak ada angan2 sifat budistis) digambarkan aktivitas Gadjah Mada.

(17)

Indonesia maka oleh para pendiri UGM disepakati bahwa tanggal 19 Desember 1949 sebagai hari lahir UGM.

Dalam buku Kenangan Seperembad Abad UGM dituliskan bahwa tanggal 19 Desember 1949 oleh Pemerintah Republik Indonesia didirikan Universitas Negeri Gadjah Mada Yogyakarta, gabungan atas Fakultas-fakultas Sastera, Hukum, dari Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, dan Sekolah-sekolah Tinggi Negeri, yaitu Fakultas Tehnik, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi dan Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, dan Fakultas Hukum. Dalam hal ini memang ada pertanyaan, apakah sebabnya tanggal 19 Desember yang mengingatkan kita kepada hari yang pahit, pedih, dan suram karena penyerbuan Belanda di Yogyakarta dipakai sebagai hari berdirinya Universitas Gadjah Mada yang tiap tahun akan diperingati dengan meriah. Dalam ceramah kepada para mahasiswa Presiden Soekarno menjawab bahwa 19 Desember itu sangat penting untuk perkembangan Bangsa Indonesia karena tindakan Belanda yang bermaksud merebut kembali Indonesia, maka Bangsa Indonesia menjadi bersatu padu dan dapat mengeluarkan kekuatan yang besar sampai dapat mengalahkan Belanda. Akhirnya Indonesia memperoleh pengakuan kemerdekaan dari seluruh dunia. Meskipun UGM secara tertulis resmi didirikan tanggal 16 Desember 1949 dengan keluarnya PP No. 23 Tahun 1949, dipilihnya tanggal 19 Desember merupakan pilihan yang didasari berbagai pertimbangan untuk kepentingan sejarah Bangsa Indonesia.

Digambarkan dalam tulisan Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri mengenai hubungan antara kelahiran UGM dengan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Diceritakan bagaimana sejarah mencatat bahwa semangat rakyat Yogyakarta sangat kental perjuangan nasionalnya. Ini terbukti pada saat Yogyakarta yang secara fisik diduduki Belanda pada waktu aksi militer kedua, tidak ada satupun pegawai yang sudi bekerja dengan Belanda membentuk pemerintahan sipil Belanda dan membentuk

perangkat desa, yang banyak bersentuhan dengan arsip dan masyarakat di desa.

Program Arsip Masuk Desa menjadi sangat strategis mengingat pemerintah desa merupakan ujung tombak pelaksanaan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Kalau kita melihat perjalanan pemerintahan, desa merupakan cikal bakal dan bukti nyata tumbuhnya kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terlaksananya proses pemilihan Presiden secara langsung baru dimulai pada tahun 2004, juga diilhami oleh tradisi pemilihan kepala desa secara langsung yang telah berjalan secara demokratis, adil dan terbuka jauh sebelumnya.

Untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan program Arsip Masuk Desa ini akan ditetapkan kebijakan program dan pedoman-pedoman yang menyertainya. Dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan pemahaman masyarakat pedesaan tentang pentingnya arsip sehingga mereka menjadi tanggap terhadap hak-hak keperdataan, hak-hak politik dan mengetahui potensi sumber daya alam yang ada di desanya serta tumbuh tanggung jawab mereka dalam membangun desanya.

Program Arsip Masuk Desa ini diharapkan juga mendorong sekolah-sekolah, desa dan institusi desa lainnya dalam meningkatkan layanan masyarakat melalui tertib arsip. Namun demikian, pembinaan kearsipan untuk tingkat desa tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, bahwa berbagai urusan dan pertanggungjawaban pemerintah termasuk bidang kearsipan daerah telah dibagi habis.

(18)

3. Program Akuisisi Arsip Statis

Akuisisi arsip statis sebagai proses penambahan khasanah dilakukan dengan cara menerima arsip bernilai guna pertanggungjawaban nasional dari lembaga–lembaga negara dan badan-badan pemerintah, swasta, perorangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akuisisi merupakan upaya penyelamatan dan pelestarian serta pewarisan jejak informasi bersejarah dalam bentuk memori kolektif kehidupan berbangsa dan bernegara kepada generasi mendatang. Akuisisi arsip statis oleh lembaga kearsipan merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah atas hak dasar masyarakat terhadap aksesibilitas informasi publik.

Akuisisi arsip sangat erat hubungannya dengan akses dan layanan yang harus diberikan oleh lembaga kearsipan kepada masyarakat. Agar lembaga kearsipan dapat melayani masyarakat yang membutuhkan arsip, maka dihimbau kepada masyarakat agar bersedia menyerahkan arsip yang bernila guna kesejarahan untuk disimpan di lembaga kearsipan, supaya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang lebih luas.

4. Pemasyarakatan Arsip

Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan pemahamam masyarakat terhadap masalah kearsipan dan promosi khasanah arsip yang memberikan informasi mengenai potensi yang dapat digali dari arsip. Pemasyarakatan arsip ini juga untuk menanamkan apresiasi pentingnya masyarakat untuk menjaga arsip sebagai warisan budaya. Bentuk pemasyarakatan arsip selain berupa promosi juga dalam bentuk

Watak dan kepribadian Mahapatih Gadjah Mada penuh keteladanan. Mahapatih Gadjah Mada adalah seorang prajurit yang berani dan cakap, seorang negarawan yang ulet dan pandai, seorang idealis yang mempunyai cit-cita yang tinggi, dan seorang yang saleh kepada agamanya.

Beberapa contoh keteladanan Gadjah Mada juga diuraikan dalam Laporan Rektor UGM Tahun 1964.

Dalam Rapat Senat Terbuka UGM disampaikan pernyataan dan harapan sebagai berikut :

“Oleh karena itu tidak sia-sia kita memilih nama Gadjah Mada untuk nama Universitas kita ini. Kalau Mahapatih Gadjah Mada dahulu mampu menyatukan kepulauan Nusantara ini menjadi suatu kesatuan kerajaan, maka Universitas Gadjah Mada ini menjadi tempat menggembleng dan menggodog pemuda-pemuda Indonesia dari segala penjuru tanah air, dari segala macam suku menjadi satu bangsa, Bangsa Indonesia. Universitas Gadjah Mada mempunyai cita-cita yang sama dengan Mahapatih Gadjah Mada, yaitu bercita-cita-cita-cita luhur menyatukan berbagai daerah dan suku-suku di kepulauan Indonesia ini menjadi satu nation.” (Laporan Tahunan Rektor UGM Th. 1964 hal. 10).

Hari Jadi UGM

Setiap tanggal 19 Desember UGM memperingati hari lahirnya. Sejarah kelahiran UGM tidak lepas dari sejarah Bangsa Indonesia. Secara hukum UGM resmi didirikan pada tanggal 16 Desember 1949 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tentang Peraturan tentang Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universiteit. Peraturan pemerintah tersebut tertanggal 16 Desember 1949 ditandatangani oleh Ir. Soekarno. Mengingat UGM merupakan bagian dari perjuangan bangsa

(19)

1. Widjaja artinya berlaku bijaksana, penuh hikmah dalam kesabaran yang genting, sehingga dengan kebijaksanaannya kegentingan hilang dan muncul ketentraman;

2. Mantriwira, artinya seorang pembela negara yang selalu berani; 3. Witjaksaneng Naja, yaitu bijaksana di dalam segala tindakan;

4. Matanggwan, artinya seorang yang menjadi kepercayaan, tidak pernah menyelewengkan kepercayaan yang diberikan kepadanya; 5. Satya Bhakti Aprabhu, artinya bersifat setia dengan hati yang ikhlas

kepada negara dan sri mahkota/ raja;

6. Wagmi Wag, artinya pandai berargumen dalam mempertahankan pendapat;

7. Sardjawopasama, yaitu tingkah laku yang memperlihatkan kerendahan hati bermaksud manis, tulus, dan ikhlas, lurus dan sabar; 8. Dhirotsaha, artinya selalu bekerja rajin dan sungguh-sungguh serta

dengan keteguhan hati;

9. Tan Lalana, artinya selalu bersifat gembira dan selalu memperlihatkan sikap yang bangun tegak (semangat) dan selalu bertindak cepat; 10. Diwyatjitta, maksudnya selalu berhati baik dalam berhubungan

dengan orang lain dan selalu siap mendengarkan pendapat dan saran dengan hati yang tenang walaupun tidak setuju;

11. Masihi Samastabhuwana, artinya menyayangi seluruh dunia;

12. Sih Samastabhuwana, artinya dasar kesetiaan hati Gadjah Mada dalam segala hal;

13. Ginon Pratidino, artinya selalu mengerjakan yang baik dan menghapus kelakuan yang tidak sempurna;

14. Sumantri, artinya menjadi pegawai negara yang baik dan penuh prilaku yang sempurna; dan

15. Anayaken Musuh, artinya selalu bertindak memusnahkan/ menaklukkan musuh.

pameran arsip yang menyajikan arsip kepada masyarakat dalam rangka menyebarluaskan informasi arsip pada masyarakat.

Selain seperti tersebut di atas pemasyarakatan arsip dapat pula berupa publikasi kearsipan, diantaranya dapat dengan penerbitan sarana penemuan arsip, penerbitan naskah sumber, penerbitan sejarah lisan, dan tulisan yang berkaitan dengan pendayagunaan khasanah arsip.

D. Penutup

Peran masyarakat dalam pengembangan kearsipan di Indonesia masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Jumlah penduduk Indonesia sungguh sangat besar, setiap individu pasti menciptakan arsip sesuai rekaman kegiatan yang dilakukannya. Berdasarkan asumsi ini berarti arsip yang tercipta di masyarakat berjumlah sangat banyak. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang belum paham apa yang harus mereka lakukan terhadap arsipnya, karena pemahaman yang masih kurang. Oleh karena itu, pemerintah di masa mendatang perlu memperhatikan lebih serius terhadap peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kearsipan agar arsip yang merupakan warisan budaya bagi generasi mendatang ini tidak hilang sia-sia hanya karena ketidaktahuan dalam mengelola dan menyelamatkannya.

Upaya yang sudah dilakukan pemerintah melalui lembaga kearsipan perlu ditingkatkan dari tahun ke tahun agar sasaran yang ingin dicapai semakin tepat dan sesuai dengan target. Hal ini tidak mudah karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah sehingga menyebabkan program–program terputus di tengah jalan.

Optimis perlu selalu menyertai langkah kita dalam mengembangkan kearsipan. Semoga dengan sikap optimis ini

(20)

kendala-kendala dapat dilalui, sehingga masyarakat pun tidak menanggapi kearsipan dengan sikap apriori.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

Manajemen Arsip Statis (Archives Management), Arsip Nasional RI, 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

TELISIK

SEJARAH DIBALIK NAMA DAN TANGGAL KELAHIRAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Musliichah

“Tidak sia-sia nama Gadjah Mada dipilih untuk nama Universitas kita” (Laporan Tahunan Rektor UGM 19 September 1964)

Nama tidak hanya sekedar deretan huruf yang membentuk kata. Demikian halnya dengan nama Universitas Gadjah Mada. “Gadjah Mada” mengandung makna dan harapan. Seperti yang tercatat dalam laporan tahunan Rektor UGM tahun 1964 bahwa mengambil Gadjah Mada sebagai nama universitas kita bukanlah hal yang sia-sia. Pada tahun 1964 dalam Rapat Senat Terbuka Univeritas Gadjah Mada diperingati 600 tahun wafatnya Mahapatih Gadjah Mada, Mahapatih Negara Kesatuan Madjapahit. Dalam rapat senat tersebut disampaikan gambaran kemungkinan membentuk sebuah negara kesatuan baik negara asing maupun negara Indonesia. Dasar-dasar ilmiah yang sangat kuat sekalipun, belum mampu menjamin mudahnya pembangunan negara kesatuan dalam daerah kepulauan yang demikian luas. Namun kesatuan politik berupa Kerajaan Majapahit yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia telah terbentuk pada jaman Hayam Wuruk (1350-1389) atas jasa Mahapatih Gadjah Mada.

Dalam Laporan Rektor UGM September 1964 ditulis sifat dan watak Mahapatih Gadjah Mada yaitu :

(21)

mengamalkan jati diri itu. Memasukkan nilai dan jati diri UGM ke dalam mata kuliah perlu diwacanakan.

Nilai dan jati diri UGM perlu terus dibumikan dan ditauladani oleh semua sivitas akademika supaya universitas terbesar itu tidak hanyut dalam pusaran globalisasi yang kapitalis dan pragmatis. Efek globalisasi yang perlu dicermati adalah mencuatnya isu pendidikan akan diusung sebagai komoditas perdagangan yang termuat General Agreement on Trade Tariffs and Services (GATTS), yang diprakarsai oleh World Trade Organization (WTO). Jati diri akan terealisasi jika totalitas organisasi mendukungnya. Jika tidak maka jati diri itu hanya berhenti dalam bentuk tulisan.

Daftar Rujukan Arsip

1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 1949 tentang Peraturan Sementara Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universiteit. 2. PP 153 tahun 2000 tentang Penetapan UGM sebagai PT BHMN 3. SK MWA UGM No. 19/SK/MWA/2006 tentang Jati Diri dan Visi UGM. 4. Sofian Effendi, ”Revitalisasi Jatidiri UGM Menghadapi Perubahan

Global”, Naskah Orasi Ilmiah Dies UGM ke-56, 2004. Pustaka

1. Bambang Purwanto dkk, ”Dari Revolusi ke Reformasi, 50 Tahun Universitas Gadjah Mada”, UGM, 1999.

2. Sutaryo; Suratman Woro,” Sejarah Lahirnya Universitas Perjuangan Universitas Gadjah Mada”, Senat Akademik UGM, 2008.

3. Heri Santoso, ”Filosofi UGM”, Senat – PS Pancasila UGM, 2008.

BIODATA PENULIS

Herman SetyawanA.Md.

Lahir di Sleman, pada tanggal 15 April 1982. Arsiparis Pelaksana lanjutan di Arsip Universitas Gadjah Mada. Lulus D3 Kearsipan UGM pada tahun 2003, dan saat ini sedang menempuh Pendidikan Administrasi Perkantoran FISE UNY.

Anna Nunuk Nuryani

Lahir di Lebak, pada tanggal 14 Desember 1966. Arsiparis Madya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daeran Provinsi DIY. Lulus dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM pada tahun 1990.

(22)

TELISIK

MENELUSURI JATI DIRI UNIVERSITAS GADJAH MADA DALAM LEMBARAN ARSIP

Zaenudin Kilasan Sejarah UGM

Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan universitas pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI). UGM dilahirkan dalam suasana penuh semangat dan harapan di tengah-tengah kancah perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Universitas tersebut merupakan gabungan berbagai perguruan tinggi yang sudah ada sebelumnya. Tepat setengah tahun setelah Kemerdekaan Indonesia yaitu pada 17 Februari 1946 berdirilah perguruan tinggi swasta bernama Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (BPTGM) di Yogyakarta. Setelah itu secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 2 tahun, antara tahun 1946 – 1948, Pemerintah Indonesia yang mengungsi ke Yogyakarta juga telah mendirikan beberapa perguruan tinggi. Di Yogyakarta pemerintah mendirikan Sekolah Tinggi Teknik dan Akademi Ilmu Politik. Di Klaten berdiri Perguruan Tinggi Kedokteran, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan, dan Perguruan Tinggi Pertanian. Sementara di Solo Pemerintah membangun Perguruan Tinggi Kedokteran (Bagian Klinik) dan Balai Pendidikan Hukum. Didorong oleh cita-cita pemerintah untuk memiliki universitas nasional sendiri dan didasari oleh semangat dan kebesaran jiwa semua pihak, akhirnya kedelapan lembaga tersebut digabung menjadi sebuah universitas dengan nama ”Universiteit Negeri Gadjah Mada”. Penggabungan tersebut disyahkan melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 16 Desember 1949.

Pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya telah dimulai pada masa kolonial Belanda, namun sempat terhenti sebentar pada tahun 1942 di awal masa pendudukan Jepang. Tujuh dari delapan perguruan tinggi di atas

Ketika terjadi gejolak pemberontakan di daerah Priangan Timur, UGM mengirim tim kesenian yang bermisi memberikan hiburan dan dukungan kepada rakyat dan tentara yang bertugas di sana.

Pada tahun 1978, UGM mengirim 5 anggota Menwa bergabung dengan Pasukan Garuda V membantu perdamaian di Mesir. Misi ini tentu sangat sesuai dengan nilai budaya bangsa yaitu suka menolong sesama.

Sekitar 10 tahun (1988 – 1998) di UGM selalu digelar pasar raya rakyat yang kemudian dikenal dengan “Gama Fair” setiap menjelang dies natalis. Salah satu tujuan kegiatan ini adalah mengkampanyekan cinta produk dalam negeri. “Gama Fair” juga biasa diisi dan dimeriahkan pentas berbagai kesenian daerah. Kegiatan ini sebagai salah satu upaya UGM mensosialisasikan dan melestarikan budaya bangsa.

Membumikan Jati Diri Menyongsong Globalisasi

Predikat sebagai Universitas Perjuangan, Universitas Kerakyatan, Universitas Terbesar dan lain-lain harus dipahami bukan sebagai klaim semata, melainkan harus dibuktikan dengan tanggung jawab dan prestasi. Nilai dan jati diri merupakan kunci penentu maju tidaknya organisasi. Namun sebaik apapun jati diri UGM tidak akan pernah terealisasi jika tidak ditopang perangkat pendukung seperti: visi, misi, strategi, sistem, kepemimpinan, serta lingkungan yang kondusif.

Selama ini upaya sosialisasi jati diri seperti: penerbitan buku dan pembuatan film, tentang ke-UGM-an serta penyelenggaraan History Week perlu terus ditingkatkan. Strategi baru juga perlu dipikirkan sehingga seluruh sivitas akademika tahu dan akhirnya mau mengetahui dan

(23)

Sejak tahun 1961–1970-an, UGM juga terlibat aktif dengan Kementrian Transmigrasi dan Koperasi melakukan survey dan pengaturan untuk menyukseskan program transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 1970, mahasiswa Teknik Sipil UGM berhasil membangun jaringan pipa air di lereng Gunung Merapi. Keberhasilan menjadikan 3 desa di wilayah Cangkringan mudah mendapatkan air.

Proyek ini banyak dikunjungi oleh peneliti-peneliti termasuk dari luar negeri. Satu lagi kepeloporan UGM dalam hal pengabdian kepada rakyat adalah lahirnya ide Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Secara resmi KKN baru dimulai tahun 1972 namun embrionya telah dilaksanakan jauh sebelumnya. Gagasan ini mungkin merupakan kepeloporan UGM yang paling spektakuler karena sampai sekarang kegiatan tersebut masih dilaksanakan bahkan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa. Tidak hanya itu KKN juga ditiru oleh banyak perguruan tinggi di Indonesia bahkan diadopsi pula oleh beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Oleh karena kepedulian yang besar kepada rakyat terutama rakyat pedesaan, sehingga ada yang memberikan stigma kepada UGM sebagai universitas ndesa.

Universitas Pusat Kebudayaan

Jati diri UGM yang terakhir adalah universitas pusat kebudayaan. Ciri khas ini menuntut UGM harus menjadi pengawal pelestari dan pengembang budaya nasional. Tentu saja mencakup nilai, tradisi, karya pemikiran dan seni, serta lain-lain bentuk cipta rasa maupun karsa dari Bangsa Indonesia. Sedikit banyak peran itu sudah dilaksanakan oleh UGM.

Jaringan Pipa Air di Lereng Merapi Tahun 1970

(selain BPTGM) bahkan sudah dirintis oleh Belanda dan Jepang di berbagai kota besar di Indonesia, seperti: Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan para mahasiswa mengambil alih perguruan-perguruan tinggi tersebut dan menyerahkan kepemimpinannya pada orang Indonesia. Sayang kegiatan pendidikan oleh orang Indonesia tidak berlangsung lama menyusul kedatangan Tentara Sekutu dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration – tentara Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia).

Satu demi satu kota-kota tersebut jatuh ke tangan Sekutu-Belanda. Keadaan ini memaksa pemindahan ibukota negara ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946. Perpindahan ibukota memicu para mahasiswa, dosen dan orang-orang yang setia pada RI untuk memindahkan kegiatan pendidikan dan berbagai fasilitasnya ke Yogyakarta. Usaha yang berat dan penuh resiko karena dalam situasi perang. Pemindahan harus dilakukan sembunyi-sembunyi dan bertahap. Karena di Yogyakarta tidak cukup tersedia gedung dan perumahan, akhirnya perpindahan perguruan-perguruan tinggi tersebut meluber ke Klaten dan Solo.

Dengan fasilitas seadanya dan terpencar-pencar kegiatan belajar menggeliat lagi. Sampai akhirnya terjadilah Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 untuk menguasai Yogyakarta, satu-satunya wilayah RI yang belum jatuh ke tangan Belanda. Perang berkecamuk di mana-mana. Perguruan tinggi berhenti total karena dosen dan para mahasiswa juga ikut perang. Mereka tergabung dalam berbagai kesatuan seperti: Tentara Pelajar atau PMI. Atas prakarsa Sultan HB IX dilaksanakan Serangan Umum untuk merebut kembali Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949. Akhirnya dalam waktu 6 jam (jam 06.00 – 12.00) Yogyakarta direbut kembali oleh RI. Perang mempertahankan kemerdekaan tersebut membawa korban dosen dan mahasiswa Indonesia, antara lain: Prof. Dr. Abdurrachman Saleh, Ruwiyo, Harjito, Wuryanto, dan Asmono.

(24)

Usaha menghidupkan kembali perguruan tinggi muncul, namun menghadapi kendala serius karena sebagian besar perguruan tinggi milik pemerintah berada di Solo dan Klaten, yang berada di luar wilayah RI. Karena pengajar dan mahasiswa berkeputusan memindahkan semua perguruan tinggi ke Yogyakarta ditengah situasi yang tidak menentu, praktis Yogyakarta menjadi sesak. Untung Sultan HB IX berkenan menyediakan pagelaran dan bangunan lainnya milik keraton untuk kegiatan belajar dan tempat tinggal. Oleh karena keterbatasan tempat, kandang kuda disulap menjadi rumah sakit bahkan beberapa fakultas menempati rumah penduduk.

Meneguhkan Jati Diri UGM dan Latar Belakangnya

Situasi perang yang mencekam dan keadaan yang serba terbatas serta cita-cita yang luhur terpatri kuat dalam benak semua sivitas ketika itu. Semangat perjuangan, semangat persatuan, dan semangat kerakyatan memberi warna dalam pembentukan karakter, nilai, dan jati diri UGM. Citra UGM sebagai universitas perjuangan yang membela bangsa dan negara segera menemukan momentum.

Kini sudah lebih setengah abad UGM berkhidmat dan berkarya mendidik bangsa. Berbagai prestasi telah disandang, namun tidak sedikit problematika baru yang kompleks menghadang. Ditengah tantangan dan ancaman globalisasi, liberalisasi, dan komersialisasi pendidikan, kini UGM dihadapkan pada keadaan dilematis. Lahirnya PP 153 tahun 2000 yang menetapkan UGM sebagai PT BHMN seolah menambah sulit posisi itu.

PP 153 Tahun 2000

Model studium generale ini akhirnya dicontoh oleh perguruan tinggi lainnya sampai sekarang.

Komitmen dan pembelaan UGM terhadap Pancasila ditunjukan pula dengan menggelar Orasi Ilmiah tentang pentingnya pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pada peringatan Seperempat Abad UGM tanggal 19 Desember 1974.

Peringatan ini dihadiri oleh Presiden Soeharto. Kurun berikutnya muncul Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE UGM, yang melahirkan gagasan Ekonomi Pancasila. Beliau merupakan salah satu pakar ekonomi yang gencar membela paham Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila di tengah himpitan ekonomi kapitalis.

Universitas Kerakyatan

Jati diri sebagai universitas kerakyatan yang tertuang dalam SK MWA terbukti dengan adanya pengabdian UGM kepada masyarakat. Istilah kerakyatan mengandung arti problematika yang sedang dihadapi rakyat harus mampu ditangkap kemudian diperjuangkan penyelesaiannya oleh UGM. Pada tahun 1953–1955 Fakultas Pertanian dan Kehutanan UGM telah melakukan penelitian dan berhasil menemukan 14 jenis padi baru yang berumur lebih pendek dan rasanya lebih enak. Penemuan ini membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Pada tahun 1964 mahasiswa Fakultas Pertanian dikerahkan untuk membantu petani melaksanakan Panca Usaha Tani untuk meningkatkan produksi dan pengolahan hasil pertanian. Pengabdian ini akhirnya terkenal dengan istilah Bimas–Inmas.

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini mencoba melihat bentuk dan makna kamoshirenai yang merupakan salah satu subkategori modalitas gaizen (kemungkinan) bahasa Jepang dari sudut pandang bentuk-bentuk

Pada Gambar 4 di bawah ini terlihat bahwa Kota Maumere pada bulan Agustus 2011 ini terjadi inflasi, terutama dipicu oleh naiknya indeks harga pada beberapa kelompok

Divisi PR di PT Lestari Mahadibya berkewenangan dalam melakukan hubungan dengan media sebagai sarana komunikasi efektif dengan masyarakat baik cetak,elektronik (TV dan Radio)

Dalam hal budaya, bangsa Indonesia kurang mampu menghargai budayanya sendiri. Banyak peninggalan budaya yang bernilai tinggi terbengkalai, tidak dirawat, bahkan

Data identitas dan pemesanan konsumen dimasukkan kedalam sistem informasi data konsumen pada sistem informasi jasa Saujana Visual Art yang dapat diakses

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istiqomah adalah implementasi dari nilai-nilai keimanan kepada Allah secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari baik

Data yang dikumpulkan dari data sekunder berupa catatan medik meliputi jumlah pasien DKA, umur penderita, jenis kelamin, lokasi kelainan kulit, terapi. Kemudian

Desain tampilan dalam rancangan sistem SHRI terdiri dari rancangan desain tampilan antar muka sistem yang terdapat beberapa menu yaitu tampilan menu utama dengan pilihan sub