• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Geologi Regional Cekungan Barito

Cekungan Barito berada di bagian tenggara Pulau Kalimantan. Cekungan ini merupakan cekungan asimetris. Sebelah barat dekat paparan sunda terdapat Cekungan Barito dengan kemiringan relatif datar, ke arah timur menjadi cekungan yang dalam yang dibatasi oleh sesar-sesar naik ke arah barat dari punggungan Meratus yang merupakan bongkah naik. Cekungan Barito disebelah barat dibatasi oleh paparan sunda, sebelah timur Pegunungan Meratus, sebelah utara dibatasi oleh Adang Flexure. (Satyana, dkk.,1994)

2.1.1 Tektonik Regional

Pulau Kalimantan sendiri merupakan daerah tektonik yang relatif stabil, merupakan bagian dari Lempeng Mikro Sunda yang mempunyai karakteristik dan tatanan struktur yang cukup berbeda dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, yang dipengaruhi oleh zona subduksi.

Lempeng Mikro Sunda merupakan pecahan atau fragmental Lempeng Eurasia yang terpisah ke bagian tenggara akibat tumbukan dengan kerak Benua Asia dan pola tektonik yang berkembang pada Cekungan Barito mengikuti pola tektonik pada Lempeng Mikro Sunda. Pada dasarnya pola tektonik yang terjadi pada Lempeng Mikro Sunda merupakan proses pemisahan akibat tekanan yang terjadi pada lempeng itu sendiri. Faktor eksternal yang ikut berperan dalam perkembangan tatanan tektonik di Pulau Kalimantan adalah interaksi antara Lempeng Sunda dengan Lempeng Pasifik di sebelah timur, Lempeng Hindia

5

Lempeng Sunda dengan Lempeng Pasifik di sebelah timur, Lempeng Hindia Australia di selatan, dan Lempeng Laut Cina Selatan. ( Satyana, dkk., 1994)

Berdasarkan teori-teori yang telah berkembang saat ini, unsur-unsur tektonik yang berkembang di Pulau Kalimantan dapat dikelompokkan menjadi empat satuan tektonik, yaitu Blok Schwaner, Blok Paternoster, Pegunungan Meratus, dan Tinggian Kuching.

(2)

a. Blok Schwaner

Blok ini oleh Van Bemmelen dianggap sebagai bagian dari Paparan Sunda yang mengalami pengangkatan sejak Zaman Kapur Akhir, dimana batuannya terdiri dari batuan beku dan batuan malihan yang berumur Pra-Tersier. Bagian timur dari blok ini mengalami gerak penurunan pada Paleogen dan tertutup oleh sedimen Tersier yang tidak terlipat. Bagian ini dikenal sebagai Pelataran Barito (Barito Platform).

b. Blok Paternoster

Blok ini dianggap suatu daerah tektonik yang kompleks, terdiri dari pelataran paternoster yang terletak di lepas pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian daerah di daratan Kalimantan. Blok ini hanya sebagian yang mengalami pengangkatan.

c. Pegunungan Meratus

Daerah ini terletak diantara Blok Schwaner dan Blok Paternoster, yang merupakan daerah dengan pengendapan yang cukup tebal. Daerah ini merupakan daerah dengan pengendapan yang cukup tebal. Daerah ini mengalami perlipatan dan tersesarkan serta terangkat dengan kuat.

d. Tinggian Kuching

Tinggian Kuching atau Kuching high terbentuk akibat dari pengangkatan yang terjadi pada busur kepulauan dengan daerah perairan dangkal di sekitarnya, yang merupakan bagian yang tinggi pada Zaman Paleogen di Kalimantan Utara. Daerah ini terpisah dari Kalimantan Baratlaut yang mengalami suatu penurunan dengan cepat. Tinggian Kuching merupakan sumber (source) untuk pengendapan di daerah baratlaut dan tenggara selama Neogen.

Pada cekungan barito, jika diurutkan sejarah strukturnya ditandai oleh perbedaan yang jelas pada zaman Paleogen dan Neogen. Pemekaran basement perbedaan yang jelas pada zaman Paleogen dan Neogen. Pemekaran basement adalah awal mula pembentukan struktur cekungan pada kala Paleosen Eosen. Kondisi ini terus terjadi hingga kala Oligosen Miocene dengan terjadi subsidence secara lokal dan regional serta proses peregangan lithosfer yang mempengaruhi cekungan pada pertengahan miosen, struktur yang terjadi berubah menjadi pengkerutan. Pengangkatan secara regional dan patahan yang bersifat

(3)

kompresional muncul pada kala miosen tengah hingga plio-plistosen mengakibatkan inversi dan pengaktifan kembali sesar extensional yang sudah terbentuk sebelumnya menghasilkan kenampakan struktur yang sekarang terbentuk pada cekungan barito.

Secara umum keadaan teknonik dan stratigrafi di Cekungan Sumatra Tengah dapat digambarkan dalam 4 fase utama (Satyana, dan Silitonga, 1994). Ketiga fase tektonik ini adalah:

1. Prerift, fase ini merupakan kompleks tektonik yang terjadi pada basement yang terdapat pada dasar cekungan. Basement terletak di sepanjang Paparan Sunda, dikomposisi oleh variasi pencampuran berbagai macam sumber: basement dari kerak benua di bagian barat, zona akresi kala mesozoic dan batuan berumur Paleogen di bagian barat. Terdapat ketidakjelasan mengenai distribusi dari tipe batuan dibawah permukaan, akan tetapi di bagian timur cekungan, basement menunjukan tipe batuan Meratus, tidak menunjukan tipe batuan dari Barito-Platform, hal ini menimbulkan spekulasi mengenai kontak dari dua tipe batuan pada basement, dan menerangkan bahwa basement tipe meratus mengalami pensesaran (Gaffney-Cline, 1971)

2. Synrift, Collision antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bagian barat pada kala Eosen Tengah meneyebabkan proses pemekaran (rifting) pada Cekungan Barito (Daly, Hooper, dan Smith, 1987; Kusumam dan Darin 1989; Daly et al., 1991; van de Weerd and Armin, 1992). Fase synrift pada cekungan terjadi pada kala Paleosen-Eosen tengah, yaitu pada pengendapan Formasi Tanjung bagian bawah, yang merupakan sedimen yang diendapkan pada permukaan basement yang tidak teratur yang disebabkan oleh rifting.

3. Postrift, setelah proses rifting pada cekungan pada kala Eosen tengah Miosen tengah terjadi subsidence regional mempengaruhi pengendapan pada Formasi Tanjung bagian atas dan Formasi Berai, dan mengakibatkan siklus transgresi pada sedimentasi. Bagian bawah dari fase ini disusun oleh Formasi Tanjung bagian atas yang menunjukan karakteristik sag-infill sedimen dan adanya pengaruh laut dari batuan sedimennya. Subsidence terus berlangsung hingga kala Oligosen-Miosen Tengah, menyebabkan Cekungan Barito

(4)

menjadi lingkungan laut dan diendapkannya batuan karbonat yang merupakan penyusun Formasi Berai.

4. Syninversion, pada kala Miosen Tengah terjadi collision antara Lempeng Laut China Selatan dengan Kalimantan Utara, yang menyebabkan terbentuknya Tinggian Kuching, pada saat yang bersamaan tumbukan ke timur Sulawesi mengakhiri pemekaran selat Makasar dan pengangkatan Pegunungan Proto-Meratus. Kedua peristiwa tektonik mengakibatkan pengaktifan kembali dan proses inversi dari sesar-sesar tua pada Cekungan Barito. Proses inversi pada cekungan menjadi lebih kuat ketika terjadi tumbukan antara Lempeng Australia bagian baratlaut dengan Lempeng Eurasia pada kala Pliosen awal. Pengangkatan dari Tinggian Kuching memberikan sedimen supply ke cekungan yang lebih rendah, dan pengankatan Pegunungan-Proto Meratus menyebabkan Cekungan Barito terpisahkan oleh lingkungan laut, sehingga siklus sedimentasi yang sebelumnya transgresi berubah menjadi siklus regresi. Hal ini mempengaruhi pengendapan pada Formasi Warukin dan Formasi Dahor. (Satyana, dan Silitonga,.1994)

2.1.2 Stratigrafi Regional

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, batuan dasar (basement) pada cekungan barito terdiri dari pencampuran antara batuan dasar dari lempeng benua Paparan Sunda dibagian barat yang dikenal dengan sebutan Barito Platform, dan batuan dasar pada zona akresi dibagian timur, yaitu Pegunungan Meratus. Secara umum stratigrafi sedimen-sedimen Tesier pada Cekungan Barito dari formasi tua ke formasi muda secara berurut adalah sebagai berikut :

1. Formasi Tanjung terdiri dari beberapa facies diantaranya (Satyana,dkk.,1994) :

a. Facies Konglomerat terdiri dari Konglomerat alas, dengan komponen sebagian besar terdiri komponen seperti batuan malihan, batuan beku, batuan klastika, batugamping dan kuarsa asap. Komponennya berukuran dari 1 cm sampai 8 cm, berbentuk bulat sampai membulat tanggung,

(5)

terpilah buruk, bermassa dasar batupasir kuarsa berbutir kasar. Facies ini merupakan bagian paling bawah dari Formasi Tanjung yang diendapkan tidak selaras diatas batuan alas Para-Tersier, tebalnya berkisar antara 8 meter dan 15 meter. Di tepi barat Pegunungan Meratus, Facies Konglomerat lebih tebal dari yang di tepi timurnya. Di beberapa tempat di tepi timur ditemukan sisipan batupasir berbutir kasar dengan ketebalan antara 75 cm dan 100 cm, yang memperlihatkan structure sedimen lapisan silang-siur berskala menengah. Adanya perbedaan ketebalan pada Facies Konglomerat dan structure perlapisan silang-siur pada batupasir menunjukkan arah arus purba dari barat.

b. Facies Batupasir Bawah terdiri dari batupasir berbutir sedang sampai kasar setempat konglomeratan. Batupasir ini disusun terutama oleh butiran kuarsa dengan sedikit kepingan batuan vulkanik, rijang, dan feldspar. Facies ini berlapis tebal yaitu antara 50 cm dan 200 cm. Structure sedimennya adalah lapisan sejajar, lapisan silang-siur dan lapisan tersusun. Tebal facies ini terukur di tepi barat Pegunungan Meratus antara 46 meter dan 48 meter, sedangkan di bagian tengah dan tepi timurnya antara 30 meter dan 35 meter.

c. Facies Batulempung Bawah terdiri dari batulempung berwarna kelabu (kecoklatan sampai kehitaman), dengan sisipan batubara dan batupasir. Ketebalan facies ini berkisar dari 28 meter sampai 68 meter. Structure sedimen di dalam batulempung, yang terlihat berupa lapisan pejal, laminasi sejajar, setempat berlaminasi silang-siur dengan ketebalan berkisar antara 3 cm sampai 5 cm. Batubara berwarna hitam mengkilap terdapat sebagai sisipan dengan ketebalan berkisar antara 30 cm dan 200 cm. Setempat lapisan batubara berasosiasi dengan batulempung cm. Setempat lapisan batubara berasosiasi dengan batulempung berwarna kehitaman. Sisipan batupasir berbutir halus sampai sedang dengan ketebalan perlapisan antara 5 cm dan 25 cm, menyendiri atau berkelompok memiliki ketebalan mencapai 10 meter. Structure sedimennya adalah laminasi sejajar dan setempat laminasi silang-siur.

(6)

Setempat ditemukan pula sisipan tufa berwarna putih dengan ketebalan perlapisan antara 5 cm dan 15 cm, sebagian terubah menjadi kaolin.

Gambar 2.1 Proses tektonik dan pengendapan formasi-formasi pada Cekungan Barito bagian timur (Satyana, dan Silitonga, 1994)

d. Facies Batupasir Atas terdiri dari batupasir berbutir halus sampai sedang, berlapis baik, dengan ketebalan perlapisan antara 3 cm dan 25 cm. Tebal facies ini berkisar dari 12 meter sampai 26 meter. Structure sedimennya lapisan sejajar serta lapisan silang-siur pada batupasir berbutir sedang dan laminasi sejajar serta silang-siur pada batupasir berbutir halus dan yang terakhir adalah Facies Batulempung Atas terdiri dari batulempung berwarna kelabu kehijauan dan masif.

(7)

2. Formasi Berai, litologinya terdiri dari batugamping mengandung fosil foraminifera besar seperti Spiroclypeus orbitodeus, Spiroclypeus sp, dll yang menunjukkan umur Oligosen-Miocene Awal. Formasi Berai dibagi menjadi tiga bagian (Satyana,dkk.,1994), yaitu :

a. Berai Bawah disusun oleh batulempung, dan napal. Diendapkan pada lingkungan paralic-neritik

b. Berai Tengah disusun oleh batugamping massif yang diendapkan di lingkungan paparan (shelf)

c. Berai Atas disusun oleh batulempung, napal, dan sisipan batugamping. Diendapkan di lingkungan Lereng Delta

3. Formasi Warukin, batupasir kuarsa dan batulempung sisipan batubara, terendapkan di lingkungan fluviatil-delta dengan ketebalan sekitar 400 meter, berumur Miocene Tengah sampai dengan Miocene Akhir. Formasi Warukin dapat dibagi menjadi tiga bagian (Satyana, 1994, 1995; Mason dkk, 1993; Heriyanto dkk, 1996) yaitu :

a. Warukin Bawah disusun oleh batupasir dengan batulempung gampingan dan lensa batugamping yang tipis. Diendapkan pada lingkungan Muka Delta-Dataran Delta

b. Warukin Tengah disusun oleh batupasir, batulempung gampingan dan batubara. Diendapkan pada lingkungan Dataran Delta

c. Warukin Bawah disusun oleh perlapisan batubara tebal, batulempung pada bagian atas, batupasir berlapis tipus, dan batulempung dengan lensa batubara tipis. Diendapkan pada lingungan Fluvial-Dataran Delta

4. Formasi Dahor, litologinya terdiri dari batupasir kuarsa berbutir sedang terpilah buruk, konglomerat lepas dengan komponen kuarsa berdiameter 1-3 cm, batulempung lunak, setempat dijumpai lignit dan limonit, terendapkan cm, batulempung lunak, setempat dijumpai lignit dan limonit, terendapkan sekitar lingkungan fluviatil paralik dengan tebal sekitar 250 meter, dan berumur Plio-Plistosen. Pada bagian timur cekungan disusun oleh konglomerat sedangkan dibagian barat cekungan formasi ini didominasi oleh batulempung dan batupasir.

(8)

Gambar 2.2 Kolom stratigrafi dari Cekungan Barito yang menunjukan formasi , paleofacies, dan kejadian tektonik (Satyana,dkk,.1994)

2.1.3 Petroleum System 2.1.3.1 Potensi Source Rock

Sedimentasi Tahap pertama dari Formasi Tanjung merupakan sedimen yang diendapkan di graben paleogen berupa alluvial channel dan fan mengalami progradasi hingga ke lingkungan lacustrine. Sejumlah lapisan tipis batubara diduga diendapkan sepanjang tepi danau. Lingkung lacustrine dalam terbentuk pada bagian sumbu graben. Lingkungan ini menghasilkan lingkungan reduksi yang baik bagi akumulasi algae. Lapisan source rock berupa Lacustrine alga dapat membentuk prolific oil.

Carbonaceous clay/ shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di Carbonaceous clay/ shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di temukan sedimentasi tahap 2. Kebnyakan hidrokarbon di Tanjung raya field diduga terbentuk dari tahap 2 ini.

Selain itu Formasi Warukin yang memiliki kandungan batubara yang tebal yang diendapkan pada lingkungan fluvial-delta juga dapat berpotensi menjadi source rock.

(9)

2.1.3.2 Maturation

Dari analisismaturasi Lower Tanjung source rock diketahui :

Pada bagian baratlaut matursi hidrokarbonnya immature early mature, dan pada bagian tengahnya mature, sedangkan dibagian tenggaranya maturasinya overmature ( bagian paling dalam basin ini).

2.1.3.3 Potensi Reservoir

Reservoir utama berupa synrift sand tahap 1, post rift sag fill tahap 2 dan 3. batu pasir synrift pada tahap 1 ( disebut batupasir A dan B atau Z 1015 dan Z 950 ) diendapkan dilingkungan alluvial fan dan lingkungan delta front lacustrine. Memiliki ketebalan 30 50 meter. (Gambar 2.3)

Batupasir pada tahap 2 ( batupasir c dan d atau Z.860 dan Z.825 ) mewakili batupair alluvial fan. Reservoar properties pada batupasir Z.860 ini lebih baik di bandingkan batupasir pada formasi Lower Tanjung, Batupasir ini memiliki sorting yang bagus dan mineralogy maturity yang bagus, ketbalan 25 30 meter, dengan nilai porisitas dan permeabilitas rata-rata yang bagus. Tidak seperti Z.860, batupasir Z.825 tipis dan diskontinyu ( melensa ) dengan ketebalan 3 5 meter. (Gambar 2.3)

Tahap 3 reservoarnya terdiri dari Batupasir e ( Z.710 dan Z. 670 ). Batupasir-E di endapakn pada pantai/ barrier bar pada lingkungan garis pantau yang terus mengalami regresi.Ketebalan maksimum dari batupasir- E ini 30 meter. (Gambar 2.3)

Selain batupasir pada Formasi Tanjung, terdapat beberapa potensi reservoir lainnya, antaralain batugamping pada Formasi Berai, yang memungkinkan pembentukan porositas sekunder, dan batupasir dari Formasi Warukin yang diendapkan pada lingkungan fluvial-delta berpotensi menjadi Warukin yang diendapkan pada lingkungan fluvial-delta berpotensi menjadi sebuah reservoir dikarenakan dimensinya yang cukup tebal.

2.1.3.4 Sealing Rock

Fase postrifting dari transgresi regional/ subsidence setelah pengendapan dari sag-fill sedimen menghasilikan shallow marine mudstone pada tahao 4

(10)

formasi Upper Tanjung. Batuan mudstone marine ini menyediakan sealing yang efektif bagi reservoir Lower Tanjung. Tersusun atas 800 meter dengan dominasi neritic shale dan silty shale.

2.1.3.5 Trap

Hydrocarbon terbentuk, bermigrasi dari Lower-middle tanjung coals, carbonaceous shales, dan lower warukin carbonaceous shales. Kitchen utama terletak pada depocentre basin sekarang.

Sealing rocks dihasilkan dari intra-formational shales. Generation, migration, dan pemerangkapan hydrocarbon terjadi sejak middle early miocene (20 Ma). Barito basin merupakan contoh dari efek interaksi tektonik terhadap tempat pembentukan hydrocarbon (petroleum system).

Gambar 2.3 Formasi Tanjung bagian bawah

Extensional tectonics pada early tertiary membentuk rifted basin, dan grabennya diisi oleh lacustrine tanjung shales dan coals. Lingkungan lacustrine inilah yang akan membentuk tanjung source rocks. Karena subsidence yang terus berlangsung dan rifted structure makin turun, shale diendapkan semakin melebar, dan akan membentuk seal untuk reservoir yang ada dibawahnya. Kondisi ini juga yang menyebabkan penyebaran pengendapan reservoir rocks. Extensional faults

(11)

merupakan media untuk migrasinya hydrocarbon yang terbentuk dibagian terbawah dari graben.

Selama late miocene, basin mengalami permbalikan akibat naiknya Meratus, membentuk asymmetric basin, Barito basin mengalami dipping kearah NW dan makin ke SE semakin curam. Akibatnya bagian tengah dari mengalami subsidence, sehingga tanjung source rocks semakin terkubur, dan menghasilkan kedalaman yang cukup bagi source rock untuk menjadi hydrocarbon.

Hydrocarbon mengisi jebakan melalui patahan dan melalui permeable sands. Pada awal Pliocene, Tanjung source rocks kehabisan liquid hydrocarbon, sehingga membentuk gas dan bermigrasi mengisi jebakan yang telah ada.

Lower Warukin shales pada depocentre basin mencapai kedalaman dari oil window selama plio-pleistocene. Minyak terbentuk dan bermigrasi ke structural traps dibawah warukin sand.

2.2 Konsep Dasar Lingkungan Pengendapan

Lingkungan sedimentasi merupakan bagian dari roman muka bumi yang secara fisika, kimia, dan biologi berbeda dengan roman lainnya misalnya gurun, sungai lembah, dan delta (Selley, R.C., 1985), dan dalam penentuan roman muka bumi tersebut ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: geologi, geomorfologi, iklim, cuaca, kedalaman, temperatur, dan salinitas serta sistem aliran termasuk juga flora dan fauna yang terdapat dalam lingkungan sedimentasinya. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan, sehingga apabila ada perubahan pada salah satu faktornya maka akan menyebabkan perubahan lainnya. Menurut Boggs (1987), lingkungan pengendapan adalah suatu tempat yang memiliki kondisi fisik, kimia, biologi tertentu yang bersifat statis dan dinamis. Kondisi lingkungan pengendapan akan mengontrol proses dan menjadi dinamis. Kondisi lingkungan pengendapan akan mengontrol proses dan menjadi penyebab karakteristik sedimen yang terendapkan dan digambarkan sebagai suatu proses (cause). Sedangkan fasies pengendapan yang merupakan kenampakan suatu tubuh batuan sedimen yang memiliki kekhasan sifat fisik, kimia, biologi, sebagai suatu hasil atau produk dari suatu lingkungan pengendapan tertentu,dinyatakan sebagai suatu respon (effect),(Selley, 1985) (Gambar 2.4) .

(12)

Lingkungan pengendapan terbentuk saling berhubungan satu dengan yang lainnya, misalnya: dataran banjir, alluvial, lingkungan ini mungkin saja dapat menjadi daerah pasang surut kemudian menjadi daerah laut dangkal bahkan mungkin menjadi laut dalam. Hal ini dapat terjadi karena berkaitan dengan naik turunnya muka air laut global yang menyebabkan daratan mengalami trangresi maupun regresi. Hasil dari proses tersebut akan membentuk suatu urutan perubahan fasies secara gradasi kearah vertikal. Hubungan antara fasies dan lingkungan pengendapan pertama kali dikemukakan oleh Walther (1894) yang

dalam Selley, 1985).

Gambar 2.4 Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan

Batuan sedimen telah lama diendapkan dalam tiga kondisi pengendapan utama, yaitu:

1. Kontinental atau terrestrial (darat)

2. Marginal-marine (batas anatar laut dan darat/transisi) 3. Laut

Setiap kondisi pengendapan ini dibagi ke dalam beberapa lingkungan-lingkungan Setiap kondisi pengendapan ini dibagi ke dalam beberapa lingkungan-lingkungan utama, lalu dibagi lagi menjadi sub-lingkungan (Tabel 2.1).

2.2.1. Sistem Pengendapan Fluvial

Sitem fluvial adalah sumber utama pengumpul atau pendistribusi material sedimen yang dihasilkan dari proses pelapukan pada tinggian di daratan dan

(13)

ditransportasi baik itu kelingkungan danau (lacustrine) atau cekungan cekungan laut (marine basin).

Bentuk utama dari aggradasi permukaan fluvial adalah channel yaitu berupa saluran tunggal atau bercabang dengan intensitas kelokan yang besar ataupun kecil (gambar 2.1). Bentuk braided dihasilkan oleh channel dengan intensitas aliran yang kecil (low-river stage weaves) diantara bar-bar multipel (multiple bars channel). Ketika intensitas alirannya bertambah besar, bar-bar tersebut membentuk bidang perlapisan aktif. Bentuk meandering dihasilkan oleh channel dengan intensitas aliran kelokan yang besar yang membentuk bar seiring dengan migrasi channel.

Channel dengan bentuk lurus (straight) didominasi oleh lempung, intensitas kelokan kecil, terbentuk oleh submerged, perpindahan arus terjadi pada perpindahan kelompok-kelompok bar. Segmen channel ini jarang terbentuk pada jarak yang panjang.

Tabel 2.1 Klasifikasi sederhana lingkungan pengendapan (Boggs, 1987) Primary Depositional Setting Major Environment Subenvironment

Continental Fluvial Alluvial fan Braided stream Meandering stream Desert Lacustrine Glacial Marginal-marine Deltaic Delta plain Delta front Prodelta Beach/barrier island Estuarine/lagoonal Tidal flat

Neritic Continental shelf Marine

Neritic Continental shelf Organic reef Oceanic Continental slope

Deep ocean floor

Gambar 2.5 memperlihatkan bahwa gradien kecepatan arus material sedimen pengisi dan ukuran butiran batuan sedimen berkurang dari sumber asal

(14)

material tersebut kearah laut dan terlihat perubahan bentuk channel dari tipe braided pada daerah proximal ketipe straight pada daerah distal (Gambar 2.6). Meskipun demikian harus ditekankan pula bahwa perubahan tersebut tidaklah mutlak karena tergantung pada morfologi daerah sistem fluvial tersebut. Seperti keterangan di atas, Selley (1982) berpendapat bahwa bentuk utama dari channel yang ada yaitu bentuk atau tipe braided dan tipe meander.

Gambar. 2.5. Klasifikasi channel berdasarkan pada bentuk dan tipe sedimen pengisi yang berasosiasi dengan variabel kestabilan relatif (Schumm, 1981 dalam

Evaluation and Respone of Fluvial System)

2.2.1.1 Sistem Braided

Sistem sungai braided ini terbentuk oleh jalinan channel dengan intensitas kelokan yang kecil. Pada daerah ini pengerosian terjadi dengan cepat, proses pengisian material sedimen juga cepat dan seporadis. Oleh karena itu pada umumnya sungai sistem ini kelebihan material sedimen. Pengulangan umumnya sungai sistem ini kelebihan material sedimen. Pengulangan pembentukan bar dan cabang-cabang channel membentuk sistem jaringan braided ini. Sikuen sedimentasi pada sistem braided ini umumnya didominasi oleh material sedimen berbutir kasar dengan sedikit material sedimen berbutir halus pada bagian atasnya dan menunjukan distribusi vertikal batupasir dengan ukuran butir yang relatif seragam (blocky) (Gambar 2.7). Struktur sedimen yang terbentuk

(15)

merefleksikan pengendapan pada energi tinggi dengan aliran yang searah (undirectional flow), tabular cross bedding dan punggungan bar yang lurus memanjang.

2.2.1.2 Sistem Meander

Sikuen umum dari tipe ini didominasi oleh material dengan butiran halus dan memperlihatkan distribusi menghalus kearah atas (fining upward). Struktur sedimen yang berkembang merefleksikan berkurangnya energi arus yang bekerja, yaitu trough cross bedding pada bagian bawah dan parallel lamianasi pada bagian atas channel. Permukaan lateral akresi yang terbentuk merefleksikan perpindahan point-bar secara tegak lurus terhadap arah aliran sungai (Gambar 2.8).

Tipe channel ini terbagi atas tiga subfasies utama yang menghasilkan pengendapan sub-lingkungan yang berbeda yaitu Sub-Lingkungan Flood Plain, Sub-Lingkungan Channel dan Sub-Lingkungan Abandoned Channel.

Gambar 2.6. Perubahan tipe channel dari daerah distal ke arah proximal (Nichols, 2009)

(16)

Sub-Lingkungan Flood plain

Endapan pasir sangat halus, lanau dan lempung, diendapkan pada daerah overbank flood plain sungai. Struktur sedimen yang terbentuk diantaranya parallel laminasi, ripple mark dan kadang-kadang terdapat horison batu pasir yang mengisi struktur shringkage crack, yang diasumsikan terdapat pada daerah subarerial. Terdapatnya tanah (soil) diindikasikan oleh adanya carbonat chaliches, ferruginous laterites dan rootlets horizon. Gambut kemungkinan dapat terbentuk dan juga kumpulan sisa tanaman yang terawetkan pda permukaan lapisan. Sub-fasies ini sebagian besar diendapkan pada arus suspensi selama air sungai melimpah dan memotong bagian tanggung disisinya.

Sub-Lingkungan Abandoned Channel

Sub-fasies abandoned channel terdiri dari endapan batupasir halus berbentuk tapal kuda dan biasanya disebut ox-bow lake yang terbentuk ketika sungai meander memotong bagian lain dari permukaan disekitar sungai tersebut. Endapan pada sub-fasies ini serupa dengan endapan pada sub-fasies floodplain, tetapi dapat dibedakan dari geometrinya, yaitu endapan yang menindih abrasi konglomerat channel lag, tidak terdapat selang dengan sikuen batupasir point-bar.

Sub-Lingkungan Channel

Perpindahan lateral meander channel mengerosi bagian luar dari tepi sungai yang cekung (concave bank), menoreh dasar sungai dan mengendapkan sedimen pada inner bank (point bar). Proses tersebut menghasilkan karakteristik sikuen pada ukuran butir dan struktur sedimen. Pada dasar permukaan bidang erosi diisi oleh material sedimen berbutir kasar, mud pellet dan sisa-sisa kayu. Endapan tersebut disebut sebagai lag deposite pada dasar channel dan ditindih oleh sikuen batupasir dengan distribusi butiran menghalus keatas (fining upward). Struktur massive, lapisan datar (flat bedded) dan trough cross-bedded bergradasi Struktur massive, lapisan datar (flat bedded) dan trough cross-bedded bergradasi menjadi tabular plannar cross-bedded kebagian atas channel.

(17)

Gambar 2.7 Sub-lingkungan pengendapan dan sikuen sedimentasi pada channel braided (Selley, 1982)

Gambar 2.8 Sub-lingkungan pengendapan dan sikuen sedimentasi pada channel meandering (Selley, 1982)

(18)

2.2.2 Sistem Pengendapan Delta

Delta adalah salah satu bentuk lingkungan pengendapan transisi yang merupakan akumulasi sedimen fluvial pada muara sungai. Delta akan terbentuk bila pasokan (supply) sedimen dari sungai lebih besar daripada sedimen yang didispersikan oleh gelombang dan pasang laut atau danau, sehingga akan terbentuk keseimbangan dinamika antara arus sungai dan mekanisma yang bekerja pada suatu cekungan. Bersamaan dengan pembentukan delta tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang khas dan dapat dikenali pada sistem delta yang ada. Morfologi delta tersebut secara umum terbagi atas tiga komponen utama, yaitu: delta plain, delta front dan prodelta. (Gambar 2.9)

2.2.2.1 Dataran Delta (Delta Plain)

Delta plain merupakan bagian delta yang bersifat subaerial yang terdiri dari channel yang sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan baigan daratan dari delta dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut delta dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut dan membentuk suatu daratan rawa-rawa yang didominasi oleh material sedimen berbutir halus, seperti serpih organik dan batubara. Pada kondisi iklim yang cenderung kering (semi-arid) sedimen yang terbentuk didominasi oleh lempung dan evaporit. Wright, 1975).

Daratan delta plain tersebut ditoreh oleh saluran saluran sungai yang bercabang-cabang yang dikenal dengan sebutan distributaries channel jika arus yang datang berasal dari sistem sungai fluvial dan disebut tidal channel jika arus yang datang berasal dari arah laut akibat kuatnya arus tidal.

2.2.2.1.1 Upper Delta Plain 2.2.2.1.1 Upper Delta Plain

Pada bagian ini terletak diatas area tidal atau laut dan endapannya secara umum terdiri dari :

Endapan Distributary Channel

Endapan Distributary Channel terdiri dari endapan braided dan meandering, levee dan endapan point bar. Endapan distributary channel ditandai

(19)

dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan menunjukkan kecenderungan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification, scour and fill dan lensa-lensa lempung.

Endapan point bar terbentuk apabila terputus dari channel-ya. Sedangkan levee alami berasosiasi dengan distributary channel sebagai tanggul alam yang memisahkan dengan interdistributary channel. Sedimen pada bagian ini berupa pasir halus dan rombakan material organik serta lempung yang terbentuk sebagai hasil luapan material selama terjadi banjir.

Gambar 2.9 Morfologi delta beserta sub-lingkungan delta (Nichols, 2009)

Endapan Interdistributary Flood Plain

Endapan interdistributary channel merupakan endapan yang terdapat diantara distributary channel. Lingkungan ini mempunyai kecepatan arus paling kecil, dangkal, tidak berelief dan proses akumulasi sedimen lambat. Pada interdistributary channel dan flood plain area terbentuk suatu endapan yang interdistributary channel dan flood plain area terbentuk suatu endapan yang berukuran lanau sampai lempung yang sangat dominan. Struktur sedimennya adalah laminasi yang sejajar dan burrowing structure endapan pasir yang bersifat lokal, tipis dan kadang hadir sebagai pengaruh gelombang.

(20)

2.2.2.1.2 Lower Delta Plain

Lower delta plain terletak pada daerah dimana terjadi interaksi antara sungai dengan laut, yaitu dari low tidemark sampai batas kehadiran yang dipengaruhi pasang-surut. Pada lingkungan ini endapannya meliputi endapan pengisi teluk (bay fill deposit) meliputi interdistributary bay, tanggul alam, rawa dan crevasse slay, serta endapan pengisi distributary yang ditinggalkan.

2.2.2.2 Muka Delta (Delta Front)

Muka delta (Delta front) terbentuk pada lingkungan laut dangkal dan akumulasi sedimennya berasal dari distributary channel. Batupasir yang diendapakan dari distributary channel tersebut membentuk endapan bar diujung muara dari distributary channel tersebut, atau biasanya disebut distributary mouth bar. Pada penampang stratigrafi, endapan bar memperlihatkan distribusi mengkasar kearah atas (coarsening upward). Bar tersebut dapat menjadi suatu reservoir hidrokarbon yang baik tergantung tipe delta yang terbentuk dan trgantung juga pada rata-rata suplai sedimen yang dibawa oleh sungai (river influx). Diantara distributary mouth bar tersebut terakumulasi lempung lanauan (silty mud) atau lempung pasiran (sandy mud) yang bergradasi menjadi lempung kearah lepas pantai. Menurut Coleman (1969) dalam Fisher (1969), lingkungan pengendapan delta front dapat dibagi menjadi beberapa sublingkungan dengan karakteristik asosiasi fasies yang berbeda, yaitu :

Subaqueous Levees

Merupakan kenampakan fasies endapan delta front yang berasosiasi dengan active channel mouth bar. Fasies ini sulit diidentifikasi dan dibedakan dengan fasies lainnya pada endapan delta masa lampau.

dengan fasies lainnya pada endapan delta masa lampau. Channel

Channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian dasar urutan fasies dan menghalus ke atas. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification, scoure and fill.

(21)

Pada lingkungan ini terjadi pengendapan dengan kecepatan yang paling tinggi dalam sistem pengendapan delta. Sedimen umumnya tersusun atas pasir yang diendapkan melalui proses fluvial. Strukur sedimen yang dapat dijumpai antara lain : current ripple, cross bedding dan massive graded bedding.

Distal Bar

Pada distal bar, urutan fasies cenderung menghalus ke atas, umumnya tersusun atas pasir halus. Struktur sedimen yang umumnya dijumpai antara lain : laminasi, perlapisan silang siur tipe through

2.2.2.3 Delta (Pro Lereng delta)

Prodelta merupakan kelanjutan dari delta front kearah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar menjadi endapan batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir. Daerah ini merupakan bagian distal dari delta dimana hanya terdiri dari akumulasi endapan suspensi halus (suspended silt and clay). Pada endapan prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang merupakan karakteristik endapan laut. Prodelta ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan endapan paparan, tetapi pada prodelta ini endapannya lebih tipis dan memperlhatkan pengaruh proses endapan laut yang tegas.

Prodelta merupakan sublingkungan transisi antara delta front dan endapan normal marine shelf yang berada di luar delta front. Prodelta merupakan kelanjutan delta front ke arah laut dengan perubahan litologi dari batupasir bar ke endapan batulempung dan selalu ditandai oleh zona lempungan tanpa pasir. Daerah ini merupakan bagian distal dari delta, dimana hanya terdiri dari akumulasi lanau dan lempung dan biasanya sendiri serta fasies mengkasar ke atas memperlihatkan transisi dari lempungan prodelta ke fasies yang lebih batupasir dari delta front. Litologi dari prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang dari delta front. Litologi dari prodelta ini banyak ditemukan bioturbasi yang merupakan karakteristik endapan laut. Struktur sedimen bioturbasi bermacam-macam sesuai dengan ukuran sedimen dan kecepatan sedimennya. Struktur deformasi sedimen dapat dijumpai pada lingkungan ini, sedangkan struktur sedimen akibat aktivitas gelombang jarang dijumpai. Prodelta ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan endapan paparan (shelf), tetapi pada prodelta ini

(22)

sedimennya lebih tipis dan memperlihatkan pengaruh proses endapan laut yang tegas.

Karakteristik batuan sedimen pada tiap sub-lingkungan pada delta akan menunjukan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya, tergantung kepada letak diendapkannya batuan sedimen tersebut. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan proses sedimentasi pada tiap sub-lingkungan yang ada pada delta yang dipengaruhi oleh supply sedimen, tempat akomodasi, arus sedimentasi, pengaruh muka air laut dan lain sebagainya. Pada Gambar 2.10 diperlihatkan beberapa suksesi vertikal dari batuan sedimen pada tiap sub-lingkungan delta.

Gambar.2.10 Suksesi vertikal dari batuan sedimen di tiap lokasi pada sistem delta. (Nichols, 2009)

2.3 Konsep Dasar Well Log 2.3 Konsep Dasar Well Log

Well log geofisika merupakan hasil pencatatan menerus dari suatu parameter geofisika sepanjang lubang bor. Nilai-nilai pengukuran diplot secara menerus terhadap kedalaman sumur. Nama yang tepat untuk hal tersebut adalah wireline geophysical well log, atau dapat disingkat menjadi well log atau log.

(23)

Kegunaan dasar dari wireline logs dilihat dari aspek petrofisika dan geologi umum dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kegunaan Dasar Wireline Logs; - (Pada dasarnya) kegunaan kualitatif; + kegunaan semi-kuantitatif dan kuantitatif; * kuantitatif

Kegunaan Petrofisika Geologi Umum

Log

Porositas Permeabilitas Volume Lempung Salinitas Air Formasi Saturasi Hidrokarbon Identifikasi Gas Litologi (umum) Identifikasi Mineral Korelasi StratigrafiFasies Lingkungan Pengendapan

SP - + * - - Resistivity + - - * - - - - Gamma Ray + - - - - Sonic * - + - Density * - + - - Density * - + - - Neutron * - - + - -

2.3.1. Spontaneous Potential Log

Perbedaan SP merupakan hasil dari suatu potensial elektron yang hadir antara lubang bor dan formasi sebagai hasil dari perbedaan salinitas antara Rmf (mud filtrate) dan Rw (air formasi). Spontaneous Potential Log dapat digunakan untuk:

1. Mendeteksi lapisan-lapisan permeabel, 2. Mendeteksi batas-batas lapisan permeabel, 3. Menentukan resistivitas air formasi (Rw), dan 3. Menentukan resistivitas air formasi (Rw), dan

4. Menentukan volume lempung (Vsh) dalam lapisan permeabel Vsh (%) = 1.0 - x 100

Dimana,

(24)

PSP = pseudo static spontaneous potential (SP formasi lempungan) SSP = static spontaneous potential suatu clean sand atau karbonat

SSP = - K x log (Rmf/Rw) K = 60 + (0.133 x Tf)

Kurva SP dapat ditekan oleh lapisan-lapisan tipis, kelempungan, dan 9

kehadiran gas.

2.2.2. Gamma Ray Log

Gamma ray log merupakan log litologi yang mengukur radioaktifitas alami suatu formasi. Radiasi memancar dari uranium, thorium dan potassium yang terbentuk secara alami. Karena material radioaktif terkonsentrasi dalam lempung, lempung memiliki bacaan gamma ray yang tinggi. Sedangkan batupasir dan karbonat memiliki bacaan gamma ray yang rendah. Gamma ray log digunakan untuk identifikasi litologi, korelasi antar formasi, dan menghitung volume lempung.

2.3.3. Resistivity Log

Log resistivitas merupakan suatu pengukuran resistivitas formasi, yaitu ketahanannya terhadap lintasan arus listrik. Log ini dapat digunakan untuk:

1. Menentukan zona-zona pembawa air dan hidrokarbon, 2. Mengindikasi zona-zona permeabel, dan

3. Menentukan resistivitas porositas.

Sebagian besar mineral-mineral pembentuk matriks batuan dan hidrokarbon dalam pori-pori itu tidak konduktif, sehingga kemampuan batuan untuk meneruskan arus listrik hampir seluruhnya merupakan suatu fungsi dari air dalam pori-pori batuan.

pori-pori batuan.

Konduktivitas suatu batuan diakibatkan oleh adanya air yang mengisi celah pori (air formasi) yang mengandung garam-garam pembawa arus yang terpisah. Rangka batuan merupakan sesuatu yang non-konduktor tetapi memainkan suatu peran yang terlihat secara kuantitatif oleh Ro = F x Rw. Dalam

(25)

campuran lempung dan material-material non-konduktif, konduktifitas dihasilkan oleh air formasi tetapi juga oleh lempung itu sendiri.

2.3.4. Porosity Logs

Terdapat 3 jenis log porositas, yaitu sonic, density, dan neutron.

2.3.4.1 Sonic Log

Sonic log merupakan suatu log porositas yang mengukur interval waktu i formasi dan unitnya adalah microsecond per foot (µsec/ft).

2.3.4.2 Density Log

Density log merupakan suatu log porositas yang mengukur densitas elektron suatu formasi (Gambar 2.11). Densitas elektron formasi ini berkaitan dengan bulk density b) formasi dalam g/cc dan dapat dikaitkan juga dengan porositas formasi.

2.3.4.3 Neutron Log

Neutron log merupakan suatu log porositas yang mengukur konsentrasi ion hidrogen dalam formasi. Dalam formasi yang tidak mengandung lempung dimana porositas diisi oleh air, neutron log dapat dikaitkan dengan porositas yang diisi oleh air.

Dalam reservoir gas, neutron log akan mencatat porositas yang rendah dibandingkan dengan porositas formasi sebenarnya karena gas memiliki konsentrasi ion hidrogen yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak atau air (efek gas) (Gambar 2.11).

(efek gas) (Gambar 2.11).

2.3.4.4 Neutron-Density Log

Neutron-density log merupakan suatu kombinasi dari log porositas. Porositas dapat ditentukan dari neutron-density log dengan grafik crossplot atau dengan formula/persamaan (Gambar 2.11).

(26)

Tiap batuan dibawah permukaan bumi akan menunjukan respon log yang berbeda-beda, tergantung pada batuan itu, kandungan fluida pada batuan, dan jenis log itu sendiri yang mempunyai reaksi terhadap kandungan tertenu yang dimiliki oleh batuan. Beberapa contoh respon log dari berbagai jenis log dari tiap litologi akan ditunjukan pada gambar 2.11.

2.3.5 Anotasi Elektrofasies

Elektrofasies dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian respon dan karakteristik well log yang dapat dipisahkan dari elektrofasies lain (Rider, 1996). Fasies dalam ilmu geologi umum, mungkin tidak identik dengan elektrofasies. Tujuan utama anotasi elektrofasies adalah mempersiapkan kumpulan data well log untuk analisis lingkungan pengendapan atau fasies. Anotasi yang harus ditandai pada log adalah:

Gambar 2.11 Neutron-density log yang ideal, respon kombinasi dalam satu seri Gambar 2.11 Neutron-density log yang ideal, respon kombinasi dalam satu seri

evaporit murni

a. Baseline

Baseline merupakan suatu nilai log yang secara vertikal konstan, memiliki arti secara litologi maupun stratigrafi. Karena setiap sumur dilakukan oleh

(27)

perusahaan dan waktu yang berbeda, maka perlu dilakukan normalisasi nilai Gamma Ray agar semua sumur memiliki nilai baseline/cut off yang sama. b. Trend Lines

Suatu tren log merupakan perubahan menerus dalam satu nilai log melalui beberapa ketebalan, baik bertambah maupun berkurang. Tren mungkin bisa lebih dari satu meter, jika berhubungan dengan lapisan-lapisan dan kontak lapisan, puluhan meter, jika berhubungan dengan siklus atau sikuen, atau lebih dari ratusan meter jika berhubungan dengan struktur yang besar atau pengisi cekungan. Tren melalui ketebalan yang kecil dapat terjadi dalam tren yang lebih panjang sebagai variasi ordo kedua (Gambar 2.12). Tren dengan ketebalan yang besar mungkin mengindikasikan perubahan yang menerus dalam sedimentasi.

(28)

c. Shapes

Suatu bentuk log dapat dikenali, tetapi tidak dengan pola log yang kompleks. Bagaimanapun, bentuk-bentuk ini mungkin terjadi dalam setiap litologi, pada setiap log, dalam setiap bentuk dan di banyak skala. Bentuk harus ditandai pada log yang akan menjadi indikator fasies (Gambar 2.13).

1. Bell shape, dapat diindikasikan sebagai batupasir yang menghalus ke atas. fluviatil, dan point bar. Secara umum merupakan indikasi sikuen yang menghalus ke atas yang kemungkinan berupa channel fluvial/aluvial dan juga batupasir paparan transgresif.

2. Funnel shape, dapat diindikasikan sebagai suksesi mengasar ke atas, prograding estuarine shoreline, progradasi deltaic atau progradasi laut

dangkal.

3. Cylinder (Blocky) shape, bentuk ini biasanya dominan pada batupasir channel fluvial, turbidit, dan Aeolian. Evaporit juga dapat memiliki bentuk blocky.

(29)

Data yang lebih banyak diperlukan untuk membedakan sesar dengan ketidakselarasan. Dipmeter dan seismik kemungkinan dapat memperkuat hipotesis sesar. Dipmeter, seismik, dan faunal dating juga dapat digunakan untuk identifikasi ketidakselarasan (Gambar 2.14).

d. Abrupt Breaks d. Abrupt Breaks

Perubahan mendadak dapat mengindikasikan perubahan litologi, perubahan struktural, perubahan fluida, tetapi yang paling penting adalah bahwa hal itu

suatu perubahan fasies secara vertikal yang saling berhubungan (secara lateral). Di bawah ini perubahan-perubahan mendadak yang dapat diidentifikasi:

1. Perubahan yang berhubungan dengan Litologi: erosi, penggenangan, catastrophe

2. Perubahan non-litologi: ketidakselarasan, sesar, perubahan diagenetis, perubahan fluida

e. Anomali e. Anomali

Nilai anomali log memiliki arti stratigafi. Konsentrasi mineral-mineral yang tidak biasa pada ketidakselarasan atau dalam tanah-tanah yang keras akan sering menciptakan suatu puncak gamma ray yang besar (Gambar 2.15).

2.4 Konsep Dasar Interpretasi Seismik

Interpretasi dan analisis data seismik dalam pencarian hidrokarbon merupakan salah satu bagian pekerjaan paling utama bagi para ahli ilmu kebumian (earth scientist) untuk menginterpretasi keadaan bawah permukaan. Perkembangan teknologi dari seismik dua dimensi (seismik 2-D) menjadi seismik tiga dimensi (seismik 3-D), menempatkan metoda ini sebagai salah satu acuan tiga dimensi (seismik 3-D), menempatkan metoda ini sebagai salah satu acuan dalam pemodelan struktur dan stratigrafi suatu daerah sebelum dilakukan pemboran eksplorasi ataupun dalam pengerjaan lanjutan suatu lapangan.

Tujuan yang paling penting dalam interpretasi seismik adalah mengolah data seismik menjadi informasi geologi sebanyak mungkin dalam bentuk-bentuk struktur, stratigrafi dan sejarah geologi. Seorang interpreter diharapkan mampu

(30)

memberikan jawaban yang paling dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan hasil analisa seluruh data yang ada. Interpretasi adalah membuat pemodelan dari suatu daerah prospek dimana diperlukan pengalaman dan imajinasi untuk mengembangkan interpretasi yang mengarah pada perkembangan baru dari daerah yang sedang diteliti.

Gambar 2.14 Contoh dari abrupt breaks (perubahan mendadak) (Rider, 1996)

Gambar 2.15 Puncak anomali gamma ray pada suatu ketidakselarasan. (Rider, 1996)

(31)

Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dalam interpretasi seismik. 1. Interpretasi Sesar-sesar mayor, suatu interpretasi struktural dasar dengan

memprediksi kesamaan kejadian.

2. Picking horizon kunci, horizon-horizon dipilih terutama pada kontinuitasnya melalui volume.

3. Interpretasi sesar secara rinci.

4. Horizon-horizon kunci pengisian celah-celah, data di-picking pada setiap line dan trace berdasarkan gridnya.

5. Interpolasi horizon, dilakukan untuk mengisi celah-celah di area dan memberikan permukaan lengkap untuk visualisasinya.

6. Membandingkan/Horizon slicing, bertujuan untuk menghasilkan irisan waktu secara geologi dan identifikasi geometri pengendapan yang dapat digunakan untuk menentukan fasies.

7. Pembuatan peta kedalaman dan atribut seismik, atribut yang digunakan meliputi peta dip dan peta azimuth (digunakan untuk koreksi struktur), dan juga peta amplitudo (RMS Amplitude).

8. Pemetaan properti reservoir, atribut peta-peta tersebut berhubungan dengan semua data geologi termasuk core, palinologi dan data log untuk menghasilkan peta lingkungan pengendapan dan model geologi untuk systems tracts mayor pada tingkatan prospektif.

9. Visualisasi akhir, hasilnya dapat digunakan untuk perencanaan well dan diskusi multidisiplin selanjutnya.

Gambar

Gambar 2.1 Proses tektonik dan pengendapan formasi-formasi pada Cekungan  Barito bagian timur (Satyana, dan Silitonga, 1994)
Gambar 2.2 Kolom stratigrafi dari Cekungan Barito yang menunjukan formasi ,  paleofacies, dan kejadian tektonik (Satyana,dkk,.1994)
Gambar 2.3 Formasi Tanjung bagian bawah
Gambar 2.4 Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga membuat anak-anak kurang aktif dalam kegiatan proses pembelajaran Menciptakan konten pendidikan interaktif dengan memanfaatkan teknologi Augmented Reality (AR)

Terkait pernyataan tersebut mengingatkan pada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat berimplikasi terhadap proses pengawasan

terhadap laju aliran massa, konsumsi spesifik bahan bakar, heat rate (tara kalor), dan efisiensi termal pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).. Membandingkan prakiraan

Setiap sambungan siku ULTRA menggunakan satu kunci ‘love heart’ dari fiberglas dengan dua baud yang berfungsi untuk menyetel mengencangkan canvas.. Palang model

Bentuk tindakan dalam penelitian ini berupa supervisi (bimbingan kelompok) kepada guru- guru melalui kegiatan rapat konsultatif, agar mampu menyusun skenario pembelajaran dan

Apakah Anda pernah menggunakan pangkalan data terpasang bidang Ekonomi dan Bisnis (Proquest, JSTOR dan Elsevier Science Direct) yang disediakan oleh perpustakaan.. [a] Ya

Surat berharga yang dijual dengan janji dibeli kembali (repo ) Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo ) LAPORAN KEUANGAN NERACA BANK POS

Fokus penatalaksanaan diabetes merupakan komponen perawatan diri diabetes yang telah terangkum dalam kuesioner the Summary of Diabetes Self Care Activities (SDSCA)