• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Dan Pengertian Jurnalisme

Jurnalistik (journalistic) secara harfiyah artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya “jurnal” artinya laporan atau catatan, yang berasal dari bahasa Yunani kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak. Secara konseptual jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.

Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengelolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktifitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).

Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” atau “keterampilan” menulis karya jurnalistik termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara. Yang dimaksud karya jurnalistik adalah berita (news) dan opini (views).

Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik merupakan ilmu terapan yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. sebagai ilmu, jurnalistik termasuk dalam kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi yang kepada kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan. (Asep Samsul, 2004:17-18). Asal muasal lahirnya jurnalisme dalam kehidupan manusia. Kapan jurnalistik ini lahir? Dalam bukunya yang terkenal the elements of jurnalism (new york:2001), Bill Kovach dan Tom Rosentstiel mencatat bahwa pada akhir abad pertengahan, berita datang dalam bentuk lagu dan cerita, dalam belada-balada yang disenandungkan para pengamen keliling. Apa yang mungkin dianggap sebagai jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad 17 dan betul-betul lahir

(2)

dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe di Inggris. Surat kabar pertama muncul dari kafe-kafe di Inggris sekitar tahun 1609, ketika percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip, dan argumen politik yang menyebar dari kafe-kafe dan dicetak secara sederhana di atas kertas. Dalam catatan lain disebutkan pula bahwa produk jurnalistik pertama berupa surat edaran bernama Acta Diurna yang terbit di Roma kuno (Romawi) pada 59 sebelum masehi yang isinya menyajikan peristiwa-peristiwa sosial dan politik. Begitu pula di Cina, pada masa Dinasti Tang diterbitkan selebaran pendek yang disebut pao atau laporan yang diterbitkan pejabat pemerintah.produk jurnalistik ini dalam beberapa bentuk dan sejumlah nama , berlangsung hingga akhir Dinasti Ching pada tahun 1911. (Zaenuddin HM, 2011:1)

Surat kabar pertama di Indonesia terbit pada zaman pemerintahan Van Imhoff 7 Agustus 1744 dalam bentuk cetakan yang bernama bataviasche nouvelles en politique raisonementen. Pada tahun 1929 di zaman pemerintahan Gubernur Jendral Daendels diterbitkan pula javasche courant. Semua surat kabar yang terbit pada masa itu menggunakan bahasa Belanda karena wilayah Indonesia masih dalam koloni atau jajahannya. (Zaenuddin HM, 2011:1-2)

Pelopor pers nasional Indonesia ialah surat kabar medan prijaji yang pertama kali terbit mingguan pada tahun 1907 dengan pimpinan redaksinya adalah RM Tirtoadisuryo, dan di berbagai wilayah Indonesia terbit surat kabar yang terkemuka. Di Jakarta menjelang abad ke 20 terbit Taman Sari dibawah pimpinan F Wiggers, dan Pemberita Betawi dipimpin J Hendrik. Di Bandung, Raden Ngabehi TA sejak 1894 memimpin Pewarta Hindia, sedangkan di Semarang, ada Bintang Pagi dan Sinar Djawa. (Zaenuddin HM, 2011:2-3)

Bagi seorang reporter atau wartawan, khususnya media cetak, baik itu Surat kabar atau majalah, harus mengetahui apa itu berita? Sebab tugas pokok dari seorang wartawan adalah mencari berita, menulis atau menyusun berita, kemudian mengirimkan berita ke media di mana si wartawan tersebut menjadi anggota dari media tersebut. Dalam pengertian sederhana berita adalah fakta atau informasi yang ditulis oleh wartawan, dan dimuat di media pers. Baik itu di Surat Kabar, di Majalah, di Radio ataupun di Televisi. Nothlife, seorang ahli komunikasi

(3)

berpendapat: “If a dog bites a man, it is not news. But if a man bites a dog is news”. Jika seorang anjing menggigit seorang manusia, hal itu bukan berita. Akan tetapi sebaliknya, jika manusia menggigit anjing itu adalah berita”. Disini menitik beratkan kepada keanehan, yang mampu menarik perhatian manusia itu berita.(widodo, 1997:17).

Secara teknis jurnalistik, pengelompokan berita meliputi antara lain; berita langsung (straight news), berita foto (photo news), berita suasana-berita warna (colour news), berita menyeluruh (chomprehensive news), berita mendalam (depth news), berita penafsiran (interpretative news), dan berita penyelidikan (investigative news). Begitu pula dalam pengelompokan opini, seperti meliputi: tajuk rencana atau editorial, karikatur, pojok, artikel, kolom, dan surat pembaca. (Sumadiria, 2011:2).

Untuk memisahkan secara tegas antara berita (news) dengan opini (views), maka tajuk rencana, karikatur, pojok , artikel, dan surat pembaca di tempatkan di satu halaman khusus. Inilah yang disebut halaman opini (opinion page). Pemisah secara tegas berita dan opini tersebut merupakan konsekuensi dari norma dan etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta objektif, diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pemandangan yang sifatnya subjektif. (Sumadiria, 2011:3).

2.1.1 Tajuk rencana atau editorial adalah suatu bentuk opini yang lazim ditemukan dalam surat kabar dan berisikan pendapat, sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, dan konrtoversial yang berkembang dalam masyarakat.

2.1.2 Karikatur diartikan sebagai opini redaksi media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukan unsur humaniora, anekdot, kelucuan, agar siapapun yang melihatnya bisa tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri. 2.1.3 Pojok adalah kutipan pernyataan singkat nara suber atau peristiwa

tertentu yang dianggap menarik atau konversial, untuk kemudian dikomentari oleh pihak redaksi dengan kata-kata atau kalimat yang

(4)

mengusik, menggelitik dan adakalanya reflektif. Tujuannya untuk “mencubit”, mengingatkan, menggugat, kritis tapi tetap etis.

2.1.4 Kolom adalah opini singkat seseorang yang lebih banyak menekankan aspek pengamatan dan pemaknaan terhadap suatu persoalan atau keadaan yang terdapat dalam masyarakat. Dan lebih banyak mencerminkan cap pribadi penulis, sifatnya memadat memakna bandingkan dengan sifat artikel yang lebih banyak memapar melebar, dan kolom ditulis inferensial.

2.1.5 Surat pembaca adalah opini singkat yang ditulis oleh pembaca dan dimuat dalam rubrik khusus surat pembaca. Surat pembaca biasanya berisikan keluhan atau komentar pembaca tentang apa saja yang menyangkut kepentingan dirinya atau masyarakat.

Kini setelah inonesia merdeka, jurnalistik telah mengalami pertubuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Pers Indonesia modern tidak lagi sebagai alat perjuangan semata, tetapi telah menjadi industri dan lembaga bisnis. Jumlah surat kabar, majalah, radio, televisi, dan internet nyaris tidak bisa lagi terhitung dengan jari. Keberadaan media-media cetak dan elektronik serta online berkembang pesat seiring dengan perkembangan kehidupan masyaraat Indonesia. Jurnalistik atau berita sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang pada masa sekarang disajikan secara canggih, kini Indonesia telah memasuki era jurnalisme global dan modern. (Zaenuddin HM, 2011:3)

2.2 Bentuk-Bentuk Jurnalistik 1. Jurnalistik Media Cetak 2. Jurnalistik Media Elektronik 3. Jurnalistik Media Online

2.2.1 Jurnalisme Media Cetak

Jurnalisme media cetak adalah berita-berita yang disiarkan melalui benda cetak. Dalam sejarahnya, jurnalistik media cetak adalah bentuk jurnalistik pertama sebelum munculnya radio, televisi, dan internet. Dari segi format atau ukurannya,

(5)

media massa cetak terbagi menjadi berbagai segi. Pertama, format broadsheet, yakni media cetak yang berukuran surat kabar umum. Di Indonesia hampir seluruh surat kabar berukran sama karena yang digunakan ukuran standar internasional. Kedua, format tabloid, yakni media yang ukurannya setengah dari format broadsheet. Dengan ukuran tersebut, mereka dengan mudah membaca koran dengan tanpa membua lebar-lebar, yang bisa mengganggu orang di sebelahnya. Ketiga, format majalah, yakni setengah ukuran tabloid. Pengertian format ini selain karena ukuran, juga karena halaman demi halaman diikat dengan kawat (diheker)juga menggunakan sampul yang jenis kertasnya lebih tebal dan lebih mengkilap bila dibandingkan dengan kertas halaman dalam. Keempat, format buku, yakni ukuran setengah halaman majalah. (Zaenuddin HM, 2011:3-4).

Koran, tabloid, dan majalah memiliki perbedaan bukan hanya dari segi format atau dari ukuran kertasnya saja, melainkan dari jadwal terbit dan isinya. Koran nasional, sedangkan tabloid dan majalah umumnya terbit seminggu sekali atau sastu bulan sekali. Ada juga media cetak format tabloid yang terbit dua kali sepekan (kecuali koran tempo, meski bentuknya tabloid, sesungguhnya koran kran yang terbit setiap hari). (Zaenuddin HM, 2011:4).

2.2.2 Jurnalistik Media Elektronik

Selain melalui media massa cetak, kita juga mengenal jurnalistik untu media elektronik khususnya radio dan televisi. Bahkan, kini sudah muncul jurnalisik yang disiarkan lewat internet yang disebut situs berita atau media online. Dalam beberapa hal, media elektronik telah mengungguli media cetak, terutama karena kekuatan audio-visualnya. (Zaenuddin HM, 2011:5).

Televisi kini merupakan media dominan dalam komunikasi massa di seluruh dunia, dan sampai sekarang masih terus berkembang. Artinya televisi di masa modern seperti sekarang telah menjadi primadona media massa yang bisa merangkum banyak wilayah kehidupan manusia; informasi, hiburan, gaya hidup, politik, ekonomi, sport, dan budaya, yang dikemas dan dikelola secara bisnis.

(6)

Dibanyak negara maju, televisi telahmenjadi media massa yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial dan budaya. (Zaenuddin HM, 2011:6).

Di Indonesia, jurnalistik media elektronik juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1980-an , radio masih memiliki penggemar dan mejadi teman setia keluarga di desa-desa maupun di kota. Lewat siaran radio, masyarakat dapat memperoleh informasi setiap saat, melainkan hiburan yang murah meriah. Kini penggemar semakin menciut dan terspesialisasi karena masyarakat sudah mulai jarang mendengarkan siaran radio, apalagi siaran berita. (Zaenuddin HM, 2011:6).

2.2.3 Jurnalistik Media Online

Harus diakui, jurnalistik media online memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan jurnalisik madia cetak. Pertama, berita-berita yang disampaikan jauh lebih cepat, bahkan dalam beberapa menit dapat di up-date. Faktor kecepata inilah yang tidak diperoleh lewat media cetak dan media online dapat dibutuhkan bagi ereka yang ingin mengetahui perkembangan dunia setiap saat, termasu foto-foto yang menyertai berita tersebut. Kedua, untuk mengakses berita- berita yang disajikan, tidak hanya dilakukan lewat komputer atau laptop yang dipasang lewat internet, tetapi lewat ponsel atau HP pun bisa sehingga sangat mudah dan praktis. Tidak heran bila kalangan profesional yang sibuk dan membutuhkan berita-berita yang aktual memilih berlangganan media online disamping koran atau majalah. Ketiga, pembaca media online dapat memberikan tanggapan atau komentar secara langsung terhadap berita-berita yang sukai atau berita-berita yang tidak disukainya dengan mengetik pada kolom komentar yan sudah disediakan. Pembaca dapat mengekspresikan pikiran dan unek-uneknya jadi pembaca tidak perlu menulis surat pembaca yang pemuatannya bisa memakan waktu beberapa hari. (Zaenuddin HM, 2011:8).

Maka dari itu, jika media online dikelola dengan sangat baik dan profesional, boleh jadi akan menyaingi bahkan menggusur media cetak seperti koran atau tabloid yang digarap dengan „asal-asalan‟kenyataan ini juga akan

(7)

berdampak pada membesarnya minat kalangan muda untuk berkarier di dunia jurnalistik media online. (Zaenuddin HM, 2011:9).

2.3 Sejarah Dan Perkembangan Sastra Indonesia

Masalah anhkatan sastra tak lepas dari kaitannya dengan penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sajarah sastra Indonesia itu tak dapat mengesampingkan pemecahan masalah angkatan dalam Sastra Indonesia. Sejarah sastra merupakan salah satu dari cabang studi sastra yang oleh Rene Wellek (1968:39) dipecahkan menjadi tiga: teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra. Teori sastra berhubungan dengan karya sastra yang kongkret; sedang sejarah sastra ialah studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahirnya sampai perkembangannya yang terakhir. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:2).

Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu kewaktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan Indonesia, dengan demikian sejarah sastra itu tak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra. Pengertian periode disini ialah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvesi-konveksi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat diruntut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa masalah angkatan tak dihindari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, ataupun penulisan-penulisan sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan angkatan dari periodisasi. Angkatan sastra disini juga tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena mereka hidup dalam kurun masa yang sama atau periode tertentu itu, tentulah ada saling pengaruh hingga mereka mempunyai ide, gagasan, pemikiran, semangat yang sama atau setidak-tidaknya ada kemiripannya. Dalam biadang kesusastraan, ide, gagasan, pikiran, semangat itu dituangkan dalam bentuk karya sastra. Karya sebuah angkatan berupa kumpulan karya sastra itu menunjukan ciri-ciri intrinsik yang sama, hampir sama, atau mirip. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:2).

(8)

Secara umum kesusastraan Indonesia adalah gambaran dari proses pertemuan antara nilai-nilai tradisional (nilai-nilai subkultur) dengan nilai-nilai baru dari kebudayaan baru (barat). Pertemuan nilai-nilai tersebut lebih banyak terlihat dalam bentuk-bentuk konflik. Didalam sastra indonesia, lebih banyak yang terlihat (terungkap) arah dari pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana dan pikiran-pikiran pokok yang terlihat di dalam surat kepercayaan Gelanaggang Angkatan 45. Hampir seluruh roman-roman Angkatan Balai Pustaka (Dua Puluhan) mengungkapkan masalah feodalisme. Mempertanyakan dan memberikan kritik yang pedas terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem feodalisme tersebut. (Mursal Esten, 2013:56).

Sebelum sebuah angkatan lenyap sama sekali, maka akan mulai tumbuh benih-benih angkatan baru. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu yang menyebabkan lahirnya gagasan sastra baru. Sebelum sebuah angkatan berakhir, biasanya karena situasi dan kondisi tertentu yang istimewa, maka timbul gagasan baru yang biasanya didukung oleh sebuah generasi sastra baru yang mulai menampakan diri. Setelah angkatan baru terintegrasi, akan tampak ciri-ciri sastra angkatan tersebut akan menjadi dominan dalam kurun masa tersebut. Dengan demikian, betul-betul sudah ada angkatan baru yang tercermin dalam karya-karya sastranya yang menunjukan adanya persamaan-persamaan intrinsik karya sastra. Dalam studi sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra itu sendiri, bahwa kesusastraan jangan selalu dikonsepsi hanya sebagai cermin pasif atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan intelek manusia, sastra hendaknya ditetapkan dengan kreteria sastra yang murni, dan bila bersamaan dengan perkembangan politik, sosial, artistik, dan sejarah intelektual, maka tak ada keberatannya. Akan tetapi titik pangkal sastra haruslah dari perkembangan sastra sebagai sastra. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:3).

Di dalam puisi, masalah itu akan terlihat dalam bagaimana perkembangan penghayatan para penyair (di dalam karya puisi-puisi mereka). Terhadap kemerdekaan. Bergerak dari mulai merindukannya (puisi-puisi M. Yamin dan Rustam Effendi), mencita-citakan (dalam puisi-puisi Amir Hamzah,J.E. Tatengkeng, ataupun puisi-puisi Sutan Takdir Alisyahbana), mempersoalkan dan

(9)

memberontak (dalam puisi Chairil Anwar), menghayatinya (dalam puisi-puisi Goenawan dan Sapardi Djoko Damono), sampai kepada bentuk yang lebih “ekstrim” (dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar).proses perkembangan dan penghayatan terhadap kemerdekaan tersebut didalam puisi-puisi Indonesia juga memperlihatkan suatu gambaran dari proses pertemuan dan bantuan-bantuan nilai antara nilai-nilai tradisional (subkultur) dengan nilai-nilai baru dari kebudayaan yang baru. (Mursal Esten, 2013:58).

Perkembangan sastra Indonesia yang demikian tidak hanya terbatas dengan tema-tema, amanat karya sastra, serta dalam visi kepengarangan, akan tetapi juga akan terlihat pengaruhnya terhadap struktur terhadap karya sastra tersebut. Di dalam perkembangan Sastra Indonesia terlihat kecenderungan untuk mempertanyakan dan kemudian meninggalkan secara berangsur-angsur nilai-nilai tradisional untuk menggantinya dengan nilai-nilai yang baru (yang berasal dari nilai-nilai kebudayaan barat). Pertemuan nilai-nilai banyak berlangsung melalui proses konflik-konflik. (Mursal Esten, 2013:63).

Kelahiran Kesusastraan Indonesia Modern atau sastra Indonesia modern adalah tahun 1920 karena disekitar tahun itu secara nyata baru ada karya sastra dan mengingat bahwa secara resmi telah diakui pada tahun 1908, tahun dimana lahirnya Budi Utomo (20 mei 1908) sebagai tahun kebangkitan nasional Indonesia. Oleh karena itu, karya cipta budaya, termasuk sastra, sesudah itu dapat dianggap secara resmi adalah karya sipta budaya Indonesia modern. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:58).

Dalam menyusun sejarah sastra Indonesia perlu dibuat deskripsi mengenai ciri-ciri sastra pada setiap periode yang merupakan ciri khusus yang membedakannya dengan ciri periode sebelumnya atau sesudahnya. Maka ciri-ciri sastra adalah dilihat dari ciri-ciri intrinsik dalam struktur karya sastra, baik gaya bahasa, gaya cerita, alur, penokohan, sarana-sarana sastra seperti pusat pengisahan, humor. Namun, perkembagan yang demikian bukan saja tidaklah satu-satunya (sebagaiman yang terkesan selama ini), tetapi seharusnya hanyalah merupakan satu sisi kecil saja dari perkembangan Sastra Indonesia. Sisi yang lain yang seharusnya terbentang ialah suatu bentuk sastra yang bermula (berakar)

(10)

dari pertemuan berbagai nilai dari berbagai subkultur yang ada di Nusantara ini. karana Sastra Indonesia merupakan suatu bentuk sastra dari zamannya (zaman ini), dalam berhadapan dengan nilai-nilai dari berbagai subkultur tersebut tidak dapat tidak memperlihatkan ekspresi yang baru, dari ekspresi dari masa silam. Sastra Indonesia yang demikian tidak hanya mengungkapkan (mengandalkan kepada) adanya konflik-konflik saja, tetapi dapat juga mencari dan menemukan konsensus-konsensus. Bagaimanapun sastrawan Indonesia berasal dari subkultur tertentu, memahaminya lebih dari nilai-nilai dari kultur yang manapun. (Mursal Esten, 2013:64).

Untuk menjadikan subkultur itu menjadi suatu nilai yang baru diperlukan suatu penghayatan yang baru dan ekspresi yang baru. Diperlukan pula suatu pemahaman yang luas terhadap nilai-nilai dari subkultur yang lain sehingga suatu pertemuan pertemuan niali-nilai berpangkal dari suatu proses saling menganal dan pemahaman. Dengan demikianlah bisa ditemukan konsensus-konsensus. Konsep sastra berdasarkan alternatif yang demikian tidak hanya terbatas bertolak dari struktur karya sastra tradisional, tapi yang lebih penting adalah menangkap jiwa dan makna dari tradisi sastra subkultur (sastra tradisional) yang bersangkutan dan fungsi dari struktur yang lama dapat dipertahankan, namun juga dapat dikembangkan. Diberi makna dan fungsi yang baru. Atau makna dan fungsi yang lama diberi struktur yang telah dikembangkan. (Mursal Esten, 2013:64).

Karya sastra dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan pembaca, selalu mendapat penilaian kembali. Sebuah karya sastra tidak tinggal tetap tak berubah sepanjang sejarahnya. Sebuah karya sastra tak cuma menampakan wajah yang sama kepada setiap pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih menyerupai orkestrasi yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada para pembacanya. Sebuah karya sastra harus dipahami sebagai pencipta dialog, dan keahlian filologi harus didasarkan pada pembaca kembali teks sastrasecara terus menerus, bukan hanya didasarkan pada fakta-fakta saja. sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi pada pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus, dan penulis dalam kreativitas sastra. Sejarah sastra yang didasarkan oleh

(11)

data-data yang selalu bertambah yang tampak pada sejarah sastra konvensional, hanyalah merupakan masa lalu yang dikumpulkan dan dikelas-kelaskan saja, maka itu bukan sejarah sama sekali, melainkan pseudo sejarah. (pradopo, 1995:9).

Kini orang lebih berani menilai diri sendiri, berani mawas diri. Akan tetapi, sebelum melangkah kesana alangkah baiknya kalau mengetahui dahulu apa yang disebut kritik dan kritik sastra itu, bagaimana prinsip-prinsipnya, falsafahnya, fungsinya, jenis-jenisnya, bagaimana hubungan kritik sastra dengan apresiasi sastra dan lain-lain. (Heri Guntur Tarigan, 2015:186).

Kata kritik yang lazim di pergunakan dalam bahasa Indonesia yaitu berasal dari bahasa Yunani krinein yang artinya mengamati, membanding, dan menimbang. Jamalludin Adinugoro mengatakan bahwa “kritik ialah bandingan dan bendungan”, dan seterusnya mengemukakan bahwa” ... dengan mempunyai pedoman tata kritik itu (seseorang) dapat membanding segala yang di bacanya, apa yang di dengarnya dan di lihatnya, bahwa ia dapat membendung pikiran dan perasaan umum yang simpang-siur itu sesuai batas-batas Ke-Indonesiaannya, hingga tidak dapat lagi di ombang ambingkan oleh pengaruh yang hendak membalutnya, tidak lekas lagi ia jatuh gelisah dalam kebingungan karena lenyap kepribadiannya, melainkan kebal ia menahan segala kritik, ibarat batu karang di tengah-tengah ombak yang terus-terusan memukulnya...” (Heri Guntur Tarigan, 2015:186). Dari sumber-sumber itu dapat membuat suatu ramuan yang merupakan batasan sementara sebagai pegangan terhadap kata-kata kritik, mengkritik, kritikus, yang akan di jelaskan sebagai berikut: (Heri Guntur Tarigan, 2015:188).

Dangan mengambil analogi dan keterangan di atas maka dapat dikatakan bahwa:

“kritik sastra : ialah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta perbandingan yang adil terhadap baik buruknya suatu kualitas, nilai, dan kebenaran suatu karya sastra.” Secara singkat: “kritik sastra ialah pengamatan, perbandingan, dan pertimbangan baik-buruknya nilai suatu karya sastra”. (Heri Guntur Tarigan, 2015:188).

(12)

Dewasa ini teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra objektif, pada umumnya bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu: (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:141).

(1) pendekatan memetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan).

(2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu.

(3) pendekatan ekspresif yang menggap karya sastra sebagai ekspresi, perasaa, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan). Dan

(4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.

Maka dalam kritik ini yang paling terpenting adalah karya sastra sendiri, yang khusus dianalisis struktur intrisiknya. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:141). Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. (Purba, 2012:2)

2.4 Unsur-unsur pembentuk karya sastra Karya sastra dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Puisi ( disusun berdasarkan bait ).

2. Prosa ( disusun berdasarkan paragraf ). 3. Drama ( disusun berdasarkan dialog ).

Unsur-unsur karya sastra terdiri dari Intrinsik dan Ekstrinsik. Intrinsik terdiri dari tema, diksi, alur, tokoh, latar, sudut pandang dan amanat. Sedangkan Ekstrinsik terdiri dari daftar riwayat hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya, atau kehidupan sipengarang tersebut. (Purba, 2012:3-4)

(13)

2.4.1 Unsur Intrinsik

Intrinsik adalah unsur karya sastra yang mendukung dari dalam (intern) sebuah karya sastra tersebut. Yang terdiri atas:

a. Tema

Sebuah inti atau pokok pikiran pengarang ke dalam karya sastra tersebut. b. Diksi

Bahasa yang digunakan merupakan diksi atau pilihan kata yang tepat, indah, dan mudah dipahami tanpa meninggalkan kesan kata berkonotasi. c. Alur

Alur atau plot adalah hubungan cerita dari awal sampai akhir secara runtut sehingga menimbulkan cerita yang runtut. Alur bisa berupa maju, mundur, atau maju mundur.

d. Tokoh

Penokohan adalah karakteristik watak pelaku dalam cerita tersebut. e. Latar

Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa tersebut di ceritakan. f. Sudut Pandang

Sudut pandang atau biasa disebut juga point of view adalah cara pengarang menceritakan tokoh-tokohnya dalam suatu cerita. Sudut pandang hanya terbagi dua, yaitu sudut pandang orang pertama dan kedua.

g. Amanat

Amanat merupakan pesan yang akan disampaikan pengarang lewat sebuah penceritaan tersebut. Biasanya menggunakan bahasa yang tersirat atau tersembunyi.

2.4.1 Unsur Ekstrinsik

Ekstrinsik adalah unsur karya sastra yang mendukung dari luar (ekstern) sebuah karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik tersebut , seperti daftar riwayat hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya, atau kehidupan sipengarang tersebut.

(14)

2.5 Pengertian Semiotika Dalam Sastra

Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di Indonesia dewasa ini masih menggunakan teori-teori sastra (kritik) yang lama, yang sudah ketinggalan oleh perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya. Teori struktural dan semiotik ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra)yang terbaru di samping teori estika resepsi dan dekontruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:140).

Teori Ancangan semiotika, sebagai salah satu alternatif untuk megkaji karya sastra, muncul sejak perhatian pakar susastra memfokuskan diri pada hubungan antara penanda dan petanda dalam memahami makna. Kaum formalis Rusia berpendirian bahwa ada hubungan antara perkembangan karya sastra dan sikap pembaca terhadap karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini nilai susastra terus menerus berubah sehingga sukar untuk menetapkan sebuah batasan tentang pengertian susastra itu sendiri. Perubahan inilah yang tampaknya mendominasi pandangan para formalis Rusia itu. (Puji Santosa, 2013:1)

Penganut faham formalisme Rusia ini sama sekali tidak memahami bahwa karya sastra merupakan tanda yang memungkinkan terjadinya komunikasi, baik karya sastra itu sendiri secara otonom, karya sastra dengan pembaca, karya sastra dengan semesta, maupun karya sastra dengan pengarangnya sendiri. Menurut anggapan faham ini karya sastra sebagai teks atau naskah adalah tanda yang mandiri dalam proses komunikasi. Oleh sebab itu karya sastra yang memiliki kedudukan dalam proses komunikasi akan hilang eksistensinya sebagai karya seni yang tak mungkin dipahami tanpa diberi makna pembacanya. (Puji Santosa, 2013:1).

Dalam konteks budaya, maka yang kebanyakan terjadi adalah integrasi “logis-bermakna” sementara dalam sistem sosial yang terjadi lebih kepada integrasi “kausual-fungsional” melalui analog organik. Hal ini memberi tandas bahwa penglihatan terhadap kebudayaan bukan bersifat “eksplansi kausualitas” melainkan sebuah “pencarian makna”, yang menjadikan posisi simbol begitu urgen, bukan simbol secara abstrak. (Syaiful Arif, 2010:110). Dalam konteks

(15)

sosial, dimana masyarakat menjadikan makna dalam sistem simbol, yang kemudian membentuk praktek kehidupan. Inilah yang disebut sebagai kebudayaan untuk memaknai budaya sebagai persoalan semiotik sehingga mengkaji budaya adalah mengkaji makna. (Syaiful Arif, 2010:111).

Untuk mengatasi terjadinya kemacetan komunikasi dalam merebut makna karya sastra ini, maka diciptakanlah sebuah ancangan semiotika. Dasar dari ancangan semiotika ini adalah tanda sebagai tindak komunikasi (teeuw,1982:18). Berdasarkan pengertian ini maka setiap tanda yang terdapat dalam karya sastra (baik mengenai tanda atau petandanya) selama masih dapat memungkinkan terjadinya komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait, terutama insan susastra, dapat dikategorikan kedalam ancangan susastra semiotika. Bermula dari bahasa sebagai sistem tanda maka karya sastra yang bermediakan bahasa maka merupakan sistem semiotika atau sistem tanda. Pengarang pun dalam mengekspresikan idenya menggukan bahasa, sudah barang tentu pengarang mau tak mau memanfaatkan semiotika dalam karya sastranya. Jadi sastra merupakan sistem tanda tingkat keduakarena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya. (Puji Santosa, 2013:2). Kata semiotika diurutkan dari bahasa Inggris semiotcs berpangkal pada pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan dan pedoman umum pembentukan istilah (produksi pusat dan pembinaan bahasa) bahwa orientasi pembentukan istilah itu ada pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi –ik atau –ika, misalnya dialektics berubah menjadi dialektik atau dialektika. Nama lain dari semiotika adalah semiologi. Keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu sebagai ilmu tenang tanda. Baik itu semiotika atau semiologi berasal dari bahasa Yunani: semion yang berarti tanda. (Puji Santosa, 2013:3).

Berbicara komponen dasar Semiotika tidak terlepas dari masalah-masalah pokok mengenai tanda (sign), lambang (syimbol), dan isyarat (signal). Pemahaman masalah lambang akan mencakup pemahaman masalah penanda (signifier; signans; signifant) dan pertanda (signified;signatum; signifie). Ketiga masalah diatas dimasukan kedalam cakupan ilmu semiotika, karena

(16)

memungkinkan terjadinya komunikasi antara subjek dan objek dalam jalur pemahaman sebagai komponen dasar semiotika. (Puji Santosa, 2013:5).

2.5.1 Tanda merupakan bagian ilmu semiotika yang menandai sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan objek kepada subjek. Dalam hal ini, tanda selalu menunjukan pada sesuatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa dan bentuk tanda- tanda yang lainnya. Tanda-tanda tersebut dari dulu sampai sekarang tetap, tidak berubah dan tanpa penambahan kreativitas apapun. Jadi, tanda adalah arti yang statis,umum, lugas, dan objektif 2.5.2 Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman

si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan objek terselip adanya pengertian sertaan. Suatu lambang yang selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, situasional dan kondisional. Misal, pada lambang “Sang Saka Merah Putih” merupakan lambang kebanggaan bangsa Indinesia. Warna merah diberi secara situasional, kondisional, dan kultural oleh bangsa Indonesia adalah: gagah, berani, dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-cita untuk luhur bangsa Indonesai, yaitu masyarakat adil, makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Disamping itu warna merah pada bendera kita melambangkan semangat yang tak mudah dipadamkan, yakni semangat berjuang dan semangat membangun. Demikian pula pada warna putih, secara kondisional, situasional, dan kultural diberi makna: suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan kasih sayang. Jadi lambang adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan majas.

2.5.3 Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi isyarat bersifat temporal.

(17)

Ketiganya (tanda, lambang, dan isyarat) terdapat nuansa, yakni perbedaan yang sangat kecil mengenai bahasa, warna, dan sebagainya. (Puji Santosa, 2013:7-8).

Dalam karya sastra, baik yang berupa puisi, cerita rekaan, maupun drama, terdapat berbagai macam lambang, antara lain: lambang warna, lambang bunyi, lambang suasana, lambang nada, dan lambang visualisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah tipografi. Sebaliknya tanda yang terdapat pada karya sastra hanya bermanfaat untuk mengenal aspek formal atau bentuk strukturnya. (Puji Santosa, 2013:7).

2.6 Pengertian Puisi

Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan. Akan tatapi, arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruaing lingkupnya menjadi “hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang kadang menggunakan kata-kata kiasa”.(Heri Guntur Tarigan, 2015:3).

Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat berhubungan dengan kata poet dan kata poem. Kata poet sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama sekali disebut maker. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet diartikan orang yang mencipta, melalui imajinasinya, orang yang hamper menyerupai dewa, atau yang sangat suka dengan dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus merupakan seorang filusuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. (Heri Guntur Tarigan, 2015:4).

Puisi didefinisikan sebagai karya tulis dimana bahasa digunakan sebagai bahan untuk membangun kualitas estetiknya. Penekanan estetika suatu bahasa, seperti yang penggunaan pengulangan, majas dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Puisi juga bisa disebut sebagai perwujudan imajinasi dari manusia yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan dari isi hati seseorang yang membawa keadaan orang lain kedalam

(18)

hatinya. Baris-baris pada penulisan puisi dapat berbentuk apa saja,seperti melingkar, zigzag dan lain sebagainya. Puisi yang normatif selalu mengikuti aturan persajakan yang jelas. Puisi seperti ini lebih mudah untuk dinikmati karena secara struktur begitu teratur. Hal-hal yang seperti ini sesuai dengan pernyataan, bahwa puisi adalah ekspresi dan pengalaman yang bernilai serta bermanfaat bagi pembacanya. (burhan fanani, 2016:81).

Dari beberapa keterangan di atas masih lebih bersifat etrimologis terhadap kata puisi. Unutk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi, kita masih membutuhkan gambaran tentang puisi, Ralph Waldo Emerson memberi penjelasan bahwa “ puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakan tubuh yang kasar, dan mencari kehidupan serta alasan yang menyebabkannya ada, karena bukanya irama melainkan argument yang membuat iramalah (yaitu idea tau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi. (Heri Guntur Tarigan, 2015:3).

Gambaran puisi penghayatan terhadap kemerdekaan, Puisi Indonesia Modern adalah suatu bentuk puisi yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi puisi indonesia asli. Sebagai ana dengan kesusastraan indonesia modern. Puisi Indonesia Modern juga merupakan bentuk sastra dari hasil persentuhan dengan tradisi Sastra Asing, terutama kesusastraan perubahan-perubahan dalam sestruktur, tapi juga dalam tema, sikap, dan visi kepengarangan perkembangan puisi Indonesia Modern pada hakikatnya merupakan gambaran perkembangan dari manusia Indonesia Modern. Sebagai mana Indonesia Modern adalah era baru dari perkembangan manusia Indonesia. Proses perubahan dan perkembangan itu dengan jelas terlihat dalam bagai mana perkembangan pengayatan penyair terhadap kemerdekaan. Oleh kepekaan penyair terhadapa permasalahan agak juga akan merupakan gambaran dari perkembangan pengayatan terhadap kemerdekaan itu. (Mursal Esten, 2013:2).

Di dalam puisi, salah satu unsur struktur yang penting adalah unsur musikalitas. Unsur musikalitas berperan membentuk dan membangun suasana di dalam sebuah puisi. Dengan demikian, sesungguhnya unsur musikalitas didalam sebuah puisi menyangkut keseluruhan struktur puisi tersebut. Ia juga dapat

(19)

membentuk dan membangun imaji-imaji. Pada fase awal puisi-puisi indonesia modern (puisi-puisi M. Yamin dan Rustam Effendi) kemerdekaan dilihat sebagai suatu yang dirindukan, jauh, dan sayup-sayup. Mungkin ada keinginan di dalamnya tapi belum terlihat perjuangan dan sikap hidup yang menyertainya. Perkebangan penghayatan para penyair terhadap kemerdekaan tidak hanya dapat dilihat melalui tema, amanat, dan sikap-sikap kepengaragan saja, tapi bahkan juga pada perkembangan unsur musikalitas dari puisi-puisi yang mereka tulis. Sejarah dari perkembangan dan sikap penghayatannya terhadap kemerdekaan. (Mursal Esten, 2013:4).

2.7 Unsur-Unsur Pembangun Puisi

Pada dasarnya, puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni bentuk dan isi (konsep tradisional). Istilah konsep dan isi tersebut oleh para ahli dinamai berbeda-beda, diantaranya unsur tematik atau semantik dan unsur sintaktik puisi, tema dan struktur, bentuk fisisk dan bentuk batin, hakikat dan metode. Struktur fiksi puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. Bait-bait puisi itu membangun membangun kesatuan makna di dalam keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana. Struktur puisi ini merupakan medium pengungkap struktur batin puisi. (sukino, 2010:115).

Untuk menulis sebuah puisi,harus mengetahui unsur-unsur pembangun puisi yang akan diuraikan sebagai berikut: (Burhan Fanani, 2016:82).

2.7.1 Pilihan Kata (Diksi)

Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. (Burhan Fanani, 2016:82).

Setiap kata yang dipilih dan dipergunakan oleh sang penyair mempunyai makna dan misi tertentu, baik mengenai ruang maupun mengenai waktu. Semisal kata-kata klasik yang dipilih dan dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sanjaknya “ Candi Mendut” seperti: candi, berhala, Bhuda, Bodhisatwa, jiwa, Maya,

(20)

Nirwana, meningkatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata mimbar, pikiran-pikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani, sangkur baja, panser, bren, barikade, demonstran yng terdapat dalam “tirani” karya Taufik Ismail, membawa kita kesuasana perjuangan Angkatan 66 menumpas kezaliman dan kediktatoran rezim orde lama. Dengan uraian singkat inilah dapat ditegaskan betapa pentingnya pilihan kata atau diksi bagi suatu sanjak. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada suatu puisi dengan tepat. (Henri Guntur Tarigan, 2015:30)

Secara teoritis, diksi sering dimaknai dengan pilihan kata. Diksi merupakan serapan dari kata „diction’ yang diartikan sebagai „choise and use of words‟. Diksi mengandung dua makna. (sukino, 2010:117).

Pertama, pilihan kata merupakan kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan situasi dan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Kedua, pilihan kata yang tepat dan sesuai dengan konteks kosa kata bahasa itu

sendiri. Diksi bukan hanya digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.

Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Kesimpulan utama mengenai diksi, (sukino, 2010:117-118).

(1) Diksi mencakup kesimpulan kata-kata mana yang dipakai untuk

menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat atau juga menggukan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. (2) Diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna

dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai situsi dan nilai rasa.

(21)

(3) Pilihan kata yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata atau pembendaharaan kata.

Apabila dipandang sepintas lalu maka kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama jasa dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara kalimah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama; bahkan bunyi ucapan pun tidak ada perbedaan. Walaupun demikian haruslah kita sadari bahwa penempatan dan penggunaan kata-kata dalam puisi dilakukan secara hati-hati, teliti, serta lebih tepat. Kata-kata yang dipergunakan dalam dunia persanjakan tidak seluruhnya bergantung pada makna denotative, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. Konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak member efek bagi para penikmatnya. Uraian-uraian ilmiah biasanya lebih mementingkan denotasi. Itulah sebabnya maka sering orang mengatakan bahwa bahasa ilmiah bersifat denotatif, sedangkan bahasa sastra bersifat konotatif. (Henri Guntur Tarigan, 2015:29).

2.7.2 Larik

Larik atau baris memiliki pengertian yang berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frasa, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buah, tapi pada puisi baru, tidak ada batasan utuk larik. (Burhan Fanani, 2016:83).

2.7.3 Bait

Bait merupakan kumpulan lari yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik pada sebuah bait biasanya empat buah, namun pada puisi baru, bait tidak terbasi. (Burhan Fanani, 2016:83).

2.7.4 Bunyi

Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yangditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Irama (ritme)

(22)

adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima ataupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. (Burhan Fanani, 2016:84).

Ritme dan rima, irama dan sajak, besar sekali pengaruhnya untuk memperjelas makna suatu puisi.ritme dan rima suatu puisi erat sekali hubungannya dengan sense, feeling, tone, intention, yang terkandung di dalam nya. Jelas bahwa perubahan ritme cenderung untuk menimbulkan perubahan ke 4 unsur hakekat puisi itu. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun-naiknya suara secara teratur, sedangkan rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Berbicara melalui ritme maka mau tak mau kita harus menyebut istilah foot atau kaki sajak, dan yang terpenting di antaranya: (Henri Guntur Tarigan, 2015:35).

a. Jambe: U – / U – b. Anapes: U U – / U – c. Troche: – U / – U d. Dactylus: – U U / – U U

(–) berarti aris (keras) (U) berarti thesis (lunak).

Dengan demikian jelaslah bahwa kita baru dapat mengetahui kaki-sajak yang terdapat pada seiap larik atau bait puisi, setelah kita mendengarkan atau membaca puisi tersebut. (Henri Guntur Tarigan, 2015:36).

Selanjutnya mengenal beberapa jenis rima, antara lain menurut posisinya, terbagi menjadi dua:

a. Rima awal

(23)

Bagaikan topan seruh menderuh Demikian rasa

Datang semasa

Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung Memenuhi sukma, menawan tubuh b. Rima akhir

Habis kikis

Segala cinta ku hilang terbang Hilang kembali aku pada mu

Seperti dulu

Menurut susunannya, rima dapat pula dibagi atas tiga bagian a. Rima berbingkai; dengan susunan atau rumus: aa, bb, cc, dd b. Rima berselang; dengan rumus: abab, cdcd

c. Rima berpeluk; dengan rumus: abba, cbdc

2.7.5 Citraan

Citraan atau imaji adalah kata atau susunan dari kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indra, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (Burhan Fanani, 2016:84).

a. Imaji suara (auditif) b. Imaji penglihatan (visual)

c. Imaji raba atau sentuh (imaji taktil)

Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami oleh penyair.

Semua penyair ingin menyugukan pengalaman batin yang pernah di alami nya kepada para penikmat karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dalam karya mereka. Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat itu dapat memperkuat serta memperjelas imajinasi pikiran manusia, dan energi tersebut dapat pula mendorong imajinasi untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Semua hal yang telah kita utarakan tadi yaitu segala yang di rasai atau di alami secara

(24)

imajinatif inilah yang biasa kita kenal dengan istilah imagery atau imaji. (Henri Guntur Tarigan, 2015:30).

Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya agar para penikmat dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan bila perlu mengalami segala sesuatu yang terdapat dalam sanjaknya, sebab hanya dalam jalan demikian sajalah dia dapat meyakinkan para penikmat terhadap realitas dari segala sesuatu yang sedang didendangkannya itu. (Henri Guntur Tarigan, 2015:31).

Citraan (pengimajian) dalam penulisan puisi dimaksudkan untuk menimbulkan kesan atau suasana dari puisi. Pencitraan ini terfokus pada gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat gambaran hidup dalam pengindraan, unuk menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau bayangan visual penyair menggunakan gambaran-gambaran angan. Citraan juga bermanfaat untuk menciptakan suasana kepuitisan. Bahkan, ada penyair yang menyadarkan kekuatan puisinya pada citraan ini. Menurut Situmorang citraan dapat dibedakan: citraan penglihatan (visual), citraan pendengaran (audidif), citraan pengucapan (altikulator), citraan penciuman (alfoktori), citraan kecapan (gustatori), citraan perabaan/perasaan (faktual), citraan gerak (kienastik), dan citraan organik. Citraan dapat dapat dihasilkan dengan jalan menampilkan nama-nama, deskripsi, irama, asosiasi intelektual, atau dengan beberapa cara tersebut tampil bersama-sama. Namun, sebagai bekal untuk para penulis, berikut ini diuraikan citraan secara terpisah dari masing-masing bagian. (sukino, 2010:117-121).

Pertama, Citraan penglihatan (Visual Imagery) merupakan citraan yang timbul karena daya sarana penglihatan. Citraan ini cenderung membawa imaji pembaca seakan-akan melihat objek. Contoh pengguna citraan penglihatan yang dapat digunakan sebagai model bagi penulis, lihat puisi berikut:

STANZA

Ada burung dua, jantan dan betina Hinggap di dahan

Ada daun dua, tidak jantan tidak betina Gugur dari dahan

(25)

Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua Pergi ke selatan

Ada burung dan kapuk, angin, dan mungkin juga debu, Mengedap dalam nyanyiku.

(Rendra, empat kumpulan sajak) Citaraan yang terdapat pada puisi di atas, dapat menggunakan sarana visual seperti, burung dua, dua helai daun, debu. Seuanya ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana dan kekuatan puisi. (sukino, 2010:124).

Ke Dua, Citraan Pendengaran (Auditory Imagery), penggunaan pencitraan pendengaran dalam puisi biasanya digunakan oleh penulis untuk merangsang indra pendengaran pembaca. Bagi seorang penulis, auditory imagery ini puisi yang dihasilkan didominasi dengan kekayaan citra audio. Perhatikan contoh puisi berikut ini:

CERMIN 1

Cermin tak pernah berteriak, ia pun tak pernah Meraung, tersedan, atau terhisak, Meski apapun jadi terbalik di dalamnya,

Barang kali ia bisa bertanya, Mengapa kau seperti kehabisan suara?

(Damono, 1983) Kalau diamati secara kasat mata, kata-kata yang terdapat pada puisi di atas tidak semuanya kata benda berbentuk auditory. Tetapi secara totalitas puisi diatas dibangun melalui kekuatan bumi. Contohnya kata meraung, tersedan, terhisak, berteriak merupakan kata-kata citraan pendengar. Kata-kata itu memberikan gambaran kekuatan yang meerangsang daya dengar pembaca. (sukino, 2010:124).

Ke tiga, citraan penciuman (smell imagery) biasanya digunakan penyair atau penulis untuk menciptakan daya imaji melalui setimulusasi indra penciuman. Yang perlu ditekankan disini adalah kata-kata yang kita pilih harus mendukung pada kekuatan makna puisi kita. Perhatikan contoh puisi berikut ini yang didalamnya mengandung indra penciuman.

(26)

Kau mekar membawa aroma Semerbak menembus kegelapan malam

Diantara pepohonan Kini kau mekar di antara belukar Semerbak baunya menembus dedaunan

Di antara harumnya kembang Kau mengundang serangga datang

Mencium aroma putik Mekarnya kembang

(Kino Sumarjo, 2004) Ide-ide abstrak dalam puisi dikonkretkan dengan cara penggambaran melalui aroma bunga sebagai bentuk citraan, namun perlu diingat bahwa tidak semua kata-kata puisi citraan menggunakan penciuman semuanya. (sukino, 2010:125).

Ke empat, Citraa Rasaan (Taste Imagery) diguakan penyair denngan mengetengahkan atau memili kata-kata untuk membangkitkan emosi pembaca. Kekuatan puisi yang menekankan pada citraan rasaan adalah bagaimana penullis mampu mensugesti dan mempengaruhi emosi pembaca. Contoh puisi yang mengandung citraan rasaan:

TUHAN TELAH MENEGURMU Tuhan telah menegur dengan cukup sopan

Lewat perut anak-anak yang kelaparan Tuhan telah menegur dengan cukup sopan

Lewat semayup suara adzan

Tuhan telah menegur dengan cukup dengan menahan kesabaran Lewat gempa bumi yang berguncang

Deru angin yang meraung-raung kencang hujan dan banjir yang melintang-pukang

adakah mendengar

(27)

Kekuatan puisi diatas, menekankan pada rangsangan imaji pembaca melalui keterlibatan emosi pembaca. Teguran tuhan kepada umatnya melalui berbagai bencana dari yang ringan sampai yang berat. (sukino, 2010:125).

Ke Lima, Citraan Rabaan (Tactile Imagery) secara harfiyah citraan rabaan berkaitan dengan pemberdayaan pencecapan indra kulit. Citraan rabaan ini bisa dicontohkan dengan baris atau kata “lengan tersayat sembilu” atau ungkapan lama “bagai hati tertusuk sembilu”. Citraan rabaan cenderung menggambarkan suasana mencekam, kesedihan, kepasrahan, dan sebagainya. Citraan rabaan dalam penulisan puisi memiliki frekuensi penggunaan yang terbatas. (sukino, 2010:126).

Ke emam, Citraan Gerakan (Kinaesthetic Imagery) dimanfaatkan dengan tujuan lebih menghidupkan gambaran dengan melukiskan sesuatu yang diam seolah-olah bergerak. Contoh citraan gerakan pada pengalan puisi di bawah ini:

MIKRAJ

Di ujung musim yang menggasing Bagai dengus gurun pasir

Cahaya melompat Dalam laut salju Diseretnya langkah

Malam itu Dalam putih waktu

(Abdul Hadi, MW) Puisi diatas memberikan gambaran singkat bagaimana citraan raban digunakan di dalam puisi. Kata “melompat” memberikan gambaran seakan-akan ada cahaya matahari yang bergerak. Bermacam-macam citraan tersebut dalam pemakaiannya kadang-kadang digunakan lebih cara bersama-sama untuk memperkuat efek kepuitisan. (sukino, 2010:126).

2.7.6 Makna atau Isi

Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misipenulis puisi disampaikan. (Burhan Fanani, 2016:84). Isi atau makna bisa

(28)

berkaitan dengan ide atau skemata penyair yang akan dituangkan kedalam bentuk puisi. Isi biasanya akan menjiwai keseluruhan puisi, dan yang terpenting adalah kepekaan terhadap seluruh fenomena yang ditemui. Hal ini penting ditumbuh suburkan karena keberadaan puisi tentunya tidak akan terlepas dengan pengungkapan nilai-nilai kehidupan. Isi puisi sebenarnya sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada kecenderungan penulis sendiri.

Seorang penulis kata WS Rendra, haruslah bisa mendalemi elemendasar kehidupan itu sendiri. Sedangkan Derek Walcott, penerima Hadiah Nobel Sastra 1992, mengatakan bahwa penulis puisi adalah orang yang bergelut dengan lautan emosi. (sukino, 2010:117).

Unsur pembangun puisi di atas kemudian disusun sesuai dengan struktur fisik dan struktur batin. Keduanya dapat anda pelajari lebih lanjut dibuku-buku lain mengenai penulisan puisi. Struktur yang baik akan membuat sebuah puisi yang dapat dinikmati dan bermanfaat bagi orang lain. (Burhan Fanani, 2016:84).

Penulisan puisi merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai produk seni, puisi tetap dinikati untuk ditulis dan dipublikasikan dengan berbagai cara. Berbagai bentuk, tema, dan gaya muncul mengiringi pelahiran sebuah puisi. Memang, pelahiran puisi ini tidak selamanya membuahkan hasil. Maksudnya, banyak penulis puisi yang berhenti, hilang kreativitasnya untuk menciptakan puisi.banyak penulis pemula berhenti setelah menghasilkan satu atau beberapa puisi. Setelah dicermati, ternyata banyak penulis pemula yang dalam mengakrabi penulisan puisi lupa akan sebuah pernyataan yang paling mendasar bahwa sebuah puisi bisa menjadi sesuatu yang dihargai, dinikmati, disukai, dihormati, serta dianggap berguna jika ia mengandung muatan nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. (sukino, 2010:111).

Bila hal ini terjadi, maka penulis pemula khususnya yang akan menekuni penulisan puisi, harus mencoba menggali dan mengasah kepekaan terhadap fenomena-fenomena yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dan sesuatu yang paling menggembirakan bagi penulis pemula, khususnya penulis puisi adalah semakin terbukanya ruang untuk mengekspresikan pemikiran dalam bentuk puisi. Hal ini mengingatkan banyaknya alternatif wadah untuk mengkomunikasikan ide

(29)

dalam puisi. Kondisi inilah yang selalu mendorong seseorang memilih puisi sebagai alternatif menyalurkan ide kepada pembaca. (sukino, 2010:112).

Referensi

Dokumen terkait

Model penelitian nilai R-Square yang dihasilkan adalah sebesar 0,496 artinya besarnya pengaruh spiritualitas islami di tempat kerja dan karakteristik individu terhadap

Penulisan tesis dengan judul “Pemaknaan Anak Terhadap Kecantikan Putri Non Kulit Putih Dalam Animasi Disney” ini merupakan penelitian yang bertujuan memperkaya penelitian dibidang

bersifat langsung dilaksanakan melalui dua cara yaitu dengan bimbingan kelompok seperti biasanya yaitu dengan didampingi oleh seorang fasilitator dan di pimpin

15 Shaw dkk mendapatkan bahwa donepezil meningkatkan fungsi kognitif, mood , serta kualitas hidup setelah pemberian selama 24 minggu dengan efek toksik yang minimal pada

Keberhasilan pengembangan pariwisata ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tersedianya objek dan daya tarik wisata, adanya fasilitas aksesbilitas, yaitu sarana dan

dapat berpengaruh pada sanitasi lingkungan yang berkurang. Kondisi sanitasi lingkungan yang berkurang, disebabkan oleh limbah domestik bertambah banyak dan

Implementasi metode fuzzy akan mengalami beberapa tahap dalam merepresentasikan semua parameter, dimana dengan kombinasi rule yang ada maka akan diperoleh suatu solusi