• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. JOB INSECURITY 1. DefinisiJob Insecurity

Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989).

Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job insecuritymerupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.

Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

(2)

Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan di mana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut.

2. Aspek-aspekJob Insecurity

Konstruk job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya ancaman (severity of threat) atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai kelanjutan situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai aspek pekerjaan atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua adalah powerlessness (Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989), di mana efeknya dapat dijelaskan dengan kalkulasi sebagai berikut:

Job insecurity = perceived severity of the threat x perceived powerless to resist the threat.

Ruvio dan Rosenblatt (1999) kemudian memperjelas kembali kedua dimensi tersebut, sebagai berikut: pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.

Yang kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan

(3)

kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap dipakai.

Ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya (powerlessness).

Namun, di dalam penulisan ini dimensi powerlessness yang dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) tidak digunakan karena ada penulisan yang membuktikan bahwa dimensi powerlessness tidak berhubungan secara statistik dengan dimensi lainnya dalam pengukuranjob insecurity.

Hartley (1991) menambahkan bahwa powerlessness boleh tidak dimasukkan sebagai komponen ketiga dalam pengukuran job insecurity sejak diketahui bahwa powerlessness dapat digolongkan sebagai bagian dari kemungkinan kehilangan pekerjaan, karena powerlessness dalam menghadapi ancaman akan membuat perasaan kehilangan semakin besar. Jika karyawan merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan, maka kemungkinan akan merasa kehilangan pekerjaan akan menurun. Sehingga Brown-Johnson (dalam Hartley dkk, 1991), powerlessness tidak berbeda secara konseptual dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan, baik untuk keseluruhan kerja maupun tampilan kerja. 3. Faktor-faktor yang MempengaruhiJob Insecurity

Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:

(4)

a. Kondisi lingkungan dan organisasi

Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannyadownsizing,restrukturisasi, danmergeroleh perusahaan. b. Karakteristik individual dan jabatan pekerja

Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender, senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya, status sosial ekonomi, dan pengalaman kerja.

c. Karakteristik personal pekerja

Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya: locus of control,self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan.

Jumlah variansi dalam penerimaan job insecurity yang dijelaskan oleh predictor ini adalah sekitar 20%. Predictor terbaik biasanya adalah faktor-faktor posisional, seperti pengalaman pengangguran sebelumnya, atau kontrak kerja sementara (Kinnunen & Naetti dalam Ashford dkk, 1989), faktor-faktor personal (Roskies & Louisguerin dalam Ashford dkk, 1989) dan tanda-tanda ancaman contohnya rumor mengenai reorganisasi atau perubahan menajemen (Ashford dkk, 1989).

Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkanjob insecurity pada karyawan adalah karakteristik personal pekerja. Dalam penelitian ini, karakteristik personal pekerja dipilih peneliti untuk dapat dijelaskan dengan mengacu kepada kapasitas yang dimiliki oleh setiap individu

(5)

tersebut yaitu psychological capital. Sehingga dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara psychological capital denganjob insecurity.

B. PSYCHOLOGICAL CAPITAL 1. DefinisiPsychological Capital

Psychologiacal capital, (“who you are”, Luthans and Youssef, 2004 dalam Jensen dan Luthan, 2006), diajukan sebagai leverage dan competitive adventage, berbeda dari human capital (“what you know”, O’Leary et al, 2002 dalam Jensen dan Luthan, 2006) dan social capital (“who you know”, Adler and Kwon, 2002 dalam Jensen dan Luthan, 2006). Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keutungan kompetitif melalui investasi/pengembangan “who you are” and “what you can become” (Luthans & Avolio, 2003; Luthans, et al., 2006, 2007, Jensen dan Luthan, 2006).

Luthan dan kawan-kawan mendefinisikan psychological capital ini sebagai hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna untuk dapat membantu individu tersebut untuk dapat berkembang dan yang ditandai oleh: (1) percaya diri (self-efficacy/confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang, (3) tekun dalam berharap (hope)untuk berhasil, dan (4) tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Masing-masing karakteristik tersebut diuraikan sebagai berikut (lihat Gambar 2).

(6)

Gambar 2 Dimensipsychological capital(Luthans & Youssef, 2004), dikutip dari Page & Donohue (2004)

2. Dimensi-dimensiPsychological Capital

Menurut Luthans, Youssef & Avolio, 2007, dalam bukunya yang berjudul “Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge” bahwa psychological capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy/confidence, optimism, hope,danresiliency.

Efficacy/Confidence Believing in one’s ability to mobilize cognitive resources to obtain specific outcomes

Resiliency

Having the capacity to bounce back from adversity, failure or

even seeming (sic) over-whelming positive changes

Hope

Having the willpower and pathways to attain one’s goals

Optimism

Having the explanatory style that attributes positive events to internal, permanent and

pervasive causes Positive Psychological Capital -unique -measurable -developable -impactful on performance

(7)

a. Psychological capital efficacy

Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (snyder & Lopez, 2006) self-efficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu.

Menurut teori Bandura (1986, 1997), psychological capital efficacy(atau singkatnya kepercayaan diri) didefinisikan sebagai keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya yang dapat mendorongnya untuk menjadi termotivasi dan sebagai jalan individu tersebut untuk bertindak untuk dapat menjadi sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu.

b. Psychological capital hope

C. Rick Snyder, seorang professor psikologi klinis University of Kansas mendefinisikan hope sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to meet goals).

Dari definisi ini, harapan melibatkan willpowerdanwaypower. Willpower adalah suatu dimensi penting karena dapat memicu motivasi dan menjaga energi seseorang untuk mencapai tujuannya. Sedangkan waypower merupakan rencana alternatif hasil pemikiran seseorang untuk mencapai tujuannya.

(8)

Penelitian Snyder (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendukung ide bahwa hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi self-directed, energi, dan persepsi kontrol internal.

c. Psychological capital optimism

Martin Seligman (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran dimana individu mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanent, dan penyebabnya bersifat pervasive, dan di lain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu.

Secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh.

Beberapa hal positif yang dihasilkan dari optimisme adalah seperti kesehatan fisik dan mental dan well-being,coping yang efektif untuk situasi sulit dalam hidup, penyembuhan dari penyakit dan obat-obatan, kepuasan hidup, dan ”authentic happiness”. Dalam dunia kerja, optimisme ini juga berhubungan secara

(9)

positif kepada hal-hal yang memuaskan seperti workplace performance dan performa di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, olahraga dan politik. Sedangkan untuk hal yang negatif yang dapat dihasilkannya adalah seperti depresi, penyakit fisik dan rendahnya performa di setiap bidang kehidupan.

d. Psychological capital resiliency

Ketabahan didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Berbeda dengan self-efficacy, hope, dan optimism yang lebih bersifat proaktif, resiliency dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Blok & Kremen, 1996 dalam Larson dan Luthans, 2006).

3. Psychological Capital Intervention (PCI)

Luthans, Youssef & Avolio (2007) juga menunjukkan beberapa cara yang berupa intervensi yang disebut dengan psychological capital intervention (PCI) yaitu untuk mengembangkan tiap aspek dalampsychological capital.

a. Hope Development

Harapan dipengaruhi oleh tujuan, pathways dan agency. Dalam hal ini, individu dilatih untuk membangun suatu tujuan yang memungkinkan untuk dapat menjadi motivasi baginya., dan tiap komponen dalam tujuan ini dapat meningkatkan agency. Selain itu, individu juga dilatih untuk dapat melihat beberapa pathway yang dapat ia gunakan dalam

(10)

merencanakan tindakan ketika danya suatu tantangan atau rintangan. Setelah selesai latihan ini, tiap individu akan mendapatkan feedback atau alternatif pathways yang diharapkan dari kelompoknya. Latihan ini dapat meningkatkan kemampuan individu untuk melihat adanya suatu tantangan dan untuk merencanakan tindakan yang tepat untuk tantangan tersebut dan juga dapat mengurangi dampak negatif yang dapat mempengaruhiagency. b. Optimism Development

Membangun efikasi diri dalam merencanakan suatu tundakan akan suatu rintangan yang ada akan menjadi dasar untuk perkembangan perluasan harapan-harapan yang positif. Ketika seseorang merasa percaya diri bahwa ia dapat merencanakan semua tindakan yang akan ia lakukan akan rintangan-rintangan yang datang, maka harapan-harapan mereka untuk mendapatkan hal tersebut akan meningkat. Harapan-harapan yang negatif tidak akan membantu seseorang untuk melihat adanya jalan untuk bertindak akan adanya suatu rintangan dan tidak termotivasi untuk menjadi sukses. Feedback dari kelompok akan meningkatkan harapan-harapan yang positif bagi individu dan pada akhirnya individu tersebut akan terdorong untuk sukses. Ketika harapan-harapan untuk dapat sukses meningkat, maka optimisme pada tiap individu dan juga pada kelompok juga akan meningkat pula.

c. Efficacy Development

Setiap individu hendaknya menetapkan tujuan yang ingi ia capai. Selanjutnya, mereka menjelaskan tiap bagian dari tujuan yang mereka buat kepada kelompok, dan mereka juga hendaknya dapat menjelaskan

(11)

bagaimana cara untuk dapat menjalankan dan mencapai tujuan tersebut. Aspek pembelajaran memegang peranan penting bagi tiap individu, dimana individu berdasarkan pengalamannya tersebut dapat bekerjasama dengan rekan kerjanya yang lain dan bagaimana mereka secara bersama-sama dapat mencapai tujuan yang telah dibuat dan menjadi sukses. Pada tahap ini, termasuk juga di dalamnya yaitu keterbangkitan emosional, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh harapan-harapan positif untuk dapat mencapai tujuan.

d. Resiliency Development

Resiliensi akan meningkat dengan dibangunnya aset personal seperti kemampuan, talenta, dan jaringan sosial. Individu akan berfikir tentang sumber-sumber apa yang dapat digunakan untuk dapat mencapai tujuan. Setelah mendata sumber-sumber, rekan kerja akan mengidentifikasi sumber-sumber tambahan yang dapat digunakan juga. Sama seperti ketika merencanakan tindakan yang sesuai untuk rintangan yang datang, individu juga hendaknya melihat dan mengidentifikasi masalah-masalah ataupun rintangan yang mungkin akan muncul dan yang akan dapat menghambat kemajuan mereka. Pada akhirnya seorang yang resilien akan tetap pada pemikiran dan perasaannya (misalnya tetap percaya diri) ketika individu tersebut berhadapan degan situasi yang berbeda.

(12)

Gambar 3.Psychological Capital Intervention(PCI)

C. Hubungan antarapsychological capitaldenganjob insecurity

Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sedangkan Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job insecurity

Developmental Dimensions Goals and pathways design Implementing obstacle planning Developing positive expectancy Building efficacy /Confidence Persuasion and arousal Building assets/Avoid risks Affecting the influence process Proximal outcomes

(Psychological Capital) Distal Outcomes

Experiencing success/ modeling others Hope Positive Optimism Efficacy Confidence Resiliency Sustainable Veritable Performance Impact

(13)

merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.

Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok yaitu kondisi lingkungan dan organisasi, karakteistik individual dan jabatan pekerja, dan karakteristik personal pekerja. Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhijob insecuritymisalnya:locus of control,self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan. Karakteristik personal pekerja ini mengarah kepada kapasitas ataupun kemampuan yang dimiliki oleh karyawan.

Kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu ini disebut dengan human capital. Dimana sebelumnya telah dijelaskan bahwa Peterson dan Spiker (2005) menyatakan bahwa human capital merupakan konstruk inti yang terdiri atas: Psychological Capital, Intellectual Capital,

(14)

Emotional Capital, dan Social Capital, atau PIES human capital, yang memberikan kontribusi positif atau organizational outcomes pada organisasi. Penelitian mengenaipsychological capitaldi suatu perusahaan di Indonesia masih sangatlah minim, padahalpsychological capitalini merupakan salah satu konstruk penting juga dalam penentuan perilaku karyawan dalam perusahaan.

Konsep psychological capital telah dieksplorasi oleh Luthan dan kawan-kawannya (Luthans et al., 2004; Luthans and Youssef, 2004). Psychological capitaldidefinisikan oleh Luthan dan kawan-kawan sebagai hal positif psikologis perorangan yang ditandai oleh: (1) percaya diri (self-efficacy/confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang; (3) tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil; dan (4) tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (snyder & Lopez, 2006) self-efficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Meningkatnya psychological capital efficacy ini akan mengarahkan kepada job insecurity yang rendah, dimana job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan

(15)

tidak berdaya (powerlessness) (Ruvio dan Rosenblatt, 1999). Hal ini juga mengarah kepada psychological capital optimism, dimana Luthans, Youssef & Avolio (2007) telah menyatakan bahwa secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh.

Menurut penelitian mengenai stres kerja (dalam Rice, 1992), orang yang memiliki beberapa harapan spesifik terhadap suatu pekerjaan mereka berharap akan kemajuan yang cepat atau paling tidak karir yang tetap. Mereka berharap beberapa kebebasan dalam pekerjaan dan kekuasaan yang meningkat, karyawan yang tidak menerima posisi bisa mengalami stres. Dan harapan-harapan karyawan ini sesungguhnya mengarah kepada apa yang dikatakan oleh Luthans, Youssef & Avolio (2007) yaitupsychological capital hope.

Karyawan yang hopeful atau berpengharapan cenderung berpikir secara independen. Mereka mengarah kepada proses berpikir dengan internal locus of control (mereka cenderung membuat atribusi internal, misalnya berpikir bahwa mereka sukses memang karena usaha yang dilakukannya). Mereka juga membutuhkan derajat otonomi yang tinggi. Mereka lebih suka untuk mencoba jalan alternatif untuk membuat suatu kontrol, walaupun hal tersebut terlihat seperti tidak mematuhi ataupun tidak taat pada pimpinannya. Mereka memiliki kebutuhan

(16)

yang cukup kuat untuk dapat berkembang dan berprestasi dan secara intrinsik termotivasi oleh pekerjaan yang meluas seperti yang telah digambarkan oleh Oldham dan Hackman, 1980 (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) yaitu dimana pekerjaan tersebut memiliki level yang tinggi terhadap pengalaman yang berharga dan pertanggungjawaban dan menyediakan feedback yang banyak dan bagus. Mereka lebih cenderung kreatif dan imaginatif. Dan mereka juga berani mengambil risiko.

Job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Ketika karyawan memiliki level psychological capital resiliency yang kuat atau tinggi, kemungkinan level job insecurity karyawan tersebut akan menurun, dimana Luthans telah menyatakan bahwa ketabahan (psychological capital resiliency) didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Masten dan Reed, 2002 (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mengidentifikasi tiga set strategi atau cara yang dapat digunakan pada kondisi kerja untuk dapat menigkatkan resiliency ini, yaitu asset-focused strategies, risk-focused strategies, dan process-focused strategies.

Dari uraian-uraian diatas dapat dilihat hubungan yang negatif antara psychological capitaldenganjob insecurity.

(17)

D. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesa sebagai jawaban sementara. Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Hipotesa mayor

Psychological capitalmerupakan prediktor positif terhadapjob insecurity. 2. Hipotesa minor:

a. Psychological capital efficacy merupakan prediktor positif terhadap job insecurity.

b. Psychological capital hope merupakan prediktor positif terhadap job insecurity.

c. Psychological capital optimism merupakan prediktor positif terhadap job insecurity.

d. Psychological capital resiliency merupakan prediktor positif terhadap job insecurity.

Gambar

Gambar 2 Dimensi psychological capital (Luthans & Youssef, 2004), dikutip dari Page & Donohue (2004)
Gambar 3. Psychological Capital Intervention (PCI)

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak senang yang dirasakan leh karyawan terhadap pekerjaannya seperti suasana kerja yang meliputi iklim organisasi, hubungan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa empati adalah perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain, dimana seseorang

Dalam hal ini, karyawan yang telah dapat memiliki nilai-nilai budaya yang kuat yang dijalani seperti karyawan yang berinovasi dan mengambil resiko dalam pekerjaannya,

Ndayizifeyi., et al (2014), dan Jonathon (2008) telah menemukan bahwa dengan adanya work engagement yang tinggi pada setiap karyawan, salah satu faktor yang mendorong karyawan

Browsing activities merupakan aktivitas cyberloafing dimana karyawan dalam menggunakan internet untuk browsing di tempat kerja yang tidak berhubungan

Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa job involvement merupakan intensitas dimana seorang karyawan mengidentifikasikan diri

a. Opportunity, yaitu adanya ketersediaan alternatif pekerjaan lain dan daya tarik lingkungan, daya tarik lingkungan mengacu pada tingkat gaji yang lebih tinggi. Faktor

Semakin kuat motivasi intrinsik di dalam diri seseorang karyawan semakin kuat pula kemauan tersebut dalam melakukan tugas dengan baik, sehingga semakin terdorongnya perilaku karyawan