• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelestarian Cendana Melalui Pola Konservasi Lekat- Lahan Di Kabupaten Belu, NTT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelestarian Cendana Melalui Pola Konservasi Lekat- Lahan Di Kabupaten Belu, NTT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 1441-318X Jakarta, September 2008 Hal. 302-313 No. 3 Vol. 9 J. Tek. Ling.

PELESTARIAN CENDANA

MELALUI POLA KONSERVASI LEKAT- LAHAN

DI KABUPATEN BELU, NTT

Albertus Husein Wawo

Peneliti di Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Abstract

Sandalwood (Santalum album L)is one of tropical plant in Indonesia that possess

high economic value. Natural distribution of sandalwood centered in arid area of Nusa Tenggara Timur province and now a days this plant was groupped as rare plant. Many activities of in situ conservation for sandalwood have been carried out at some locations but did not give satisfaction in result yet. Ex situ conservation with utilize conservation on farm system is new model of plant conservation that involved local people. System of conservation on farm for sandalwood plant be defined as cultivation of sandalwood in the field/garden and home garden with involved farmers or local people. This system is known 2 models are ABC model (Model Agroforestri Berbasis Cendana) and Home garden as model of conservation area. Both models that mention had been applied in Belu regency, Nusa Tenggara Timur province.

This research proposed to study the growth of sandalwood in ABC Model in the field/garden and in home garden as model of conservation area and to know the system of conservation on farm for sandalwood in Belu regency, Nusa Tenggara Timur province. ABC model was applied in 2 locations at Dirun Village (altitude at 1000 m above sea level) and Teun Village (altitude at 500 m above sea level), while home garden as model of conservation area was applied at Teun village only. The Result shown that the rate of sandalwood growth in ABC model at Dirun village from first to third year between 60-70 cm in height per year, while sandalwood growth from third to fourth year has happened decreasing about 25 cm. The rate of sandalwood growth in ABC model at Teun Village from first to second year about 70-77 cm in height. The rate of sandalwood growth in home garden during 6 month after planting time about 4 -5 cm in height. Number of seedling still alife during 2 years after planting time in ABC model at Teun Village about 72%, during 4 yaers after planting time in ABC model at Dirun Village about 79%. While sandalwood seedling still alife during 6 months in home garden as model of conservation area about 75%. High persentation of seedling still alife with optimum rate of sandalwood growth have been found in this research because presence involvement of local people.

Key words : Conservation on farm, ABC Model, homegarden as conservation area, sandalwood, local people involvement, Belu, NTT.

(2)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Cendana (Santalum album L.) adalah

tumbuhan asli Indonesia yang persebaran alaminya terpusat di kawasan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)1, 2) . Tumbuhan ini

dikenal sebagai tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi sehingga Pemerintahan Daerah Propinsi NTT menjadikan cendana sebagai komoditi andalan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah NTT. Kandungan senyawa Santalol pada batang dan akar cendana menyebabkan batang kayu cendana menjadi harum. Senyawa Santalol ini digunakan untuk bahan dasar dalam industri farmasi dan kosmetika. Pada batang kayu yang kandungan Santalolnya rendah digunakan sebagai bahan ukir-ukiran dan bahan kerajinan lainnya yang dijual dengan harga mahal.

Selama masa Pelita dari tahun 1990/ 1991 hingga tahun 1998/1999 cendana telah berkontribusi untuk peningkatan pendapatan asli daerah NTT sebesar 22,08% dari total pendapatan asli daerah NTT atau setara Rp 4.071.100.000,- per tahun3). Sebagai

tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, cendana ditebang baik secara legal maupun ilegal tanpa disertai upaya pelestariannya. Akibatnya pada saat ini cendana telah menjadi tumbuhan langka yang perlu dilindungi 4 ) . Darmokusumo5) mengatakan

bahwa semenjak tahun 2000 cendana tidak memberikan kontribusi dalam pendapatan asli daerah (pad) propinsi NTT karena secara ekonomi cendana telah punah. Pada saat ini pohon cendana yang berumur layak tebang (30 - 40 tahun) sudah langka begitu pula dengan populasi semai dan belta (pancang) telah mengalami penurunan. Pulau Sumba yang dikenal dengan sebutan

sandalwood island pada saat ini sulit

menemukan pohon cendana di habitat alamnya begitu pula kelangkaaan telah terjadi di pulau Flores. Di pulau Timor masih terdapat beberapa pohon yang dilindungi pemiliknya dan digunakan sebagai sumber benih namun suatu saat karena himpitan

ekonomi maka pohon tersebut akan ditebang pula. Faktor-faktor pemicu kelangkaan cendana adalah eksploitasi yang berlebihan baik legal maupun ilegal, kebakaran rutin yang terjadi setiap tahun, tidak dilakukan upaya pembudidayaan baik di habitat aslinya maupun dalam kebun/ ladang dan pekarangan penduduk setempat dan belum dilakukan sosialisasi Perda No. 2 / Tahun 1999 tentang kepemilikan cendana6). Beberapa sifat biologi cendana

juga mendorong kelangkaannya yaitu pertumbuhannya yang lamban, sifat hemi parasitiknya sehingga membutuhkan tumbuhan inang dan kandungan senyawa santalol yang tinggi pada akarnya sehingga akarnya digali lalu dijual. Akibatnya tidak terjadi regenerasi alami.

Untuk mengatasi kelangkaan cendana perlu dilakukan tindakan nyata dalam kegiatan konservasi baik secara in situ maupun ex situ7 ). Bagi cendana yang

memiliki potensi ekonomi tinggi menerapkan cara konservasi in situ dinilai “kurang

efektif” karena pemahaman masyarakat tentang fungsi konservasi belum memadai dan kurangnya tenaga fungsional (aparatur) yang ada di lapangan untuk mengawasi kawasan konservasi serta keterbatasan dana dan fasilitas pendukung untuk kegiatan konservasi. Menurut Primack, dkk,8) pada

jenis langka dengan jumlah individu terbatas konservasi in situ bukanlah pilihan yang

tepat, karena perlu kegiatan-kegiatan yang terkendali dibawah pengawasan manusia yang dikenal dengan konservasi ex situ.

Oleh karena itu kegiatan konservasi cendana sebaiknya dilakukan secara ex situ.

Cara konservasi ex situ melalui pola

konservasi lekat-lahan (Conservation on farm) adalah pola konservasi dengan

melibatkan masyarakat lokal untuk melestarikan flora melalui pembudidayaan di lahan miliknya. Bagi penduduk kabupaten Belu, NTT yang bermukim di daerah kering,

(3)

bentuk lahan yang dimiliki masyarakat terdiri dari kebun/ladang dan pekarangan rumah. Oleh karena itu pola konservasi lekat-lahan pada cendana dipahami sebagai kegiatan pembudidayaan cendana dalam kebun/ladang dan pekarangan rumah dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemiliknya.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan cara melestarikan cendana melalui pola konservasi lekat-lahan yang dilaksanakan di kabupaten Belu, NTT dan mengetahui pola pertumbuhan cendana.

2. METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan

Pola konservasi lekat-lahan pada cendana di kabupaten Belu, NTT dilakukan melalui model ABC dan Pemanfaatan Pekarangan untuk Area Konservasi Cendana. Model ABC dikembangkan di desa Dirun, kecamatan Lamaknen pada ketinggian tempat 1000 m dpl dan di desa Teun, kecamatan Raimanuk pada ketinggian tempat 400 m dpl. Pemanfaatan Pekarangan untuk Area Konservasi Cendana dilaksanakan di dusun Pelita dan Buitae, desa Teun, kecamatan Raimanuk pada ketinggian tempat 400 m dpl.

Kegiatan model ABC di desa Dirun dilaksanakan pada tahun 2003 dan 2004 seluas 3.0 ha, sedangkan di desa Teun pada tahun 2005 dan tahun 2006 seluas 2.5 ha. Pemanfaatan Pekarangan untuk Area Konservasi Cendana dilaksanakan pada tahun 2006 sebanyak 60 unit pekarangan.

2.2 Cara Kerja

a. Model Agroforestri Berbasis Cendana (Model ABC)

Agroforestri dipahami sebagai penanaman berbagai jenis pohon bersama-sama dengan tanaman semusim dan tanaman herba lainnya dalam satu unit lahan melalui pengaturan ruang dan

pergiliran waktu sehingga dalam lahan tersebut terdapat keanekaragaman flora yang mampu berinteraksi secara ekologi, menghasilkan nilai ekonomi dan memberikan dampak sosial bagi pengelolanya. Agroforestri merupakan buatan manusia untuk mengembangkan dan melestarikan sumber daya hutan9). Oleh

karena setiap daerah memiliki model agroforestri yang spesifik maka untuk propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) model agroforestri yang spesifik adalah Model Agroforestri Berbasis Cendana yang disingkat Model ABC6).

Model ABC adalah kehadiran tanaman cendana bersama dengan jenis pepohonan lain dan tanaman semusim yang membentuk suatu kesatuan ekosistem dalam suatu unit lahan. Sebagai komponen utama dalam model ABC, maka cendana ditanam dalam jumlah lebih banyak dari jenis-jenis pohon lainnya. Pembudidayaan cendana meliputi pula penanaman jenis-jenis inangnya dan perawatan paska tanam. Oleh karena lahan pengembangan agroforestri memiliki kemiringan lebih dari 15% maka model ABC yang dibangun mengikuti pola budidaya lorong (alley

cropping system). Dalam pola budi daya

lorong dikenal 3 kelompok tanaman yaitu pertanaman pagar (hedges trees), pertanaman sela (alley crops) dan pertanaman tepi (borderplant)10).

Model ABC di desa Dirun, Lamaknen, cendana berserta inangnya dan kopi (Coffea spp) ditanam sebagai pertanaman pagar. Cendana ditanam dalam barisan dengan memotong garis kontur dengan jarak 5m. Inang berupa tanaman Acacia villosa

ditanam kurang lebih 0.5 m dari cendana. Tanaman kopi ditanam 2.5 m dari cendana. Jarak antar baris adalah 5 m. Tanaman sela (alley crops) berupa jagung, kacang tanah, ubikayu dan sayuran ditanam pada lahan antara kedua baris tersebut. Jagung, ubikayu dan kacang tanah ditanam pada musim hujan sedangkan sayuran pada musim kemarau. Pertanaman tepi (border

(4)

plants) yang ditanam pada pinggir lahan adalah tanaman kemiri.

Model ABC di desa Teun Raimanuk juga mengikuti pola budidaya lorong. Cendana bersama inangnya (A. villosa), jambu batu (Psidium guajava) dan Sirsak

(Annona muricata) ditanam sebagai

pertanaman pagar. Tanaman sela berupa jagung, ubikayu dan mangga ditanam antara barisan pertanaman pagar. Pertanaman tepi lahan menggunakan asam (Tamarindus indica) dan mahoni (Swietenia mahagoni). Oleh karena tujuan utama dari model ABC untuk melestarikan cendana, maka pengamatan pertumbuhan tanaman lebih tertuju pada pertumbuhan cendana.

b. Pekarangan Model Area Konservasi Cendana

Pekarangan adalah lahan yang berada di sekitar rumah dan menjadi kesatuan dengan rumah tinggal. Di daerah kering seperti Kabupaten Belu, NTT pekarangan dikenal sebagai lokasi yang aman karena bebas dari kebakaran dan gangguan ternak. Tanaman yang dipelihara dalam pekarangan jumlahnya terbatas sehingga mudah dipelihara terutama penyiraman. pada musim kemarau. Luas pekarangan penduduk di desa Teun, Raimanuk rata-rata 2000 m2 Dalam lahan pekarangan ditanami

berbagai jenis tanaman seperti sayuran, mangga, sirsak, jambu batu, kelapa, papaya, pisang dan jati pada pinggir pekarangan. Pada musim hujan penduduk juga menanam jagung di pekarangannya. Selama ini tidak ditemukan tanaman cendana dalam lahan pekarangan penduduk di desa Teun, Raimanuk. Lahan pekarangan penduduk sebagian besar datar (flat) dan hanya sebagian kecil yang landai dengan kemiringan sekitar 20 %.

Pada pertengahan tahun 2006 dalam pekarangan penduduk di desa Teun ditanami 120 semai cendana dengan tinggi rata-rata 14 – 16 cm.Setiap pekarangan ditanami sebanyak 1– 2 bibit cendana tergantung pada luas pekarangan dan lahan yang belum digunakan. Sebagai model area

konservasi cendana maka bibit cendana bersama inangnya ditanam pada tepi pekarangan dan pada lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Pengamatan pertumbuhan semai cendana dilakukan pada awal tahun 2007.

c. Partisipasi Masyarakat Lokal

Keterlibatan masyarakat lokal dalam Agroforestri Berbasis Cendana maupun dalam pekarangan melalui beberapa kegiatan dimulai dari penyiapan lahan, pemagaran, pengolahan lahan, penanaman hingga memelihara bibit cendana paska tanam. Setiap petani mendapat sebagian kecil lahan dalam model ABC tersebut dan memelihara tanaman yang ada di dalamnya. Pemeliharaan paska tanam adalah penyiraman, pembuatan naungan, penyiangan gulma, pemberantasan hama penyakit, penyulaman dan pemangkasan cabang. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sebagai bentuk konservasi langsung8) pada cendana.

Tingkat Keterlibatan masyarakat lokal diukur berdasarkan pada jumlah semai cendana yang hidup di kebun dalam model ABC dan dalam pekarangan sebagai model area konservasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pertumbuhan Cendana Dalam Model ABC

Pada lahan seluas 3,0 ha di desa Dirun, Lamaknen telah dikembangkan model ABC dengan menanam cendana sebanyak 750 bibit. Sketza model ABC desa Dirun terdapat pada Lampiran 1. Data pertumbuhan cendana selama 4 tahun disajikan pada Tabel 1.

(5)

Tabel 1. Pertumbuhan Cendana Dalam Model ABC di Desa Dirun, Lamaknen, Belu

Ndoen (dalam11) menjelaskan bahwa

penambahan tinggi semai cendana dalam umur setahun berkisar antara 50-150 cm dengan diameter pangkal batang berkisar antara 1-2 cm. Dalam penelitian ini Laju pertumbuhan tinggi semai cendana dari tahun pertama hingga tahun ketiga berkisar 60-70 cm dengan diameter pangkal batang sekitar 1-1.5 cm, sehingga termasuk pertumbuhan yang baik. Memasuki tahun keempat laju pertumbuhan tinggi semai cenderung menurun yaitu sebesar 25,26 cm per tahun. Hal ini karena pertumbuhan cendana mengarah kepada pertumbuhan batang yang semakin membesar. Pertambahan besar batang terutama pada diameter setinggi dada berkisar antara 0.5-0.6 cm per tahun. Rham12) mengatakan

bahwa cendana memiliki pertumbuhan yang lamban. Pada beberapa lokasi di Sufa 1 dan Sufa 2 pulau Timor diketahui pada umur 6 bulan tinggi tanaman mencapai 40-50 cm, pada umur 1 tahun mencapai 1.0-2.0 m dan pada umur 2 tahun mencapai 2.0-3.0 m.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan kisaran yang tidak berbeda seperti yang

disampaikan oleh Rham 12) tersebut.

Pengamatan jumlah bibit yang hidup hingga akhir tahun 2006 diketahui sebanyak 593 bibit atau kurang lebih 79.06 % dari total yang ditanam. Hal ini menunjukkan bahwa cara pemeliharaan semai cendana paska tanam oleh petani pengelola lahan dilakukan secara tepat dan baik. Berdasarkan informasi lisan dari masyarakat bahwa rata-rata jumlah bibit cendana yang hidup di lapangan hanya mencapai 20-30 %.

Tanaman semusim terutama jagung yang dihasilkan dari lahan agroforestri tersebut rata-rata 2.5 ton per ha. Hasil ini memang lebih rendah dibandingkan dengan produksi rata-rata di daerah dataran rendah sekitar 4-5 ton per ha13 ). Hal ini karena

kondisi tanah dalam plot model ABC desa Dirun berbatu-batu dan tidak dilakukan pemupukan buatan serta produksi jagung akan menurun jika ditanam pada daerah pegunungan karena tanaman jagung menyukai suhu hangat dengan penyinaran matahari penuh14 ).

Gambar 1.Topografi Lahan Model ABC di Desa Dirun Lamaknen dan Kegiatan Pengukuran Pertumbuhan Cendana

(6)

Pengembangan model agroforestri berbasis cendana (model ABC) di desa Teun, Raimanuk seluas 2,5 ha. Pada awal jumlah semai cendana yang ditanam sebanyak 600 bibit dan pada akhir tahun 2006 jumlah cendana yang hidup sebanyak 437 semai atau 72.83 % dari jumlah ditanam.

Persentase yang tinggi pada jumlah bibit yang hidup menunjukkan keberhasilan dalam pemeliharaan cendana paska tanam. Sketza model ABC desa Teun tertera pada Lampiran 2.

Pertumbuhan cendana dalam model ABC di desa Teun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pertumbuhan Cendana Dalam Model ABC di Desa Teun, Raimanuk, Belu

Dari Tabel 2, diketahui laju pertumbuhan tinggi semai cendana yang ditanam dalam lahan Model ABC di desa Teun berkisar antara 72 - 77 cm. Menurut Ndoen (dalam11) bahwa penambahan tinggi semai

cendana dalam umur setahun berkisar antara 50 - 150 cm dengan diameter pangkal batang antara 1 - 2 cm. Rham12) melaporkan

bahwa pertumbuhan cendana di Sufa 1 dan Sufa 2 (Timor) pada umur 6 bulan mencapai tinggi 40 - 50 cm, pada umur 1 tahun mencapai 1.0 - 2.0 m dan pada umur 2 tahun mencapai 2.0 - 3.0 m. Hasil penelitian dalam model ABC di Teun juga menunjukkan pertumbuhan cendana pada kisaran yang tidak berbeda seperti yang disampaikan oleh Ndoen (dalam 11) dan

Rham12) di atas. Dengan demikian laju

pertumbuhan tinggi semai cendana dalam plot Model ABC di desa Teun dari tahun pertama hingga tahun kedua dikategorikan sebagai pertumbuhan yang baik.

Terdapat perbedaan pertumbuhan semai cendana selama 2 tahun antara model ABC di Dirun dan di Teun. Semai cendana dalam model ABC di Teun cenderung memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dari pada semai cendana di Dirun. Hal ini karena

desa Teun terletak di dataran rendah dengan kondisi udara lebih panas sehingga lebih sesuai bagi pertumbuhan semai cendana. Fitter & Hay15) mengatakan bahwa

temperatur lingkungan berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan dan metabolisme tanaman. Selain itu perbedaan ukuran bibit yang ditanam juga berpengaruh pada jumlah semai yang hidup dan laju pertumbuhan semai di lapangan. Tinggi bibit cendana yang ditanam di Teun (15.61 cm) dan yang ditanam di Dirun (11.80 cm). Bibit yang lebih tinggi memiliki pertumbuhan yang lebih cepat daripada bibit yang lebih kecil.

Pertumbuhan beberapa jenis pohon buah-buahan (mangga, jambu batu dan sirsak) dan asam dalam lahan model ABC di desa Teun tertera pada Tabel 3.

Pada Tabel 3 diketahui laju pertumbuhan tinggi tiap jenis tanaman buah-buahan berbeda-beda. Laju pertumbuhan tinggi semai yang terkecil terdapat pada tanaman sirsak dan jambu batu. Hal ini karena dipengaruhi oleh sifat yang dimiliki oleh masing-masing jenis tanaman tersebut. .

(7)

3.2 Pertumbuhan Cendana Dalam Pekarangan

Pertumbuhan tinggi semai cendana pada umur 6 bulan setelah tanam antara 18 - 23 cm dengan laju pertumbuhan tinggi sekitar 4 - 6 cm. Jumlah semai cendana yang hidup sebanyak 75 % (90 semai). Pertumbuhan semai cendana tersebut kurang memuaskan karena curah hujan cukup tinggi antara bulan November 2006 hingga Januari 2007 sehingga terjadi genangan air terutama pada pekarangan yang datar. Lokasi yang tergenang air menyebabkan semai cendana mengalami gangguan pada pertumbuhannya. Rai16)

menerangkan bahwa semai cendana dapat hidup pada semua jenis tanah dengan pelbagai tingkat kesuburan apabila lokasi tersebut tidak tergenang air. Rahm 12)

melaporkan cendana menyukai tempat

Gambar 2. Pengukuran cendana dan jenis tanaman lain dalam Model ABC di Desa Teun, Raimanuk, Belu

Tabel 3. Pertumbuhan Tanaman Buahan-buahan dalam Model ABC di Desa Teun, Raimanuk

tumbuh pada punggung bukit yang terbuka dan tidak tergenang air. Oleh karena itu pemilihan lokasi yang tepat sangat menentukan pertumbuhan semai cendana. Kehadiran cendana dalam pekarangan walaupun dalam jumlah terbatas menunjukkan bahwa pekarangan memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yaitu melestarikan flora yang terancam punah dan yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut Soemarwoto16) bahwa pekarangan di

Indonesia belum dikembangkan maksimal untuk meningkatkan produksi dan ekonominya, dan jika pekarangan dikembangkan maka tidak boleh melupakan aspek ekologi dan sosial ekonominya. Oleh karena itu di waktu mendatang pemilihan pekarangan sebagai area konservasi cendana atau tanaman lain yang bernilai ekonomi di daerah kering adalah sebuah pilihan yang tepat.

(8)

3.3 Partisipasi Masyarakat Lokal

Dalam pengembangan Model ABC masyarakat lokal memberikan dukungan besar mulai dari pembukaan lahan hingga pada pemelihara lanjutan paska tanam dan pengamanan lokasi/lahan pengembangan model ABC. Lahan model ABC di Dirun, dibagikan pengelolaannya kepada petani dengan rata-rata luas 0,075 – 0,2 ha dan setiap petani memelihara lebih kurang 20 -30 semai cendana. Pada lahan model ABC di desa Teun setiap petani mengolah lahan seluas 800 m² - 2000 m² dengan menanam cendana sebanyak 20 - 45 anakan.

Pemeliharaan paska tanam pada semai cendana meliputi beberapa kegiatan yaitu penyiraman, pembuatan naungan, penyiangan, pemberantasan hama penyakit dan pemangkasan. Partisipasi masyarakat lokal terlihat dari jumlah cendana yang hidup dengan pertumbuhannya yang optimal

dalam lahan model ABC tersebut (Tabel 1 dan 2 di atas). Keberhasilan jumlah semai cendana yang hidup dengan pertumbuhan yang optimal bukan dipengaruhi oleh model ABC yang diterapkan tetapi oleh ketekunan para petani dalam merawat semai cendana tersebut. Model ABC yang dikembang hanyalah sebuah pola budidaya agar petani dapat menggunakan lahannya secara efisien melalui penataan ruang dan pergiliran waktu baik untuk menghasilkan pangannya dan juga untuk melestarikan cendana sebagai flora lahan kering yang bernilai ekonomi yang terancam langka. Semai cendana yang mati dan semai yang pertumbuhannya kurang optimal umumnya terdapat pada lahan garapan petani yang kurang rajin sehingga kurang memberikan perhatian pada pemeliharaan semai cendana. Jumlah petani yang kurang rajin pada setiap kelompok kurang lebih sebanyak 20 %.

Gambar 3. Kelompok petani pengelola lahan Model ABC di Desa Dirun-Lamaknen dan di Desa Teun-Raimanuk, Belu

Pembudidayaan cendana dalam pekarangan penduduk, melibatkan pemilik pekarangan secara langsung. Keterlibatan pemilik pekarangan antara lain menyiapkan lokasi penanaman, menggali lobang tanam dan pemeliharaan paska tanam. Tingginya persentase semai cendana yang hidup dalam pekarangan karena semai cendana dipelihara oleh pemilik pekarangan.

Partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan-kegiatan tersebut termasuk pada kegiatan konservasi langsung8). Rhiti13)

mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah faktor dominan dalam kegiatan

pelestarian lingkungan. Dengan demikian dalam kegiatan konservasi cendana di propinsi Nusa Tenggara Timur pola keterlibatan masyarakat lokal hendaknya menjadi faktor dominan yang perlu dibangun secara kontinyunitas.

3.4 Konservasi Lekat Lahan

Keterlibatan penduduk dalam pembudidayaan cendana melalui model ABC dalam kebun/ladang dan dalam pekarangan sebagai model area konservasi merupakan bukti partisipasi masyarakat lokal dalam

(9)

kegiatan konservasi cendana. Umumnya efektivitas kegiatan konservasi flora ditentukan juga oleh besarnya partisipasi masyarakat lokal18). Konservasi cendana

melalui sistim konservasi lekat-lahan akan memberikan dampak positif karena masyarakat lokal membudidayakan sendiri cendana dalam lahan miliknya (ladang/ kebun dan pekarangan) dan status kepemilikan cendana menjadi jelas yaitu milik masyarakat lokal yang lahannya ditanami serta tak dapat dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah hanya berfungsi sebagai pendorong / motivator dan pemberi

rangsangan kepada masyarakat lokal. Masyarakat lokal bertanggung jawab terhadap pemeliharaan cendana yang ada dalam kebun/ladangnya karena cendana adalah miliknya. Selain itu masyarakat lokal bertugas menjaga keamanan lahannya dari gangguan ternak dan kebakaran dan merawat/memelihara tanaman yang ada dalam lahannya seperti penyiraman, penyiangan, pemberantasan hama penyakit dan pemangkasan.

Bagan alur pola konservasi lekat-lahan pada tanaman cendana disajikan pada gambar 4 sebagai berikut.

Gambar 4. Bagan alur pola konservasi lekat-lahan pada cendana

4. KESIMPULAN

Dari hasil yang telah diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konservasi lekat-lahan adalah pola yang sesuai untuk pelestarian cendana dan juga flora lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi di daerah kering. 2. Keberhasilan pertumbuhan cendana

lebih banyak ditentukan oleh keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku konservasi di lapangan. Model ABC hanya sebuah pola budidaya tanaman di kawasan lahan kering dengan tujuan utama pada pelestarian cendana.

3. Pekarangan adalah lokasi yang baik untuk konservasi cendana karena lokasi ini aman dan pemeliharaan tanaman cendana mudah dilakukan.

4. Laju pertumbuhan tinggi cendana pada umur antara 1 - 3 tahun rata-rata antara 60 - 75 cm per tahun, namun pada umur 3 - 4 tahun laju pertumbuhan cendana semakin menurun sekitar 25,26 cm per tahun.

5. Jumlah cendana yang hidup dalam model ABC selama 2 - 4 tahun setelah tanam berkisar 72 - 79 %, sedangkan dalam lahan pekarangan selama 6 bulan jumlah semai yang hidup sebanyak 75 %.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahayu, S., A.H. Wawo., M. van Noordwijk dan K. Hairiah, 2002.

Cendana: Deregulasi Dan Strategi

Pengembangannya. World Agroforestry

Centre. ICRAF, Bogor. 60 hal.

2. McKinnell, F.H, 1990. Status of Management and Silviculture Research on Sandalwood in Western Australia and Indonesia. In Proccedings of the Symposium on Sandalwood in the

Pacific.Honolulu, Hawaii. Pacific

Southwest Research Station, Forest Service, Department of Agriculture, United States. p. 19 - 25.

3. BanoEt, H.H, 2001. Peranan Cendana Dalam Perekonomian NTT. Dulu Dan Kini Dalam: Cendana (Santalum album

L.) Sumber Daya Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi. Edisi Khusus. Vol. 5. No. 5. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Hal. 469 - 474. 4. Surata,I.K, E. Sutrisno and M.Sinaga,

1994. Utilization and Conservation of Sandalwood in Nusa Tenggara timur, Indonesia. In Sandalwood Seed, Nursery and Plantation Technology. Proceedings of A Regional Workshop for Pacific Island Countries.

Organised and Sponsored by CIRAD Foret New calrdonia, ACIAR, South Pacific Forestry Development Programme. Noumea, New Caledonia. p. 183 - 189.

5. Darmokusumo, S., A.A. Nugroho, E.U.Botu, A.Jehamat dan M.Benggu, 2001. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomi Cendana Di Nusa Tenggara Timur. Dalam: Cendana (Santalum album L.) Sumber Daya Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi. Edisi Khusus. Vol. 5. No. 5.

Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Hal. 509 - 514.

6. Wawo, A.H, 2003. Model Kultivasi Cendana Dalam Sistem Pertanian

Lahan Kering Di Pulau sumba, NTT.

Makalah Ilmiah Disampaikan Dalam Simposium XI & Muktamar X

PERHIBA. Kerjasama Antara

Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alam Dengan Departemen Farmasi, FMIPA, ITB Bandung 16 - 17 Oktober 2003.

7. Wawo, A,H dan R. Abdulhadi, 2006.

Agroforestri Berbasis Cendana. Sebuah Paradigma Konservasi Flora Berpotensi di Lahan Kering. NTT.

LIPI Press. 72 Hal

8. Primack, B.R., J.Supriatna, M.Indrawan dan P.Kramadibrata, 1998. Biologi

Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.

Jakarta. 345 hal.

9. Foresta de H and G. Michon, 2000.Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda Pendekatan. Dalam

Agroforest Khas Indonesia. ICRAF.

Bogor, Hal 1 - 18.

10. Hamzah, Z, 1976. Sifat Silvika Dan Silvikultur Cendana (Santalum album L.)

Di Pulau Timor. Laporan No. 227. Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 11. Soemarwoto, O., I. Soemarwoto.,

Karyono, E. M. Soekartodiredjo.dan A. Ramlan, 1987. Pekarangan rumah Di Jawa: Suatu Ekosistem Pertanian Terpadu.Dalam Eko Farming. Bertani

selaras Alam Yayasan Obor

Indone-sia. Hal 165 - 165.

12. Rahm, T.H, 1057. Kayu Cendana di Timor. Pengumuman Pendek

(Communication) Nr. 11. Lembaga

Pusat Penyelidikan Kehutanan Bogor. 44 hal.

13. Badan Pengendali Bimas, 1977. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur-Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarta. 277 hal.

14. Goldsworhty,P.R. and N.M. Fisher, 1984. The Physiology of Tropical Field

(11)

Soedharroedjian, Dengan Judul Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada university Press, 1992. Bulaksumur, Yogyakarta. 874 hal. 15. Fitter, A.H and R. K. M. Hay, 1981.

Enviromental Physiology of Plants.

Diterjemahkan oleh Sri Andani dan E.D. Purbayanti dengan Judul Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Cetakan kedua 1992. Bulaksumur, Yogyakarta. 421 hal. 16. Rai, S.N, 1990. Status and Cultivation

of Sandalwood in India. In: Proceedings of the Symposium on Sandalwood in

the Pacific. Honolulu, Hawaii. General

Technic Report PSW.122. Department of Agriculture, Forest Service. Pacific

Southwest Station. United States. p. 66 - 71.

17. Rahm, T.H, 1057. Kayu Cendana di Timor. Pengumuman Pendek

(Communication) Nr. 11. Lembaga

Pusat Penyelidikan Kehutanan Bogor. 44 hal.

18. Rhiti, H., 2005. Kompleksitas,

Permasalahan Lingkungan Hidup.

Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Andi Offset, Yogyakarta. 147 hal.

17. Wawo, A.H. 2006. Penerapan Model Agroforestri Berbasis Cendana Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Dalam: Pengembangan Wilayah

Perbatasan Nusa Tenggara Timur

Melalui Penerapan Teknologi. Balai

Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna, LIPI, Subang. Hal. 75 – 86. Lampiran 1.

Gambar 5. Sketsa Model ABC di Desa Dirun, Lamaknen, Belu Keterangan : X = cendana bersama inangnya

• = kopi

(12)

Lampiran 2.

Gambar 6. Sketsa Model ABC di Desa Teun

Keterangan : X = cendana dan inangnya jambu batu dan sirsak V V = tanaman semisim / pangan

“ = mahoni ¡% = asam Ë% = mangga % = jarak pagar

Gambar

Tabel 1. Pertumbuhan Cendana Dalam Model ABC di Desa Dirun, Lamaknen, Belu
Gambar 2. Pengukuran cendana dan jenis tanaman lain dalam Model ABC di Desa     Teun, Raimanuk, Belu
Gambar 3. Kelompok petani pengelola lahan Model ABC di Desa Dirun-Lamaknen     dan di Desa Teun-Raimanuk, Belu
Gambar 4. Bagan alur pola konservasi lekat-lahan pada cendana
+2

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi garam yang semakin tinggi diduga menyebabkan kenampakan ikan terbang asin kering terlihat lebih putih karena kristal garam yang terdapat pada permukaan

Menurut hasil diskusi peneliti dengan observer dan setelah dilakukan refleksi, hal ini disebabkan kurangnya bimbingan dan pengarahan guru secara merata kepada siswa

Pencapaian Kinerja Sasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram Tahun 2016.. Tabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kedisiplinan, tanggung jawab, dan keteladanan guru mata pelajaran agama Islam MTs Mursyidul Awwam Cenrana masih perlu ditingkatkan,

Dari hasil organoleptik yang diperlihatkan oleh tabel 2, diperoleh panelis 1, 5, 6, 10, 16 dan 17 agak menyukai alat mat obat nyamuk yang direkayasa, panelis 4,9 dan 14

Hal ini sejalan dengan banyaknya pendapat dari peneliti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara prediksi kenyamanan termal PMV dengan hasil data di lapangan

Abstrak. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh langsung kemampuan berpikir kritik terhadap prestasi belajar IPA. Mengetahui pengaruh langsung konsep