• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN ABSTRACT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DIAGNOSIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN

Yuli Wibowo1, M. Syamsul Ma’arif2, Anas M. Fauzi3, Luky Adrianto4 1Staf Pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember

2Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan KKP 3Staf Pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB

4Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

ABSTRACT

This study aims to diagnose the feasibility of the seaweed industry cluster development using sustainable development approach. The aspects analyzed include the preconditions of ecological, economic, social, and institutional. The method used for analyzing includes heuristic techniques, independent preference evaluation, and ordered weighted averaging. To aggregate the preconditions of feasibility into a composite value, the technique used is an expert system. The analysis showed that Sumenep area is feasible to develop the seaweed industry cluster. Key words: industry cluster, sustainable development, diagnostic

PENDAHULUAN

Klaster industri merupakan suatu pendekatan yang dipandang sesuai bagi pengembangan daya saing ekonomi guna menjawab tantangan globalisasi (waits, 2000; porter, 1998a; porter, 1998b), perkembangan teknologi (waits, 2000; porter, 1990), tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah (world bank, 2002). Terkait dengan isu-isu tentang keberlanjutan, martin dan mayer (2008) menyebutkan beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam pengembangan klaster saat ini, yaitu tantangan globalisasi, perubahan iklim, dan keadilan sosial. Zimmerman (2005) mendeskripsikan hal tersebut sebagai the 3e’s (equity, environment dan economy) atau the 3p’s (people, planet dan prosperity).

Pendekatan klaster industri saat ini telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan daya saing wilayahnya (bulu et al., 2004). Pengembangan klaster telah dilakukan di berbagai negara industri, seperti amerika, inggris, prancis, jerman, belanda, portugal, selandia baru, dan jepang, serta telah diaplikasikan pula pada beberapa negara berkembang (doeringer dan terkla, 1996; schmitz dan nadvi, 1999). Di indonesia, pendekatan klaster industri mulai diperkenalkan sebagai salah satu prioritas kebijakan pembangunan nasional melalui uu no. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional tahun 2000-2004.

Pengembangan klaster industri diyakini akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (waits, 2000; porter, 1998a; porter, 1998b). Proses pengembangan klaster dalam prakteknya mencakup beberapa tahapan, dimana salah satu satu tahapan yang dianggap penting adalah tahapan diagnosis (eda, 1997). Tujuan utama tahapan ini adalah mengidentifikasi dan memetakan potensi klaster agar diperoleh informasi tentang kelayakan pengembangan klaster yang mendukung kinerja klaster.

Penelitian ini bermaksud melakukan diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable developement). Komoditas yang diangkat dalam penelitian adalah rumput laut (eucheuma sp.). Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan indonesia yang direvitalisasi mengingat peranannya dalam rangka pro-job, pro-poor, dan pro-growth (dkp, 2005). Penelitian dilakukan di kabupaten sumenep yang merupakan salah satu sentra produksi rumput laut di provinsi jawa timur dengan potensi areal rumput laut seluas 11.500 ha.

Tujuan penelitian adalah melakukan diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut di kabupaten sumenep menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan.

(2)

TINJAUAN PUSTAKA Klaster industri

Porter (1998a) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya. Roelandt dan den hertog (1998) berpendapat bahwa klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

Pengembangan klaster industri merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. EDA (1997)

menetapkan empat tahapan umum

pengembangan klaster industri dalam mengembangkan ekonomi daerah, meliputi: (i) mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen; (ii) diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster; (iii) strategi kolaboratif, yaitu mengidentifikasi tindakan yang diperlukan untuk mengembangkan klaster; dan (iv) implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan klaster industri, diantaranya: (i) menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing, (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi perusahaan di dalam klaster serta peningkatan kemampuan inovasi yang melibatkan lembaga penelitian, (iii) mengurangi biaya transportasi dan transaksi, meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas, (iv) memiliki keunggulan dalam

memanfaatkan aset sumberdaya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi, (v) mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif (Porter, 1998a; Desrochers dan Sautet, 2004; Waits, 2000).

Pembangunan Berkelanjutan

WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital sebagai upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup seluruh umat manusia, harus disertai dengan kesadaran bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang (Howarth, 2007).

Harris (2000) menyebutkan pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pilar utama, meliputi dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks industri diantaranya dapat dilihat dari studi-studi yang telah dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Boussabaine (2007), Ometto et al. (2007), Halog dan Chan (2006), Adams dan Ghaly (2007), Allen dan Potiowski (2008), dan lain-lain. Studi-studi yang dilakukan tersebut lebih difokuskan pada variasi penggunaan indikator-indikator keberlanjutan yang digunakan dalam rangka

(3)

mengembangkan industrinya secara berkelanjutan.

Rumput Laut

Rumput laut (seaweed) adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau algae laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio Thallophyta (Deptan, 1990). Alga mempunyai bentuk bermacam-macam, seperti bola kecil, lembaran, benang, maupun rumpun. Ciri utama alga antara lain adalah tidak mempunyai alat berupa akar, batang, dan daun sejati yang dinding selnya dilapisi lendir (Sediadi dan Budiardjo, 2000). Tumbuh kembang rumput laut tergantung pada kesesuaian faktor fisika dan kimia perairan, seperti gerakan air, suhu, pH, salinitas, nutrisi atau zat hara, dan sinar matahari (Deptan, 1990; KKP, 2009).

Rumput laut (Eucheuma sp.) merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia dan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena: (i) memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, (ii) teknologi budidaya yang mudah dan sederhana, (iii) masa tanam yang pendek (quick yield) yaitu hanya 45 hari, (iv) biaya produksi sangat murah, dan (v) potensi pengembangan rumput laut menjadi produk-produk olahannya yang bernilai ekonomi tinggi dengan permintaan pasar yang cukup besar (DKP, 2008). Pada tahun 2009, volume produksi rumput laut Indonesia mencapai 2.574.000 ton (KKP, 2009).

Sebagian besar rumput laut (Eucheuma sp.), baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam hanya hingga saat ini masih diolah hanya sebatas menjadi rumput laut kering (raw dried seaweed) sehingga nilai tambah yang diperoleh relatif rendah. Komoditas tersebut sesungguhnya dapat diproses lebih lanjut menjadi produk olahan rumput laut, seperti ATC (alkali treated cottonii) atau SRC (semi refined carrageenan) yang merupakan produk semi jadi karaginan. Nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan pengolahan tersebut cukup besar, yakni berkisar antara 6 sampai 14,6 kali (DKP, 2005). ATC merupakan produk olahan rumput laut yang beberapa tahun

terakhir ini berkembang sangat pesat industrinya seiring dengan semakin meningkatnya produksi hasil budidaya rumput laut di Indonesia.

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

Praktek-praktek pengembangan klaster industri yang telah dilakukan selama ini cenderung bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata dengan mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan (Allen dan Potiowski, 2008; Martin dan Mayer, 2008). Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan suatu model pengembangan klaster industri rumput secara berkelanjutan yang difokuskan pada aspek diagnosis. Hal ini dapat bermanfaat dalam mengidentifikasi potensi klaster yang akan dikembangkan secara berkelanjutan sehingga tujuan pengembangan klaster rumput laut dalam implementasinya dapat tercapai secara efektif. Industri yang menjadi core (industri inti) didalam klaster adalah industri ATC.

Diagnosis keberlanjutan klaster industri rumput laut mengacu pada pilar-pilar pokok model pembangunan berkelanjutan, yang meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan, dengan tidak meninggalkan ciri khas klaster sebagai titik tolak analisisnya. Model generik pembangunan berkelanjutan, terkait dengan penggunaan pilar-pilar keberlanjutannya, dimodifikasi sesuai dengan lingkup dan tujuan pengembangan (Glavic dan Lukman 2007). Pilar-pilar keberlanjutan, di dalam pengembangan klaster industri rumput laut menjadi prasyarat bagi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Kerangka pemikiran yang melandasi perancangan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Tahapan Penelitian

Penelitian diagnosis pengembangan klaster industri rumput laut dilakukan melalui beberapa tahapan yang sistematis, logis, dan terstruktur yang terdiri dari 4 (empat) tahapan utama. Pertama, studi pendahuluan yang bertujuan untuk mengeksplorasi indikator yang akan digunakan didalam model melalui studi pustaka, observasi lapang, serta diskusi.

(4)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut

1 3 5

1 Suhu (°C) <20 atau >30 28-30 20-27 2

2 Kedalaman air (cm) <30 30-60 >60 2

3 Kecepatan arus (cm/det) <10 atau >40 10-20 atau 30-40 20-30 3

4 Intensitas cahaya (%) <50 (rendah) 50-70 (Sedang) >70 (tinggi) 3

5 pH <6,5 atau >9,5 6,5-<7 atau >8,5-9,5 7-8,5 2

6 Dasar perairan Lumpur Pasir campur lumpur Karang, pasir 3

7 Salinitas (‰) <28 atau >37 34-37 28-34 2

8 Oksigen terlarut <3 atau >8 3-5 >5 - <8 2

9 Nitrat (mg/1) <0,01 atau >1,0 0,8-1,0 0,01-0,7 3

10 Amonium (mg/l) <0,003 atau 0,1 0,04-0,1 0,003-0,03 3

No. Parameter Skor Bobot

Sumber: Deptan (1990); Amarullah (2007) dengan pakar. Kedua, pengumpulan data yang bertujuan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Ketiga, pengolahan data yang bertujuan untuk mengolah data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan. Keempat, penulisan laporan yang bertujuan untuk membuat laporan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari hasil penggalian informasi dari pakar dilakukan baik secara terstruktur dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner maupun secara tidak terstruktur dengan melakukan wawancara secara mendalam yang bertujuan untuk mengeksplorasi informasi sebanyak-banyaknya. Pakar penelitian terdiri dari peneliti, dosen, praktisi agroindustri, dan pejabat pemerintah. Pengumpulan data

sekunder dilakukan dengan melakukan komunikasi kepada pihak-pihak sumber informasi dan mengunjungi beberapa sumber data dan juga mencari koleksi data hasil penelitian yang relevan. Data sekunder diperoleh dari BPS, KKP, DKP Provinsi Jawa Timur, DKP Kabupaten Sumenep, BMKG Surabaya, serta dinas dan instansi terkait lainnya.

Metode Pengolahan Data

Analisis prasyarat ekologi diolah secara heuristik menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Deptan (1990) dan Amarullah (2007). Parameter penilaian prasyarat ekologi dijabarkan kedalam 10 indikator penilaian yang tercakup dalam matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma sp) (Tabel 1).

Penilaian masing-masing parameter menggunakan skor dengan 3 (tiga) skala, yaitu 1, 3, dan 5. Kesesuaian lahan budidaya

(5)

Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut

No. Rentang nilai Kelas lahan

1. 91,68 – 125,0 Sesuai 2. 58,34 – 91,67 Cukup Sesuai 3. 25,00 – 58,33 Tidak Sesuai                r q k Int Qk 1 * 1                r q k Int Qk 1 * 1

Gambar 2. Diagram Alir Model Prasyarat Ekonomi, Sosial, dan Kelembagaan diperoleh dengan menghitung jumlah nilai

indeks parameter yang merupakan perkalian antara skor dengan bobot masing-masing paramater yang disesuaikan dengan kelas lahan yang telah ditetapkan. Kelas lahan ditentukan berdasarkan nilai indeks parameter

tertinggi dan terendah yang dapat dicapai dibagi dengan jumlah kelas (Tabel 2).

Pengolahan data pada analisis prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan menggunakan teknik independent preference evaluation (IPE) dimana proses agregasi penilaiannya menggunakan operator ordered

(6)

Tabel 3 Nilai Label Output dan Input Sistem Pakar

No. Variabel Nilai Label

1 Output:

Agregasi kelayakan prasyarat pengembangan Layak/Cukup Layak/Tidak Layak 2 Input:

a. Prasyarat Ekologi b. Prasyarat Ekonomi c. Prasyarat Sosial

d. Prasyarat Kelembagaan

Sesuai/Cukup Sesuai/Tidak Sesuai Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Tabel 4 Hasil Rata-rata Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut

No. Parameter Satuan Rata-rata penilaian

1 Dasar perairan

2 Kedalaman pada surut terendah m 0,95

3 Kecepatan arus cm/detik 17,90

4 Suhu permukaan °C 31,77 5 Salinitas ‰ 30,55 6 pH 7,71 7 Kecerahan % 61,06 8 DO mg/l 6,50 9 Nitrat mg/l 0,14 10 Amonium mg/l 0,35

Sumber: DKP Kab. Sumenep dan BMKG Surabaya (data diolah 2010)

weighted averaging (OWA) yang

dikembangkan oleh Yager et al. (1993). Skala linguistik yang digunakan untuk penilaian adalah Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST) (Gambar 2).

Untuk mengagregasi prasyarat kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan) menjadi suatu nilai komposit, digunakan teknik sistem pakar (expert system). Pada sistem pakar agregasi prasyarat pengembangan klaster, representasi pengetahuan dalam bentuk basis pengetahuan dan mekanisme inferensi, pembuatan program dalam bentuk kaidah-kaidah yang mengolah data menjadi kesimpulan menggunakan aturan If-Then atau metode rulebase (Turban dan Aronson, 2001). Ada 81 aturan yang dikembangkan dalam basis pengetahuan sistem pakar (Tabel 3).

HASIL DAN PEMBAHASAN Diagnosis Prasyarat Ekologi

Diagnosis prasyarat ekologi bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut. Diagnosis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut dilakukan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep. Hasil rata-rata penilaian kondisi ekologis perairan pada kecamatan-kecamatan yang dianalis disajikan pada Tabel 4.

Ikhtisar hasil analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep disajikan pada Tabel 5. Pada tabel terlihat bahwa rata-rata nilai indeks parameter adalah 100,45 sehingga masuk dalam kategori kelas “Sesuai”. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep sesuai dengan persyaratan tumbuh rumput laut sehingga berpotensi untuk dilakukan pembudidayaannya.

(7)

Tabel 5 Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut

No. Kecamatan Nilai indeks Kesimpulan

1 Ambunten 103 Sesuai 2 Batuputih 111 Sesuai 3 Batang-batang 111 Sesuai 4 Bluto 95 Sesuai 5 Dasuk 111 Sesuai 6 Dungkek 101 Sesuai 7 Gapura 95 Sesuai 8 Kalianget 93 Sesuai

9 Pragaan 79 Cukup Sesuai

10 Pasongsongan 11 Sesuai

11 Saronggi 95 Sesuai

Agregat 100,45 Sesuai

Sumber: Data diolah (2010)

Tabel 6 Penilaian Prasyarat Ekonomi

No. Indikator Bobot Skor Agregat

1 Permintaan pasar T T T

2 Kemampuan teknologi S S S

3 Infrastruktur ekonomi T S S

4 Kemampuan SDM S S S

5 Kegiatan ekonomi lokal S S S

6 Iklim investasi S S S

7 Permodalan S S S

8 Pertumbuhan industri/usaha S S S

Kesimpulan Cukup Layak

Diagnosis Prasyarat Ekonomi

Ikhtisar hasil penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat ekonomi pengembangan klaster disajikan pada Tabel 6. Pada tabel terlihat bahwa permintaan pasar dan ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan indikator-indikator yang mempunyai bobot “Tinggi”. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan pasar dan infrastruktur merupakan indikator yang harus

menjadi perhatian utama dalam

pengembangan klaster industri rumput laut. Berdasarkan hasil diagnosis terlihat bahwa pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif ekonomi “Cukup Layak” untuk dilakukan

yang didukung oleh potensi pasar yang cukup tinggi.

Dari sisi infrastruktur, prasyarat yang sudah dimiliki Kabupaten Sumenep untuk pengembangan klaster industri rumput laut meliputi:

 Ketersediaan listrik dengan kapasitas daya mencapai 53.099.102 VA. Dari jumlah kapasitas tersebut, hanya sekitar 7.408.773 VA yang saat ini terpakai (BPS 2009). Kapasitas daya listrik ini cukup memadai mengingat kebutuhan listrik khusus untuk industri ATC hanya sebesar 33.000 VA.

 Ketersediaan air PDAM dengan potensi produksi sebesar 6.868.864 m3, sementara tingkat konsumsi hanya mencapai

(8)

Tabel 7 Penilaian Prasyarat Sosial

No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks

1 Dukungan stakeholders ST S S

2 Kondisi sosial budaya T T T

3 Motivasi stakeholders S S S

4 Ketersediaan tata ruang T S S

5 Keterlibatan masyarakat setempat T S S

Agregasi Cukup Layak

Tabel 8 Penilaian Prasyarat Kelembagaan

No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks

1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST S S

2 Mekanisme hubungan kelembagaan T S S

3 Mekanisme monitoring dan evaluasi S S S

Agregasi Cukup Layak

2.771.633 m3(BPS 2009). Jumlah potensi air ini semakin bertambah jika diperhitungkan dengan potensi air tanah yang dapat digunakan untuk proses produksi ATC.

 Akses jalan cukup baik. Dari sekitar 1.629.900 km panjang jalan di Kabupaten Sumenep, sekitar 84,81% dalam kondisi baik. Panjang jalan yang diaspal mencapai 92,79% (BPS 2009). Kondisi jalan yang cukup baik ini akan memudahkan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan transportasi dan distribusi barang.

 Ketersediaan pelabuhan. Selain transportasi darat, keberadaan transportasi laut sangat diperlukan mengingat wilayah Kabupaten Sumenep adalah kepulauan. Pelabuhan yang berada di Kecamatan Kalianget melayani rute Kalianget-Kangean dan Kalianget-Jangkar. Wilayah ini juga berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di Kota Surabaya.

Diagnosis Prasyarat Sosial

Ikhtisar hasil penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat sosial pengembangan klaster disajikan pada Tabel 7. Pada tabel terlihat bahwa indikator dukungan para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai bobot yang “Sangat Tinggi”. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan

klaster industri rumput laut harus mendapatkan dukungan penuh dari stakeholders terkait agar nantinya klaster dapat beroperasi secara optimal. Berdasarkan hasil diagnosis terlihat secara sosial pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep “Cukup Layak” untuk dilakukan. Hal ini didukung oleh kondisi sosial budaya masyarakat Madura yang kondusif untuk pengembangan klaster. Masyarakat Madura terbiasa dengan kehidupan bahari yang penuh tantangan dan resiko dimana melaut merupakan mata pencaharian utamanya.

Diagnosis Prasyarat Kelembagaan

Ikhtisar hasil penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat kelembagaan pengembangan klaster disajikan pada Tabel 8. Pada tabel terlihat bahwa indikator kelengkapan struktur kelembagaan mempunyai bobot yang “Sangat Tinggi”. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengembangan klaster industri rumput laut sangat dipengaruhi oleh kelengkapan struktur kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas pengembangan klaster di daerah. Semakin lengkap stakeholders yang terlibat dalam kelembagaan klaster industri, maka semakin besar kemungkinan keberhasilan pengembangan klaster tersebut. Agregasi prasyarat kelembagaan pengembangan klaster berdasarkan hasil penilaian pakar adalah

(9)

Gambar 3 Model Struktur Kelembagaan Klaster “Sedang”. Artinya, pengembangan klaster

industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan “Cukup Layak” untuk dilakukan, meskipun kelengkapan struktur kelembagaan klaster masih belum sepenuhnya terbentuk.

Kelengkapan struktur kelembagaan yang saat ini dimiliki klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi:

 Pembudidaya. Pembudidaya rumput laut umumnya berkelompok-kelompok

membentuk suatu kelompok

pembudidaya. Saat ini ada 96 kelompok, namun yang berjalan dengan baik 45 kelompok. Kelompok-kelompok pembudidaya ini dikelola oleh koperasi yang sekaligus bertindak sebagai pengepul di tingkat desa dan kecamatan.

 Pengepul/pedagang besar.

Pengepul/pedagang besar melakukan pembelian rumput laut dari pengepul di tingkat kecamatan. Ada 9 unit usaha yang melakukan pembelian rumput laut di Kabupaten Sumenep yang tergolong pengepul besar, yaitu: UD. Karang Baru, UD. Ladaina, UD. Beni Tanasa, UD. Harapan Jaya, CV. Delta Surya Prima, PT. Madura Prima Interna, PT. Indo Carragenan, dan PT. Sansiwita. Pengepul besar selanjutnya menjual rumput laut

kering ke eksportir yang berkedudukan di Surabaya dan Malang.

 Industri ATC. Beberapa industri di Kabupaten Sumenep seperti PT. Madura Prima Interna dan PT. Sansiwita, telah mempunyai unit produksi ATC. Namun karena beberapa hal, unit produksi tersebut saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Sejak tahun 2007 telah dibangun industri ATC yang berada Kecamatan Batuan yang merupakan bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui dana dekonsentrasi.

 Insitusi pembiayaan. Lembaga pembiayaan, baik bank dan non bank, yaitu: BRI, BCA, BNI, Bank Jatim, BPR Syariah Bakti Sumekar, Pegadaian, Koperasi dan LKM (KSP, USP, BMT). Menurut laporan BI (2008), jumlah total kredit yang telah dikucurkan oleh pihak BRI, BCA, dan Bank Jatim pada tahun 2008 untuk usaha rumput laut sebesar Rp.

1.648.000.000,- Institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang mendukung pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Universitas Wiraraja Sumenep, Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, STM Perikanan Jurusan Budidaya Rumput Laut Sumenep, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep,

(10)

Tabel 9 Hasil Konsultasi pada Sistem Pakar

No. Logika Parameter Nilai Label

Aturan 14 IF And And And THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan

Persyaratan kelayakan pengembangan klaster

Membuat perencanaan tindakan pengembangan yang operasional Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak

serta Balai Besar Air Payau (BBAP) Situbondo.

Agregasi Prasyarat Kelayakan Pengembangan

Agregasi prasyarat pengembangan dilakukan untuk mendapatkan nilai komposit hasil diagnosis prasyarat ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan input prasyarat pengembangan dan output hasil diagnosis yang dikembangkan dalam sistem pakar, hasil konsultasi yang sesuai mengikuti aturan ke-14. Artinya, pengembangan klaster industri rumput laut “Cukup Layak” dikembangkan di Kabupaten Sumenep. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Sumenep mempunyai potensi yang cukup baik untuk mengembangkan klaster industri rumput laut di wilayahnya.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Hasil diagnosis menunjukkan bahwa

Kabupaten Sumenep layak untuk

dikembangkan klaster industri rumput laut. Hal ini disebabkan oleh kondisi perairan yang sesuai dengan pertumbuhan rumput laut yang didukung oleh kondisi ekonomi, sosial, dan kelembagaan yang cukup memadai untuk dilakukan pengembangannya.

Saran

Menindak-lanjuti hasil diagnosis kelayakan pengembangan di Kabupaten Sumenep, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah merencanakan tindakan pengembangan (action plan) yang dibutuhkan dalam pengembangan klaster. Adapun langkah-langkah perencanaan secara konkrit yang dapat diambil meliputi:

1. Perencanaan pembiayaan dan permodalan terkait dengan kebutuhan pembiayaan dan

permodalan, struktur pembiayaan, serta skema pembiayaan;

2. Perencanaan kapasitas dan pemenuhan bahan baku terkait dengan keseimbangan antara kapasitas produksi agroindustri dengan ketersediaan bahan baku rumput laut di wilayah pengembangan;

3. Perencanaan kelembagaan pengelola klaster yaitu suatu kelompok kerja (working group) yang mewakili seluruh stakeholder yang terlibat didalam klaster yang berfungsi sebagai koordinator operasional klaster untuk menjamin

keberlanjutan klaster dan

operasionalisasinya; serta

4. Perencanaan penanganan limbah industri terkait dengan perencanaan alternatif dalam penanganan limbah industri. DAFTAR PUSTAKA

Adams M, Ghaly AE. 2007. Maximizing Sustainability of the Costa Rican Coffee Industry. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1716-1729. Allen JH, Potiowsky T. 2008. Portland's

Green Building Cluster : Economic Trends and Impacts. Economic Development Quarterly 2008 22: 303. DOI: 10.1177/0891242408325701. Amarullah. 2007. Pengelolaan Sumberdaya

Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ardebili AV, Boussabaine AH. 2007. Application of Fuzzy Techniques to Develop an Assessment Framework for Building Design Eco-drivers. Building and Environment 42 (2007) 3785-3800.

(11)

[BI] Bank Indonesia. 2008. Pengembangan Komoditi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep. Bank Indonesia. Surabaya. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009.

Kabupaten Sumenep Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. Sumenep.

Bulu M, Ozben O, Eraslan IH. 2004. Clusters in Turkish Textile Industriy: A Case Study in Bayrampasa District. International Istanbul Textile Congress 22-24 April 2004. Istanbul.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian bekerjasama dengan International Development Research Centre. Jakarta.

Desrochers P, Sautet F. 2004. Clusters-Based Economic Strategy, Facilitation Policy and the Market Process. Review of Austrian Economics, Jun: 17: 2-3. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan.

2005. Revitalisasi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Doeringer PB, Terkla DG. 1996. Why do Industries Cluster? Business Network: Prospects for Regional Development. Walter de Gruyter. Berlin.

[EDA] Economic Development

Administration. 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional Competitiveness. Information Design Associaties and ICF Kaiser International. Oct. 2007.

Glavic P, Lukman R. 2007. Review of Sustainability Terms and Their Definitions. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1875-1885. Gowdy JM, Howarth RB. 2007. Sustainability

and Benefit-Cost Analysis: Theoritical Assessment and Policy Option. Ecological Economics 63 (2007). Halog A, Chan A. 2006. Toward Sustainable

Production in the Canadian Oil Sands Industry. Proceedings 13th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering.

Howarth RB. 2007. Towards an Operational Sustainability Criterion. Ecological Economics 63 (2007) 656-663.

Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Working Paper 00-04. Tufts University. USA.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Martin S, Mayer H. 2008. Sustainability, Clusters, and Competitiveness : Introduction to Focus Section. Economic Development Quarterly 2008

22: 272. DOI:

10.1177/0891242408325702.

Ometto AR, Ramor PAR, Lombardi G. 2007. The Benefit of a Brazilian Agro-industrial Symbiosis System and the Strategies to Make it Happen. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1253-1258.

Porter ME. 1998a. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review. November-December.

___________. 1998b. The Adam Smith Address: Location, Clusters, and the

“New” Microeconomics of

Competition. Business Economics; Jan 1998; 33,1; ABI/INFORM Global pg. 7 ___________. 1990. The Competitive

Advantage of Nations. Harvard Business Review. March. pp. 73-93. Roelandt TJA, den Hertog P. 1998. Cluster

Analysis & Cluster-Based Policy in OECD-Countries: Various Approaches, Early Results & Policy Implications. Report by the Focus Group on: Industrial clusters Draft synthesis report on phase 11. OECD-Focus Group on industrial clusters. Presented at the 2nd OECD-workshop on cluster analysis and cluster-based policy. Vienna, May 4th & 5th. The Hague/Utrecht, May 1998.

Scmitz H, Nadvi K. 1999. Clustering and Industrialization: Introduction. World Development 27(9), 1503-1514.

(12)

Sediadi A, Budihardjo U. 2000. Rumput Laut. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI. Jakarta.

Turban E, Aronson JE. 2001. Decision Support System and Intelligent Systems. 6th Ed. Prentice Hall. New Jersey.

Waits MJ. 2000. The Added Value of the Industry Cluster Approach to Economic Analysis, Strategy Development, and Service Delivery. Economic Development Quarterly, Vol. 14 No. 1, February 2000 35-50.

[WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common

Future. Oxford University Press. New York.

World Bank. 2002. LED Quick Reference Urban Development Unit. The World Bank. Washington DC. December 2002.

Yager RR. 1993. Non Numeric Multi-Criteria Multi Person Decision Making. Group Decision and Negotiation 2, 81-93. Zimmerman JB. 2005. EPA’s P3 – People,

Prosperity, and Planet – Award, Sustainability: Science, Practice &

Gambar

Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut
Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut
Gambar 3 Model Struktur Kelembagaan Klaster

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model PBL ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi

Seorang pendidik harus mampu merancang suatu aktivitas pembelajaran yang membuat kegiatan berpikir itu menjadi mudah dan menarik bagi siswa.. Kegiatan pembelajaran yang

yang menyerang berbgai jenis tanaman sayuran di lapang, untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan populasi parasitoid yang berasosiasi dengan hama Liriomyza spp., untuk

Hasil penelitian didapatkan: peta subak Kota Denpasar, peta luas lahan subak di Kota Denpasar, tabel dan grafik analisis hubungan luas subak hasil digitasi citra dan luas dari BPS,

Hasil temuan ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Burns bahwa banyak bekas narapidana sungguh-sungguh mencoba untuk memperbaiki tingkah laku mereka, tetapi

Sebaliknya, orientasi pem- bangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang

Kajian ini adalah berkenaan strategi promosi dalam pengurusan Muzium Islam Sarawak (MIS). Muzium ini merupakan sebuah muzium Islam yang pertama berkonsepkan