• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Sekolah Inklusi

Sekolah inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990: 103) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995: 108) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O‟Neil, 1995: 167) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995:117).

Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif.Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dan kurang berutung untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak sebagaimana anak-anak normal lainnya.

(2)

Peraturan mengenai Sekolah Inklusif sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: 1. UUD 1945

2. UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat 3. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

7. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK

8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis untuk pendidikan inklusif yang berlaku yaitu:

9. Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler.Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat.Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitupendidikaninklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh.Model moderat ini dikenal juga dengan istilah model mainstreaming. Model pendidikan

(3)

mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler.

Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1. Bentuk kelas reguler penuh:

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2. Bentuk kelas reguler dengan cluster:

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3. Bentuk kelas reguler dengan pull out:

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4. Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out:

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.

5. Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian:

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular.

6. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah regular:

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh).Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat.

Bahkan bagi anak berkelainan yang tingkat kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di

(4)

sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

Secara umum Ruang Khusus pada Sekolah Inklusif disebut juga sebagai Ruang Sumber. Ruang Sumber inilah yang menjadi tempat bagi anak-anak berkebutuhan khusus terutama bagi mereka yang menderita slow learner atau IQ rendah, penderita autisme sedang atau hyperactive. Keberadaan ruang sumber harus digunakan sebagai tempat pembelajaran individual dan bukan sebagai ruang untuk menempatkan peserta didik berkebutuhan khusus sepanjang waktu.Ada waktu dan kondisi tertentu dimana anak-anak tersebut berada di Ruang Sumber tersebut. Mereka akan dibawa ke ruang sumber untuk mendapat layanan pendidikan khusus apabila ABK tersebut tidak bisa mencapai kemampuan yang telah ditetapkan di dalam kelas.

Berdasarkan hasil survey dan wawancara dengan salah satu guru didik khusus ABK di SDN 09 Rawamangun, umumnya anak tersebut akan mulai gelisah, bosan dan membuat kegaduhan dengan mengganggu teman sekelasnya. Pada saat inilah anak ABK tersebut akan dibawa ke dalam Ruang Sumber. Di dalam Ruang Sumber atau Ruang Khusus tersebut anak-anak akan mendapat perlakuan khusus yang berbeda dengan teman-teman sebaya normal lainnya. Aktivitas seperti menggambar, mewarnai, bermain puzzle, olah tubuh serta bimbingan khusus dari guru didik yang mengajak anak bermain sambil belajar akan sangat efektif untuk meredakan kondisi ABK. Interior di dalam Ruang Sumber harus dibuat semenarik mungkin tanpa melupakan unsur-unsur keselamatan dari segi perabot dan alat-alat yang akan digunakan. Hindari kondisi ruang yang terlalu penuh dengan perabot karena akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi ABK tersebut.

Ada beberapa ketentuan umum yang dibuat Pemerintah terkait dengan pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan yang berorientasi terhadap kaum disabilitas dan berkebutuhan khusus, diantaranya:

1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu

lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.

2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan

yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.

3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau

(5)

4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan

mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain (terkecuali kebutuhan khusus).

Selain itu, sekolah inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus maupun anak- anak normal harus dapat memiliki aspek-aspek penting lainnya seperti:

Accesbility, penerapan aksesibilitas yang dapat memfasilitasi dan mewadahipelajar berkebutuhan khusus seperti ramp dan tangga sekolah yang dirancang dengan penerapan pegangan tangan(handrailing) yangmemiliki dinamika bentuk serta penerapan tekstur atau bentuk khusus pada dinding koridor sekolah sebagai penunjuk ruang kelas yang berbeda.

Safety, penggunaan akses ramp akan menjadi akses utama murid baik yangberkebutuhan khusus terutama pengguna kursi roda untuk mencapai lantai kelas berikutnya, terdapat juga tangga yang dapat digunakan sebagai akses pendukung ramp. Selain ramp dan tangga, hal lain yang perlu diperhatikan adalah material yang digunakan harus aman dan nyaman untuk menghindari dan meminimalisir dampak kecelakaan yang timbul.

Interaction, penerapan ruang bersama atau area taman bermain yang dapatdigunakan untuk beraktivitas, bermain ataupun berdiskusi bersama siswa lainnya. Ruang bersama atau area taman bermain tersebut juga dapat digunakan untuk sarana interaksi sosial.

2.1.2 Universal Design

Universal Design adalah desain dan komposisi lingkungan yang tepatsehingga dapat diakses, dipahami dan digunakan semaksimal mungkin oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, kemampuan atau kekurangan (disabilitas). Lingkungan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang ingin menggunakannya.

Universal Design bukan suatu persyaratan khusus, hanya untuk kepentingantertentu atau instansi terkait tetapi Universal Design adalah kondisi fundamental dari desain yang baik. Lingkungan dan bangunan dapat diakses, digunakan, nyaman dan memiliki manfaat untuk semua orang. Dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kemampuan dari seluruh proses desain, desain universal menciptakan

(6)

produk, layanan dan lingkungan yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Sederhananya, Universal Design adalah desain yang baik dan dapat diterima oleh setiap orang. (sumber: www.universaldesign.ie)

Ada 7 prinsip Universal Designyang dapat dijadikan standar kenetntuan menurut NDA (National Disability Authority), yaitu:

1. Equitable Use

Desain ini berguna dan berharga untuk orang-orang dengan kemampuan yang beragam.

Pedoman:

• Menyediakan sarana yang sama penggunaan untuk semua pengguna: adanya keseragaman atau memiliki nilai identik; adanya kesetaraan • Ketentuan untuk privasi, keamanan, dan keselamatan harus sama-sama

tersedia untuk semua pengguna.

• Membuat desain yang menarik bagi semua pengguna. 2. Flexibility in Use

Desain dapat mengakomodasi berbagai preferensi individu dan kemampuan. Pedoman:

• Memberikan pilihan dalam metode penggunaan.

• Mengakomodasi akses tangan kanan atau kidal dalam penggunaan. • Memfasilitasi akurasi pengguna.

• Dapat diakses dan dijangkau oleh pengguna dengan cepat. 3. Simple and Intuitive Use

Penggunaan desain mudah dipahami, terlepas dari pengalaman pengguna, pengetahuan, kemampuan bahasa, atau tingkat konsentrasi.

Pedoman:

• Menghilangkan kompleksitas yang tidak perlu. • Konsisten dengan ekspektasi pengguna.

• Mengakomodasi berbagai literasi dan ketrampilan berbahasa. • Mengatur informasi yang konsisten dengan kepentingannya. 4. Perceptible Information

Desain berkomunikasiyang diperlukan secara efektif kepada pengguna, terlepas dari kondisi sekitar atau kemampuan sensorik pengguna.

(7)

Pedoman:

• Gunakan pilihan yang berbeda (bergambar, verbal, taktil) untuk informasi penting.

• Memberikan kontras yang cukup antara informasi penting dan lingkungan sekitarnya.

• Memaksimalkan informasi penting agar mudah dipahami.

• Membedakan elemen dalam cara yang dapat dijelaskan (yaitu, membuatnya mudah untuk memberikan instruksi atau arah).

• Menyediakan kompatibilitas dengan berbagai teknik atau perangkat yang digunakan oleh orang-orang dengan keterbatasan sensorik.

5. Tolerance for Error

Desain yang dibuat dapat meminimalkan bahaya dan konsekuensi yang merugikan dari tindakan disengaja atau tidak disengaja.

Pedoman:

• Mengatur elemen untuk meminimalkan bahaya dan kesalahan: elemen yang paling sering digunakan, paling mudah diakses,terisolasi, atau terlindung.

• Memberikan peringatan bahaya dan kesalahan. • Menyediakan fitur aman pada setiap kesalahan.

• Mencegah tindakan bawah sadar dalam tugas-tugas yang membutuhkan kewaspadaan.

6. Low Physical Effort

Desain dapat digunakan secara efisien dan nyaman serta dengan meminimalkan tingkat kelelahan atau usaha pengguna.

Pedoman:

• Memungkinkan pengguna untuk mempertahankan posisi tubuh netral. • Gunakan sistem pengoperasian yang normal.

• Meminimalkan tindakan berulang-ulang. • Meminimalkan upaya fisik yang berkelanjutan. 7. Size and Space for Approach and Use

Ukuran dan ruang yang tepat disediakan untuk memobilisasi pengguna terlepas dari ukuran tubuh, postur, atau mobilitas.

(8)

Pedoman:

• Memberikan acuan yang jelas bagi setiap pengguna duduk di tempat atau berdiri.

• Membuat jangkauan yang nyaman untuk semua komponen yang dapat digunakan setiap pengguna duduk di tempat atau berdiri.

• Mengakomodasi variasi genggaman tangan dan ukuran tangan setiap orang.

• Memberikan ruang yang cukup untuk penggunaan alat bantu atau bantuan pribadi.

2.1.3 Penyandang Disabilitas

Kecacatan adalah suatu kondisi dimana adanya kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi seseorang untuk melakukan aktivitas secara selayaknya.Teori kecacatan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu ; Disabilitas adalah keterbatasan atau kekurang mampuan untuk melaksanakan kegiatan secara wajar bagi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kondisi impairment.

Menurut ADA (American Disability Act) :“Disability may be defined as areduction in personal coping and adaptive function that causes significant limitation in overall daily living.” Atau dengan arti lain: “Kecacatan dapat didefinisikan sebagaikeadaan berkurangnya fungsi pribadi dalam memenuhi kebutuhan dan daya penyesuaiannya sehingga menyebabkan keterbatasan dalam keseluruhan penampilan hidup sehari-hari.”

Ciri-ciri Penyandang Disabilitas:

1. Penyandang Cacat Fisik, yaitu individu yang mengalami kelainan kerusakan fungsi organ tubuh dan kehilangan organ sehingga mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Misalnya gangguan penglihatan, pendengaran, dan gerak.

2. Penyandang Cacat Mental, yaitu individu yang mengalami kelainan mental dan atau tingkah laku akibat bawaan atau penyakit. Individu tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain(normal), sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

(9)

3. Penyandang Cacat Fisik dan Mental, yaitu individu yang mengalami kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari selayaknya.

Anak berkebutuhan khusus (Heward; 2010: 87) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.Yang termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Ada beberapa klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, diantaranya:

1. Tuna Rungu 2. Tuna Grahita 3. Tuna Netra

4. Kesulitan Belajar atau Sulit Berkonsentrasi 5. Autis

6. Korban Penyalahgunaan Narkoba 7. Lambat Belajar (IQ=70-90)

Anak berkebutuhan khusus terutama anak-anak dibawah umur 10 tahun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Mereka aktif, senang berinteraksi dan memiliki rasa keingintahuan yang besar. Hanya saja beberapa kekurangan diantaranya adalah pengendalian emosi yang kurang dan bagi sebagian anak yang memiliki keterbatasan fisik, aktivitas yang dilakukan pun terbatas. Ruang gerak bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik akan sangat mempengaruhi suatu bentukan ruang. Ruang yang ada harus dapat memfasilitasi semua anak baik anak normal ataupun anak berkebutuhan khusus tanpa mengurangi tingkat kenyamanan dan keamanan.

Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

(10)

Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

2.1.4 Tata Ruang Bagi Penyandang Disabilitas

Pada dunia arsitektur, perancangan suatu ruangan tidak hanya memperhatikan kebutuhan ruang bagi manusia normal, namun juga perlu memperhatikan kebutuhan tata ruang bagi para penyandang disabilitas. Dengan tata ruang khusus, penyandang disabilitas akan mudah melakukan aktivitas dengan leluasa dan tanpa bantuan orang lain.

Data Kementerian Sosial Republik Indonesia pada 2013 menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 2,8 juta dari jumlah penduduk di Indonesia yang berjumlah 253,60 juta jiwa.Dengan jumlah sebanyak itu, tentunya para penyandang disabilitas juga menginginkan untuk dapat melakukan berbagai aktivitas dengan kemampuan sendiri dan tentunya hal tersebut harus dapat dimulai dari usia dini anak-anak berkebutuhan khusus.

Ruang yang digunakan juga harus mendukung aktivitas para penyandang disabilitas untuk bebas melakukan kegiatan mereka seperti aktivitas belajar mengajar dan bermain di sekolah. Ada beberapa hal penting terkait penataan ruang bagi penyandang disabilitas khususnya pada bangunan sekolah. Penataan bagi ruang kelas anak berkebutuhan khusus pada intinya sama saja dengan penataan pada ruang kelas orang normal, hanya saja perbedaaan terletak pada sirkulasinya. Anak berkebutuhan khusus memiliki ukuran dan dimensi standard untuk penempatan sirkulasi.

Ukuran dasar penataan inilah yang dijadikan standard dalam penempatan dan perancangan sirkulasi bagi anak berkebutuhan khusus.Ruang sirkulasi di depan pintu ruang kelas minimal memiliki luasan area 152,4cm x 152,4 cm. Hal ini memudahkan pengguna kursi roda untuk melakukan perputaran sehingga lebih leluasa dalam bergerak. Perbedaan ketinggian lantai yang biasanya terdapat antara ruang kelas dengan luar ruang, seharusnya diatasi dengan membuat ram yang memiliki kemiringan tidak lebih dari 15 derajat. Selain itu perbedaan ketinggian tidak boleh lebih dari dari 3 cm.

(11)

Penggunaan pintu geser untuk memudahkan gerakan buka-tutup dan untuk menghemat ruangan. Lebar pintu usahakan >80cm dengan jarak besar pintu masuk minimal 150cm. Menurut standart yang berlaku minimum area yang digunakan untuk kursi roda adalah 121,9cm x 121,9 cm.Penggunaan railing pada bagian tembok ruang kelas juga membantu sebagai pegangan bagi anak yang menggunakan tongkat ataupun krek. Adanya kaca juga sebagai sarana untuk melatih mengenali dirinya sendiri.

Tabel 3. Standar Ketentuan Elemen Ruang Bagi Kaum Disabilitas Menurut ADA ( American Disability Act )

Standard Ketentuan Menurut ADA ( American Disability Act ) Ram • Kemiringan tidak lebih dari 7 derajat

• Ukuran lebar minimal 110cm

Lantai • Perbedaan ketinggian lantai tidak lebih dari 3cm, jika Ruang dimungkinkan hindari perbedaan ketinggian lantai terutama

bagi ruang-ruang yang sering diakses oleh pelajar berkebutuhan khusus

• Terdapat ruang sirkulasi bagi pengguna kursi roda untuk setiap ruang yang memiliki ukuran minimal 152cm x 152cm Pintu • Ukuran lebar pintu geser minimal 80cm

Geser • Adanya haindrailing pada pintu geser dapat membantu pengguna kursi roda untuk menggunakannya dengan nyaman • Standar minimal jarak ketinggian handrailing adalah 80cm

dan maksimal 85cm

Tangga • Lebar ukuran tangga yang ideal adalah 150cm • Jarak antar anak tangga maksimal 15cm

(12)

Handrail ing dan Handle Pintu

Letak handrailing untuk ram memiliki ketinggian antara 80cm – 85cm

Letak handrailing untuk tangga memiliki ketinggian antara 80cm – 85cm untuk setiap anak tangganya.

Letak handle pintumemiliki ketinggian antara 80cm – 85cm • Hindari penggunaan material yang licin dan mudah berkarat

Sumber: ADA (American Disability Act), diakses tanggal 2 Oktober

Gambar 2. Ukuran Ideal Kursi Roda Penyandang Cacat

Sumber: www.pramudyawardhani.wordpress.com, diakses tanggal 2 Oktober 2015

Gambar 3. Ukuran Ideal Anak Pengguna Kursi Roda

Sumber: NDA (National Disability Authority), diakses tanggal 2 Oktober 2015

Taman bermain juga diaplikasikan sebagai sarana edukasi dan tantangan yang sehat bagi anak berkebutuhan khusus. Dengan psikologisnya yang lebih individualis, maka adanya taman bermain yang didesain tepat akan memberikan tingkat sosialisasi yang tinggi bagi mereka. Dengan adanya konsep challenge pada taman bermain ini memainkan perbedaan leveling. Permainan naik turun dengan ramp dan tangga akan

(13)

membantu mereka untuk melatih kekuatan tangan dan kaki serta ketangkasan mereka.

Kamar mandi bagi penyandang cacat khususnya yang menggunakan kursi roda seharusnya dirancang dengan memperhatikan bagaimana pergerakan kursi roda didalam ruangan. Memiliki ruang gerak yang leluasa bagi kursi roda selain itu ketinggian tempat duduk kloset juga harus sesuai dengan ketinggian kursi roda, sekitar 45 – 50 cm. Perancangan ini dilakukan guna menghasilkan perancangan yang nyaman bagi penyandang cacat.

Hal lain yang harus diperhatikan pada penempatan kertas tisue, tempat sabun dan sikat gigi serta peralatan lain yang digunakan oleh penyandang cacat kursi roda harus dapat dijangkau leluasa dan tidak ditempatkan pada ketinggian yang sulit dijangkau.

Gambar 4. Analisa Ruang Gerak Penyandang Cacat Untuk Ruang Kamar Mandi

Sumber: Department of Public Works - Facilities for Disabled Persons, diakses tanggal 2 Oktober 2015

(14)

Gambar 5. Analisa Ukuran Area Parkir Yang Ideal Bagi Pengguna Kursi Roda dan Kaum Disabilitas

Sumber: Department of Public Works - Facilities for Disabled Persons, diakses tanggal 2 Oktober 2015

2.2 Studi Banding 2.2.1 Sekolah Menara Tirza

Gambar 6. Sekolah Menara Tirza

Sekolah Menara Tirza berlokasi di JL. Kelapa Gading Selatan, Blok AJ 10/29, Gading, Serpong, Kec. Tangerang. Sekolah ini menerima siswa baik siswa normal maupun siswa berekebutuhan khusus dari jenjang pendidikan TK,SD,SMP dan SMA. Untuk siswa berkebutuhan khusus, saat ini penanganannya masih memakai induk Sekolah Menara Kasih. Dikarenakan adanya program pemerintah terkait dengan program sekolah inklusi, rencananya tahun depan semua siswa baik yang normal maupun berkebutuhan khusus akan ada dibawah satu naungan Sekolah Menara Tirza.

(15)

Sekolah yang dibangun khusus untuk memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus ini memiliki jumlah total murid SD sebanyak 42 siswa dan untuk jenjang SMP hingga SMA sebanyak 53 orang serta total guru tetap sebanyak 23 orang. Untuk efektivitas proses belajar mengajar,Sekolah Menara Tirza mensiasatinya dengan pengaturan jumlah siswa per ruang kelas yaitu maksimal 1 kelas berisi 10 orang untuk tingkatan SD dan 15 orang untuk tingkatan SMP dan SMA. Para Pelajar berkebutuhan khusus di Sekolah Menara Tirza umumnya adalah penyandang cacat fisik, Tuna Grahita, autisme, down syndrome dan kesulitan belajar.

Karena alasan tertentu, sekolah ini tidak memperbolehkan siapapun untuk mengambil foto atau gambar ruang sekolah dan aktivitas di dalam sekolah. Beberapa fasilitas yang terdapat di Sekolah Menara Tirza adalah:

1. Ruang Kelas TK hingga SMA 2. Ruang Guru

3. Ruang Kepala Sekolah 4. Ruang Komputer 5. Laboratorium 6. Ruang Musik

7. Ruang Tata Boga atau Ekstrakulikuler

8. Ruang Abu atau Ruang Sumber (ruang khusus bagi pelajar berkebutuhan khusus yang memerlukan penanganan khusus)

9. Lapangan 10. Kantin 11. Toilet

Menurut data yang diterima dari Miss. Dianovita selaku Kepala Sekolah SD Menara Tirza, setiap tahun ada peningkatan siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar pada sekolah tersebut khususnya pada jenjang pendidikan SD dan SMP. Walaupun tidak signifikan namun beliau menjelaskan bahwa peningkatan ini perlu didukung dengan peningkatan sekolah inklusi yang berkualitas dari segi bangunan fisik sekolah dan fasilitas didalamnya serta peran guru yang dapat menangani anak-anak berkebutuhan khusus.

(16)

Dari hasil analisa dan keterangan dari Miss. Dianovita, ada beberapa fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang para pelajar berkebutuhan khusus yaitu:

1. Lingkungan Hijau atau Taman Sekolah

2. Fasilitas ram dan tangga sekolah yang perlu ditingkatkan aksesibilitasnya 3. Tenaga pengajar yang memiliki kualitas untuk menangani ABK

2.2.2 Krishna-Avanti Primary School

Gambar 7. Krishna-Avanti Primary School

Sumber: www.archdaily.com, diakses tanggal 6 Oktober 2015

Sekolah Dasar krishna-Avanti adalah sekolah hindu sukarela pertamayang berada di Inggris. Sekolah ini dibangun oleh Cottrell & Vermeulen Architecture pada tahun 2009 dengan anggaran sebesar 7 juta euro. Ada beberapa persyaratan khusus untuk membangun sekolah bertaraf agam hindu tersebut yaitu : sebuah tempat ibadah agama hindu yang dibangun dalam gaya tradisional di lingkungan sekolah yang menjadi pusat dari sekolah tersebut, terdapat ruang musik dan ruang drama,sebuah taman spiritual“Japa”, area di mana murid dapat bertelanjang kaki untuk beraktivitas dan menggunakan bahan konstruksi yang ramah lingkungan.

(17)

Gambar 8. Akses Untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Krishna-Avanti Primary School

Sumber: www.archdaily.com, diakses tanggal 6 Oktober 2015

Sekolah ini terbuka untuk anak-anak berkebutuhan khusus maupun anak-anak normal yang khusus beragama hindu. Ruang kelas di sekolah ini mengarah pada 2 elemen penting yang menjadi pusat di sekolah tersebut, yang pertama adalah taman spiritual “Japa” dan ruang belajar outdoor yang tertutup. Sekolah ini sangat mengutamakan pencahayaan dan pengudaraan alami untuk setiap ruang. Ada beberapa fasilitas ruang pada Krishna-Avanti Primary School yaitu:

1. Ruang Kelas

2. Ruang Guru dan Kepala Sekolah 3. Ruang Musik

4. Ruang Drama 5. Ruang Makan

6. Ruang Seni, Tari dan Yoga 7. Tempat Ibadah

8. Perpustakaan

9. Ruang Belajar Outdoor 10. Ruang Olahraga 11. Taman Spiritual “Japa” 12. Taman Bermain 13. Toilet

(18)

Gambar 9. Suasana Ruang Kelas di Krishna-Avanti Primary School

Sumber: www.archdaily.com, diakses tanggal 6 Oktober 2015

Gambar 10. Suasana aktivitas di Krishna-Avanti Primary School

(19)

2.3 Kerangka Berpikir

Tabel 4. Kerangka Berpikir

JUDUL PROYEK

PENINGKATAN AKSESIBILITAS PADA SEKOLAH DASAR BERBASIS PROGRAM

PENDIDIKAN INKLUSIF DI JAKARTA

LATAR BELAKANG Pendidikan inklusif

merupakan suatu pendekatan pendidikan

yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua

anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat tanpa

adanya diskriminasi.

MAKSUD DAN TUJUAN Meningkatkan akses yang tepat bagi ruang sekolah anak sehingga dapat diakses dengan

mudah bagi anak berkebutuhan khusus maupun anak normal agar tercipta suasana

belajar mengajar yang berkualitas

PERMASALAHAN

Bagaimana menciptakan desain aksesibilitas sekolah inklusif yang dapat mewadahi karakteristik pelajar berkebutuhan khusus

sehingga dapat diakses oleh pelajar berkebutuhan khusus maupun pelajar

normal?

ANALISA

Analisis permasalahan dari aspek manusia, lingkungan dan bangunan serta melengkapinya dengan solusi aksesibilitas yang tepat sesuai standar yang berlaku

SURVEY -Lapangan -Studi Literatur -Studi Kasus KONSEP DESAIN SKEMATIK DESAIN PERANCANGAN

(20)

Gambar

Tabel 3. Standar Ketentuan Elemen Ruang Bagi Kaum Disabilitas Menurut ADA ( American Disability Act )
Gambar 2. Ukuran Ideal Kursi Roda Penyandang Cacat
Gambar 4. Analisa Ruang Gerak Penyandang Cacat Untuk Ruang Kamar Mandi Sumber: Department of Public Works - Facilities for Disabled Persons, diakses tanggal 2 Oktober
Gambar 5. Analisa Ukuran Area Parkir Yang Ideal Bagi Pengguna  Kursi Roda dan Kaum Disabilitas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Maka gaya pada sebuah persegi panjang datar dengan luas A yang terletak pada dasar tangki, sama dengan berat kolam cairan yang terletak tepat di atas persegi panjang, yaitu.. F = δ

Hukum Moore: Reintepreted Pengantar Perkuliahan Pendahuluan Pengolahan Paralel • Kapasitas Mikroprosesor • Manufacturability • Densitas Power • Revolusi di Prosesor • Paralelisme

Kemudian peran supervisor dan pelatihan secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja tenaga penjualan, dimana hasil uji korelasi antara keduanya

edulis Ker., terutama tentang variasi pertumbuhan, kandungan prolin dan aktivitas nitrat reduktase pada kondisi ketersediaan air yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai

Kinerja menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan

Dari pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa teorema titik tetap Banach juga dikenal sebagai teorema pemetaan kontraksi, sebelum mencari

Teori sumber daya manusia khususnya mengenai hal tersebut akan teruji dalam penelitian ini, dan apakah adanya kompensasi akan relevan bagi organisasi rumah

Menurut Soewarso (2000:11-13) dalam bukunya yang berjudul Cara-cara Penyampaian Pendidikan Sejarah Untuk Membangkitkan Minat Peserta Didik Mempelajari Bangsanya “kurang