• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1997).

Gagasan pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah diupayakan di dalam program dan strategi pengelolaan lingkungan sebagaimana tertuang dalam dokumen Agenda 21 Indonesia, yang merumuskan stategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan yang dikelompokkan menjadi empat area yakni: (1) pelayanan masyarakat, (2) pengelolaan limbah, (3) pengelolaan sumberdaya tanah, dan (4) pengelolaan sumberdaya alam (Mitchell, et al, 2007).

Pengelolaan sumberdaya alam merupakan agenda keempat dalam agenda 21 Indonesia. Tiga sub-agenda dirumuskan dalam agenda ini yakni: (1) Konservasi keanekaragaman Hayati, (2) Pengembangan bioteknologi, dan (3) Pengelolaan Terpadu wilayah pesisir dan lautan (Mitchell, et al, 2007).

(2)

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan maupun air tanah, dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat, lingkungan laut, dan aktivitas manusia (Bengen, 2004).

Studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya (Bengen, 2004).

Adapun konteks keterpaduan yang dimaksud dalam Pasal 5 UU No. 27 Tahun 2007 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a. antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, b. antar- Pemerintah Daerah, c. antar sektor, d. antara Pemerintah, dunia Usaha, dan Masyarakat, e. antara ekosistem darat dan ekosistem

(3)

laut, serta f. antara ilmu Pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang keseimbangan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan (Dahuri, et al, 1996). Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur essensial dari ICZM adalah keterpaduan dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi

(4)

ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) serta jasa lingkungan pesisir (Bengen, 2004).

Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini minimum memiliki empat tahapan utama yaitu: (1) Penataan dan Perencanaan, (2) Formulasi, (3) Implementasi, dan (4) Evaluasi. Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut (Cicin-Sain and Knect, 1998).

Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu: (a) Keterpaduan wilayah/ekologis; (b) Keterpaduan sektor; (c) Keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) Keterpaduan

stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan

pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan (Cicin-Sain

(5)

Menurut Bengen (2004), Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan

and one manegement serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan

kesejahteraan secara keseluruhan.

Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu koordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertikal integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar inter disiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Bengen, 2004).

Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan berdampak negatif ke ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas maupun laut lepas. Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan

(6)

secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological

linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan

tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi dan

monitoring/evaluasi (Cicin-Sain and Knect, 1998).

2.3. Pengertian Wilayah Pesisir

Pengertian dan batasan mengenai wilayah pesisir secara baku sampai saat ini belum ada. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (Bengen, 2004).

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, kearah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembasan air asin.

Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Beatley, et al, 1994, dalam Bengen 2004).

(7)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumberdaya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

2.4. Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Perikanan Budidaya

Kawasan pesisir merupakan potensi lahan untuk usaha perikanan budidaya, baik budidaya perikanan berbasis di lahan darat (land-based aquaculture) maupun budidaya perikanan berbasis di perairan laut (marine-based aquaculture).

Jenis budidaya di lahan darat, terutama diwakili oleh pertambakan yang sangat umum dipakai sebagai tempat membesarkan ikan bandeng (Chanos chanos) dan udang misalnya (Penaeus monodon).

Jenis komoditi lain yang juga dibudidayakan di pertambakan adalah kepiting bakau, ikan belanak dan kakap putih. Potensi lahan untuk marine-based aquaculture

(8)

di kawasan laut Deli Serdang diperkirakan cukup besar. Jenis komoditi yang dapat diusahakan dalam jenis budidaya ini antara lain ikan kerapu, ikan kakap putih, teripang serta kerang-kerangan (Bengen, 2004).

Wilayah pesisir selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah:

1. Penentuan wilayah pesisir baik kearah darat maupun kearah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut.

2. Adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.

3. Sumberdaya wilayah pesisir memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan berbagai konflik kepentingan antar sektor pembangunan.

4. Secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda.

5. Adanya sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan ancaman terhadap sumberdaya tersebut, dan

6. Sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam.

Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir ini cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan secara

(9)

terpadu. Sebaliknya pengelolaan sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut (Bengen, 2004).

Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, menyatakan bahwa: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan:

a. Melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, kesimbangan, dan keberlanjutan, serta

d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alami secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 5 UU No. 27 Tahun 2007).

(10)

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002, menyatakan, Pengelolaan Pesisir Terpadu adalah suatu proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan vertikal ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

2.5. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based

Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya

alam, misalnya Perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu, masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, di mana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya (Nikijuluw, 1994 dalam Bengen, 2004).

Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM) adalah sebagai “suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan kebijakan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung

(11)

jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, di mana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasi nya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya (Carter, 1996

dalam Bengen, 2004).

Pada peran masyarakat kita dapat memahami langkah alternatif solusi pengelolaan sumberdaya perikanan menurut tingkatannya.

Pertama, pada level masyarakat, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam mengelola sumberdaya perikanan, yaitu:

a. Menguatkan kelembagaan dan institusi lokal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan sumberdaya perikanan. b. Melakukan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan berbasis

masyarakat, dan

c. Pengembangan industri perikanan yang mampu memberi nilai tambah melalui diversifikasi produk perikanan.

Kedua, pada level kabupaten/kota masyarakat diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan dan ketrampilannya serta mengembangkan institusi lokal dalam pengawasan dan pengelolaan sumberdaya perikanan karena aturan lokal dalam penegakan hukum masih bersifat parsial. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah mewujudkan mekanisme kelembagaan untuk mengkoordinasikan antara birokrasi pemerintah dan nelayan.

Ketiga, pada tingkat antar kabupaten/kota, prioritas adalah menjalin kerjasama nelayan dengan daerah lain tentang pengelolaan sumberdaya perikanan

(12)

seperti melalui stok ikan yang diidentifikasi serta di kelola secara bersama-sama. Ini penting bagi semua daerah, terlebih bagi daerah-daerah yang pengelolaannya bersifat

frointier-based management (Bengen, 2004).

Sebagai suatu model, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan, yang tentunya harus diperhatikan manakala kita mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan. Beberapa kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBM ini adalah:

1. Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.

3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada.

4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.

5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. 6. Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara

berkelanjutan.

Sementara itu, kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain adalah:

1. Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. 2. Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran akan

(13)

3. Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah.

4. Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang jelas atau terbatas.

5. Rentan terhadap intervensi luar atau peledakan permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (Bengen, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

PT Greenspan Packaging System sudah baik, hal ini dapat dilihat dari pembagian tanggung jawab fung- sional diantaranya fungsi penjualan terpisah dengan fungsi gudang untuk

Kinerja link yang efektif menyerap gempa ditunjukkan dengan kelelehan yang mampu membentuk sudut rotasi inelastik yang cukup besar pada link, dimana hal ini direncanakan terjadi

"Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran, Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang

Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dapat disimpulkan bahwa teknik pengairan sebagian daerah akar meningkatkan kandungan ABA daun dan tidak dapat meningkatkan kualitas

atas rahman dan rahim-Nya sehingga Panduan Bantuan Program Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS) Direktorat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pengembangan kompetensi guru produktif dalam meningkatkan sikap kewirausahaan siswa melalui MGMP, (2) Pelaksanaan

Kesulitan yang disebabkan oleh guru, misalnya: guru tidak mampu memilih atau menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan pokok bahasan dan kedalaman materinya;

asset pricing terbukti lebih baik jika dibandingkan model