• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA BANK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA BANK"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA BANK

A. Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula berasal dari zaman Romawi. Di negeri asalnya tersebut, selain bentuk jaminan juga sebagai lembaga titipan.76 Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law.77 Istilah civil law berasal dari kata Latin “jus civile”, yang diperlakukan kepada masyarakat Romawi. Selain jus civile terdapat pula hukum yang mengatur warga Romawi dengan orang asing yang dikenal dengan “jus gentium”.78Jus civile diartikan sebagai hukum sipil yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat untuk kalangan warga sendiri (jus civile est quod sibi populus constituit), sedangkan jus gentium artinya hukum bangsa-bangsa.79 Dalam proses perkembangannya, sistem civil law tidak saja dijumpai di benua Eropa melainkan berlaku secara luas di berbagai negara di luar Eropa antara lain Indonesia.80 Istilah “fidusia” ini berasal dari bahasa Latin, yang merupakan kata

76Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.150 77

Di Indonesia dalam pandangan tradisionil, potensi fidusia ini sudah cukup lama dikenal dalam kehidupan masyarakat dengan sebutan”boreh”. Lihat R. Subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Kertas Kerja pada Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, Binacipta, Bandung, 1981, hal.29

78 Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996,

hal.364-365.

79Ibid.

(2)

benda, artinya kepercayaan terhadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Selain itu terdapat kata ”fido” merupakan kata kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu.81 Dan Subekti mengatakan bahwa dalam fidusia terkandung kata ”fides” berarti kepercayaan, dimana pihak yang berhutang percaya bahwa pihak yang berpiutang memiliki barangnya itu hanya untuk jaminan.82 “Fiduciair” adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya hanya suatu jaminan saja untuk suatu hutang.83Dapat diartikan, fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia memiliki arti seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang, dan sebagai kata sifat, istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).84

Fidusia dikenal dua bentuk dalam hukum Romawi, yaitu fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.85 Dari kata “cum creditore’ dapat diduga bahwa penyerahan bukan dimaksudkan untuk sungguh-sungguh merupakan peralihan pemilikan tetapi hanya sebagai jaminan saja.86 Dalam bentuk fiducia cum creditore, isi janji yang dibuat oleh debitur dengan krediturnya adalah bahwa debitur akan

81Mahadi, Hak Milik Dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN, Medan, 1981, hal.100 82R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1982, hal.82

83 R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,

PT. Alumni, Bandung, 1982, hal.76

84Tan Kamelo, Loc.Cit, hal.40 85J. Satrio, Loc.Cit, hal. 167 86Ibid.

(3)

mengalihkan kemilikan atas suatu benda kepada krediturnya sebagai jaminan untuk hutangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap akan mengalihkan kembali pemilikan tersebut kepada debitur bilamana hutangnya sudah dibayar lunas.87 Sedangkan fiducia cum amico merupakan suatu lembaga titipan yang dikenal dalam hukum Romawi,88 yang merupakan hubungan yang tidak ditujukan untuk kepentingan jaminan hutang, dimana hubungan antara pemberi dan penerima adalah bersifat kepengurusan harta benda.

Tahun 1884 dikeluarkan undang-undang darurat Hindia Belanda yang mengatur lembaga jaminan baru, yang disebut dengan lembaga Oogstverband (ikatan panen), yaitu satu jenis jaminan kebendaan yang diakui dalam hukum positif di Indonesia.89 Oogstverband adalah suatu hak kebendaan atas hasil-hasil pertanian yang belum dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar dipenuhi perjanjian untuk menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkos-ongkos dan uang provisi dari hasil penjualan.90 Persoalan yang timbul dalam hal ini adalah mengenai objek Oogstverband itu termasuk dalam benda bergerak atau benda tidak bergerak, dimana hal ini berkaitan dengan masalah lembaga jaminannya, sebab menurut

87 Fred B.G Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia, Makalah dalam

Up-Grading & Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta 1999 26-27 Nopember 1999, hal. 1

88Ibid.

89R. Subekti, Op.Cit, hal.30 90Ibid.

(4)

J.Satrio, hasil panen merupakan benda bergerak.91 Tetapi pendapat tersebut tidak memberikan alasan yang jelas mengenai hasil panen dikategorikan sebagai benda bergerak, karena hasil panen itu harus dibedakan antara hasil panen pertanian yang belum dipetik dan hasil panen pertanian yang sudah dipetik.92 Hasil panen pertanian yang sudah dipetik merupakan benda bergerak sedangkan hasil panen pertanian yang belum dipetik merupakan benda tidak bergerak, yang didasarkan pada Pasal 506 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.93

Kelemahan lain dari lembaga ini, menurut R. Subekti antara lain adalah tentang hapusnya Oogstverband, yaitu apabila hasil panen yang dijadikan jaminan musnah yang menyebabkan Oogstverband sebagai jaminan dalam lalu lintas kredit kehilangan fungsinya sehingga tidak digemari masyarakat.94 Kemudian lembaga fidusia diakui dengan putusan H.R tertanggal 25 Januari 1929 yang selanjutnya dikenal dengan Bierbrouwerij Arrest dan menjadi yurisprudensi fidusia pertama yang lahir di Belanda. Pengakuan fiduciaire eigendoms overdracht tersebut adalah mengikuti jejak praktik hukum di Jerman yang dibenarkan oleh yurisprudensi dengan nama “Sicherheits uberrignung”.95Kehadiran lembaga fidusia yang diakui H.R, ada 3 (tiga) hal yang dapat disimpulkan96:

91J.Satrio, Op.Cit, hal.168 92Tan Kamelo, Op.Cit, hal 50 93Ibid.

94R. Sutterheim, (disadur dari Tan Kamello), Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang

Didambakan, PT.Alumni, Bandung, 2004, hal. 5

95Vollmar, Hukum Benda, (disadur : Chidir Ali), Tarsito, Bandung, 1980, hal.317 96Tan Kamelo, Op.Cit, hal 54-55

(5)

1. Perkembangan masyarakat di bidang perkreditan lebih cepat dibandingkan dengan pengaturan hukum jaminan.

2. Hukum jaminan dan masyarakat merupakan dua variabel yang saling berkaitan satu sama lain dan bersifat saling pengaruh mempengaruhi, dimana perubahan dalam masyarakat bakan selalu diikuti oleh perubahan hukum jaminan.

3. Adanya penemuan hukum oleh hakim. Hakim menemukan konstruksi baru dalam memecahkan problem hukum yang memperluas kaidah hukum dari jaminan gadai.

Setelah kemerdekaan, jaminan fidusia kembali mendapat pengakuan yurisprudensi dalam putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tahun 1951 dengan menetapkan pembatalan perjanjian fidusia atas benda-benda tidak bergerak milik pihak ketiga.97

Menurut Soedarsono, dengan pengukuhan fidusia dalam Undang-Undang Rumah Susun, harapan masyarakat telah terpenuhi dan pengertian fidusia telah dibakukan.98Pengakuan fidusia tersebut juga diikuti dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan, yang menitikberatkan objek fidusia adalah rumah terlepas dari hak atas tanahnya, dimana pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua undang-undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat

97Ibid, hal.56

98 Soedarsono, Tanggapan Terhadap A.P Parlindungan “Fiducia Sebagai Hak Jaminan”,

(6)

khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Sehingga pada tahun 1999, persoalan jaminan fidusia dapat dituntaskan dengan mengundangkannya dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang-Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF). Pengertian fidusia yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 yaitu : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa yang hak kepemilikannya dislihksn tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”99

Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan teori dari asas hukum tersebut di atas, maka asas hukum jaminan fidusia dapat ditemukan dengan mencarinya dalam pasal-pasal Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dan asas-asas itu adalah sebagai berikut :

1. Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Di dalam pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 tahun 1999 dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk

(7)

mengambil pelunasan-pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.100

2. Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Asas ini disebut dengan “droit de suite atau zaaksgevolg”101, dimana hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang jaminan fidusia tidak dapat dilindungi berdasarkan asas droit de suite, yaitu pemegang jaminan fidusia berkedudukan sebagai kreditur konkuren bukan kreditur preferen. Pemberlakuan asas droit de suite tidak berlaku terhadap semua objek jaminan fidusia, tetapi terdapat pengecualiannya yaitu tidak berlaku bagi objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Pembentuk Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menjelaskan benda-benda apa saja yang termasuk dalam kategori benda persediaan, tetapi dijelaskan dengan memberikan contoh tentang benda-benda yang tidak merupakan benda persediaan, antara lain mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi.102Pada prinsipnya, pemberi jaminan fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain objek jaminan fidusia, tetapi terhadap benda persediaan, prinsip tersebut dikecualikan.103

100Tan Kamelo, Loc.Cit, hal.159 101Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hal.39

102Penjelasan Pasal 23 ayat (2), Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 103Pasal 23 ayat (2), Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999

(8)

3. Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian yang lazim disebut asas asesoritas. Asas ini mengandung makna bahwa keberadaan jamian fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yaitu perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dimana hapusnya jaminan fidusia juga ditentukan oleh hapusnya hutang atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditur penerima jaminan fidusia.104

4. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada.105 Asas ini adalah untuk menampung aspirasi hukum dari dunia bisnis perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.106

5. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Undang-Undang Jaminan Fidusia bukan saja menetapkan objek jaminan fidusia terhadap benda yang akan ada, bahkan memberikan aturan terhadap piutang yang akan ada juga dapat dibebani dengan jaminan fidusia.107

6. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut

104Pasal 25, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 105Pasal 7, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999

106Penjelasan Pasal 7 huruf b, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 107Tan Kamelo, Loc.Cit, hal 162

(9)

dengan asas pemisahan horisontal.108 Dalam pemberian kredit bank, penegasan asas ini dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai hak atas bangunan atau rumah.

7. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia.109

Subjek jaminan fidusia yang dimaksud adalah identitas para pihak yaitu pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia yang dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijaminkan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dan dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.110

8. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminnan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia, dimana asas ini juga menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang yang wenang berbuat.111

9. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi, asas publikasi juga melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia.112

108Penjelasan Pasal 3 huruf a, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 109Tan Kamelo, Op.Cit, hal.164

110Pasal 6, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 111Tan Kamelo, Op.Cit, hal.169

(10)

10. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan.113

11. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak priorias kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.114

12. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik, asas itikad baik disini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum perjanjian.115 Pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan, dan menggadaikannya kepada pihak lain.116

13. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi. Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “ Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia, yang dapat menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai. kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.117

Jaminan fidusia merupakan jaminan yang diberikan kepada benda bergerak yang berwujud, seperti mesin-mesin, kendaraan bermotor, atau stok barang dagangan.

113Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 114Pasal 28, Undang-undang Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999

115 Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan,

1986, hal.84

116Tan Kamelo, Loc.Cit, hal.171 117

(11)

Dan terhadap benda-benda tidak berwujud, seperti : piutang dagang, atau tagihan. Ciri benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia ini adalah :

1. Hak kebendaan yang bersifat mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun.

2. Hak kebendaan mempunyai zaakgevolg atau droit de suite, yang artinya adalah hak tersebut mengikuti bendanya dimanapun atau ditangan siapapun benda tersebut berada.

3. Hak kebendaan memiliki droit de preference (hak mendahului).118

Semula pada umumnya objek fidusia itu kebendaan bergerak yang meliputi antara lain benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, saham, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka kebendaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tidak berwujud maupun benda tidak bergerak. Sehingga bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dijaminkan, dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia.119

Hal lain yang mendorong kemungkinan penjaminan benda-benda tidak bergerak dengan fidusia ialah sesuai dengan sifat hukum agraria sendiri yang mendasarkan pada hukum adat, dimana dalam hukum adat tidak mengenal asas perlekatan (asas assesi) yang dikenal dalam hukum perdata, melainkan justru

118Irma Devita Purnamasari, Op.Cit, hal.84 119Rachmadi Usman, Op.Cit, hal.179

(12)

mengenal asas horizontal, sehingga menurut asas ini orang dapat mempunyai milik atas tanam-tanaman, bangunan, rumah terlepas dari tanahnya. Akibatnya bangunan atau rumah dapat dipindahkan/diperalihkan, terlepas dari tanahnya. Karenanya juga dapat menjaminkan bangunan rumah tersebut terlepas dari tanah, dimana bangunan itu berdiri, terpisah dari tanahnya. Berdasarkan hal inilah jika sekarang dimungkinkan menjaminkan rumah, pabrik, perusahaan, gudang di atas tanah orang lain melalui Jaminan Fidusia.120

B. Eksekusi Jaminan Fidusia

Menurut pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa : “ Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi merupakan tindakan yang berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata. Dimana eksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR/Rbg ”.121

Pola eksekusi jaminan fidusia secara bervariasi antara lain :122 1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia.

120 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, Liberty,

Yogyakarta, 1981, hal. 39-40

121 M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT.

Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 1

(13)

2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum.

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara yang demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Menurut Bachtiar Sibarani cara eksekusi yang paling berat dan tidak populer sesuai Undang-Udang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah cara yang ke 3 (tiga), karena : harus ada kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia dimana kesepakatan tersebut berkisar pada persoalan harga dan biaya yang menguntungkan para pihak, penjualan tersebut juga dilakukan 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta harus diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah hukum yang bersangkutan.123

Eksekusi (di bawah tangan) tersebut berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Dengan cara lama sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 pemberi fidusia (debitur) dengan persetujuan penerima fidusia (kreditur), akan menjual benda jaminan kemudian hasil penjualan diberikan kepada kreditur melalui pembeli barang jaminan, dan apabila ada sisa hasil

123 Bachtiar Sibarani, Aspek Hukum Jaminan Fidusia, Makalah pada Seminar Sosialisasi

(14)

kompensasi antara hasil penjualan dengan piutang kreditur, akan dikembalikan kepada debiturnya.

Undang-Undang Jaminan Fidusia telah mengatur beberapa eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia, antara lain :

1. Eksekusi berdasarkan grosse Sertifikat Jaminan Fidusia atau titel eksekutorial (secara fiat eksekusi) yang terdapat dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, yang dilakukan oleh penerima fidusia;

Ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub a Undang-Undang Fidusia, maka eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan berdasarkan grosse Sertifikat Jaminan Fidusia atau titel eksekutorial, sertifikat Jaminan Fidusia diberikan Pasal 15 (2) Undang-Undang Fidusia, dimana sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun Sertifikat Jaminan Fidusia bukan merupakan atau pengganti dari putusan pengadilan.124 Walaupun bukan putusan pengadilan, karena Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelaksanaan eksekusi objek Jaminan Fidusia berdasarkan grosse Sertifikat Jaminan Fidusia atau dengan titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan.125

124Rachmadi Usman, Op.Cit, hal.232 125Ibid.

(15)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 224 HIR/258 RBg grosse akta dibubuhi dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, juga bersifat notariele schuldrief (ikatan notaris), karenanya dapat dieksekusi sama dengan suatu putusan pengadilan. Apabila suatu salinan akta notaris dibuat dengan bentuk grosse akta, dikemudian hari pihak debitur yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan prestasinya kepada kreditur itu tidak mau melaksanakan prestasi itu maka si pemegang grosse akta (kreditur) cukup mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat, agar bunyi atau isi grosse itu dilaksanakan. Pelaksanaan dari suatu grosse akta itu sama dengan ara pelaksanaan suatu putusan perkara perdata dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Pihak kreditur tidak perlu mengajukan gugatan seperti dalam perkara perdata biasa. Dan dengan demikian berarti ia akan menghemat waktu, ongkos dan tenaga.126

2. Eksekusi berdasarkan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan umum oleh penerima fidusia;

Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia menentukan bahwa apabila debitur cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendirinya. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Fidusia telah diatur secara khusus tentang eksekusi atas objek Jaminan Fidusia berdasarkan parate eksekusi lewat atau melalui pelelangan umum.

(16)

Pasal 1 Peraturan Lelang LN 1908 Nomor 189 jo. LN 1940 Nomor 56, Lelang adalah penjualan barang di muka umum atau penjualan barang yang terbuka untuk umum. Kemudian pengertian tersebut diperjelas oleh Pasal 1 angka 1 Kep. Menkeu Nomor 304/KMK 01/2002, sebagaimana telah diubah menjadi Kep. Menkeu Nomor 450/KMK 01/2002, yang berisi :

“Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronis dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat.”

Jenis lelang ini merupakan penjualan umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau penetapan pengadilan atas dokumen yang dipersamakan dengan putusan pengadilan, seperti hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia sesuai yang dimaksud oleh Pasal 200 ayat (1) HIR/ Pasal 215 RBG :

a) Penjualan di muka umum barang milik tergugat (tereksekusi) yang disita Pengadilan Negeri.

b) Penjualan dilakukan Pengadilan Negeri melalui perantaraan Kantor Lelang. Sehingga khusus lelang barang sitaan berdasarkan putusan pengadilan, disebut “lelang eksekusi” termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seperti : hak tanggungan, jaminan fidusia ataupun setiap penjualan umum. Adapun lelang yang non eksekusi adalah penjualan umum di luar pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan yang terdiri dari :

a) Lelang barang milik/dikuasai Negara. b) Lelang sukarela atas barang milik swasta.

(17)

3. Eksekusi objek Jaminan Fidusia Berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia melalui penjualan di bawah tangan.

Eksekusi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, sepanjang terdapat kesepakatan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pelelangan dibawah tangan dapat saja dilakukan walaupun penjualan melalui pelelangan umum telah dilakukan, tetapi kurang menguntungkan bagi para pihak. Ini berarti eksekusi atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak harus melalui pelelangan umum, diberi kemungkinan melakukan eksekusi atas benda objek Jaminan Fidusia melalui penjualan di bawah tangan. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa eksekusi atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan secara penjualan di bawah tangan, dengan persyaratan, antara lain :

a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Pemberi dan Penerima Fidusia b. Dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak

c. Diberitahukan secara tertulis pleh Pemberi dan/atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan

d. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan

e. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut, dilakukansetelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis.

(18)

Praktek penyelesaian kredit macet selama ini berjalan, bagian terbesar justru dilaksanakan dengan memberikan kesempatan kepada pemberi jaminan untuk mencari sendiri pembeli dengan harga yang tertinggi. Bila harga penawaran itu disetujui oleh kreditur, maka benda jaminan dijual sendiri oleh pemberi jaminan, tetapi uang pembelian/penjualannya diserahkan oleh pembeli dengan persetujuan pemilik jaminan langsung kepada kreditur dan kreditur memberikan surat pelunasan dan surat pengangkatan jaminan (roya) kepada pembeli.127

a. Surat Peringatan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, telah diberikan kepada debitur sebanyak dua kali yang dibuktikan dengan tanda terima.

b. Identitas pelaksana eksekusi. c. Surat Tugas pelaksanaan eksekusi.

C. Perlindungan Hukum Kreditur Dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Perjanjian kredit merupakan perikatan pinjam meminjam uang secara tertulis antara Bank (sebagai kreditur) dengan pihak lain (sebagai debitur/nasabah) yang mengatur hak dan kewajibannya para pihak sebagai akibat adanya pinjam meminjam uang. Setiap Perjanjian Kredit harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh bank selaku kreditur (dalam hal ini oleh pejabat-pejabat yang memiliki wewenang) dan nasabah selaku debitur sebelum pencairan kredit dilaksanakan.128

127Ibid, hal.238

(19)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa Kreditur adalah pihak yang aktif sedangkan yang berpiutang atau debitur adalah pihak pasif. Seorang debitur harus selamanya diketahui oleh karena seorang tertentu tidak dapat menagih dari sesorang yang tidak dikenal, sedangkan kreditur boleh merupakan sesorang yang tidak diketahui.129Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengisyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam pasal 1132 Kitab undang-Undang Hukum Perdata yang bunyinya kecuali apabila diantara para kreditur lainnya maka terdapat kreditur-kreditur tertentu yang oleh undang-undang diberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Beberapa jenis kreditur antara lain:

a. Kreditur Konkuren

Kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh Undang-Undang.130 Kreditur ini harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional atau disebut juga pari passu, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil

129 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Buku Cetakan ke III, PT. Citra

Adityabakti, Bandung,1991, hal. 3 130

Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 37 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 131 TLN Republik Indonesia Nomor 4443, Pasal 189 ayat 3

(20)

penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.131

b. Kreditur Preferen

Kreditur preferen termasuk dalam golongan secured creditors (kreditur yang terjamin) karena semata-mata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors (kreditur yang tidak terjamin) lainnya. Hutang debitur pada kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaaan tapi undang-undang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran.132

a) Kreditur Separatis

Menurut Munir Fuady: ikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit yang umumnya.133

Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis.134 Kreditur separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari

131

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 103

132Ibid, hal 105 133Ibid.

134

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 17

(21)

penjualan objek jaminan. Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak menutupi seluruh utangnya maka kreditur separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditur konkuren. Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitur.

b) Kreditur pemegang hak istimewa

Kreditur pemegang hak istimewa (privilege) yang oleh undang-undang diberi kedudukan didahulukan semata-mata karena sifat piutangnya, baik dari kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Pasal 1134 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa hak agunan kebendaan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa (privilege) kecuali tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undang-undang artinya dalam mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda-benda milik debitur yang diletakkan hak jaminan, dan ada kreditur pemegang hak istimewa dan sisanya diambil oleh kreditur konkuren.135

Undang–undang telah menyediakan perlindungan kepada para kreditur sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, tetapi perlindungan tersebut belum tentu menarik bagi calon kreditur untuk memberikan utang kepada calon debitur. Tentu saja akan lebih menarik bagi calon kreditur apabila hukum menyediakan perlindungan yang lebih baik daripada sekedar perlindungan berupa memperoleh pelunasan secara

(22)

proporsional dari hasil penjualan harta debitur. Seorang kreditur menginginkan hak istimewa yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur sehingga tingkatan kreditur itu lebih tinggi daripada kreditur lainnya berdasarkan sifat piutang kreditur tersebut.136

Upaya dalam perlindungan hukum terhadap kreditur, adalah dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur diperlukan mengingat dapat terjadinya faktor yang dapat menghambat eksekusi atas objek jaminan fidusia yang berasal dari faktor eksternal. Bank melakukan asuransi terhadap semua objek jaminan fidusia yang dijaminkan terhadap bank, sehingga bila terjadi force majeur (keadaan memaksa) atas objek jaminan tersebut penanganannya dapat segera diantisipasi, dan Bank juga memberikan keluangan waktu bagi debitur terhadap objek jaminan fidusia yang telah dijaminkan mengalami force majeur, dimana debitur harus melakukan permohonan secara tertulis terhadap bank. Namun pembayaran biaya asuransi terhadap objek jaminan fidusia telah disepakati terlebih dahulu dan menjadi tanggungan debitur yang sudah tercantum dalam perjanjian kredit.137

2. Fidusia memberikan kedudukan diutamakan (sifat droit de preference).

Sifat droit de preference atau diterjemahkan sebagai hak mendahului melekat pada Jaminan Fidusia pada ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia

136

Sutan Remy Sjahdeini 1, Op.Cit., hal. 10

137 Hasil wawancara dengan Bapak Basril, Bagian Regional Credit Recovery di PT. Bank

(23)

Nomor 42 Tahun 1999, yang menyatakan : Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya, yaitu : Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi Pemberi Fidusia.

Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut, dapat diketahui bahwa Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditur lainnya, yaitu hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, dimana hal ini adalah salah satu perlindungan hukum bagi kreditur dalam perjanjian kredit yang telah disepakati debitur dan kreditur.138 Kedudukan kreditur pemegang Jaminan Fidusia atas bangunan, pada saat terjadinya eksekusi akan lebih lemah daripada kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan. Walaupun keduanya punya konsep hak preference, tetapi Hak Tanggungan lebih kuat dibandingkan jaminan fidusia. Oleh sebab itu, pemeberian jaminan fidusia diantisipasi dengan cara : Menambahkan surat pernyataan dari pemilik tanah bahwa yang bersangkutan tidak akan menjaminkan tanah dimaksud kepada kreditur lain selain penerima Jaminan Fidusia yang menerima jaminan berupa fidusia bangunan di atas tanah dimaksud.

(24)

Sifat droit de preference pada jaminan fidusia ini juga didasari pada saat perjanjian kredit dilakukan dan ditandatangani oleh para pihak. Dapat dilihat sebagai contoh : objek jaminan fidusia yang telah dijaminkan pada bank oleh debitur dan telah didaftarkan pada lembaga fidusia, namun pada kenyataannya debitur telah menjaminkan lebih dahulu pada leasing sebelum dilakukannya perjanjian kredit tersebut terhadap bank. Dalam hal ini sifat droit de preference terletak pada leasing tersebut walaupun objek jaminan fidusia tersebut telah didaftarkan pada lembaga fidusia, sebab dilihat dari tanggal perjanjian yang telah lebih dahulu dilakukan debitur terhadap leasing tersebut.139

3. Adapun upaya perlindungan hukum terhadap kreditur dalam Penyelesaian permasalahan dalam kredit yang bermasalah yang menyebabkan dilakukannya eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, maka oleh bank dicantumkan dalam akad penyelamatan kredit berupa : pembinaan dan pemberian kelonggaran waktu pembayaran. Apabila usaha pembinaan untuk penyelamatan kredit tidak mungkin lagi dilakukan, ada beberapa bentuk penyelesaian kredit bermasalah dalam pengikatan jaminan yang dapat dilakukan bank, antara lain:

a) Likuidasi Jaminan

Merupakan pencairan jaminan fasilitas kredit debitur dalam rangka menurunkan atau melunasi kewajiban kredit debitur kepada Bank.

139 Hasil wawancara dengan Bapak Basril, Bagian Regional Credit Recovery di PT. Bank

(25)

b) Subrogasi

Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang. Dimana penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga karena adanya pembayaran hutang debitur oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditur. Harus ada lebih dari 1 (satu) kreditur dan 1 (satu) orang debitur yang sama, dan adanya pembayaran oleh kreditur baru kepada kreditur lama

Sebagai contoh, misalnya A berutang pada B, kemudian A meminjam uang pada C untuk melunasi utangnya pada B dan menetapkan bahwa C menggantikan hak-hak B terhadap pelunasan utang dari A.

c) Cessie Piutang

Merupakan penyerahan piutang atas nama dan kebendaan dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dimana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Ketentuan akibat hukum atas pelaksanaan Cessie sama dengan akibat hukum atas pelaksanaan subrogasi. Cessie diatur dalam pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”. Secara singkat, cessie merupakan penggantian orang yang berpiutang lama dengan seseorang berpiutang baru. Sebagai contoh, misalnya

(26)

A berpiutang kepada B, tetapi A menyerahkan piutangnya itu kepada C, maka C yang berhak atas piutang yang ada pada B.

Cessie biasanya terjadi karena kreditur membutuhkan uang. Sehingga ia menjual piutangnya kepada pihak ketiga yang akan menerima pembayaran dari debitur pada saat piutang tersebut jatuh tempo. Pihak yang mengalihkan atau menyerahkan disebut cedent. Sedangkan pihak yang menerima pengalihan atau penyerahan disebut cessionaris. Dan debitur dari tagihan yang dialihkan atau diserahkan disebut cessus (debitur cessus).140

d) Penyelesaian kredit melalui pihak ketiga

Dapat dilakukan dengan cara mediasi melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga.

e) Non Performing Loan (NPL) Disposal

Merupakan tindakan melakukan penjualan asset kredit bermasalah (individu/ portfolio asset kredit bermasalah), dalam upaya penyelesaian kredit bermasalah. Asset kredit bermasalah yang dapat dijual tersebut harus telah memenuhi kriteria tertentu yang telah ditetapkan.

f) Penggunaan jasa pihak ketiga (Out-sourcing)

Untuk memperoleh recovery kredit bermasalah baik intrakomtabel (nilai satuan minimum yang harus dilaporkan di neraca) maupun ekstrakomtabel (harta yang bertambah yang dicatat diluar pembukuan) dimungkinkan

140Herlien Budiono, Ajaran Hukum Perjanjian dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan,

(27)

penggunaan jasa pihak ketiga (outsourcing) dalam penanganannya baik dalam bentuk jasa pengelolaan kredit (servicing company) maupun jasa penagihan kredit (collection). Outsourcing jasa pihak ketiga diperbolehkan karena Peraturan Bank Indonesia (PBI) tidak melarang. Apabila kemudian di dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan, maka yang harus diatasi adalah penyimpangan tersebut. Sehingga dapat mengurangi biaya operasional perbankan, sebab penagihan utang tidak mungkin dilakukan perbankan sendiri. Apabila harus dilakukan oleh pihak internal bank, perbankan harus menambah pegawai dan biaya lain-lain sehingga akan membebani dan menjadi sangat mahal jika dari pihak internal bank.141

g) Novasi

Novasi diatur dalam pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan bentuk penggantian debitur oleh pihak ketiga yang selanjutnya menjadi debitur baru (novator) atas persetujuan Bank.142 Novasi adalah pembaharuan utang yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, dimana pihak kreditur dan debitur bersepakat untuk menghapuskan perikatan lama dengan perikatan baru, sehingga perjanjian accesoirnya dihapus jika perjanjian pokoknya dihapus, kecuali diperjanjikan sebaliknya secara tegas oleh kedua belah pihak.

141Hasil wawancara dengan Bapak Basril, Bagian Regional Credit Recovery di PT. Bank

Mandiri (Persero) Tbk, Balai Kota Medan, hari Rabu tanggal 08 April 2013

142 Hasil wawancara dengan Bapak Basril, Bagian Regional Credit Recovery di PT. Bank

(28)

Tidak semua perjanjian kredit dijamin dengan bentuk grosse akta. Banyak perjanjian kredit tanpa jaminan yang bersifat preferen (unsecured credit), namun pada suatu saat memerlukan eksekusi apabila debitur wanprestasi. Peraturan perundang-undangan telah mengalami perkembangan dimana kredit yang berisi jaminan hak preferen (secured credit) tidak hanya hipotek dan gadai yang disebut Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 memasukkan jaminan fidusia terlebih untuk barang bergerak. Perlu diketahui, jaminan fidusia merupakan salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitur akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana fungsi yuridis pengikatan agunan (benda jaminan) fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit.143

Bentuk penyelesaian kredit yang biasa digunakan pada PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk adalah Likuidasi Jaminan, yaitu penyelesaian dengan cara meminta kepada debitur untuk melakukan penjualan jaminan secara sukarela untuk

(29)

mengurangi debet pinjaman. Dimana jaminan harus memenuhi kriteria : mudah dijual kembali (marketable) dan aman (secured).144

Pembuatan akta jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga tidak perlu dilakukan pembuatan grosse akta. Dimana nilai objek jaminan fidusia yang dapat berubah menjadi meningkat ataupun menurun dan jumlah kredit yang dapat bertambah ataupun berkurang, sedangkan dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan bentuk grosse akta harus memiliki jumlah kredit atau hutang yang tetap atau tidak berubah hingga waktu pelunasan hutang tersebut oleh debitur.145

4. Dengan dilakukannya pendaftaran jaminan fidusia pada lembaga fidusia merupakan perlindungan hukum bagi kreditur yang memberikan pinjamannya. Suatu perubahan yang cukup mendasar dari perkembangan jaminan fidusia adalah mengenai pendaftaran. Sebelum terbitnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, masalah pendaftaran jaminan fidusia bukanlah menjadi suatu kewajiban, tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, masalah pendaftaran jaminan fidusia menjadi semakin krusial. Pendaftaran tersebut memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia. Selain itu, pendaftaran jaminan fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian hukum.146

144 Hasil wawancara dengan Bapak Basril di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Balai Kota

Medan, hari Senin tanggal 21 Januari 2013

145 Hasil wawancara dengan Bapak Basril di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Balai Kota

Medan, hari Senin tanggal 04 Maret 2013

(30)

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatakan bahwa bank tidak diperbolehkan memiliki barang jaminan yang dibelinya, dimana prinsip ini sejalan dengan hukum jaminan fidusia.147Apabila terjadi wanprestasi maka akan menimbulkan akibat hukum dengan melahirkan hak kepada kreditur penerima fidusia, dimana dalam praktiknya terdapat kecenderungan bahwa bank akan menguasai benda jaminan kalau debiturnya macet, padahal secara normatif hal ini tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Perbankan. Namun melalui hasil analisis terhadap akta jaminan fidusia dan hasil penelitian bahwa kreditur penerima jaminan fidusia tidak dapat menjadi pemilik dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia148. Kreditur penerima jaminan fidusia hanyalah berhak menjual objek jaminan fidusia baik atas dasar titel eksekutorial, lelang atau penjualan di bawah tangan.149 Dan dalam rangka pelaksanaan eksekusi atas objek jaminan fidusia, pemberi jaminan fidusia berkewajiban untuk menyerahkannya kepada kreditur penerima jaminan fidusia.150

147Penjelasan Pasal 12A ayat (1) ,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan 148Ibid, hal.200

149Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

UJIAN PROFESI ADVOKAT 2015 - GELOMBANG II (berdasarkan kota peserta mengikuti ujian dan urutan nama).. Ridho

belajar sudah mulai terfokus pada tugas- tugas belajarnya namun masih perlu pengawasan yang lebih ketat dan mendidik. Hasil belajar siswa setelah perbaikan pembelajaran

Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan

Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam perlu membentuk

Pada tahap ini peneliti menganalisis semua data yang diperoleh tentang akad sewa tanah kas desa pada perjanjian sewa menyewa yang tidak sesuai dengan akad pada

Pengembangan industri berkaitan dengan kebutuhan terhadap lahan dalam jumlah yang luas, oleh karena Desa Pasawahan merupakan salah satu daerah pertanian di Kecamatan

Kelebihan model ini diantaranya adalah adanya unsur permainan dalam pembelajaran yang membuat suasana kelas menjadi me- riah, sehingga tepat digunakan pada kelas III yang

Pelayanan kesehatan yang ada pada waktu itu adalah klinik umum, klinik spesialis (bedah, kandungan, penyakit dalam dan kesehatan anak), klinik gigi, instalasi gawat darurat,