• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

LANDASAN TEORI

Untuk bisa mendukung sistem secara utuh dibutuhkan teori-teori yang mendukung dalam pengembangan aplikasi ini. Teori-teori yang dibutuhkan meliputi pengenalan tanda tangan dan teknologi yang dibutuhkan. Berikut dijelaskan mengenai teori-teori teknologi dan perangkat pendukung yang digunakan dalam membuat aplikasi.

2.1 Pengenalan Pola

Beberapa penulis (Liu et all, 2006; Fatta, 2009) mengutip beberapa definisi pengenalan pola dari beberapa peneliti sebelumnya, yaitu penentuan suatu objek fisik atau kejadian ke dalam salah satu atau beberapa kategori (Duda dan Hart, 1973), ilmu pengetahuan yang menitik-beratkan pada deskripsi dan klasifikasi (pengenalan) dari suatu pengukuran (Schalkoff, 1992). Secara garis besar dapat dirangkum bahwa pengenalan pola merupakan cabang kecerdasan buatan yang menitikberatkan pada metode pengklasifikasian objek ke dalam kelas-kelas tertentu untuk menyelesaikan masalah tertentu, dengan memetakan (menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif) suatu fitur, yang merupakan ciri utama suatu objek (yang dinyatakan dalam sekumpulan bilangan- bilangan) ke suatu kelas yang sesuai. Proses pemetaan ini menyangkut inferensi, baik secara eksplisit menggunakan statistik (misalnya dalam aturan Bayesian) maupun tak eksplisit dengan suatu jaringan keputusan (misalnya JST atau logika

fuzzy) (Fatta, 2009). Sedangkan pola adalah suatu entitas yang terdefinisi

(mungkin secara samar) dan dapat diidentifikasi serta diberi nama. Pola merupakan kumpulan hasil pengukuran atau pemantauan dan dinyatakan dalam notasi vektor dan matriks, contoh : sidik jari, raut wajah, gelombang suara, tulisan tangan dan lain sebagainya (Murni, 1992; Putra, 2010). Dalam pengenalan pola, data yang akan dikenali biasanya dalam bentuk citra atau gambar, akan tetapi ada pula yang berupa suara.

Pengenalan pola memainkan peran penting dalam berbagai bidang rekayasa, Beberapa contoh pemanfaatan pengenalan pola salah satunya untuk

(2)

sistem keamanan, misalnya pengenalan suara yang digunakan sebagai kunci pada sistem rahasia, pengenalan sidik jari yang dipakai sebagai pengganti password atau pin untuk mengakses sistem komputer tertentu, pengenalan wajah untuk mengidentifikasi para buronan dengan melakukan scanning pada sejumlah besar data wajah para pelaku yang sudah masuk dalam basis data berdasarkan foto pelaku kejahatan tersebut dan sebagai pengganti password atau PIN. Di bidang kesehatan atau kedokteran pengenalan pola dimanfaatkan untuk pengenalan citra medis yang dirancang untuk membantu para dokter untuk diagnosis, contohnya citra X-ray, klasifikasi sel darah putih. Pemanfaatan pengenalan pola lainnya adalah pengenalan tulisan tangan atau karakter untuk mengenali bentuk karakter secara terbatas, sehingga pemindahan isi suatu dokumen ke dalam komputer untuk diolah lebih lanjut dapat dilakukan secara otomatis tanpa proses pengetikan kembali dokumen tersebut. Contoh aplikasi tersebut adalah aplikasi perbankan menggunakan pengenalan tulisan untuk membuktikan pelaku transaksi adalah orang yang benar-benar berhak. Selain itu pengenalan tulisan tangan dimanfaatkan untuk penyortiran surat secara otomatis. Form atausurat dipindai sehingga menghasilkan gambar digital yang diubah menjadi karakter-karakter yang akan disimpan ke dalam basis data.

2.2 Pengenalan Tanda Tangan

Sistem verifikasi tanda tangan memerlukan satu hal utama yaitu penerimaan masyarakat umum (publik). Di segala hal dari deklarasi kemerdekaan sampai slip sebuah kartu kredit. Masyarakat cenderung untuk menerima tanda tangan seseorang sebagai bukti dari identitasnya[20]. Sebenarnya sistem pengenalan tanda tangan betapa pun terlihat sederhana sebuah tanda tangan dari ciri-ciri yang membedakan dari proses penulisan tanda tangan. Ciri-ciri ini mencakup rasio persebaran garis, rasio panjang lebar, arsitektur bentuk padatanda tangan. Pola-pola ini ditangkap melalui sebuah image yang telah diproses dan dibandingkan dengan pola-pola template. Permasalahaannya adalah tanda tangan setiap orang berbeda secara berarti dan dari satu contoh ke contoh yang lain, sehingga keakurasian yang sangat kuat membutuhkan banyak contoh dan sebuah proses verifikasi lanjutan.

(3)

2.3 Citra Digital

Citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan (brightness) suatu citra pada suatu titik (Gonzales dan Woods, 2008). Suatu citra analog (kontinu) harus didigitalisasi agar dapat menghasilkan suatu citra baru yang disebut citra digital (diskrit). Citra digital adalah representasi dari sebuah citra dua dimensi sebagai sebuah kumpulan nilai digital yang disebut elemen gambar atau piksel.

Citra digital dapat dibagi menjadi tiga macam berdasarkan warna penyusunannya, yaitu:

1. Citra biner, adalah citra dimana piksel-pikselnya hanya memiliki dua buah nilai intensitas yaitu bernilai 0 dan 1 dimana 0 menyatakan warna latar belakang (background) dan 1 menyatakan warna tinta/objek (foreground) atau dalam bentuk angka 0 untuk warna hitam dan angka 255 untuk warna putih. Citra biner diperoleh dari nilai citra threshold sebelumnya.

Beberapa keuntungan penggunaan citra biner adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan memori kecil karena nilai derajat keabuan hanya

membutuhkan representasi 1 bit.

b. Waktu pemrosesan lebih cepat dibandingkan dengan citra warna. 2. Citra grayscale, adalah Citra yang ditampilkan dari citra jenis ini terdiri

atas warna abu-abu, bervariasi pada warna hitam pada bagian yang intensitas terlemah dan warna putih pada intensitas terkuat. Untuk setiap sample pixel citra grayscale disimpan dalam format 8 bit, yang memungkinkan sebanyak 256 intensitas. Format ini sangat membantu dalam pemrograman karena manipulasi bit yang tidak terlalu banyak. Untuk mengubah citra berwarna menjadi citra grayscale maka konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan B.

3. Citra berwarna, adalah citra yang nilai pikselnya merepresentasikan warna tertentu. Citra berwarna direpresentasikan dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen warna penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model warna yang digunakan pada citra tersebut. Intensitas suatu titik pada citra berwarna merupakan

(4)

kombinasi dari 3 intensitas, yaitu derajat keabuan merah (fmerah(x,y)), hijau (fhijau(x,y)), dan biru (fbiru(x,y)).

2.4 Ekstraksi Ciri 2.4.1 Direction Feature

Direction Feature (DF) adalah pencarian nilai feature berdasarkan label arah dari sebuah pixel foreground. Pada metode ini setiap pixel foreground pada gambar memiliki arah tersendiri dimana arah yang digunakan terdiri dari 4 arah dan masing-masing arah diberikan nilai atau label yang berbeda. Arah yang digunakan pada pelabelan arah dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Nilai Arah

Arah Nilai Bentuk

Vertical 2

Diagonal (Kanan) 3

Horizontal 4 Diaginal (Kiri) 5

Gambar 1.1 Nilai Arah

Untuk mendapatkan nilai feature pada pelabelan arah dari masing masing

pixel dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Lakukan pengecekan secara raster dari paling kiri dan bawah citra ke kanan.

2. Apabila menemukan sebuah pixel foreground maka lakukan pengecekan dengan melihat tetangga dari pixel tersebut dengan nilai arah merujuk pada tabel 1.1. Berikut adalah matriks keterangan pixel :

2 2 2 2 5 5 4 4 3 3

(5)

x1 x2 x3

x8 X0 x4

x7 x6 x5

3. X0 adalah pixel yang akan dicek, kemudian pengecekan dilakukan dari x1 – x8. Apabila pada posisi tetangga dari x1 sampai x8 ditemukan pixel foreground, maka ubahlah nilai X0 menjadi nilai arah berdasarkan aturan dibawah ini:

i. Jika pada posisi x1 atau x5 maka nilai arah adalah 5 ii. Jika pada posisi x2 atau x6 maka nilai arah adalah 2 iii. Jika pada posisi x3 atau x7 maka nilai arah adalah 3 iv. Jika pada posisi x4 atau x8 maka nilai arah adalah 4

2.4.2 Transition Feature

Ide dari Transition Feature (TF) adalah menghitung posisi transisi dan jumlah transisi pada bidang vertikal dan horizontal dari gambar[1]. Transisi adalah posisi dimana terjadinya perubahan pixel dari background menjadi

foreground tetapi tidak sebaliknya. Nilai pada TF didapat dari pembagian antara

posisi transisi dengan panjang ataupun lebar dari suatu gambar. Nilai TF ini akan diambil dari 4 arah yaitu kiri ke kanan, kanan ke kiri, atas ke bawah, dan bawah ke atas. Nilai transisi dari masing-masing arah akan selalu berkisar antara 0-1 dimana nilainya selalu menurun. Jumlah transisi yang diambil dari setiap arah tidaklah sembarangan, hal ini tergantung dari jumlah transisi maksimal yang ditetapkan. Apabila terdapat transisi lebih dari jumlah maksimal transisi maka transisi tersebut tidak akan dihitung. Namun apabila jumlah transisi yang ditemukan kurang dari jumlah maksimal maka nilai transisi yang diberikan adalah 0[2].

(6)

2.4.3 Modified Direction Feature

Modified Direction Feature merupakan metode ekstraksi ciri yang

menggabungkan teknik Direction Feature (DF) dan Transition Feature (TF) sehingga pada vektor ciri hasil ekstraksi didasarkan pada nilai transisi dan pelabelan nilai arah yang terdapat pada piksel foreground citra. Secara umum, metode MDF lebih baik dalam hal ekstraksi ciri daripada metode DF atau TF [17]. Untuk mencari nilai vektor ciri pada metode MDF maka harus ditentukan terlebih dahulu nilai dari Direction Feature (DF), Transition Feature (TF) dan banyaknya transisi yang dipakai. Pengambilan nilai TF dan DF diambil dari 4 segmen arah dalam piksel citra yaitu kiri ke kanan, kanan ke kiri, atas ke bawah, dan bawah ke atas.

2.4.3.1 Menentukan Nilai Transisi

Nilai transisi (TF) adalah nilai pembagian antara posisi transisi dengan panjang atau lebar gambar. Oleh karena itu, untuk menentukan nilai transisi, yang, harus dilakukan pertama kali adalah melakukan pemindaian pada masing-masing piksel dari masing-masing arah. Berikut adalah rumus perhitungan nilai TF untuk pemindaian dari arah kiri ke kanan dan dari atas ke bawah :

(2-1)

dimana adalah indeks pixel yang dikaji dihitung dari awal pencarian dan merupakan jumlah piksel maksimal dalam satu baris atau kolom segmen piksel citra yang mengikuti aturan berikut :

1) Apabila pemindaian dilakukan dari kiri ke kanan maka nilai adalah lebar citra.

2) Apabila pemindaian dilakukan dari atas ke bawah maka nilai adalah panjang citra.

Sedangkan rumus perhitungan nilai TF untuk pemindaian dari arah kanan ke kiri dan bawah ke atas adalah sebagai berikut :

(7)

dimana adalah indeks piksel dan mengikuti aturan berikut :

1) Apabila pemindaian dilakukan dari kanan ke kiri maka nilai adalah lebar citra.

2) Apabila pemindaian dilakukan dari bawah ke atas maka nilai adalah panjang citra.

TF selalu berkisar antara 0 sampai 1 dan transisi pertama yang ditemukan selalu mempunyai TF yang paling besar. TF sangat dipengaruhi oleh jumlah transisi yang digunakan dimana jumlah transisi adalah banyaknya transisi yang bias dicatat dalam satu baris atau kolom gambar. Apabila dalam satu baris ataupun satu kolom gambar jumlah transisi yang ditemukan kurang dari jumlah transisi yang digunakan maka untuk nilai TF untuk transisi sisanya adalah 0.

2.4.3.2 Menentukan Nilai Arah

Nilai DF diambil dari pembagian antara nilai arah dengan nilai pembagi. Nilai pembagi yang digunakan adalah 10 dimana nilai ini dipilih berdasarkan nilai-nilai maksimum yang digunakan untuk menggambarkan segmen garis dalam teknik DF. Selain itu juga nilai 10 ini digunakan untuk mendapatkan rentang nilai 0 sampai 1. Berikut rumus perhitungan nilai DF :

(2-3)

2.4.3.3 Menentukan Vektor Ciri

Vektor ciri yang dihasilkan dari masing-masing arah sebanyak

dan akan

dinormalisasi menjadi . Nilai 5 digunakan karena untuk mengubah ukuran vektor ciri yang dilakukan dengan mencari rata-rata dari beberapa vektor. Keluaran dari MDF akan berupa vektor sebanyak :

(2-4) dimana :

(TF dan DF) = 2

(8)

(jumlah arah pencarian) = 4

(jumlah ukuran normalisasi matriks) = 5 2.5 Voting Feature Intervals 5 (VFI-5)

VFI5 merupakan algoritma klasifikasi yang memberikan deskripsi melalui sekumpulan interval fitur. Klasifikasi dari sebuah instance baru didasarkan pada

vote di antara klasifikasi yang dibuat oleh nilai dari tiap fitur secara terpisah. VFI5

merupakan algoritma supervised learning yang bersifat non-incremental, sehingga, seluruh contoh dalam data training diproses sekali dalam satu waktu. Tiap-tiap contoh training direpresentasikan sebagai nilai-nilai fitur vektor nominal (diskret) atau linear (kontinu), disertai dengan label yang menunjukkan kelas contoh.

Dari data training, algoritma VFI5 membentuk interval untuk tiap fitur. Suatu interval bisa berupa interval titik atau selang (range). Interval selang didefinisikan sebagai sekumpulan nilai yang berurutan dari fitur yang diberikan, sedangkan interval titik didefinisikan sebagai fitur bernilai tunggal. Untuk interval titik, hanya sebuah nilai yang digunakan untuk mendefinisikan sebuah interval.

Untuk tiap interval, diambil sebuah nilai tunggal yang merupakan vote dari tiap-tiap kelas dalam interval tersebut. Oleh karena itu, sebuah interval dapat merepresentasikan beberapa kelas dengan menyimpan vote dari tiap-tiap kelas (Güvenir 1998).

VFI5 merupakan versi terakhir yang dikembangkan dari algoritma VFI1. Pada tahap pelatihan dalam algoritma VFI1, jika fitur bersifat linear (kontinu), maka hanya dibentuk range interval. Dalam perhitungan count instance sebagai

vote dari data latih, jika nilai fitur terletak tepat di dalam satu interval i, maka nilai count interval i ditambah 1, namun jika nilai fitur terletak pada batas bawah

interval, nilai count untuk interval ke-i dan ke-(i-1) ditambah 0.5. Proses klasifikasi pada algoritma VFI1 dilakukan dengan melihat letak nilai fitur dari instance pengujian ef dalam interval pelatihan. Jika i merupakan point interval dan nilai ef sama dengan nilai pada point interval, maka fitur f memberikan vote untuk tiap kelas c sebesar nilai vote kelas pada interval pelatihan. Namun jika i merupakan range interval dan nilai ef sama dengan nilai batas bawah dari

(9)

interval tersebut, maka vote yang diberikan oleh fitur f adalah rata-rata vote pelatihan dari interval ke-i dan ke-(i-1).

Versi selanjutnya dari algoritma VFI1 adalah VFI2. Pada tahap pelatihan dalam algoritma VFI2, nilai end points digeser ke jarak tengah antara kedua end

points pada algoritma VFI1. Artinya, jika pada algoritma VFI1 nilai end

points-nya adalah 2, 4, 5 dan 8, maka pada algoritma VFI2 nilai end points-points-nya adalah 3, 4.5 dan 6.5. Adapun tahapan klasifikasi pada algoritma VFI2 sama dengan tahapan klasifikasi pada algoritma VFI1.

Algoritma VFI3 tidak berkaitan dengan algoritma VFI2 dan dikembangkan dari algoritma VFI1. Ada penambahan beberapa kondisi untuk pembentukan interval dan klasifikasi. Kondisi ini mempertimbangkan apakah nilai instance terletak pada titik tertinggi, titik terendah, atau titik lain pada end points. Kondisi-kondisi dan ilustrasi lebih lengkap dapat dilihat pada Demiröz (1997).

Algoritma VFI4 dikembangkan dari algoritma VFI3. Pada algoritma VFI4, jika fitur merupakan fitur linear dan ada kelas yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai titik terendah, maka selain dibentuk range interval, juga dibentuk point interval pada fitur nominal. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan pemberian vote pada kelas yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai terendah. Pada tahap klasifikasi, jika nilai fitur pada instance pengujian terletak pada point interval, maka nilai vote yang diambil hanya dari nilai vote pada point interval hasil pelatihan.

Versi selanjutnya dari algoritma VFI4 adalah VFI5. Pada algoritma VFI5, dilakukan generalisasi pembentukan point interval pada fitur linear, tanpa memperhatikan apakah ada kelas dalam suatu fitur yang memiliki nilai titik tertinggi sama dengan nilai titik terendah. Algoritma dan ilustrasi untuk tiap versi VFI dapat dilihat di Demiröz (1997). Kelebihan algoritma VFI5 adalah prediksi yang akurat, pelatihan dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan klasifikasi cukup singkat, bersifat robust terhadap training dengan data yang memiliki noise dan nilai fitur yang hilang, dapat menggunakan bobot fitur, serta dapat memberikan model yang mudah dipahami manusia (Güvenir 1998).

(10)

a) Pelatihan

Hal pertama yang harus dilakukan dalam tahap pelatihan adalah menemukan titik-titik akhir (end points) dari tiap kelas c pada tiap fitur f. Titik akhir dari kelas c yang diberikan merupakan nilai yang terkecil dan terbesar pada dimensi fitur linear (kontinu) f untuk beberapa instance pelatihan dari kelas c yang sedang diamati. Namun demikian, titik akhir dari dimensi fitur nominal (diskret)

f, merupakan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain, untuk beberapa instance

pelatihan dari kelas c yang sedang diamati. Titik akhir dari fitur f kemudian disimpan dalam array EndPoints[f].

Batas bawah pada interval selang adalah -∞, sedangkan batas atas interval selang adalah +∞. List dari titik akhir pada tiap dimensi fitur linear diurutkan. Jika fitur tersebut merupakan fitur linear, terdapat dua jenis interval, interval titik dan interval selang. Jika fitur tersebut merupakan fitur nominal, hanya ada satu jenis interval, yaitu interval titik.

Selanjutnya, banyak instance pelatihan setiap kelas c dengan fitur f untuk setiap interval i dihitung dan direpresentasikan sebagai interval_class_count[f,i,c]. Pada setiap instance pelatihan, dicari interval i, yang merupakan interval nilai fitur

f dari instance pelatihan e (ef) tersebut berada. Apabila interval i adalah

interval titik dan ef sama dengan batas bawah interval tersebut (yang sama dengan batas atas untuk interval titik), jumlah kelas instance tersebut (ef) pada interval i ditambah 1. Apabila interval i merupakan interval selang dan ef berada pada interval tersebut maka jumlah kelas instance ef pada interval i ditambah 1. Proses inilah yang menjadi vote pelatihan untuk kelas c pada interval i.

Agar tidak mengalami efek perbedaan distribusi setiap kelas, vote kelas c untuk fitur f pada interval i harus dinormalisasi dengan membagi vote tersebut dengan hasil penjumlahan tiap-tiap instance kelas c yang direpresentasikan dengan class_count[c]. Hasil normalisasi ini dinotasikan sebagai interval_class_vote[f,i,c]. Selanjutnya, nilai-nilai interval_class_vote[f,i,c]

dinormalisasi sehingga hasil penjumlahan vote beberapa kelas di setiap fitur sama dengan 1. Tujuan normalisasi ini adalah agar setiap fitur mempunyai kekuatan

voting yang sepadan pada proses klasifikasi dan tidak dipengaruhi oleh ukuran

(11)

Berikut ini merupakan algoritma training VFI5. Algoritma ini menjelaskan tentang pembentukan interval pada tiap atribut atau feature:

train(TrainingSet): begin

for each feature f if f is linear

for each class c

EndPoints[f] = EndPoints[f] find_end_points(TrainingSet, f, c); sort(EndPoints[f]);

for each end points p in EndPoints[f] form a point interval from end point p

form a range interval between p and the endpoint ≠ p else /* f is nominal */

form a point interval for each value of f for each interval i on feature f

for each class c

intercal_class_count[f, i, c] = 0 count_instance(f, TrainingSet);

for each interval i on feature f for each class c

interval_class_vote[f, i, c] = normalize interval class vote[f, i, c];

end.

Algoritma 1.1 Training Voting Feature Intervals 5

b) Klasifikasi

Tahap klasifikasi dimulai dengan inisialisasi vote dengan nilai nol pada tiap-tiaap kelas. Pada tiap-tiap fitur f, dicari interval i yang sesuai dengan nilai ef, dimana ef merupakan nilai fitur f dari instance pengujian e. Jika ef hilang atau tidak diketahui, fitur tersebut tidak diikutsertakan dalam voting dengan memberikan vote nol pada setiap kelas yang hilang. Tiap-tiap fitur f mengumpulkan vote-vote-nya dalam sebuah vector 〈feature_vote[f,C1], ..., feature_vote[f,Cj], ... ,feature_vote[f,Ck]〉, dimana feature_vote[f,Cj] adalah vote fitur f untuk kelas Cj dan k adalah banyak kelas. Sebanyak d vektor feature vote dijumlahkan sesuai dengan fitur dan kelasnya masing-masing untuk memperoleh total vektor vote 〈vote[C1], ..., vote[Ck]〉. Kelas dari instance pengujian e adalah kelas yang memiliki jumlah vote terbesar.

Berikut ini merupakan algoritma klasifikasi VFI5. Algoritma ini menjelaskan tentang prediksi setelah interval terbentuk:

(12)

classify(e): begin

for each feature f if f is linear

for each class c

EndPoints[f] = EndPoints[f] find_end_points(TrainingSet, f, c); sort(EndPoints[f]);

for each end points p in EndPoints[f] form a point interval from end point p

form a range interval between p and the endpoint ≠ p else /* f is nominal */

form a point interval for each value of f for each interval i on feature f

for each class c

intercal_class_count[f, i, c] = 0 count_instance(f, TrainingSet);

for each interval i on feature f for each class c

interval_class_vote[f, i, c] = normalize interval class vote[f, i, c];

end.

Algoritma 1.2 Klasifikasi Voting Feature Intervals 5 2.6 .NET Framework

Microsoft .NET Framework adalah sebuah komponen yang dapat ditambahkan ke sistem operasi Microsoft Windows atau telah terintegrasi ke dalam Windows (mulai dari Windows Server 2003 dan versi-versi

Windows terbaru). Kerangka kerja ini menyediakan sejumlah besar

solusi-solusi program untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum suatu program baru, dan mengatur eksekusi program-program yang ditulis secara khusus untuk framework ini. .NET Framework adalah kunci penawaran utama dari Microsoft, dan dimaksudkan untuk digunakan oleh sebagian besar aplikasi-aplikasi baru yang dibuat untuk platform Windows.

Pada dasarnya, .NET Framework memiliki 2 komponen utama: CLR dan .NET Framework Class Library. Program-program yang ditulis untuk .NET Framework dijalankan pada suatu lingkungan software yang mengatur persyaratan-persyaratan runtime program. Runtime environment ini yang juga merupakan suatu bagian dari .NET Framework, dikenal sebagai Common

(13)

virtual machine, sehingga para programmer tidak perlu mengetahui

kemampuan CPU tertentu yang akan menjalankan program. CLR juga menyediakan layanan-layanan penting lainnya seperti jaminan keamanan, pengaturan memori, garbage collection dan exception handling/penanganan kesalahan pada saat runtime. Class library dan CLR ini merupakan komponen inti dari .NET Framework. Kerangka kerja itu pun dibuat sedemikian rupa agar para programmer dapat mengembangkan program komputer dengan jauh lebih mudah, dan juga untuk mengurangi kerawanan aplikasi dan juga komputer dari beberapa ancaman keamanan.

CLR adalah turunan dari Common Language Infrastructure (CLI) yang saat ini merupakan standar ECMA, yaitu standarisasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Consumer Electronics (CE).

Solusi-solusi program pembentuk class library dari .NET Framework melingkupi area yang luas dari kebutuhan program pada bidang user

interface, pengaksesan data, koneksi basis data, kriptografi, pembuatan

aplikasi berbasis web, algoritma numerik, dan komunikasi jaringan. Fungsi-fungsi yang ada dalam class library dapat digabungkan oleh programmer dengan kodenya sendiri untuk membuat suatu program aplikasi baru.

Gambar

Tabel 1.1 Nilai Arah

Referensi

Dokumen terkait

4.1 Kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita aritmatika soasial yang di tinjau dari taksonomi SOLO. Presentase siswa yang termasuk dalam level prastruktural

Diharapkan bagi kepala Puskesmas Jembatan Mas untuk mengkoordinasi petugas kesehatan dapat meningkatkan intensitas penyuluhan kepada ibu-ibu tentang pencegahan kekambuhan ulang ISPA

Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang- undang No.14 tahun

Pada kegiatan mengkaji materi modul kelompok kompetensi A Pedagogik: Karakteristik Siswa SMP fasilitator memberi kesempatan kepada guru sebagai peserta untuk mempelajari materi

This study aims to identify and find out the most frequent type of slips of the ear existing in speech perception in noise experienced by the students of Fakultas

Perairan pesisir pantai timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan salah satu daerah pesisir yang rawan terkena pencemaran minyak karena kawasan ini merupakan

Berdasarkan hasil cluster dengan menerapkan beberapa kriteria dari daftar Program SDP menggunakan algoritma K-Means dapat diambil pengelompokan dengan rata– rata

PEMANTAUAN RUTIN Tabel 1: Data pembacaan paparan radiasi gamma sistem terpasang (UJA) periode Bulan  Januari 2005 s.d. Maret 2005..