• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ADVO A I ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ADVO A I ISSN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

DA JURNAL

ADVO A I

Pelindung

Dekan Fakultas

Hu

urn Universitas Mahasaraswati Denpasar Ketua Pengarah I Wayan Wia la .H" MH Ketu P nyun ng Dr. I Gede Suartlka, .H., M.M. Dewan Penyunting I Made Su B'. an. S.H.• MH Made Emy Andayanl Citra ". M.H

I Wayan Pam H

Penyunting P aksana I Gustt Ngurah Anom, S.H,. M.H.

StBfPenyun n9 P lak ana I Nengah Su rama, SH. MH. I Wayan Gde Wlryawan. SH., M.H. Ida Bagus Su ya Prabhawa Manuaba, S.H.

Sekretarls Penyunting Pelaksana Ni Luh Gede Yogi Arthanl, S.H., M.H.

TataUsaha KetulOka Mitra Bestar!

Prof. Dr. I GUStl Ngurah Walr cana, S.H I MH

(Universitas Udayana)

I Gusli Ngurah Hengkl. B,A., S.H., SPd., M.H. (polda Bali)

Alamal Redaksl Fakultas Hukum

Uni ersilas Mahasara wah Denpasar Jalan KamboJa No. 11 A

Telp (0361) 263142 fh@unmas ac.id

ISSN 1693·5934

DAFTARISI

PENGA TAR REDA 51

KeblJakan Hukum P midanaan Anak Dalam Kon KUHP2010

I Nvoman Ngurah Su ma(ha... 1- 13

Kewenangan GUbemur Dalam Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan

IMade DOOy Priyanto .. 14 -29

• To ng9un9 Jawab Hukum Dala ahap Prakontrak. al Pada Seng eta Kontrak 81 ni

Emmy Febriam ThaJib ...•_... .•... 30- 39

Pengg JOaan Kekerasan Dleh Polisi 0 lam Penegaka Hukum (5uatu KaJian DaJam PersnekUf Psikologl Hu m)

IWayan rrrdana 40 -49

he Service VII 9 Re ponSlblllly galnst The CIty

Fore;,t SustaIn hie

I Wayan Wiasta I Wa an ",de Wiryawan, I Nyoman

Edllrawan d fI De I Bungs .•... 50 . 59 Penegakan Hukum erhadap 11 ak PidanaTerorisme

Made EmyAndayam Citra, Luh GOOe Yogi Arthan; dan

Dew; Bunga . , 60 - 72

HukUln Sebagai lnstrumen Kebijakan Publlk Dalam Mengatur Penggunaan Narkolika di Indonesia

INyoman Budl Sentana.... 73 -82

Kebijakan Formulatrf Pidana Mati Dan Pldana Seumur Hldup Dalam Konsep KUHP

I Nengah Susrama... . ... ... ... 83­

Peran PSlkologi Dalam Invesligasi Kasus Tin d

Pidana

IMade Sl1ryawan

Knminalisasi Santet Dalam Rancangan

I Gusli Agung Ketut Kartika Jaya Seputra

Daftar Rlwayat Hldup Penulis , Ketentuan Umum Penulrsan

Jumal Advokasi

(4)

14 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011:14-29

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN PERDA KABUPATEN TABANAN

I Made Dedy Priyanto

Fakultas Hukum Universitas Udayana imddedyp@yahoo.co.id

Abstract:

Regional district rules are regulations established by the legislature with the approval of the district with the head of regency. The purpose of this district is the local regulations for the implementation of govemment affairs in the local area so that in accordance with the State of society. There are local laws that were canceled by the Governor, namely the cancellation regulations area regulations Number 6 Year 2008 About the Use of Intellectual Property Levies Tabanan regency through Governor Decree No. 12 of 2009. However, in principle, district laws can only be canceled by the President through Presidential Regulation.

Key words: cancellation, district laws, Governor. Pendahuluan

Perda (selanjutnya disebut Perda) merupakan peraturan yang diberlakukan di daerah- daerah sesuai dengan wilayah. Perda provinsi berlaku untuk tingkat provinsi, sedangkan Perda kabupaten hanya diberlakukan pada kabupaten. Perda diadakan karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia, memiliki perbedaan- perbedaan pola hidup, kebudayaan, dll, sehingga tidak dapat disamakan satu dengan yang lain dalam hal pengelolaannya. Untuk itulah penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah disesuaikan dengan daerah masing-masing melalui suatu kebijakan aturan yang sesuai dengan keadaan daerah setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda.

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (pasal 1 angka 7 UU No.10 Th.2004). Fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan Perda adalah sebagai wakil dari rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat di daerah. Hal ini demi menciptakan peraturan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR.

Pembatalan Perda merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari apabila terjadi hal-hal yang membuat aturan Perda tersebut harus dibatalkan, misalnya apabila dikaitkan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata aturan Perda tersebut bertentangan atau tidak sesuai sehingga menimbulkan pertentangan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan aturan Perda tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan Perda kabupaten, secara

(5)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 15 normatif dapat dibatalkan oleh Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) dan Pasal 158 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 145 (2) dan (3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 2 UU Pemda). Keputusan pembatalan Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda).

Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145 ayat (3) UU Pemda. Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini adalah Presiden. Walaupun Presiden memberikan kewenangan tersebut pada para Menterinya, selama aturan dalam Pasal 145 UU Pemda belum direvisi maka tetaplah menjadi kewenangan Presiden. Namun pada kenyataannya terdapat Perda yang dibatalkan oleh Gubernur.

Pembatalan perda yang dilakukan oleh Gubernur terjadi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali yaitu pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2009. Hal ini disebabkan karena Perda ini dinilai tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 597/01-A/HK/2008 Tentang Penetapan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten Tabanan Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah. Hal ini menggambarkan bahwa Perda harus tunduk kepada Keputusan Gubernur padahal Keputusan Gubernur tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Pembatalan Perda oleh Peraturan Gubernur ini merupakan suatu masalah normatif yang sangat menarik untuk dikaji. Karena disatu sisi, Gubernur merupakan “Perpanjangan tangan” dari Pemerintah Pusat, sehingga dinilai dapat menjalankan kewenangan pemerintah pusat di daerah, dalam artian Gubernur dapat dilimpahkan kewenangan-kewenangan, termasuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, tetapi disisi lain, kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota Tabanan bukanlah kewenangan Gubernur untuk membatalkannya, karena tidak ada payung hukum yang jelas tentang hal tersebut.

(6)

16 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29 Kewenangan Daerah Otonom

Karena berkaitan dengan otonomi daerah, maka pengkajian mengenai permasalahan tersebut diawali dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam ayat (1) nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya disebutkan dalam ayat (2) bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini juga diatur dalam pasal 2 ayat UU Pemda.

Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Pemda, yang dimaksud dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa” sehingga berdasarkan pasal ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau disebut juga dengan otonomi daerah.

Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wewenang tersebut mencakup wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya kabupaten tabanan.

Membahas sumber wewenang sangatlah berkaitan erat dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan desentralisasi karena berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi teijadi pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”. Melalui prinsip dekonsentrasi ini dilakukan “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatnya di

(7)

IM. Dedy Priyanto. Kewenangan... 17 daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah”17

.

Pada hakikatya, alat pemerintah pusat ini, melaksanakan “pemerintahan sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu

berdasarkan kewenangannya”18

. Untuk itu alat yang bersangkutan bertanggungjawab langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya dan tanggungjawab terakhir mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan- urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat (seperti Gubernur) di daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, ditentukan bahwa tujuan diselenggarakan dekonsentrasi adalah:

a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum;

b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara;

c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional; d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”. Dasar pemikiran untuk dilaksanakannya tugas pembantuan ini, karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan yang masih menjadi wewenangnya berdasarkan dekonsentrasi karena :

- Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah.

- Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya.

- Dari segi sifatnya, berbagai urusan pemerintah pusat sangat sulit untuk dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah.1

17

H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media

Pratama, Jakarta, hal. 30.

18 Amrah Muslimin, 1982,

Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hal. 4.

19 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti,, 1987,

Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 117.

(8)

18 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan/ alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya sesuai dengan asas tugas pembantuan. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya prinsip tugas pembantuan adalah untuk "memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa”.

Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah desentralisasi karena prinsip ini menyebabkan adanya daerah otonom dan melalui prinsip ini dilakukan penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom, khususnya wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah kabupaten. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas, dan centrum = pusat, sehingga dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang ketatanegaraan, yang dimaksud desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)” .

Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Penyerahan wewenang ini dimaksudkan “memberikan kesempatan kepada aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk berpartisipasi di dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan tanpa harus mendapat arahan dan atau diarahkan oleh pusat” .

Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan mengandung makna bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan yang berwujud Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi daerah dimana negara dalam hal ini memberikan kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Namun disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan, maka hanya terdapat satu kekuasaan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tetap berwenang untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum, hal ini dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan dengan hal tersebut, E.Utrecht menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu:

20 Abdurrahman, 1987,

Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta, hal. 71.

21

(9)

I M. DedyPriyanto. Kewenangan... 19 I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal

genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang- undang pusat;

II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari, sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh teijadi di masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah.

III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat.22

Dasar pemikiran untuk dilakukan penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan kepada daerah otonom berdasarkan desentralisasi adalah:

a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas; b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan kecil; c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan

kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara;

d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik- baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;

e. Dilihat secara hukum, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18, menjamin adanya daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.

f. Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan dan memang lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah;

g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan

dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.23

Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal 3ayat (3) UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan mempunyai kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (3) UU Pemda, yang dimaksud dengan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain:

a. Perlindungan hak konstitusional;

b. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

22 Ridwan, HR, 2002,

Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.

23 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994,

Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah,

(10)

20 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan peijanjian dan konvensi internasional.

Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah”. Sehubungan dengan ini dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemda ditentukan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. Perencanaan, dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakeijaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan berdasarkan ayat (2) pasal in'i meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan merupakan urusan pilihan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan, sehingga Bupati Kabupaten Tabanan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sehubungan dfengan retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan. Bersifat pilihan disini diartikan bahwa seandainya Bupati Kabupaten Tabanan tidak melakukan pungutan retribusi terhadap kekayaan milik daerah, maka hal tersebut tidaklah serta-merta menjadi kewenangan Provinsi, melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan milik kabupaten, hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi tersebut.

(11)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 21

Konstruksi Perda

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa melalui desentralisasi dilakukan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan maksud agar penyelenggaraan urusan tersebut menjadi efektif dan efisien. Dalam praktek, kedua istilah ini sering digunakan secara bersama-sama dan terkadang disamakan dengan istilah berhasil guna dan berdaya guna. Efektif mengandung makna "terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki”24

. Sehingga, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan dapat dikatakan efektif atau berhasil guna jika urusan tersebut telah dilakukan sesuai dengan perencanaan misalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari pembuatan perda tersebut. Kemudian pada istilah efisiensi yang disebut juga berdaya guna, terjadi perbandingan antara hasil nyata yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tabanan dalam rangka melakukan urusan terkait dengan Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan seperti pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda termasuk uang. Maksudnya, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan akan dikatakan efisien apabila hasil yang dicapai secara nyata mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda/uang yang paling sedikit/ seefisien mungkin.

Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu:

(1) .Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan;

(2) .Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan;

(3) .Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas; (4) . Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau

keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian; bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan; (5) . Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral

dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan;

(6) . Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya;

24

(12)

22 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

(7). Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan

atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya.25

Pembatalan Perda oleh Gubernur ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi waktu, biaya, serta mengembalikan kewenangan otonomi daerah pada proporsi yang sebenarnya, dalam artian Perda Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan Presiden dalam * pembatalannya, karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu yang panjang, serta proses yang tidak sederhana. Namun dalam doktrin hukum dikenal asas a contrario actus yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang lebih tinggi. Sementara Peraturan Gubernur tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sejenis atau peraturan yang lebih tinggi sebab Peraturan Gubernur merupakan produk eksekutif sedangkan Perda merupakan produk hukum legislatif dan eksekutif.

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak negara ini didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari penerapan prinsip negara hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat dalam koridor hukum. Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang beijudul * De L ’esprit Des Lois

mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni:

a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh parlemen.

b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah. c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah

dibuat oleh parlemen.26

Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat maupun level daerah. Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah kekuasaan dalam membentuk Perda. Perda merupakan suatu produk hukum yang dibuat bersama oleh badan legislatif dan eksekutif di daerah. Pengaturan secara normatif mengenai Perda dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perda yang mengklasifikasikan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

25

Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 79-80.

26 Adami Chazawi, 2002,

Pelajaran Hukum Pidana 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafmdo Persada, Jakarta, hal. 170-171.

(13)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 23

h. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Perda.

Perda meliputi Perda provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur, Perda kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota serta Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Dalam Stufenbautheorie dikatakan bahwa “peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari

norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”27

Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan Perda sehingga Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.

Berdasarkan hierarki sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang harus disusun berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Adapun asas-asas tersebut meliputi asas:

a. Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara b. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa

setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

c. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

d. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan

27

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrUdence)

(14)

24 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

e. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.

f. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

g. Kedayagunaan dan kehasilgunaanundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Agar Perda itu berfungsi maka ia harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 28

Kewenangan Negara Terhadap Daerah Otonom

Macam-macam urusan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan peraturan baik yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun peraturan yang jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.29 Hal inilah yang diistilahkan sebagai public policy (kebijakan publik). Public policy (kebijakan publik) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan dengan beorientasi kepada public interest atau public needs maka yang harus dipikirkan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah itu bertindak sebagai

28

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.

29

(15)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 25

public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik).30

Kebijakan publik dapat berupa peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat Desa atau Kelurahan adalah Kebijakan Publik.31 Tiga kelompok kebijakan publik:32

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas

2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.

Menilik dari adanya pengelompokan kebijakan publik ini maka Peraturan Gubernur berada pada tingkat menengah. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengkategorikan Peraturan Gubernur ini sebagai produk hukum daerah dimana dikatakan bahwa “Produk hukum daerah adalah Peraturan yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.” Peraturan Gubernur merupakan produk hukum yang bersifat mengatur dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good govemance). Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu:

1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat {to guarantee the security of all person and society itself).

2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private sector and civil society).

3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of the population).33

30 Solly Lubis, 2007,

Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 9.

31

Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model Perumusan,

Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, hal 30-31.

32

(16)

26 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

Untuk mewujudkan good governance ini maka pemerintah wajib mengeluarkan produk hukum

yang menjamin kesejahteraan rakyat.

F.A.M.Stroink dan J.G.Steenbeek menyebutkan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi disebutkan bahwa “atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi)”.34

Selain itu dalam praktek terjadi pula pelimpahan wewenang berdasarkan mandat, yaitu pelimpahan kewenangan yang tidak disertai dengan pelimpahan tanggung jawab, sehingga yang dilimpahkan hanyalah pekerjaannya saja sedangkan dalam penyelesaian pekeijaan tersebut tetap atas nama pemberi mandat.

Terkait dengan adanya pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan maka pembatalan tersebut seharusnya dilakukan melalui Peraturan Presiden karena menjadi kewenangan Presiden yang didapat secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh Undang-undang. Hal ini didasarkan pada Pasal 158 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dijabarkan sebagai berikut:

(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubemur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

(2) Dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri

Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden.

33

Addink Reader dalam H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam

Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 67.

34

(17)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 27 (5) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Paling lama 7 (tujuh) hari keija setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.

(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Dengan demikian pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Walaupun Presiden menyerahkan kewenangan tersebut pada Menteri Dalam Negeri, namun pada pelaksanaan pembatalan perda haruslah tetap atas nama Presiden, karena penyerahan kewenangan tersebut hanyalah bersifat mandat. Sedangkan gubernur tidak memiliki kewenangan dalam pembatalan Perda kabupaten, dikarenakan kedudukan Gubernur disini bukanlah sebagai perpanjangan tangan/ wakil dari pemerintah pusat. Selain itu Gubernur tidak dapat menangani pembatalan Perda kabupaten karena pembatalan perda kabupaten terkait dengan kepentingan umum dari seluruh rakyat di kabupaten tersebut, sehingga tidak dilimpahkan secara delegasi kepada Gubernur. Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah Kabupaten Tabanan adalah menjadi tanggung jawab Kabupaten Tabanan karena hal tersebut berdampak lokal, dalam artian dampak yang ditimbulkan hanyalah dalam lintas batas regional di daerah kabupaten tabanan saja, hal ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, halaman 577 yang membagi urusan pajak dan retribusi daerah.

Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada satu kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian diberikan secara desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-waktu kewenangan daerah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

(18)

28 JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL 1 SEPTEMBER 2011:14 - 29

menurut Undang-undang Dasar” kemudian, terkait dengan pencabutan kewenangan daerah otonom oleh pusat dapat dilihat pada pasal 6 UU Pemda.

Penutup

Gubernur tidak dapat membatalkan perda kabupaten, karena Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan membatalkan perda merupakan kewenangan Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Desentralisasi dan Dekonsentrasi bukanlah penyerahan kewenangan sepenuhnya terhadap daerah yang dikepalai oleh Kepala Daerah/ Gubernur.

Pengawasan preventif dan represif terhadap perda hendaknya tetap dilakukan. Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum perda tersebut diberlakukan sehingga apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan perda dapat dicegah pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/ evaluasi sebelum perda ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi perda dapat dilakukan oleh Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum perda itu ditetapkan, hal ini akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah ditetapkan, baru diketahui kejanggalannya.

Pengawasan represif, dilakukan setelah perda ditetapkan/ diberlakukan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk mengetahui apakah perda tersebut efektif dan efisien untuk diberlakukan, apakah perda tersebut telah memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor lain untuk menguji keberlakuan perda tersebut, sehingga apabila perda tersebut tidak layak untuk diterapkan, dapat diajukan laporan untuk membatalkan perda tersebut.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana

Press, Jakarta.

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori- teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

(19)

I M. Dedy Priyanto. Kewenangan... 29 A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II,Rajawali Pers, Jakarta.

Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah,Alumni, Bandung.

H. Audi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah,PT. Bina Aksara, Jakarta.

Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara,UII Press, Yogyakarta.

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah,Sinar Grafika Jakarta,.

Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode,Karunika, Jakarta.

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum,Sinar Grafika, Jakarta.

Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat,Djambatan, Jakarta.

Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik,Mandar Maju, Bandung.

Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model- model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi,Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UND ANGAN

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk kelancaran proses audit mutu internal maka disusun Instrumen Audit Mutu Internal (AMI) Tahun 2013-2017 berdasarkan Standar Mutu Internal juga telah dengan

Untuk mengetahui kepercayaan-kepercayaan tradisional yang diyakini oleh masyarakat Pakpak Klasen yang berkaitan dengan budidaya dan pengolahan kemenyan?. 1.6

Mitra yang dilibatkan pada Ipteks bagi masyarakat (IbM) berdomisili di Kelurahan yang berbeda yakni Kelompok Sumber Jaya berdomisili di Kelurahan/desa Cempaka

Tujuan penelitian ini mengukur kemampuan tarif INA CBGs tindakan Hemodialisa pada program Kartu Jakarta Sehat dalam menutupi biaya riil yang dikeluarkan untuk tindakan

Penggunaan KBK dengan perlakuan amoniasi maupun tanpa amoniasi dalam ransum domba menghasilkan konsumsi bahan kering (BK) ransum yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok yang besar, maka birokrasi mula wujud dalam sistem pemerintahan kerajaan.. GFPA 1013 Pengantar Sains Politik.. 2.0 SEJARAH AWAL PENTADBIRAN DAN BIROKRASI

Sikap ke hati-hatian salah satu prinsip untuk memenuhi kelangsungan agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan atau seperti kecurangan, kekeliruan, maka di dalam

Pada fase ini diterapkan alat analisis dalam bentuk peta kendali MEWMA (Multivariate Exponential Weighted Moving Avarage) dan grafik berupa pareto chart dan diagram