• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian

Jakarta terletak pada lintang 106o22’42”

BT s.d. 106o58’18” BT dan 5o10’12” LS s.d.

6o23’54”LS. Berdasarkan Keputusan

Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 649.8 km2 Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5

wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47.9 km2, Jakarta Utara

dengan luas 142.2 km2, Jakarta Barat dengan

luas 126.2 km2, Jakarta Selatan dengan luas

145.7 km2, dan Kotamadya Jakarta Timur

dengan luas 187.7 km2 (Bappeda 2011).

Jakarta termasuk dalam wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0-30 m, Jakarta memiliki 4 stasiun iklim, diantaranya Tanjung Priuk dengan ketinggian 2 mdpl, Halim Perdanakusuma dengan ketinggian 30 mdpl, Kemayoran dengan ketinggian 5 mdpl, dan Soekarno-Hatta dengan ketinggian 8 mdpl.

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) Secara geografis, di sebelah utara

Jakarta membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa.

Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium (Suwargana 2005).

(2)

Gambar 6 Sebaran suhu udara (oC) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta

(Sumber : BMKG 2009) Jakarta merupakan wilayah beriklim

tropis, dengan suhu rata-rata 28-29 oC, dan

curah hujan per tahun 1303 mm (pada tahun 2009) seperti yang tercatat pada data iklim yang diplotkan Gambar 6 diatas, terlihat suhu udara di Jakarta tertinggi diwakili oleh bulan Agustus s.d. bulan Oktober, dan curah hujan tertinggi diwakili oleh bulan November hingga Januari.

Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar 2.4 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0.2 persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.1 persen per tahun (Bappeda 2011).

4.2 Pengolahan klasifikasi penutupan lahan pada LANDSAT

Penentuan nilai RTH menggunakan penginderaan jauh dilakukan analisis menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ menggunakan kanal 542 (RGB) true colour agar secara visualisasi terlihat jelas dan tajam perbedaan antara RTH, RTB, dan badan air. Diperoleh 6 jenis penutupan lahan dengan jenis yang berbeda pada setiap tipe penutupan lahan, dengan melihat tingkat kecerahan warnanya. Berdasarkan tingkat kecerahannya, terdapat diantaranya mempunyai jenis penutupan lahan yang sama, oleh karena itu diklasifikasi ulang kedalam tiga kelas diantaranya, RTH, lahan terbangun, dan badan air.

RTH itu sendiri mempunyai tingkat kecerahan warna hijau yang terdiri dari hijau tua, hijau muda, dan hijau muda sangat halus, meliputi berbagai jenis vegetasi diantaranya pertamanan kota, pertanian kota, lapangan olahraga (golf, sepak bola, pacuan kuda), pemakaman, kebun campuran perkampungan warga, dsb. Lahan terbangun diwakili oleh tingkat kecerahan warna merah tua, merah muda, dan violet, meliputi: pemukiman, gedung, industri, dsb. Serta badan air diwakili oleh tingkat kecerahan warna biru tua dan hitam meliputi: laut, danau, sungai, dan situ.

 

(a) (b)

Gambar 7 (a) GPS, (b) citra LANDSAT RGB

True color

Penentuan tipe penutupan lahan digunakan teknik pengklasifikasian secara terbimbing (supervised clasification) dengan terjun langsung ke lapang, untuk melakukan training area atau pengecekan lapang dengan menggunakan alat Global Positioning

system (GPS). Pengecekan lapang

menggunakan GPS dilakukan untuk mengetahui koordinat penutupan lahan yang

(3)

sebenarnya terhadap kondisi penutupan lahan yang akan dilakukan klasifikasi pada citra yang diinterpretasi. Adapun terjun lapang harus memperhatikan wilayah mana yang akan dilakukan kunjungan untuk pengecekan lapang. Wilayah yang dilakukan pengecekan lapang yaitu wilayah yang terlihat kontras perbedaannya dari tahun 1992 ke tahun-tahun berikutnya, dengan mengetahui perbedaannya tingkat rona kecerahan pada landsat, dan juga memastikannya menggunakan data historis dari penduduk setempat sudah dapat diketahui kondisi lapang yang sebenarnya pada tahun akuisisi tersebut.

Adapun wilayah yang dilakukan pengecekan yaitu wilayah yang mempunyai perubahan besar pada RTH, RTB, dan badan air. Untuk pemekaran RTB yaitu pada wilayah Jakarta timur, barat, dan selatan. Dimana pada wilayah Jakarta timur yaitu pada wilayah pondok kopi yang dahulu

merupakan kebun campuran perkampungan pada tahun 1990-1998, sekarang telah menjadi pemukiman padat dan akses jalan baru. Dan wilayah Jakarta selatan yaitu di tebet yang merupakan pemakaman dan kebun campuran namun telah didirikan gedung apartemen dan pemukiman lainnya, sedangkan untuk wilayah cibubur yang dahulunya merupakan perkampungan yang terdiri dari berbagai kebun campuran sekarang menjadi kawasan perumahan elit dan sentra pertokoan.

Untuk perubahan badan air dilakukan kunjungan ke wilayah utara yang mengalami perubahan besar, yaitu wilayah pantai indah kapuk dan pluit terjadinya pengurukan rawa dan air laut untuk pusat kawasan pemukiman elit dan sentra bisnis, sedangkan untuk wilayah yang masih terdapat badan air yaitu sunter dengan waduk dan danaunya.

Tabel 1 Koordinat pengecekan lapang

No S E Nama Tempat Keterangan

1 06o05'43.9" 106o43'04.5" Kamal Muara Pertambakan ikan

2 06o06'45.1" 106o45'12.7" PIK, Pluit Perubahan Badan air menjadi RTB (Pengurukan Rawa dan air laut menjadi

pemukiman)

3 06o10'22.0" 106o43'54.0" Waduk Sunter Badan air (waduk buatan untuk rekreasi

dan kawasan penyangga)

4 06o09'32.0" 106o45'41.5" Sunter Perubahan kebun campuran menjadi Jalan

tol dan pemukiman

5 06o10'41.8" 106o49'32.2" Silang Monas RTH (Taman kota, Hutan kota, JHJ)

6 06o12'13.8" 106o48'41.3" Taman Suropati Taman Kota

7 06o13'41.8" 106o50'12.2" Taman Menteng Taman Kota

8 06o14'36.8" 106o56'10.6" Tebet Perubahan pemakaman menjadi RTB

9 06o11'58.2" 106o55'37.8" Pondok Kopi Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman 10 06o11'42.2" 106o54'38.1" Penggilingan Perubahan kebun campuran menjadi

pemukiman 4.3 Nilai RTH dari Citra Satelit

LANDSAT TM/ETM+

Untuk menentukan nilai luasan RTH pada LANDSAT hal yang harus dilakukan yaitu pengklasifikasian penutupan lahan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya diperoleh tiga jenis tipe penutupan lahan diantaranya RTH, RTB, dan Badan air.

Berikut merupakan hasil klasifikasi dari

LANDSAT yang dibagi menjadi tiga jenis

penutupan lahan di DKI Jakarta, sebagai berikut,

Tabel 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan

LANDSAT DKI Jakarta (ha)

Tahun RTH Terbangun Lahan Badan air 1992 28002.4 36290.4 2046.7 1997 21283.3 43904.7 1151.9 1999 19735.2 45280.3 1324.4 2000 18191.3 46844.8 1303.8 2001 17462.8 47163.5 1713.6 2004 14905.5 49573.0 1861.4 2006 12778.3 51616.1 1945.5

(4)

Tabel 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan

LANDSAT DKI Jakarta (%)

Tahun RTH Terbangun Lahan Badan air

1992 42.2 54.7 3.1 1997 32.1 66.2 1.7 1999 29.7 68.3 2.0 2000 27.4 70.6 2.0 2001 26.3 71.1 2.6 2004 22.5 74.7 2.8 2006 19.3 77.8 2.9

Gambar 8 Dinamika tutupan lahan DKI Jakarta

Luasan wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari pengolahan LANDSAT yaitu sebesar 663.4 km2, hal ini sedikit berbeda dengan luasan wilayah sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, karena luasan cropping pada

LANDSAT sedikit lebih melebar, sehingga

luasannya terakumulasi.

Dari perolehan klasifikasi LANDSAT, nilai diatas menunjukkan, luasan RTH terus mengalami penurunan dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 28002.4 Ha menjadi 12778.3 Ha, Hal ini menjelaskan bahwa, wilayah Jakarta mengalami pengurangan RTH sebesar 15224.1 Ha atau sebesar 22.9 % dari luasan total wilayah Jakarta. Dan sebaliknya, luasan lahan terbangun semakin meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 36290.4 Ha menjadi 51616.1 Ha, yang berarti lahan terbangun mengalami peningkatan sebesar 15325.6 Ha atau sebesar 23.1% dari luasan total wilayah Jakarta.

(a) (b)

(c)

Gambar 9 Tiga jenis bentuk penutupan lahan di wilayah DKI Jakarta: (a) RTH (lokasi : Taman Suropati), (b) Lahan terbangun (lokasi : Kota Jakarta) (c) Badan air (lokasi: Waduk Sunter).

Perubahan yang terjadi di DKI Jakarta pada periode tahun 1992 s.d tahun 2006 diantaranya Urban atau penambahan RTB yang terjadi melalui pemekaran pemukiman yang semakin bertambah ke wilayah Jakarta

timur, Barat, dan Selatan, distribusinya terlihat pada Gambar 10 s.d gambar 16 terutama sekitar perbatasan Bekasi, Tanggerang dan Bogor. Untuk perubahan RTH terlihat perbedaan yang cukup

(5)

mencolok dari tahun 1992 ke tahun 1997 dst. Terlihat warna hijau masih cukup luas pada tahun 1992 namun sudah berkurang menjadi warna bekas RTH menjadi merah, hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama wilayah Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin sedikit. Untuk Badan air seperti danau, sungai, rawa yang merupakan daerah penyangga air nampak semakin kritis kondisinya, lingkungannya sudah tercemar, dan sungai yang melewati kota semakin kotor, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai akibat proses sedimentasi endapan lumpur akibat sampah/limbah, sedangkan untuk danau dan rawa semakin berkurang karena semakin bertambahnya bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman yang secara besar-besaran terjadi pada wilayah Jakarta utara yaitu daerah sunter, pulo mas, pluit dan pantai indah kapuk dimana rawa dan danau diuruk menjadi pemukiman. Dan pada tahun 2006, terdapatnya sedikit penambahan badan air dikarenakan dibangunnya beberapa banjir kanal dibeberapa wilayah.

Gambar 10 Klasifikasi lahan citra

LANDSAT TM/ETM+ Tahun

1992 DKI Jakarta.

Gambar 11 Klasifikasi lahan citra

LANDSAT TM/ETM+ Tahun

1997 DKI Jakarta.

Gambar 12 Klasifikasi lahan citra

LANDSAT TM/ETM+ Tahun

1999 DKI Jakarta.

Gambar 13 Klasifikasi lahan citra LANDSAT

TM/ETM+ Tahun 2000 DKI

Jakarta

Gambar 14 Klasifikasi lahan citra

LANDSAT TM/ETM+ Tahun

2001 DKI Jakarta.

Gambar 15 Klasifikasi lahan citra

LANDSAT TM/ETM+ Tahun

(6)

Gambar 16 Klasifikasi lahan citra LANDSAT

TM/ETM+ Tahun 2006 DKI

Jakarta.

Luasan RTH pada tahun 1992 sebesar 42.2 % (Tabel 3), hal ini menunjukkan wilayah DKI Jakarta pada tahun tersebut masih dinyatakan layak, karena Moll (1997) merekomendasikan bahwa suatu kota akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. Namun luasan RTH sebesar 42.2 % di Jakarta, tidak mewakili wilayah-wilayah lainnya di bagian kotamadya Jakarta. Hal ini dikarenakan pada umumya wilayah yang mengalami pembangunan pesat yaitu wilayah pusat, hampir di wilayah tersebut sangat sedikit luasan RTH, bahkan dari tahun 1992 wilayah Jakarta pusat sudah dipadati oleh pemukiman dan bangunan dibandingkan dengan wilayah jakarta lainnya.

Seperti yang tercatat pada Dinas Tata Ruang (2006), Luasan RTH yang paling sedikit yaitu terdapat pada wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, luasnya berturut-turut sebesar 5.6 % dan 3.0 % dari luasan total wilayah kotamadya tersebut, sedangkan untuk wilayah Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat masih memiliki luasan RTH yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jakarta Pusat dan Selatan, yaitu berturut-turut sebesar 12.0 %, 16.9 %, dan 13.4 %, seperti pada tabel berikut,

Tabel 4 Luasan wilayah DKI Jakarta tahun 2006 (%)

Wilayah RTH terbangun Lahan Badan air

Pusat 5.6 92.1 2.2

Selatan 3.0 95.3 1.6 Timur 12.0 85.9 2.0 Utara 16.9 76.6 6.3

Barat 13.4 84.5 1.9

(Sumber : Dinas Tata Ruang 2006)

Dinamika penutupan lahan Jakarta digambarkan pada Gambar 8, dimana grafik RTH semakin menunjukkan penurunan dan Grafik Lahan terbangun semakin menunjukkan peningkatan secara signifikan. Hal ini merupakan kebutuhan pembangunan suatu ibukota yang semakin meningkat setiap tahunnya untuk mengikuti tren perkembangan zaman. Suatu wilayah perkotaan menjadi wilayah yang semakin maju dan berkembang, disamping itu padatnya lahan dan area pemukiman disebabkan karena meningkatnya akan permintaan lahan bagi penduduk untuk menempati wilayah. Walaupun terdapat penambahan beberapa RTH di beberapa wilayah di Jakarta, tetapi penambahan tersebut tidak berpengaruh, hal ini dikarenakan, luasan penambahan lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan luasan penambahan RTH. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah dalam menata pembangunan tatakota yang lebih nyaman, yaitu dengan dibangunnya beberapa RTH pada suatu wilayah tertentu oleh Dinas tata ruang Jakarta seperti taman kota atau hutan kota, namun penambahan luasan RTH tersebut belum memenuhi syarat dan kriteria luasan kenyamanan suatu kota yang efektif yaitu pengadaan RTH sebesar 40 % dari luasan total suatu kota tersebut (Moll 1997). 4.4 Nilai Suhu Permukaan dari Citra

LANDSAT TM/ETM+

Penentuan suhu permukaan di wilayah Jakarta digunakan ekstraksi LANDSAT. Ekstraksi LANDSAT memberikan informasi yang relatif banyak dengan cakupan wilayah yang luas, karena LANDSAT dapat memberikan informasi per piksel pada setiap wilayahnya. Ekstraksi suhu pada

LANDSAT hanya dapat digunakan pada

kanal thermal yaitu kanal 6, suhu yang terbaca pada LANDSAT merupakan permukaan bagian terluar dari objek yang tertangkap oleh citra, sehingga setiap penutupan lahan dalam citra LANDSAT mempengaruhi nilai suhu permukaannya. Hal ini dikarenakan oleh sifat emisivitas dan konduktifitas termal pada suatu penutupan lahan.

Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, hal ini dikarenakan suhu permukaan suatu benda lebih tinggi dari suhu udara (Mannstein 1987). Suhu permukaan dalam citra digambarkan dalam

(7)

cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda.

Dalam menentukan nilai suhu permukaan yang terdapat pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan selang interval pada masing-masing histogramnya yang merupakan output dari suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah kajian, dimana suhu yang terdapat pada histogram menginterpretasikan nilai suhu permukaan yang tertinggi hingga terendah. Tabel 5 Interval suhu permukaan LANDSAT

pada histogram

Tahun Interval suhu permukaan

1992 21-42 oC 1997 19-37 oC 1999 25-40 oC 2000 21-36 oC 2001 22-32 oC 2004 17-33 oC 2006 19-37 oC

Gambar 17 Contoh Interval suhu permukaan pada histogram (gambar akuisisi : 18 Mei 2006).

Nilai suhu permukaan pada histogram merupakan nilai suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah Jakarta, dimana selang suhu permukaan pada histogram mewakili semua jenis penutupan lahan (RTH, RTB, Badan air) yang diwakili oleh tingkat kecerahan warna atau rona, selang tersebut menyatakan nilai suhu permukaan dari terendah hingga tertinggi dengan tingkat kecerahan warna atau rona dari biru hingga merah (Gambar 17), sehingga untuk nilai suhu permukaan yang rendah dengan gradasi warna biru tua hingga biru muda diwakili oleh badan air dan penutupan awan, dan

untuk nilai suhu permukaan tertinggi dengan gradasi warna kuning hingga merah diwakili oleh RTB.

Gambar 18 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 1992.

Gambar 19 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 1997.

Gambar 20 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 1999.

Gambar 21 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 2000.

(8)

Gambar 22 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 2001.

Gambar 23 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 2004.

Gambar 24 Sebaran suhu permukaan (oC) LANDSAT tahun 2006.

Dari gambar diatas menunjukkan, hasil suhu permukaan dari suhu tinggi ke rendah yaitu terdapat pada gradasi warna dari biru, hijau, kuning, dan merah. Warna merah secara umum mempresentasikan lahan terbangun dengan suhu yang sangat tinggi yaitu kisaran 29oC-42oC, sedangkan untuk

RTH yaitu kisaran 27oC-30oC, dan untuk

badan air yaitu berkisar 17-26oC.

Penentuan nilai suhu permukaan RTH, RTB, dan badan air pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan suhu permukaan penutupan lahan tersebut pada setiap piksel dengan mengklik pada area penutupan lahan tersebut, lalu dirata-ratakan per pikselnya.

Tabel 6 Sebaran suhu (oC) permukaan

pada penutupan lahan di Jakarta dari LANDSAT.

Tahun RTH terbangun Lahan Badan air 1992 27.0 29.0 25.0 1997 27.5 30.0 25.0 1999 27.0 32.0 24.0 2000 28.5 31.0 24.5 2001 28.0 30.0 24.0 2004 30.0 33.0 26.5 2006 30.5 32.5 26.0

Gambar 25 Sebaran suhu permukaan (oC)

pada setiap penutupan lahan. Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH mempunyai kapasitas panas yang lebih besar dibandingkan dengan RTB, sedangkan untuk badan air, mempunyai kapasitas panas terbesar karena terjadi penyerapan kalornya tinggi dan pelepasannya secara lambat melalui evaporasi sehingga suhu permukaan pada badan air yang tertangkap oleh citra nilainya sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya.

Sifat emisivitas suatu objek sangat berpengaruh terhadap suhu permukaannya, emissivitas merupakan kemampuan benda untuk menyerap radiasi dimana untuk setiap permukaan nilai emissivitas berbeda-beda, bergantung dari kemampuan benda tersebut menyerap radiasi matahari. Suatu obyek dipermukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat, dan sebaliknya. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand dan Kiefer 1997).

Untuk RTH memiliki emisivitas 0.95, sedangkan untuk RTB 0.92, hal ini menunjukkan RTH mempunyai nilai emissivitas yang lebih besar dibandingkan

(9)

dengan RTB, sehingga RTH mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menyerap radiasi surya dibandingkan dengan RTB, oleh karenanya, RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan RTB. Sedangkan untuk badan air, nilai emisivitasnya terbesar dibandingkan dengan RTH dan RTB sehingga suhu permukaan badan air dinilai sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya.

4.5 Hubungan Suhu Permukaan (oC) dengan RTH (%)

Dengan memperoleh hasil keluaran berupa nilai RTH dengan suhu permukaan dari pengolahan LANDSAT tahun 1992 s.d 2006 secara sekaligus, dapat diketahui hubungan antara nilai RTH dan suhu permukaan dengan mengkorelasikan nilainya, nilai RTH yang digunakan untuk dikorelasikan dengan suhu permukaan yaitu luasan RTH pada masing-masing akuisisi yang dihasilkan dalam persen (%).

Tabel 7 Luasan RTH (%) pada LANDSAT Tahun RTH 1992 42.2 1997 32.1 1999 29.7 2000 27.4 2001 26.3 2004 22.5 2006 19.3 Suhu permukaan yang digunakan untuk dikorelasikan dengan RTH merupakan suhu permukaan yang di rata-ratakan per piksel dari satu titik stasiun, dilakukan penitikan pada radius stasiun tertentu dengan tujuan untuk mewakili sebaran suhu di wilayah seluruh Jakarta, yaitu stasiun Soekarno-hatta yang diwakili pada radius point A, stasiun Tj. Priuk diwakili oleh point B, stasiun Kemayoran diwakili oleh point C, dan Halim Perdanakusuma diwakili oleh point D. Dalam satu penitikan menghasilkan sembilan nilai suhu permukaan sehingga dirata-ratakan itu merupakan hasil dari nilai suhu permukaan pada stasiun tersebut,

Gambar 26 Penentuan suhu permukaan di empat titik (gambar akuisisi : 21 Juni 2004).

Tabel 8 Nilai suhu permukaan (oC) LANDSAT pada masing-masing

stasiun.

Tahun Kema-yoran Priuk Halim PK SukarnoHatta

1992 28.1 29.0 28.0 27.0 1997 29.5 28.5 27.5 28.5 1999 33.0 28.5 31.0 30.0 2000 33.5 30.5 29.5 29.0 2001 30.0 29.5 28.0 29.5 2004 29.0 31.5 31.5 31.0 2006 30.5 30.0 30.0 30.0 Dengan merata-ratakan nilai suhu permukaan pada masing-masing stasiun pada tabel diatas (Tabel 8), diperoleh nilai rataan per akuisisi untuk dikorelasikan dengan luasan RTH (%) yang terdapat pada tabel 9 berikut,

Tabel 9 Nilai suhu permukaan dan RTH Tahun Ts (oC) RTH (%) 1992 28.0 42.2 1997 28.5 32.1 1999 30.6 29.7 2000 30.6 27.4 2001 29.3 26.3 2004 30.8 22.5 2006 30.1 19.3

(10)

Gambar 27 Korelasi hubungan suhu permukaan (oC) dengan RTH

(%)

Terlihat pada Gambar 27 grafik hubungan antara RTH dan suhu permukaan apabila nilai RTH rendah maka suhu permukaan tinggi dan sebaliknya, sehingga untuk mendapatkan nilai suhu permukaan yang rendah, diperlukan luasan RTH yang besar. Suhu permukaan sangat bergantung terhadap jenis penutupan lahannya, RTH mempunyai suhu permukaan yang rendah dibandingkan dengan RTB, sehingga untuk menurunkan suhu permukaan suatu wilayah perlu dilakukan penambahan luasan RTH.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Luasan RTH dari tahun 1992 s.d 2006 mengalami penurunan sebesar 20.9 %. Penurunan ini dibarengi dengan peningkatan lahan terbangun (RTB).

Suhu permukaan dari ekstraksi

LANDSAT, tertinggi diinterpretasikan

dengan RTB, kemudian RTH dan suhu permukaan terendah diwakili oleh badan air. Peningkatan (RTB), menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahannya.

Hubungan RTH dengan suhu permukaan diantaranya apabila untuk mencapai suhu permukaan yang rendah maka diperlukan luasan RTH (%) yang lebih besar.

5.2 Saran

Dalam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengecekan lapang menggunakan koordinat bumi yang lebih banyak guna mengetahui kondisi lapang yang sebenarnya, dan penggunaan analisis suhu permukaan lebih ditekankan, serta sebaiknya menggunakan data citra satelit lain guna

mendapat tahun yang lebih terbaru, karena data citra satelit LANDSAT yang terbaru mempunyai kerusakan pada sensornya. Upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan tata ruang kota Jakarta, serta penambahan luasan RTH sesuai dengan syarat keefektifan suatu kota guna menambah kenyamanan dan menjaga unsur komponen iklim disekitarnya.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, B. W. 2003. Numerical Modelling

Of Urban Heat Island Intensity. Boundary-Layer Meteorology 109

(3): 285-310.

Bappeda. 2011. DKI Jakarta. [Terhubung berkala : Jakarta.go.id] (30 Juli 2011).

Dinas Tata Ruang. 2006. Tematik DKI

Jakarta. Jakarta : Dinas Tata

Ruang.

Effendy, S. 2007. Keterkaitan Ruang

Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK.

[Disertasi] Program Pascasarjana-IPB. Bogor.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya: Jakarta.

Irwan, Z. D. 1994. Peranan Bentuk Dan

Struktur Hutan Kota Terhadap Kualitas Lingkungan Kota: Studi Kasus Lokasi Pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi] Program

Pascasarjana-IPB. Bogor.

Lab. Perencanaan Lanskap (LPL). 2005.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. (Makalah

Lokakarya “PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN” Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum). Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB.

Lillesand, TM dan Kiefer, RW. 1997.

Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh [Terjemahan] UGM Press.

Gambar

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta  (Sumber : Jakarta.go.id)  Secara geografis, di sebelah utara
Gambar 6 Sebaran suhu udara ( o C) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta  (Sumber : BMKG 2009)
Tabel 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan  LANDSAT DKI Jakarta (ha)
Tabel 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan  LANDSAT DKI Jakarta (%)  Tahun RTH  Lahan  Terbangun  Badan air  1992 42.2  54.7  3.1  1997 32.1  66.2  1.7  1999 29.7  68.3  2.0  2000 27.4  70.6  2.0  2001 26.3  71.1  2.6  2004 22.5  74.7  2.8  2006 19.3  77.8
+5

Referensi

Dokumen terkait