• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah dan Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan di Kabupaten Subang

Untuk lebih memperjelas gambaran umum dan kebutuhan-kebutuhan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, berikut ini diketengahkan hasil analisis data berdasarkan jawaban responden masyarakat pelaku USP, bukan pelaku USP, dan responden dinas dan intansi termasuk pembahasannya.

5.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah

Dari analisis data atau uji hubungan secara statistik dapat diketahui sejumlah faktor yang berhubungan dengan “minat masyarakat menjadi pelaku USP” dan “perkembangan atau kemajuan USP” dalam kontekstual pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Untuk keperluan uji hubungan dengan “minat menjadi pelaku USP” digunakan data dari jawaban responden masyarakat bukan pelaku USP; sedangkan untuk keperluan uji hubungan dengan “perkembangan atau kemajuan USP” digunakan data dari jawaban responden masyarakat pelaku USP. Hasil analisis dan pembahasan ini diperlukan untuk memperkaya bahan-bahan masukan pengambilan keputusan dalam rangka perumusan disain kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yang tepat.

5.1.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Minat Menjadi Pelaku Usaha Sapi Perah”

Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan signifikan secara statistik (dalam Alpha 0,05) dengan “minat menjadi pelaku USP” yaitu ketersediaan lahan (p-Value: 0,000); status pekerjaan (p-Value: 0,000); terganggu bau limbah (p-Value: 0,000). Sementara faktor yang berhubungan tidak signifikan secara statistik (dalam Alpha 0,05) dengan “minat menjadi pelaku USP” yaitu pengetahuan tentang USP (p-Value: 0,146) dan tingkat pendidikan formal (p-Value: 0,186). Adapun keterampilan responden dan permodalan USP tidak dapat diuji secara statistik karena semua responden menyatakan tidak terampil mengelola USP dan tidak memiliki dana atau modal untuk berusaha sapi perah.

(2)

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: (1) ada perbedaan antara responden masyarakat yang merasa memiliki ketersediaan lahan untuk USP dengan masyarakat yang merasa tidak memiliki ketersediaan lahan terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang merasa memiliki lahan adalah lebih besar dibandingkan dengan responden masyarakat yang merasa tidak memiliki lahan; (2) ada perbedaan antara responden masyarakat kategori “sibuk bekerja” dengan responden masyarakat kategori “tidak sibuk bekerja” terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang “sibuk bekerja” adalah lebih kecil dibandingkan dengan responden masyarakat yang “tidak sibuk bekerja”; (3) ada perbedaan antara responden masyarakat yang terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya dengan responden masyarakat yang tidak merasa terganggu terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Ada kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya adalah lebih kecil dari responden masyarakat yang selama ini tidak merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya.

Mengenai faktor pengetahuan USP dan tingkat pendidikan formal responden, walaupun secara statistik tidak tampak berhubungan signifikan (dalam Alpha 0,05) dengan “minat menjadi pelaku USP” namun secara empiris dalam kenyataan sehari-hari kedua faktor ini penting dan mutlak ditingkatkan terus menerus.

Kondisi pengetahuan masyarakat tentang USP yang belum optimal, tergambar dari proporsi responden non peternak yang memiliki pengetahuan “cukup memadai” tentang USP baru mencapai 20%, menunjukkan perlunya pemerintah dan stakeholder lain mengintensifkan berbagai upaya, di antaranya ialah upaya peningkatan jumlah dan mutu penyuluhan tentang USP kepada masyarakat. Penyuluhan tersebut dilakukan berdasarkan rencana yang baik, disusun secara terpadu dalam kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dalam rencana itu ditetapkan jadwal, kegiatan, tujuan, pelaksana, metode, alat peraga, indikator keberhasilan, sistem evaluasi, dan hal lain yang diperlukan. Penjadwalan penyuluhan hendaknya diatur sedemikian

(3)

rupa sehingga benar-benar sesuai dengan situasi dan kesempatan atau kesiapan hadir masyarakat. Dengan penyuluhan yang memadai diharapkan pengetahuan masyarakat tentang USP semakin berkembang baik dan jumlah masyarakat yang berminat dan ikut serta sebagai pelaku USP semakin bertambah. Demikian pula halnya dengan tingkat pendidikan formal masyarakat yang masih rendah, tergambar dari proporsi responden masyarakat menurut pendidikan sebagian besar (68,3%) hanya tamat SD, menunjukkan perlunya pemerintah dan stakeholder mencari jalan penyelesaian dengan cara baik sehingga tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap lambatnya daya analisis mereka tentang arti dan pentingnya menjadi pelaku USP. Suprapto et al. (1999) bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun beternak.

Belum optimalnya proporsi masyarakat yang berminat ikut serta menjadi pelaku USP, yang tergambar dari proporsi “responden masyarakat bukan peternak” yang belum berminat menjadi pelaku USP sebesar 27,39%, hal ini menunjukkan perlunya pemerintah membangun suasana atau kondisi USP yang menggairahkan dan merangsang masyarakat hingga berminat dan ikut serta mengembangkan USP di daerahnya. Adapun kondisi atau suasana yang belum atau kurang menggairahkan masyarakat selama ini, yang perlu diperbaiki oleh pemerintah bersama stakeholder lain, menurut responden ialah: (1) dukungan kemudahan dan keringanan bunga kredit permodalan dari perbankan, (2) penataan ruang dan prasarana wilayah, (3) pengusahaan lahan untuk tanaman pakan ternak, (4) dukungan penyerapan dan pemasaran hasil produksi USP, khususnya biogas dan pupuk organik hasil olahan dari limbah sapi dengan harga jual yang dapat memberi keuntungan yang wajar, (5) dukungan penyuluhan dan bimbingan teknis USP, serta (6) dukungan jaminan keamanan lingkungan USP. Gambaran seperti ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baga (2001) bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat.

(4)

5.1.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Perkembangan atau Kemajuan Usaha Sapi Perah”

Dari analisis jawaban responden masyarakat peternak diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan secara statistik (dalam Alpha 0,05) dengan “perkembangan atau kemajuan USP” yaitu (1) intensitas keikutsertaan peternak atau pelaku USP dalam penyuluhan dan bimbingan teknis USP (p-Value: 0,001); (2) pengetahuan peternak tentang USP (p-Value: 0,000); (3) praktek atau perilaku peternak dalam mengelola USP (p-Value: 0,000); (4) lamanya USP berjalan (p-Value: 0,001); (5) alokasi waktu pengurusan USP per hari (p-Value: 0,000). Sementara itu faktor yang berhubungan tidak signifikan secara statistik (dalam Alpha 0,05) dengan “perkembangan atau kemajuan USP” yaitu modal USP (kredit bank atau modal sendiri). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Cheng’ole et al. (2003) di Kenya, bahwa akses terhadap fasilitas kredit tidak mempengaruhi produktivitas. Adapun faktor pembibitan sapi dan prasarana wilayah penunjang USP tidak dapat diuji secara statistik karena semua responden menggunakan cara pembibitan sapi dengan inseminasi buatan, dan berada dalam kondisi prasarana wilayah yang sama.

Dari hasil analisis selanjutnya dapat dikemukakan bahwa:

(1) Proporsi pelaku USP yang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis ”lebih dari 6 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”, sedangkan proporsi pelaku USP ikut penyuluhan dan bimbingan teknis ”1 sampai 5 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP dengan responden pelaku USP yang jarang ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP adalah lebih baik dibandingkan dengan responden yang jarang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis USP. Informasi ini penting sebagai bahan masukan perencanaan agar semua pelaku USP memperoleh penyuluhan dan bimbingan teknis lebih intensif dan proporsional dari petugas pemerintah

(5)

atau stakeholder lainnya. Penyelesaian dari pemerintah terhadap masalah ini akan dapat memperlancar peningkatan kinerja USP pada masa depan dan pada gilirannya akan memberi dampak positif bagi masyarakat umum; hal ini sejalan dengan pendapat Reddy et al. (2002) dan Sudono (2000) tentang pentingnya peningkatan pengetahuan para peternak sapi perah. Demikian pula peningkatan pendidikan pelaku USP perlu terus dilanjutkan karena dengan kondisi pendidikan yang rendah akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan USP. Tingkat pendidikan pelaku USP sapi perah yang rendah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan juga rendahnya daya serap peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru (Siregar 1993; Suprapto et al. 1999).

(2) Proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”; sedangkan proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “kurang” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” dengan responden pelaku USP yang berpengetahuan “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” adalah lebih baik dibandingkan dengan responden pelaku USP yang berpengetahuan “kurang”; bahwa semakin tinggi pengetahuan pelaku tentang USP maka semakin besar peluang USP mereka berkembang atau maju. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Reddy et al. (2005) di India bahwa mayoritas peternak sapi perah suku asli memiliki tingkat pengetahuan praktek peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya pengetahuan pelaku USP besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya perkembangan atau kemajuan USP yang dikelolanya. Informasi ini menunjukkan bahwa pembinaan pengetahuan pelaku USP perlu senantiasa digiatkan secara optimal hingga berdampak positif terhadap kemajuan USP. Notoatmodjo (1993) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia terhadap obyek di luarnya melalui indera-indera yang dimilikinya (pendengaran, penglihatan, penciuman, dan sebagainya). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru,

(6)

ia harus “tahu” terlebih dahulu arti dan manfaat perilaku baru tersebut bagi diri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pelaku USP di antaranya tentang: (1) cara meningkatkan produksi susu sapi di daerahnya; (2) manfaat USP; (3) modal pengembangan USP; (4) dampak positif bagi anak yang cukup asupan susu sapi; (5) dampak negatif jika anak kekurangan asupan susu sapi; (6) dampak negatif dari limbah sapi perah dibiarkan sembarangan; (7) dampak negatif jika jarak kandang sapi dengan rumah hunian atau sumber air bersih terlalu dekat (<10 meter); (8) cara mengelola limbah sapi berwawasan lingkungan; (9) pemanfaatan limbah sapi untuk menambah pendapatan keluarga; (10) peran Pemerintah dalam pengembangan USP; (11) peran perbankan dalam pengembangan USP; (12) tanda-tanda sapi sehat; (13) tanda-tanda sapi sakit; (14) penyebab sapi sakit; (15) jenis-jenis penyakit sapi; (16) gejala penyakit anthrax dan cara pencegahannya; (17) cara pencegahan agar sapi terhindar dari penyakit; (18) penerapan USP berwawasan lingkungan; (19) alasan vaksinasi sapi; (20) jumlah pemberian vaksinasi selama kebuntingan sapi; (21) alasan pemberian vitamin kepada sapi; (22) jumlah pemberian vitamin kepada sapi; (23) alasan bahwa sapi harus bebas dari kecacingan; (24) jumlah pemberian obat anti kecacingan kepada sapi; (25) syarat kandang sapi yang baik: konstruksi (bahan, ukuran, atap, dinding, lantai, selokan); lokasi (jarak minimal dari rumah hunian dan sumber air minum); kebersihan, cahaya, kelembaban dan suhu udara; keamanan (dari pencurian, kebakaran, longsor dan sebagainya); ketersediaan air bersih; (26) tanda-tanda susu sapi yang bermutu baik; (27) manfaat limbah sapi perah; (28) inseminasi buatan dan pemeriksaan kesehatan sapi selama bunting; (29) akibat jika sapi tidak diperiksa kesehatannya secara rutin; (30) syarat pakan sapi perah yang baik; (31) cara meningkatkan produksi susu sapi; (32) alasan bahwa pemerah susu harus sehat; (33) tanda-tanda susu sapi yang rusak; (34) kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar kandang sapi; (35) cara pengolahan limbah sapi menjadi biogas dan pupuk organik.

(7)

masih kurang tepat atau kurang lengkap, di antaranya yaitu jawaban tentang: (1) syarat-syarat kandang sapi perah yang baik; (2) cara mengelola limbah sapi secara berwawasan lingkungan; dan (3) penerapan USP berwawasan lingkungan. Proporsi responden atas jawaban syarat kandang sapi yang baik, adalah 47,82% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 5,21% responden pelaku USP “cukup berkembang”; dan 42,61% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Proporsi responden atas jawaban pengelolaan limbah berwawasan lingkungan adalah 46,96% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 5,22% responden pelaku USP “cukup berkembang”; dan 41,74% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Proporsi responden, atas jawaban penerapan USP berwawasan lingkungan adalah 98,26% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 42,60% responden pelaku USP “cukup berkembang; dan 55,66% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Walaupun jawaban mereka belum seluruhnya memuaskan namun beberapa jawaban di antaranya dinilai baik; sebagai contoh pengetahuan tentang pengolahan biogas; pada umumnya pelaku USP dapat menjelaskan atau memahami secara umum tentang limbah sapi dan biogas.

(3) Proporsi pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang” sedangkan proporsi pelaku USP dengan praktek kategori “kurang” tampak dominan dalam USP “kurang berkembang”. Tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” dengan responden pelaku USP dengan praktek kategori “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” adalah lebih baik dibandingkan dengan responden pelaku USP dengan kategori “kurang”. (4) Proporsi USP yang telah berjalan “lebih dari 3 tahun” tampak dominan

dalam USP kategori “cukup berkembang” sedangkan proporsi USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Ada perbedaan antara USP telah berjalan “lebih dari

(8)

3 tahun” dengan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” yang telah berjalan “lebih dari 3 tahun” adalah lebih baik dibandingkan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun; bahwa semakin lama USP berjalan semakin besar peluangnya berkembang atau maju. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Reddy et al. 2005 bahwa peternak sapi perah yang lebih berpengalaman, berpikir cenderung inovatif, berkeinginan lebih beruntung untuk lebih mengadopsi inovasi teknologi. (5) Proporsi waktu pengurusan rata-rata “3 jam per ekor sapi per hari” tampak

dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”. Waktu 3 jam per ekor sapi per hari ialah hasil penghitungan rata-rata dari jumlah piaraan 3 sampai 4 ekor sapi yaitu: memberi pakan 3 kali 5 menit, memandikan sapi 2 kali 10 menit, membersihkan kandang 2 kali 10 menit, memerah sapi dan penyetoran susu 2 kali 35 menit, cari pakan hijauan 1 kali 60 sampai 80 menit (hasil dari pembagian 240 menit kepada 3 atau 4 ekor sapi). Waktu mencari pakan hijau diperhitungkan selama 4 jam per kali operasi berdasarkan jarak dan lokasi tanaman pakan.

Mengenai sumber modal USP, walaupun secara statistik (dalam Alpha 0,05) berhubungan tidak signifikan dengan “perkembangan atau kemajuan USP” namun secara empiris dalam kenyataan faktor ini penting diperhatikan. Selama ini sumber modal pelaku USP di Kabupaten Subang sebagian besar (60%) dari bank dan sebagian kecil (40%) dari modal sendiri. Kondisi ini perlu ditindaklanjuti dan dikendalikan oleh pemerintah beserta stakeholder lainnya agar persentase bantuan permodalan dari perbankan semakin lama semakin kecil dan persentase permodalan dari masyarakat semakin lama semakin besar.

Faktor pembibitan sapi perah merupakan hal yang penting dan turut menentukan kualitas atau perkembangan USP. Dalam hal pembibitan sapi perah, seluruh responden telah menerapkan inseminasi buatan dengan bantuan teknis petugas peternakan setempat. Sebagian besar responden mampu menjelaskan tujuan dan waktu pelaksanaan inseminasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bardhan et al. 2005 di India bahwa para peternak menyadari pentingnya inseminasi buatan. Pemahaman mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan

(9)

prinsip-prinsip atau hakekat inseminasi buatan yaitu harus mampu menghasilkan selang beranak yang tidak kurang dan tidak lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal yakni sekitar 10 bulan (Cheng’ole et al. 2003; Barret dan Larkin 1974, diacu dalam Sugiarti et al. 1998). Panjang laktasi yang melampaui 10 bulan akan menjadi tidak ekonomis karena nilai dari pertambahan produksi susu tidak seimbang dengan biaya produksinya. Deteksi birahi yang tepat dan akurat dan inseminasi yang tepat waktu yakni sekitar 9 sampai 24 jam setelah tanda birahi terlihat. Dengan demikian perlu diusahakan agar mengawinkan sapi tepat waktu sehingga 85 hari setelah beranak bunting lagi. Dengan pengetahuan dan aplikasi yang memadai maka langsung atau tidak langsung akan berdampak positif bagi perkembangan atau kemajuan USP.

5.1.2 Pendapat Responden Dinas dan Instansi dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang

Dari hasil analisis jawaban responden dinas dan instansi diperoleh gambaran umum pendapat dan kebutuhan pengembangan usaha skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang. Informasi ini penting dan diperlukan sebagai bahan masukan dalam rangka perumusan model kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Adapun gambaran jawaban responden yang perlu dianalisis diuraikan berikut ini.

(1) Sebagian besar responden (43,7%) berpendapat bahwa perkembangan jumlah dan kualitas USP di Kabupaten Subang hingga saat ini belum optimal atau belum sampai pada taraf yang diharapkan. Pendapat tersebut didasarkan pada kenyataan keadaan dan masalah yang dihadapi pada saat ini yaitu mengenai: jumlah USP dan populasi sapi perah, ketersediaan pakan sapi, produksi susu sapi, kesehatan lingkungan USP, dan pengelolaan limbah sapi dan lainnya. (a) Jumlah USP dan populasi sapi perah

Pada awal tahun 2011 jumlah USP adalah 212 unit dengan populasi sapi perah 883 ekor atau rata-rata 4-5 ekor per USP. Dalam keadaan jumlah seperti ini para pelaku USP sulit mencapai tindakan efisiensi; dalam arti jumlah pendapatan penjualan susu tidak mampu menanggung beban biaya sapi perah total (laktasi dan non laktasi) per tahun. Siregar (1994)

(10)

mengemukakan bahwa USP baru akan mencapai tingkat efisien dan ekonomis apabila jumlah sapi perah induk yang dipelihara 8 ekor dengan proporsi laktasi rata-rata 70-80% dan kemampuan berproduksi susu lebih dari 8,2 liter per ekor per hari.

(b) Pakan sapi

Pengelolaan pakan sapi, baik pakan hijauan maupun konsentrat, di sebagian besar USP masih belum optimal. Sumber pakan hijauan sebagian besar responden selama ini belum tetap, tetapi berpindah-pindah di areal perkebunan dan hutan sekitar kampung (bukan milik peternak); sumber pakan konsentrat adalah beli eceran dari KPSBU.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden dapat dikemukakan bahwa jumlah pemberian pakan per sapi per hari rata-rata masih belum sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good Breeding Practice) yaitu pemberian pakan hijauan per hari sebanyak 10% dari berat badan dan pemberian konsentrat sebanyak 1,5 – 3% dari berat badan. Menurut Basri et al. (2008) pada umumnya pakan berupa hijau diberikan sebesar 60% dari berat kering dan 40% konsentrat. Apabila berat sapi 450 kg, maka pakan yang diberikan rumput alam 21 kg, rumput gajah (pennisetum purpureum) 7,5 kg dan konsentrat 6 kg.

Kurangnya ketersediaan pakan hijauan ini pada dasarnya terkait dengan sistem pengelolaan lahan tanaman pakan yang belum optimal, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Pakan hijauan selama ini diperoleh pelaku USP dari hasil pengaritan sendiri secara acak di ladang atau perkebunan sekitar permukiman penduduk yang jaraknya rata-rata 3 hingga 4 km dari USP. Kondisi ini menyita waktu yang tidak sedikit dan menghambat kelancaran pelaksanaan tugas-tugas lain berkaitan dengan USP. Kondisi ini hampir sama dengan gambaran yang dikemukakan oleh Sobahi et al. (2008) bahwa jauhnya lokasi hijauan pakan ternak (HPT) dari kandang membutuhkan biaya transportasi yang mahal dan korbanan waktu yang tinggi yang harus ditanggung mereka.

(11)

Pengaruh langsung adalah penanganan ternak di kandang oleh petani menjadi terbengkalai, seperti waktu birahi tidak terdeteksi, kurang terjaganya kebersihan kandang dan sapi serta program replacement stock (sapi pengganti) tidak tertangani dengan baik. Selain itu Sobahi et al. (2008) mengemukakan pula lahan yang dimiliki peternak hanya untuk rumah tinggal dan kandang sapi kapasitas 2 ekor; hal ini menjadi penyebab utama peternakan sapi perah tersebar dan sulit untuk dilakukan pembinaan. Sobahi et al. (2008) berpendapat bahwa peternakan harus berada di satu hamparan dengan formula “100 hektar lahan - 100 peternak - 1.000 ekor sapi - menghasilkan 10.000 liter susu per hari”; artinya lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi pakan satu ekor sapi paling sedikit 1.000 m2. Peternak yang menanam pakan di lahan sendiri masih terbatas, bervariasi, dan belum memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan seharusnya. Sutarno (2008) menyatakan bahwa satu ekor induk atau satu satuan ternak membutuhkan 833,33 sampai 1.000 m2 (Sutarno 2003, diacu dalam Nurtini et al. 2008). Kebutuhan per ekor sapi per hari yaitu 10% berat badan sapi (Permentan No. 55/Permentan/ OT.140/ 10/2006, Martindah 2006). Dalam rangka penyelesaian masalah kekurangan tumbuhan hijau pakan sapi tersebut pihak Pemerintah Kabupaten Subang dan Perum Perhutani serta KPSBU setempat bekerjasama dengan masyarakat tani telah menanam rumput pakan sapi di lahan khusus sekitar hutan di perbatasan kabupaten. Program ini belum dapat mendukung USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater karena lokasi penanaman relatif jauh dan untuk menjangkaunya perlu biaya angkutan yang relatif besar dan tidak terjangkau oleh para pelaku USP. Karena itu perlu dikembangkan penelitian untuk menemukan alternatif strategi penanaman tumbuhan pakan lainnya yang hasilnya terjangkau oleh pengelola USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater.

Selain pakan hijauan, juga pemberian pakan konsentrat masih belum optimal, dalam arti belum sepenuhnya sesuai dengan dosis yang ditentukan. Hal ini berkaitan dengan harga konsentrat yang relatif belum terjangkau oleh sebagian besar pelaku USP. Biaya pengadaan pakan

(12)

konsentrat per sapi yang dikeluarkan pelaku USP selama ini paling tidak sebesar Rp. 5.100,-- per hari; atau rata-rata Rp.12,89,--per kilogram sapi. Berdasarkan perkiraan berat sapi rata-rata 395 kilogram per ekor maka pengeluaran biaya untuk konsentrat per bulan adalah Rp. 153.000,--. Jumlah pemberian asupan konsentrat ini dapat saja menaik atau menurun; tergantung pada harga konsentrat atau kemampuan daya beli para pelaku USP. Dari data ini diperoleh gambaran bahwa proporsi biaya konsentrat dalam USP relatif besar atau hampir separuh dari seluruh biaya produksi; sejalan dengan hasil penelitian Daryono et al. (1989) di Jawa Barat bahwa biaya konsentrat adalah 54,56% dari seluruh biaya produksi (Daryono et al. 1989, diacu dalam Siregar 2008). Akibat harga konsentrat mahal maka jumlah dan jenis yang dibeli sebagian besar peternak di bawah standar kebutuhan mereka untuk meningkatkan kesehatan dan produksi susu per hari relatif banyak.

(c) Produksi susu sapi

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lokasi USP diperoleh data dan informasi bahwa jumlah produksi susu rata-rata per ekor sapi laktasi per hari adalah 9 liter; padahal ukuran produksi nasional optimal yaitu sebesar 15 sampai 20 liter per ekor per hari (Martindah 2006). Menurut Sembiring (2008), produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari; bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari. Hal senada dikemukakan Sudono (2000) bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia umumnya berkisar antara 10 dan 11 liter per ekor per hari, sedangkan di Amerika sudah lebih dari 18 sampai 21 liter per hari.

Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat (Baqa 2003). Menurut pendapat Basri et al. (2008) rendahnya produksi susu dipengaruhi oleh (a) faktor kurangnya

(13)

ketersediaan pakan konsentrat sehingga pakan sapi perah hanya terdiri dari pakan hijauan dari rumput; (b) faktor sikap dan perilaku peternak yang belum mengarah pada good farming practice, dan (c) faktor tanggung jawab peternak terhadap USP belum optimal. Hal yang sama dikemukakan oleh Hanifah (2008) bahwa produksi susu rendah disebabkan oleh pakan yang berkualitas serta kuantitas yang tidak berimbang dalam pemberiannya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Baga (2003) bahwa produksi susu berjalan lambat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu, (2) masih rendahnya skala usaha kepemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2 sampai 4 ekor, (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang terrendah, (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah, (5) kesulitan bahan pakan ternak berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijau di Jawa sudah semakin sempit, (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat, (7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan, (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.

Sehubungan dengan pentingnya peningkatan produksi susu sapi, maka pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan tentang program bantuan penyediaan pakan sapi perah yang berkualitas. Pakan sapi perah yang terpenuhi sesuai standar dan terjangkau oleh pelaku USP akan meningkatkan produksi susu ke arah yang diharapkan. Kondisi yang baik tersebut akan mendukung percepatan peningkatan pendapatan pelaku USP dan keluarganya dan pada gilirannya akan memberi dampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan penduduk secara keseluruhan. (d) Kesehatan lingkungan USP

(14)

di lokasi USP dapat dikemukakan bahwa kondisi kesehatan lingkungan USP pada umumnya belum optimal. Sebagian besar (92,2%) lokasi kandang sapi berada < 5 meter dari rumah hunian; bahkan beberapa di antaranya menempel di dinding rumah pemilik. Alasan mereka menempatkan kandang dekat dengan rumah ialah untuk keamanan dan kemudahan pengurusan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hall et al. (2004) bahwa para peternak sapi Thailand Tengah memiliki dorongan mengadopsi program manajemen kesehatan kawanan ternak untuk mencegah inefisiensi sosial.

Syarat penempatan kandang sapi perah menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good Breeding Practice) ialah tidak menganggu lingkungan hidup, memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi, dan drainase atau saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan. Begitu pula menurut Anonymous (2008) bahwa jarak kandang dengan rumah hunian seharusnya lebih dari 10 meter (Anonimous 2008, diacu dalam Basri et al. 2008). Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan masyarakat dan sapi. Penempatan kandang seperti ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Harlia (2008) di Pangalengan bahwa rata-rata jarak kandang dengan rumah adalah 3,2 meter dengan variasi 2 sampai 7 meter. Selain lokasi yang tidak memenuhi syarat, juga keadaan kebersihan dan kesehatan ruang dan bangunan serta lingkungannya masih kurang optimal. Banyak feses, urin, dan sisa pakan sapi atau sampah yang belum tertangani dengan baik termasuk saluran air limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan.

Hasil penelitian para pakar menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang timbul jika limbah sapi dibuang sembarangan atau tidak dimanfaatkan atau diolah secara baik. Harlia (1990) mengemukakan bahwa eksternalitas negatif atau ekternalitas disekonomi (Randal 1987, diacu dalam Harlia 1990) yang timbul dari pemeliharaan sapi perah yaitu polusi pada udara, polusi pada tanah, polusi pada perairan, kesehatan,

(15)

kebisingan, dan bau limbah. Kerugian dalam bentuk matinya satwa yang dapat dimanfaatkan manusia, meningkatnya gangguan kesehatan atau penyakit pada masyarakat sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan. Menurut Basri et al. (2008) bahwa rendahnya produksi susu dan kurang berkembangnya agribisnis sapi perah disebabkan oleh antara lain sikap dan perilaku peternak yang belum mengarah kepada good farming practice.

Kondisi lingkungan yang tidak sehat berpeluang besar sebagai faktor risiko berkembangnya berbagai bibit penyakit, parasit dan juga binatang penular penyakit seperti tikus, lalat dan serangga lainnya. Penyakit Anthrax, yang membahayakan sapi dan manusia, dapat menular melalui feses dan urin sapi. Penyakit Brucellois yang dapat menghambat pengembangan populasi dan produktivitas ternak sapi perah adalah juga penyakit yang dapat menular melalui pakan yang tidak hygienis (Noor 2006, diacu dalam Nurhayati et al. 2007). Leptospirosis, yang menyebabkan keguguran pada hewan bunting sampai dengan hepatitis dan nephritis yang berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya, dapat menular melalui kulit lecet atau melalui selaput lendir mata atau hidung atau saluran pencernaan. Percikan air kemih penderita di atas lantai kandang yang keras dapat menyebabkan infeksi lewat pernafasan (Kusmiyati et al. 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2007). Penyakit-penyakit yang menyerang sapi ini akan mudah menular kepada penduduk dalam waktu yang singkat melalui lalat, tikus, kecoa dan lainnya dari lingkungan kandang yang tidak sehat; demikian pula sebaliknya penyakit yang menyerang manusia dapat menular kepada sapi melalui tikus dan serangga dari rumah hunian ke lingkungan kandang.

Kondisi kesehatan lingkungan yang belum baik pada dasarnya disebabkan banyak faktor di antaranya faktor manusia atau peternak, faktor dana, faktor keamanan, dan faktor ketersediaan lahan. Hanifah (2008) mengemukakan bahwa peternak masih kurang memperhatikan atau menerapkan good farming practice dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Akibat dari kebersihan kandang kurang memadai

(16)

dilaporkan banyak sapi laktasi yang terkena penyakit mastitis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya penyuluhan, atau insentif harga yang diterima peternak belum mampu mendorong peternak untuk menjalankan manajemen yang baik. Untuk itu menurutnya, perlu pengenalan inovasi teknologi berupa latihan tentang tatacara pemeliharaan yang mengikuti good farming practice. Rendahnya kualitas kesehatan lingkungan kandang mengisyaratkan perlunya peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan kandang kepada para peternak, termasuk sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good Breeding Practice) yang menegaskan perlunya upaya pencegahan pencemaran lingkungan dengan cara (a) mencegah polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air sungai dan lain-lain, (b) membuat dan mengoperasionalkan unit pengolah limbah peternakan (padat, cair, gas) sesuai kapasitas produksi limbah yang dihasilkan; dan pada peternakan rakyat dapat dilakukan secara kolektif dalam kelompok.

(e) Pengelolaan limbah sapi

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden jumlah feses sapi rata-rata per ekor per hari adalah dalam kisaran 28 sampai 30 kg; dan jumlah urin adalah dalam kisaran 17 sampai 20 liter per ekor per hari. Jumlah ini hampir sama dengan pendapat Van Horn et al. (1994) bahwa satu ekor sapi perah dewasa setiap harinya dapat menghasilkan feses sebanyak 30-40 kg dan urin sebanyak 20-25 kg dengan kandungan bahan organik 6,3 kg/hari, total nitrogen 0,273 kg dan ammonia 0,050 kg. Jumlah limbah sapi yang telah dikelola menjadi biogas dan pupuk organik baru mencapai 15%; sisanya berada di dalam dan sekitar kandang belum diolah dengan baik, bercampur yang lama dan yang baru di tempat terbuka, dan terjangkau oleh serangga atau binatang perantara penyakit. Volume tumpukan limbah akan berkurang ketika beberapa bagian dibuang ke selokan dan sungai, atau terkikis air hujan. Keadaan ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Harlia (2008) di

(17)

Pangalengan Jawa Barat, bahwa sebagian peternak membuang limbah cair ke sungai dan sebagian besar lainnya membuang ke kebun, sedangkan untuk limbah ditampung pada tempat penampungan khusus tidak jauh dari kandang setelah kumpul kemudian diangkut. Meskipun banyak dampak negatif yang timbul dari pengembangan peternakan sapi perah ini namun seluruh responden non peternak menyatakan tidak keberatan (tidak merasa terganggu). Hal ini disebabkan karena faktor kebiasaan dan sifat saling menghormati serta tenggang rasa yang tinggi di antara anggota masyarakat. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu dukungan yang efektif dari pemerintah dan stakeholder lainnya.

(2) Dua faktor penting dan menjadi prioritas penyelesaian utama dalam rangka pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang menurut sebagian besar responden ialah faktor pengetahuan masyarakat dan faktor kebijakan perbankan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Hossain et al. (2005) terhadap peternakan skala kecil di Bangladesh yang menyatakan bahwa peternakan skala kecil menghadapi banyak masalah, antara lain: kelangkaan pakan ternak, tingginya harga konsentrat, dan kurangnya pengetahuan teknis para peternak. Pendapat ini penting dan sesuai dengan gambaran dan kebutuhan di daerah. Dapat dipahami bahwa tinggi rendahnya pengetahuan pelaku USP akan menentukan baik tidaknya manajemen USP; kemudian baik tidaknya manajemen USP akan menentukan tinggi rendahnya produktivitas USP, yang terwujud dalam bentuk menaik tidaknya jumlah dan mutu susu yang dihasilkan atau pendapatan para pelaku USP. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudono (2000) bahwa rendahnya produktivitas sapi perah disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu diatas 210C. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan melakukan pemilihan bibit yang baik dan penempatan sapi perah pada iklim yang cocok untuk sapi perah yaitu pada suhu berkisar antara 15 dan 210C. Faktor kebijakan perbankan dirasakan sebagai suatu hal yang penting karena berkaitan dengan sistem dukungan pendanaan terhadap usaha peternakan sapi perah yang turut

(18)

menentukan berkembang tidaknya USP. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi UKMK. Prawiradiputra et al. (2008) mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini (2008) juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan usaha kecil menengah dan koperasi, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, di samping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur dan persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan kredit program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak. Beberapa kriteria umum untuk menentukan pemberian kredit menggunakan prudential banking yang layak (Siswanto 2000), yaitu (1) kredit hanya diberikan pada debitur yang jujur, usaha dikelola secara profesional, mempunyai kemampuan melunasi kredit dari sumber dana yang normal, prospek masa depan bidang usahanya cerah dan dalam hal tertentu didukung oleh jaminan yang cukup; (2) setiap persetujuan kredit harus didukung jadwal pelunasan dalam arsip portofolio kredit yang bersangkutan dan kemudian hari dapat direvisi sesuai dengan perkembangan likuiditas keuangan debitur; (3) selama perjanjian kredit berjalan, bank harus mendapatkan kepastian bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kreditnya. Agar dapat melakukan evaluasi tentang itu, paling

(19)

sedikit setiap tahun debitur harus menyerahkan laporan keuangannya. Dalam kaitannya dengan kredit bank, Ashari (2009) berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memiliki database yang lengkap dan valid tentang kelompok-kelompok tani (GAPOKTAN) beserta tingkat kemampuan baik secara finansial maupun manajemen (produksi, pemasaran, akses modal, dan sebagainya). Data ini bisa dikumpulkan dari akumulasi pengalaman dari berbagai pelaksanaan kredit program bantuan modal yang telah dijalankan selama ini melalui koordinasi dengan instansi atau departemen lain yang terkait, seperti Departemen Koperasi dan UMKM, Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik, dan sebagainya.

(3) Metode efektif peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat, yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah metode pendidikan atau penyuluhan, metode bimbingan teknis, dan metode lomba prestasi kerja. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Sugiarti (1993) bahwa pembinaan peternak dengan melalui penyuluhan dalam beternak sapi perah masih perlu terus dilakukan agar kemampuan peternak untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak dapat lebih cepat berhasil. Pendapat ini dapat dipahami dengan mudah dengan alasan bahwa sukses tidaknya peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat sangat bergantung pada metode penyuluhan atau bimbingan yang digunakan; dengan kata lain akibat kurang tepatnya penerapan metode penyuluhan atau bimbingan teknis sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap efektifitas penerimaan pengetahuan oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu penerapan metode penyuluhan dan bimbingan, termasuk muatan materi di dalamnya, harus disesuaikan dengan kondisi sasaran atau pelaku USP: tingkat pendidikan, pengalaman, dan lainnya; dengan demikian metode yang digunakan diharapkan benar-benar edukatif dan efektif. Hasil penelitian Siregar (1993) mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru.

(4) Cara efektif untuk mengembangkan kerjasama lintas program dan sektoral kabupaten sampai tingkat desa atau kelurahan dalam rangka pengembangan

(20)

USP, yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah pertemuan berkala. Pendapat ini sangat positif dan sejalan dengan pendapat Soewardi et al. (1990) bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor. Dengan keterlibatan berbagai sektor maka perlu diwujudkan kerjasama yang harmonis antar sesama dengan serangkaian tindakan secara bertahap dan teratur melalui sejumlah pertemuan. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Ilham (2007) yang mengemukakan bahwa strategi yang dilakukan dalam peningkatan pertumbuhan pendapat domestik bruto (PDB) sub sektor peternakan di Indonesia tidak hanya melibatkan instansi lingkup Direktorat Jendral Peternakan, juga lingkup subsektor lain dalam Departemen Pertanian, dan lingkup luar Departemen Pertanian. Strategi yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis peternakan, tetapi juga aspek kelembagaan, dan aspek komunikasi. Pertemuan berkala sangat penting artinya sebagai forum penyusunan atau perumusan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang terpadu; termasuk penyelesaian masalah-masalah dalam proses pengembangan USP di masyarakat.

(5) Cara meningkatkan tambahan pendapatan peternak sapi perah yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah dengan penjualan hasil produksi biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah sendiri. Pendapat ini penting dan layak dijadikan masukan bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan pengembangan dan pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi oleh peternak. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan responden diperoleh gambaran bahwa pengolahan atau pemanfaatan limbah sapi menjadi biogas dan pupuk organik belum optimal; padahal dilihat dari jumlah limbah sapi (feses dan urin) sangat potensil untuk menambah pendapatan pelaku USP. Sebagai gambaran, dari 115 USP yang diobservasi baru 25 USP (21,7%) yang telah mengelola atau umemanfaatkan limbah sapi menjadi biogas; itupun masih terbatas untuk keperluan keluarga sendiri ditambah satu atau dua rumah tetangga; artinya baru dapat menyerap limbah satu atau dua sapi saja, dengan asumsi: biogas hasil satu ekor sapi memenuhi kebutuhan satu keluarga beranggota 5-6 orang (Haryati 2006).

(21)

Dengan demikian proporsi limbah sapi yang terolah untuk biogas selama ini baru sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 11,82% (2 rumah*25 USP/422 rumah). Ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas saat ini baru 1 : 0,44 (atau 115 USP melayani 50 keluarga); masih jauh lebih kecil dari ratio jika seluruh USP dioptimalkan memproduksi biogas, yaitu 1 : 3,67 (115 USP melayani 422 keluarga); sementara proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik masih di bawah 2%. Alasan mereka tidak memproduksi biogas dan pupuk organik secara optimal ialah karena keduanya tidak bisa dijual atau dipasarkan. Jika diperhitungkan secara ekonomi dan lingkungan maka nilai biogas yang semestinya dapat diraih oleh pelaku USP rata-rata Rp.56.000,-- per sapi per bulan (asumsi: produksi gas satu ekor sapi rata-rata 12 kilogram per bulan dan dinilai dengan harga pasar saat ini) justru menambah jumlah emisi gas (CH4) ke atmosfir sebesar 230 liter per kg kotoran sapi (Srinivasan, diacu

dalam Meiviana et al. 2004). Jika biogas dan pupuk organik hasil olahan pelaku USP tertampung dan terpasarkan secara layak serta menguntungkan maka gairah masyarakat untuk memproduksi biogas dan pupuk organik akan semakin menaik; dan hasilnya langsung atau tidak akan berdampak positif terhadap: (a) menaiknya kesejahteraan pelaku USP; (b) pengurangan emisi gas (CH4) ke atmosfir (c) pengendalian faktor risiko gangguan kesehatan

sapi dan masyarakat; dan (d) pengendalian gangguan bau limbah sapi. Keuntungan lain dari pembuatan gasbio dari limbah sapi perah adalah dapat menghilangkan bau busuk mikroorganisme patogen dari limbah ternak serta menghasilkan pupuk organik yang berkualitas tinggi (Obias 1985); dapat menurunkan tingkat pencemaran lingkungan sebesar 80% (Romaniuk 1992); dan dapat menurunkan tingkat kebauan sampai 84% serta menurunkan bahan organik sekitar 38-53% (Pain 1999).

(6) Cara meningkatkan dukungan tokoh masyarakat untuk pengembangan USP yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah dengan mengaktifkan tokoh masyarakat dalam wadah organisasi desa. Pendapat ini penting dan dapat direalisasikan beriringan dengan perwujudan kerjasama lintas program dan sektoral. Tokoh masyarakat, sebagai bagian penting dari elemen

(22)

masyarakat perlu ikut aktif menyebarluaskan informasi hal-hal yang

berhubungan dengan pengembangan USPSMWL kepada seluruh

masyarakat, terutama tentang pemahaman: bahwa USP merupakan salah satu industri berbasis pedesaan dan padat karya sehingga dapat membangkitkan perekonomian masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia (Setiawati 2008); dan bahwa dengan usaha budaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjualan dari susu segar setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup (pedet dan induk afkir) dan pupuk kandang (Prawiradiputra 2008).

Dari seluruh jawaban responden tersimpul faktor-faktor yang penting diperhatikan sekaligus sebagai kebutuhan untuk pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu peningkatan: (1) jumlah USP dan populasi sapi perah; (2) pengelolaan pakan sapi; (3) produksi susu sapi; (4) kesehatan lingkungan USP; (5) pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi; (6) dukungan kemudahan kredit bank; (7) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis USP; (8) pertemuan berkala kerjasama lintas program dan sektoral; (9) produksi dan pemasaran biogas hasil olahan limbah sapi perah; (10) dukungan tokoh masyarakat dalam pengembangan USPSMWL.

Berdasarkan hasil analisis jawaban responden masyarakat, responden dinas dan instansi tampak gambaran bahwa banyak faktor yang penting dikelola dalam rangka pengembangan usaha sapi perah. Semua faktor tersebut merupakan kesatuan yang utuh, saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling ketergantungan satu sama lain; oleh karena itu perlu penyelesaian masalah menggunakan pendekatan sistem dengan melibatkan para stakeholder.

5.2 Hierarki Tingkat Kepentingan Elemen-Elemen Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang

Berikut ini adalah analisis terhadap elemen-elemen pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang dengan pendekatan AHP dengan struktur hierarki: level 1 yaitu “kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang”; level 2 yaitu “aktor”; level 3 yaitu “faktor”; level 4 yaitu “tujuan”; dan level 5 yaitu “strategi”, sebagaimana tampak pada Gambar 10.

(23)

Hasil AHP menunjukkan urutan prioritas elemen aktor berdasarkan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, faktor berdasarkan aktor, tujuan berdasarkan faktor, dan strategi berdasarkan tujuan. Di bagian akhir tampak urutan prioritas dari elemen-elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Hasil ini kemudian digunakan atau dijadikan sebagai bahan masukan untuk analisis selanjutnya dalam rangkaian penyusunan model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang.

5.2.1 Tingkat Peranan Aktor dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Dari analisis terhadap pendapat para pakar diperoleh hasil urutan prioritas aktor berdasarkan fokus pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu: urutan pertama ialah pemerintah kabupaten, kecamatan, desa; urutan kedua ialah perbankan, urutan ketiga ialah KPSBU, dan urutan keempat ialah peternak. Perincian perbandingan dan perbedaan nilai keempat elemen tersebut tertera dalam Tabel 13.

Tabel 13 Matriks perbandingan antar elemen “Aktor” berdasarkan “kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang”

Fokus pengembangan USPSMWL di

Kabupaten Subang Urutan

prioritas Bobot 1,000 A kt or A 0,105 IV B 0,448 I C 0,283 II D 0,164 III Consistency ratio < 0,10 Keterangan Tabel 13: A : Peternak

B : Pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa C : Perbankan

D : Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU)

Pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa dinilai memiliki kekuatan (strengths), peluang (opportunities) lebih besar dibandingkan dengan stakeholder lainnya dalam hal penentuan kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten

(24)

Subang. Hasil pilihan ini dinilai sejalan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Hasil ini sejalan pula dengan hasil penelitian Suzuki et al. (2006) yang mengemukakan peranan pemerintah untuk mengembangkan USP skala kecil di Vietnam Utara; bentuk dukungan pemerintah seperti penyediaan jasa penyuluhan dan institusi keuangan untuk setiap wilayah adalah berbeda, disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Hasil penelitian lainnya, Suzuki et al. (2005) mengemukakan peran pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan juga dilakukan untuk memberi proteksi terhadap peternak sapi perah lokal dengan mempertahankan atau menjaga agar harga susu domestik lebih tinggi daripada harga susu dunia. Yusdja et al. (2009) mengemukakan tiga langkah strategis pelayanan sebagai syarat keharusan yang harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan sistem peternakan yang diharapkan di Indonesia, yaitu:

1. Memperlakukan ternak sebagai sumberdaya:

a. Memperlakukan ternak sebagai sumberdaya, dalam pengertian bahwa ternak dapat punah dan tidak bisa dipulihkan jika ternak habis terpakai. Karena itu pemerintah harus berupaya keras mempertahankan dan mengembangkan sumberdaya sebagai sumber pertumbuhan produksi daging, susu, dan telur.

b. Pengertian sumberdaya adalah bahwa ternak itu merupakan sumber genetis yang dapat diturunkan dan dikembangkan untuk kepentingan manusia. Dalam hal ini ternak sumberdaya berfungsi menghasilkan ternak komoditas dan ternak produk.

2. Menyediakan infrastruktur industri peternakan

a. Menyediakan infrastruktur khususnya bagi penyediaan lahan dan pengairan bagi kemudahan memproduksi HMT (hijauan makanan ternak). Penyediaan infrastruktur ini harus dalam bentuk investasi publik sebagaimana pembangunan irigasi untuk tanaman pangan. b. Infrastruktur untuk pemanfaatan lahan dan air merupakan konstrain

yang utama dalam pengembangan ternak karena sifat biologis yang terkandung. Tanpa pelayanan ini, maka investasi peternakan sulit berkembang dan karenanya industri peternakan akan tetap berbentuk tradisionil.

(25)

3. Melakukan usaha pengendalian penyakit ternak

a. Pengendalian penyakit ternak, antara lain menjaga kesehatan ternak dan mencegah penularan penyakit di antara ternak dan manusia termasuk di dalamnya produksi pangan asal ternak yang sehat dan aman (ASUH).

b. Pengendalian penyakit ternak pada masa mendatang merupakan isu yang sangat penting dalam perdagangan hasil peternakan dunia. Winoto et al. (2008) menekankan pentingnya peningkatan keterlibatan dan tanggungjawab (kewajiban) pemerintah daerah dalam membangun dan memelihara infrastruktur pertanian. Dalam hal ini diperlukan koordinasi antar departemen (koordinasi horizontal) dan koordinasi antar tingkatan yang berbeda dalam pemerintahan (koordinasi vertikal).

5.2.2 Tingkat Peranan Faktor dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Dari analisis terhadap pendapat para pakar diperoleh hasil urutan prioritas faktor berdasarkan aktor pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang yaitu: urutan pertama ialah kesiapan masyarakat; urutan kedua ialah sumberdaya alam dan lingkungan, urutan ketiga ialah kebijakan pemerintah, dan urutan keempat ialah kebijakan perbankan. Adapun perincian nilai keempat faktor tersebut tertera dalam Tabel 14. Kesiapan masyarakat dinilai sebagai faktor yang lebih berdampak positif dan luas terhadap pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Masyarakat yang siap secara fisik dan mental merupakan modal besar dan perlu diutamakan dalam pembangunan di segala bidang termasuk pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan seluruh stakeholder perlu meningkatkan penyuluhan dan bimbingan teknis secara sistematis dan berkesinambungan kepada masyarakat. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Reddy et al. (2005) bahwa kinerja USP skala kecil di India berhubungan positif dan signifikan dengan pengalaman, daya inovasi, rasa percaya diri, orientasi ekonomi, pengetahuan tentang pengelolaan USP, partisipasi masyarakat, berwawasan luas, dan orientasi manajemen.

(26)

Tabel 14 Matriks perbandingan antar elemen “Faktor” berdasarkan “Aktor” pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang

Aktor Global priority Urutan Elemen A B C D Bobot 0,105 0,448 0,283 0,164 Fakt o r E 0,135 0,143 0,112 0,169 0,139 III F 0,105 0,086 0,074 0,119 0,091 IV G 0,275 0,264 0,262 0,261 0,264 II H 0,485 0,507 0,552 0,451 0,506 I Consistency ratio < 0,10 < 0,10 < 0,10 < 0,10 Keterangan Tabel 14:

A : Peternak B : Pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa C : Perbankan D : Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) E : Kebijakan pemerintah F : Kebijakan perbankan

G : Sumberdaya alam dan lingkungan H : Kesiapan masyarakat

5.2.3 Tingkat Peranan Tujuan dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Dari analisis terhadap pendapat para pakar diperoleh hasil urutan prioritas tujuan berdasarkan faktor pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu: urutan pertama ialah pendapatan masyarakat meningkat; urutan kedua ialah ekonomi wilayah pedesaan berkembang, dan ketiga ialah kualitas lingkungan meningkat. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Mandaka et al. (2005) bahwa USP skala kecil relatif kurang menguntungkan dibandingkan dengan USP skala menengah dan besar. Dengan kenyataan ini maka menjadi relevan bahwa USP harus terus dikembangkan melalui intervensi kebijakan pemerintah dan perbankan serta dukungan sumberdaya alam dan lingkungan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Perbandingan nilai antara ketiganya adalah tertera dalam Tabel 15.

Tabel 15 Matriks perbandingan antar elemen “Tujuan” berdasarkan “Faktor” pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang

Faktor Global priority Urutan Elemen E F G H Bobot 0,139 0,091 0,264 0,506 T u ju an I 0,148 0,135 0,126 0,113 0,130 III J 0,568 0,576 0,568 0,595 0,577 I K 0,284 0,289 0,306 0,292 0,293 II Consistency ratio < 0,10 < 0,10 < 0,10 < 0,10

(27)

Keterangan Tabel 15 :

E : Kebijakan pemerintah F : Kebijakan perbankan G : Sumberdaya alam dan lingkungan H : Kesiapan masyarakat

I : Kualitas lingkungan meningkat J : Pendapatan masyarakat meningkat K : Ekonomi wilayah pedesaan berkembang

5.2.4 Tingkat Peranan Strategi dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Dari analisis terhadap pendapat para pakar diperoleh hasil urutan prioritas strategi berdasarkan tujuan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu: urutan pertama ialah peningkatan kesiapan masyarakat peternak untuk usaha sapi perah (USP), urutan kedua ialah peningkatan layanan penyuluhan oleh pemerintah, urutan ketiga ialah peningkatan layanan bimbingan teknis oleh pemerintah, dan urutan keempat ialah peningkatan layanan perbankan kepada peternak. Perincian perbandingan antara nilai keempatnya tertera dalam Tabel 16.

Tabel 16 Matriks perbandingan antar elemen “Strategi” berdasarkan “Tujuan” pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang

Tujuan Global priority Urutan I J K Bobot 0,130 0,575 0,295 Str at eg i L 0,148 0,568 0,284 0,090 IV M 0,135 0,576 0,289 0,427 I N 0,126 0,568 0,306 0,197 III O 0,113 0,595 0,292 0,286 II Consistency ratio Keterangan Tabel 16:

I : Kualitas lingkungan meningkat J : Pendapatan masyarakat meningkat K : Ekonomi wilayah pedesaan berkembang L : Peningkatan layanan Perbankan kepada peternak

M: Peningkatan kesiapan masyarakat atau peternak untuk usaha sapi perah (USP) N : Peningkatan layanan penyuluhan oleh Pemerintah

O : Peningkatan layanan bimbingan teknis oleh Pemerintah

Dari hasil keseluruhan dapat dikemukakan bahwa elemen prioritas pertama dalam level aktor ialah pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa (nilai eigen 0,448); dalam level faktor ialah kesiapan masyarakat (0,506); dalam level tujuan ialah pendapatan masyarakat meningkat (0,575); dan level strategi ialah peningkatan kesiapan masyarakat peternak untuk usaha sapi perah (0,427). Peningkatan kesiapan masyarakat yang merupakan alternatif pertama dalam

(28)

strategi pengembangan USPSMWL. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Reddy et al. (2005) di India bahwa kondisi masyarakat dalam menjalankan usaha sapi perah harus memadai. Adapun dukungan layanan perbankan sebagai alternatif lain dalam strategi pengembangan USPSMWL sejalan dengan hasil penelitian Cheng’ole et al. (2003) terhadap peternak skala kecil di Kenya bahwa akses terhadap fasilitas kredit tidak mempengaruhi produktivitas USP. Perincian urutan elemen setiap level menurut nilai eigen masing-masing tampak pada Gambar 10.

Keterangan : KPSBU = Koperasi Peternak Susu Bandung Utara

Gambar 10 Struktur hierarki antar elemen pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

5.3 Faktor Kunci atau Faktor Penting Untuk Pengembangan USPSMWL Kabupaten Subang

Untuk mendapatkan faktor kunci atau faktor penting pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang digunakan pendekatan ISM. Faktor-faktor yang dijadikan bahan masukan untuk ISM

(29)

diperoleh dari: hasil AHP dan bagian-bagiannya, hasil analisis jawaban responden masyarakat, hasil analisis jawaban responden pejabat dinas dan instansi, dan data dan informasi lain yang relevan. Jumlah faktor yang teridentifikasi, yang selanjutnya dinamai “sub elemen strategi” disingkat dengan (S), ada 20 buah dituangkan dalam kuesioner berbentuk matriks SSIM (Structural Self-Interaction Matrix). Dalam matriks tersebut tertera sejumlah materi yang ditelaah dan dinilai oleh responden pakar. Daya dorong dan ketergantungan setiap elemen terhadap sub elemen lainnya dinilai dengan menggunakan empat simbol yaitu V, A, X, atau O, untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan. Digunakan V jika hubungan dari elemen Ei terhadap Ej tapi

tidak sebaliknya; A jika hubungan dari elemen Ej terhadap Ei tapi tidak

sebaliknya; X jika hubungan dari elemen Ei terhadap Ej dapat sebaliknya; dan O

hubungan dari elemen Ei terhadap Ej tidak berkaitan. Adapun hasil rekapitulasi

pendapat responden yang tertuang dalam SSIM dan Reachability Matrix (RM) terurai dalam Tabel 17.

Tabel 17 Nilai driver power (DP) dan dependence (D) sub elemen “Strategi” pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang

Sub elemen Driver power Dependence Posisi

(kuadran) Nilai Peringkat Nilai Peringkat

S-1 19 1 2 1 I S-2 7 9 2 1 IV S-3 13 3 10 8 I S-4 7 9 14 11 III S-5 12 4 5 4 I S-6 13 3 4 3 I S-7 10 6 3 2 IV S-8 12 4 7 6 I S-9 15 2 4 3 I S-10 3 13 18 14 III S-11 4 12 16 12 III S-12 4 12 17 13 III S-13 8 7 12 9 III S-14 7 8 13 10 III S-15 12 4 5 4 I S-16 11 5 6 5 I S-17 13 3 4 3 I S-18 8 7 9 7 IV S-19 6 10 19 15 III S-20 5 11 19 15 III

(30)

Keterangan Tabel 17 :

S-1 : Pembinaan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah dalam rangka pengembangan USPSMWL

S-2 : Sosialisasi kebijakan perbankan kepada para peternak tentang kredit USPSMWL S-3 : Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam

hal pemeliharaan kesehatan peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan USP S-4 : Peningkatan kesiapan masyarakat peternak menerima tambahan pengetahuan dan

keterampilan teknis USPSMWL

S-5 : Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis kepada peternak tentang pengadaan bibit sapi perah dan pengelolaan pakan ternak sapi perah

S-6 : Penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan USPSMWL sesuai kebutuhan S-7 : Pengembangan metode penyuluhan USPSMWL sesuai kebutuhan

S-8 : Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan USPSMWL kepada masyarakat peternak S-9 : Penyediaan tenaga pembimbing teknis USPSMWL sesuai jumlah kebutuhan

S-10 : Peningkatan kesiapan masyarakat peternak bekerjasama lebih harmonis dengan stakeholder lainnya dalam pengembangan USPSMWL

S-11 : Peningkatan kesiapan masyarakat peternak mengembangkan sikap dan perilaku diri untuk penyuksesan USPSMWL

S-12 : Membantu peternak sapi perah skala mikro yang membutuhkan dana untuk keperluan pengadaan bibit ternak sapi perah, pakan sapi perah

S-13 : Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis kepada peternak tentang peningkatan kualitas susu segar sapi perah, pemasaran dan nilai jualnya.

S-14 : Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis kepada peternak tentang pengolahan limbah sapi perah menjadi biogas dan pupuk

S-15 : Penyediaan dana, sarana, dan tenaga penyuluhan pengelolaan USPSMWL sesuai jumlah dan jenis kebutuhan

S-16 : Peningkatan dukungan sarana produksi, transportasi, dan keamanan USP dari Pemerintah dan swasta

S-17 : Peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa dalam rangka pengembangan peternakan USPSMWL.

S-18 : Peningkatan penyuluhan tentang prosedur baku atau tatacara pengajuan kredit kepada Lembaga keuangan atau perbankan untuk USPSMWL

S-19 : Membantu peternak sapi perah skala mikro yang membutuhkan dana untuk keperluan sarana dan prasarana produksi USP.

S-20 : Membantu peternak sapi perah skala mikro yang membutuhkan dana untuk keperluan pengolahan limbah sapi perah sendiri menjadi biogas dan pupuk organik.

Adapun gambaran secara grafis nilai driver power setiap sub elemen dibandingkan dengan yang lain ditampilkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai DP sub elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang berdasarkan ISM.

Selanjutnya dari hasil pemetaan (Gambar 12) diketahui bahwa ada 9 sub elemen yang masuk kuadran Independent atau mempunyai daya dorong besar

(31)

dengan ketergantungan rendah, yaitu S-1, S-3, S-5, S-6, S-8, S-9, S-15, S-16, dan S-17; ada 8 sub elemen masuk kuadran dependent atau mempunyai daya dorong kecil dengan ketergantungan yang besar, yaitu S-4, S-10, S-11, S-12, S-13, S-14, S-19, dan S-20; dan ada tiga sub elemen yang masuk kuadran autonomous atau mempunyai daya dorong kecil dengan ketergantungan rendah pula.

Gambar 12 Matriks driver power-dependence sub elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

Selanjutnya untuk mengetahui faktor kunci, maka semua sub elemen yang telah dinilai disusun berurutan dalam diagram (Gambar 13) mulai dari sub elemen yang bernilai daya dorong tertinggi dengan nilai ketergantungan rendah sampai sub elemen bernilai daya dorong terrendah. Hasil penyusunan dalam diagram menunjukkan bahwa faktor kunci pengembangan saha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ialah “Pembinaan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah” yaitu pembinaan yang mengarah pada kerjasama yang didasari dengan motivasi, tujuan yang serasi dan jelas, saling menguntungkan, semangat musyawarah dan mufakat, tanpa saling intervensi terhadap fungsi sektoral, tanpa ada salah satu pihak yang merasa terpaksa atau dipaksa pada sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap evaluasi. Urutan kesembilan belas faktor penting pengembangan USPSMWL lainnya adalah tampak pada Gambar 13 secara teratur menurut arah panah.

(32)

.

Keterangan : USPSMWL = Usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan

Gambar 13 Diagram hierarki peringkat nilai pendapat responden tentang sub elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

Penyediaan tenaga pembimbing teknis USPSMWL sesuai kebutuhan (S-9) Level 2

Pembinaan kerjasama harmonis peternak dengan perbankan dan Pemerintah (S-1) Level 1

Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis pengendalian mutu dan pemasaran susu (S-13) Level 7

Peningkatan penyuluhan prosedur baku pengajuan kredit Bank untuk

USPSMWL (S-18)

Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis pengadaan bibit dan pengelolaan pakan

ternak (S-5) Level 4

Penyediaan dana,

sara-na dan prasarasara-na penyuluhan USPSMWL sesuai kebutuhan (S-15) Peningkatan

freku-ensi dan mutu pe-nyuluhan tentang USPSMWL kepada

peternak (S-8)

Peningkatan kerjasama lintas program dan sek-toral tingkat kabupaten, kecamatan, desa dalam USPSMWL (S-17) Level 3

Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan bimbingan teknis kese-hatan peternak, sapi pe-rah, lingkungan (S-3) Penyediaan dana dan

sarana untuk bim-bingan teknis penge-lolaan USPSMWL yang memadai (S-6)

Pengembangan metode penyuluhan USPSMWL sesuai kebutuhan (S-7) Level 6

Peningkatan dukungan sarana produksi, transportasi, dan keamanan USPSMWL (S-16) Level 5

Peningkatan frekuensi dan mutu bimbingan teknis pengolahan limbah sapi perah menjadi biogas dan pupuk organik (S-14)

Level 8

Sosialisasi kebijakan perbankan tentang kredit USPSMWL (S-2) Level 9

Peningkatan kesiapan peternak memperkaya pengetahuan dan keterampilan USPSMWL (S-4) Membantu peternak sapi perah skala mikro yang membutuhkan dana untuk keperluan

sarana dan prasarana produksi usaha sapi perah (S-19) Level 10

Membantu peternak sapi perah skala mikro yang membutuhkan dana untuk keperluan pengolahan limbah sapi perah sendiri menjadi biogas dan pupuk organik (S-20) Level 11

Peningkatan kesiapan peternak mengembangkan sikap dan peri-laku dalam USPSMWL (S-11) Level 12

Membantu peternak dalam hal dana pengadaan bibit dan pakan sapi

perah (S-12)

Peningkatan kesiapan peternak bekerjasama lebih harmonis dengan stakeholder dalam pengembangan USPSMWL. (S-10)

Gambar

Gambar  10  Struktur  hierarki  antar  elemen    pengembangan  USPSMWL  di  Kabupaten Subang
Gambar  12    Matriks  driver  power-dependence  sub  elemen  strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten  Subang
Gambar  13  Diagram  hierarki  peringkat  nilai  pendapat  responden  tentang  sub  elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang
Tabel  18.  Analisis    kebutuhan  stakeholder  dalam  pengembangan  USPSMWL  di  Kabupaten Subang
+7

Referensi

Dokumen terkait

tersedia di alam menjadi energi listrik, dalam penyediaan informasi kita memerlukan rangkaian.. elektronika untuk mengubah informasi menjadi sinyal-sinyal listrik agar dapat

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas remediasi bentuk umpan balik menggunakan brosur untuk mengatasi kesulitan belajar siswa tentang gerak lurus

Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya

pembelajaran berdasarkan pengalaman secara langsung yang mendekatkan siswa pada kenyataan riil dan erat kaitannya dengan keseharian siswa, sehingga

Untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah fi al-ard’ , Allah telah menganugrahkan akal kepada manusia agar mereka dapat memikirkan ayat-ayat Allah guna memperoleh ilmu

Selain dari pengaruh paparan asap lilin atau malam yang dominan yaitu menghasilkan gas karbonmonoksida (CO), potensi gangguan kesehatan pada pengrajin juga dapat

Dari hasil kuesioner tentang kecerdasan emosi di atas item yang mempunyai nilai rata-rata terkecil adalah pada item pertanyaan ke 4 yaitu responsen dapat merasakan apa yang

Penerapan model group investigation, perubahan positif pada siswa kelas IPS 4 berupa peningkatan terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar pada