• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

Volume 2 Nomor 1, April 2018

ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

ISSN (Online) : 2581 - 2092

ASOSIASI PENGAJAR HUKUM ADAT

(APHA) INDONESIA

(3)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

JIAL adalah wadah informasi dan komunikasi keilmuan di bidang Hukum Adat yang berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan gagasan konseptual dan kajian lain yang berkaitan dengan Ilmu Hukum Adat. Diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, terbit tiga kali dalam satu tahun, April, Agustus dan Desember.

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Vol. 2 No. 1, April 2018 Published by :

Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia

Alamat : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Kampus A Gedung H Lantai 6, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol Jakarta Barat.

Telp. +62 878 8325 6166, +62 813 1667 2509 E-mai : apha.sekretariat@gmail.com

Edited & Distributed by :

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

Alamat Redaksi : Jl. Haji Nawi Raya No. 10 B Jakarta, Indonesia Telp. +62-21-7201478

Website : http://jial.apha.or.id E-mai : jurnaljial.apha@gmail.com

Copyright 2018

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

(4)

Ketua Editor

M.Syamsudin (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Editor Pelaksana

Ni Nyoman Sukerti (Universitas Udayana Denpasar)

Nurul Miqat (Universitas Tadulako Palu)

M.Hazmi Wicaksono (Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Rosa Widyawan (Lembaga Studi Hukum Indonesia)

Dewan Editor

Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Dominikus Rato (Universitas Negeri, Jember)

Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia, Jakarta)

Aminuddin Salle (Universitas Hasanudin, Makasar)

Wayan P. Windia (Universitas Udayana, Bali)

Catharina Dewi Wulansari (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Jeane Neltje Saly (Universitas Tarumanegara, Jakarta)

Sulastriyono (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Ade Saptomo (Universitas Pancasila, Jakarta)

MG Endang Sumiarni (Universitas Atmajaya, Yogyakarta)

St. Laksanto Utomo (Universitas Sahid Jakarta)

Asisten Editor

Irwan Kusmadi

Nelson Kapoyos

Admin

Arga Mahendra

(5)

Sikap Masyarakat Adat Bali terkait Putusan Pesamuhan Agung

III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010

(Studi di Kota Denpasar)

Ni Nyoman Sukerti & I G. A. A. Ari Krisnawati

1-15

Peran Serta Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

Konservasi melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis pada

Kearifan Lokal (Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat)

Caritas Woro Murdiati Runggandini

16-40

Wakaf Tanah Ulayat sebagai Solusi Peralihan Hak Atas Tanah

Ulayat Secara Permanen di Sumatera Barat

Yulia Mirwati, Yontri Faisal, & Zahara

41-60

Pemaknaan Tanah Eks Swapraja (Kerajaan) sebagai Tanah Adat

di Kota Surakarta

IGA Gangga Santi Dewi

61-82

Peran Tokoh Adat dalam Membantu Penyelesaian Sengketa

Perbatasan Darat antara Indonesia dan Timor Leste di Wilayah

Enclave Oecussi

Dewa Gede Sudika Mangku

83-112

Hakikat dan Eksistensi Peradilan Adat di Sulawesi Selatan

Andika Prawira Buana

113-137

Sistem Perkawinan dan Pewarisan pada Masyarakat Hukum

Adat Rejang Provinsi Bengkulu

(6)

HAKIKAT DAN EKSISTENSI PERADILAN ADAT

DI SULAWESI SELATAN

Andika Prawira Buana

Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

Jl. Urip Sumohardjo Km.05 Makassar Tlp:0411-449775, 90231

E-mail: andika.prawira@umi.ac.id

ABSTRAK

Peradilan adat merupakan sebuah lembaga yang memiliki fungsi untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara demi terwujudnya rasa keadilan dalam masyarakat. Peradilan adat sejatinya memiliki tujuan utama untuk mengembalikan keseimbangan sosial dalam masyarakat agar tidak terjadi dendam akibat sengketa. Tujuan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hakikat dan eksistensi peradilan adat di Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peradilan adat sejak dahulu telah ada di Sulawesi Selatan yang tertuang dalam konsep pangngaderreng dengan istilah bicara dan menjadi satu-satunya lembaga dalam menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. Pasca kemerdekaan peradilan ini tidak lagi diakui dengan alasan demi terwujudnya kesatuan kekuasaan yang mana lembaga peradilan tunduk dalam otoritas hukum negara.

Katat-Kata Kunci: eksistensi; peradilan adat; sulawesi selatan. ABSTRACT

The adat justice is an institution that has a function to examine and try a case for the realization of a sense of justice in society. The adat justice has the main objective to restore social balance in society so that there is no revenge due to the dispute. The main objective which is the focus of this research is how is the essence and existence of adat justice in South Sulawesi. This study uses empirical legal research methods. The results of this study illustrate that traditional justice has always existed in South Sulawesi which is stated in the concept of ‘pangngaderreng’ with the term 'bicara' and is the only institution in solving cases that occur in the community. After the independence of the judiciary is no longer recognized with the reason for the realization of a unity of power in which the judiciary is subject to State legal authority.

Key words: existence; adat justice; south sulawesi.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Hukum adalah merupakan suatu sistem sosial yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Apabila mencoba melihat hukum dengan segala aspek yang

(7)

- 114 -

mempengaruhinya, maka tentu tidak lepas dari masyarakat yang menjadi subjek dari hukum tersebut. Hukum sejatinya adalah untuk masyarakat itu sendiri, oleh sebab itu dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Pengaruh hukum barat yang dianut oleh sistem hukum Indonesia akibat dari penjajahan masa lalu, menjadikan hukum itu terpisah dari nilai-nilai sosial yang berpengaruh terhadap hukum. Hukum tersebut menjadi sangat positifistik dan tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia karena hanya mengandalkan aturan warisan dari pemerintahan Hindia-Belanda. Pada prinsipnya masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan, dari kebudayaan tersebut melahirkan sebuah kebiasaan-kebiasaan, dan dari kebiasaan-kebiasaan tersebut melahirkan suatu nilai-nilai yang menjelma menjadi aturan-aturan. Aturan-aturan inilah yang menjadi landasan hukum pedoman hidup bagi masyarakat. Vollenhoven (1933) berbicara tentang hukum adat yang merupakan "totalitas aturan perilaku untuk pribumi dan orang asing yang memiliki sanksi di satu sisi dan di sisi lain tidak dikodifikasikan (Kurnia Warman, Saldi Isra, & Hilaire Tegnan, 2018).

Hukum adat adalah hukum asli orang bumiputera yang tumbuh dan berkembang berdasar pada nilai-nilai budaya pada masing-masing daerah di seluruh Nusantara. Hukum adat merupakan suatu karya masyarakat yang dihasilkan oleh para leluhur yang sesuai dengan perilaku setiap masyarakat dan bertujuan untuk membentuk suatu tatanan hukum demi terwujudnya kehidupan yang baik dan adil dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Menurut J.H.P. Bellefroid hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu, kompleks norma-norma pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa dihormati dan ditaati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi (C. Dewi Wulansari, 2012: 4).

Menurut Cornelis van Vollenhoven hukum adat merupakan nomenklatur yang menunjukkan sebagai suatu sistem hukum asli yang sesuai dengan alam pikiran

(8)

- 115 -

masyarakat yang mendiami seluruh penjuru Nusantara (A. Suriyaman Mustari Pide, 2014: 2). Dari pernyataan Cornelis van Vollonhoven penulis sependapat bahwa filosofi dasar terbentuknya hukum adalah manusia dalam kehidupan sehari-hari nya hidup berdampingan dan mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Untuk mengayomi kepentingan tersebut lahirlah aturan hukum dari kebiasaan pribadi itu sendiri agar tercipta keadilan dan kedamaian. Oleh sebab itu suatu aturan hukum yang baik adalah aturan yang dibuat berdasarkan pribadi masyarakat itu sendiri, sebab masyarakat adalah suatu sistem dari hubungan timbal balik antara individu yang satu dan individu yang lainnya.

Dari pernyataan tersebut, hukum adat adalah sebuah sistem hukum di Indonesia yang sejak dahulu telah diakui dan menjadi ujung tombak dalam proses penyelesaian masalah dalam kultur masyarakat di seluruh wilayah nusantara untuk memperoleh keadilan. Pada realitasnya sekarang hukum adat mengalami kemunduran dan dikesampingkan disebabkan karena demi kepentingan hukum nasional yang faktanya hukum nasional yang berlaku sekarang ini justru lebih banyak menimbulkan masalah dan pula hukum nasional tersebut merupakan produk dan warisan dari zaman pemerintahan Hindia – Belanda.

Masyarakat dunia pun memandang bahwa masyarakat hukum adat mendapat pengakuan lewat konvensi Masyarakat Hukum Adat di Negara-Negara Merdeka (Indigenous and Tribal Peoples Convention) oleh International Labor Organization (ILO) tahun 1989. Konvensi ini disambut penuh suka cita oleh semua masyarakat hukum adat di dunia, karena di dalam konvensi tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Masyarakat Hukum Adat berhak menikmati hak-hak mereka sebagai manusia dan kebebasan-kebebasan yang bersifat mendasar tanpa halangan atau diskriminasi (International Labour Organization, 2007: 8). Ketentuan-ketentuan konvensi berlaku tanpa diskriminasi terhadap anggota laki-laki maupun anggota perempuan dari masyarakat hukum adat ini. Tidak hanya itu, dalam Pasal 2 (1) Konvensi ini menegaskan, Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun, dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi

(9)

- 116 -

yang terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak dari masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka.

Oleh itu, peneliti berpendapat bahwa, bagaimanakah kedudukan hukum adat sebagai sistem hukum positif di Indonesia saat ini. Kedudukan hukum adat dalam Undang Undang Dasar 1945 setelah amandemen masih diakui, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Dari Pasal tersebut, penulis menafsirkan bahwa, Negara masih tetap mengakui kedudukan hukum adat selama keberadaannya masih ada, dengan kata lain walaupun hukum adat itu bertentangan dengan hukum nasional yang berlaku, selama keberadaan masyarakat adat itu masih ada selama itu pula hukum adat masih berlaku.

Peneliti selanjutnya berpendapat bahwa, ketika dalam konstitusi hukum adat masih diakui lalu bagaimana dengan penerapan dan peradilan adatnya. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 5 (1) berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Menafsirkan arti kata nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law), tentu tidak lepas dari kebiasaan atau hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara haruslah mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya bagaimana dengan peradilan adatnya sebab hukum adat hanyalah sebatas aturan-aturan materil yang memerlukan wadah untuk menjalankan proses penerapan aturan-aturan materil tersebut. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 18 yang berbunyi:

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

(10)

- 117 -

Dari Pasal 18 tersebut peneliti beranggapan bahwa belum adanya pengakuan terhadap peradilan adat. Mohammad Jamin mengatakan bahwa, pengakuan terhadap peradilan adat belum seutuhnya tercapai sebab, pengakuan terhadap peradilan adat tersebut baru tercapai pada provinsi Papua saja lewat Undung-undang otonomi khusus Papua. Oleh karenanya Mohammad Jamin mengusulkan agar politik hukum pengakuan peradilan adat diletakkan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, bukan pada Undang-undang otonomi khusus, dan pengakuan tersebut harus bersifat utuh dan genuine dengan membangun suatu model relasi yang bersifat koeksistensi antara peradilan adat dan peradilan Negara dalam (Mohammad Jamin, 2014).

Selanjutnya M.Khoidin mengatakan bahwa untuk peradilan adat, keberadaannya sudah tidak diakui lagi. Padahal pada mulanya Pemerintah Kolonial Belanda masih mengakui keberadaan peradilan adat atau peradilan swapraja di beberapa daerah. Terbukti pada Indische Staatsregeling (IS) sebagai dasar ketatanegaraan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, dalam suasana peradilan swapraja menyatakan bahwa: (1) Kaula-kaula swapraja dari swapraja-swapraja Hindia Belanda kecuali yang berdasarkan kontrak atau yang di dalam aturan-aturan swapraja atau raja-raja berupa kekuasaan kehakiman yang diperuntukkan hakim pemerintah kolonial atas kaula-kaula (pada kesultanan dan kesusuhunan di pulau jawa hamper semua kekuasaan kehakiman) dan di beberapa kekuasaan kehakiman dalam kasus-kasus kekecualian; (2) Bagi kaula-kaula negara di dalam sejumlah kekecualian ialah pada awal proses telah merupakan kaula-kaula swapraja atau sejauh proses tersebut berjalan dalam daerah yang terletak dalam daerah swapraja tersebut yang didalamnya berlaku hukum pribumi atas tanah-tanah, rumah-rumah dan tanaman-tanaman menahun, berlaku hukum perdata adat, hukum pidana adat, dan hukum acara adat (kadang-kadang dalam bentuk peraturan-peraturan keswaprajaan), sepanjang tidak diganti oleh ordonansi-ordonansi yang dengan tegas berdasarkan kontrak atau wewenang yang diberikan dengan “korte verklaring” (deklarasi singkat) dinyatakan dapat diterapkan. Dan mengenai apa yang bersangkutan dengan hukum pidana dan hukum acara sepanjang tidak diganti oleh peraturan-peraturan keresidenan, (pasal-pasal 12 dan 13 aturan-aturan swapraja

(11)

- 118 -

1938 dan yang dengan itu dalam kontrak-kontrak jangka panjang; bandingkan pasal 21 ayat 2 Indische Staatsregeling), (Mr. B. Ter Haar, Freddy Tangker, & Bambang Daru Nugroho, 2011: 3-4).

Hanya saja karena keberadaan peradilan adat ini kemudian dinilai tidak relevan dengan sistem hukum modern, maka kemudian dihapuskan. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche rechtspraak) tetap diakui di samping peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak). Keberadaan peradilan adat di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan Peradilan Swapraja di beberapa daerah di Jawa, tetap diakui meski dengan jurisdiksi yang terbatas hanya pada perkara-perkara adat (Herowati Poesoko, M. Khoidin, & Dominikus Rato, 2014: 97-97). Setelah Indonesia merdeka keberadaan pengadilan adat secara berangusr-angsur dihapuskan dari sistem peradilan Indonesia. Dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Pengadilan Sipil (Lembaran Negara. 1951 Nomor 9), telah ditegaskan bahwa pengadilan Pribumi yang juga sering disebut Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja secara berangsur-angsur akan dihapuskan (Herowati Poesoko, M. Khoidin, & Dominikus Rato, 2014: 98).

Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk kembali menempatkan hukum adat beserta badan peradilan adat nya sebagai kaidah hukum yang utama dalam penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat indonesia. Hukum adat dan peradilan adat adalah dua sistem hukum yang tidak terpisahkan. Hukum adat tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya, dan peradilan adat mudah diakses, cepat, murah, fleksibel dan struktur dan norma yang berlaku bersifat longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial. Dengan demikian Dalih-dalih dualisme sistem peradilan bukanlah alasan yang tepat, melainkan pluralisme sistem peradilan menjadi alasan sistem peradilan ini perlu dihidupkan.

(12)

- 119 -

Rumusan Masalah

Setelah menguraikan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan dua pokok permasalahan, yaitu: (1) Bagaimanakah hakikat peradilan adat di Sulawesi Selatan?; (2) Bagaimanakah eksistensi peradilan adat di Sulawesi Selatan ?

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian akan diarahkan pada tujuan utama yaitu: (1) Untuk, menganalisis, menjelaskan dan menemukan hakikat peradilan adat di Sulawesi Selatan; (2) Untuk menganalisis, menjelaskan dan menemukan eksistensi peradilan adat di Sulawesi Selatan. Kegunaan dari penelitian ini adalah dengan diadakannya penelitian ini semoga dapat memberikan sumbangan keilmuan khususnya dalam bidang hukum adat mengenai, peradilan adat sebagai alternatif pnyelesaian sengketa di Sulawesi Selatan Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk bagaimana mewujudkan eksistensi peradilan adat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan upaya mencoba melihat implementasi hukum dalam sudut pandang yang nyata dan bagaimana cara kerja hukum tersebut di masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Pluralisme Hukum dan Multikulturalisme Hukum

Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial, dalam hal ini bukan hanya hukum Negara dan hukum adat tetapi juga termasuk hukum kebiasaan dan hukum agama. Relasi hukum Negara dan hukum rakyat tersebut dapat melahirkan ketegangan dan bahkan konflik jika tidak bisa didamaikan. Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut Jonh Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak

(13)

- 120 -

pada dekade 1970an, bersamaan dengan berseminya ilmu antropologi hukum (Mohammad Jamin, 2014: 29).

Teori Keputusan (Beslissingenleer)

Ter Haar dalam Teori keputusan mengungkapkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh fungsionaris-fungsionaris yang berkuasa, kepala-kepala desa, hakim-hakim yang senantiasa tidak hanya dipandang sebagai keputusan kongkret, melainkan juga sebagai aturan yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama (kasus-kasus dengan fakta-fakta yang baik secara sebagian atau seluruhnya relevan, jadi kasus-kasus yang sepanjang ada kesamaannya). Aturan-aturan hukum ini yang berlaku dalam persekutuan ini pada hakikatnya terdiri dari sejumlah besar bentuk-bentuk kehidupan yang tidak terikat, diolah menjadi norma-norma yang terikat berupa nilai-nilai persekutuan dan penilaian-penilaiannya. Namun aturan-aturan seperti ini nampaknya tidak sama kepadatan isinya, mulai dari yang meningkat sampai yang menurun ketebalan arti yang ditunjang oleh susur galur yang sistematis dengan aturan-aturan lain yang disebabkan oleh tatanan yang ada, melalui penilaian yang baik atau yang kurang baik realitas sosial berikut persyaratan-persyaratan kemanusiaan. Orang yang masih harus memberikan keputusan harus insaf bahwa keputusannya ini merupakan tanggung jawab sebagai unsur dalam pembentukan hukum. Jabatannya tersebut mau tidak mau membawa serta ia harus mempunyai kekuasaan persekutuan dan dalam keputusannya sedemikian rupa bahwa aturan yang diturunkan dari aturan tersebut dibuat sesuai dengan kemampuannya dalam lingkungan, yang di dalamnya di mana ia menjalankan hukum tersebut. Pertama-tama untuk kasus yang kongkret, namun juga untuk kasus-kasus yang lain sejauh hal-hal itu meliputi fakta-fakta yang sama relevansinya (Mr. B. Ter Haar, Freddy Tangker, & Bambang Daru Nugroho, 2011: 194).

Mazhab Sejarah

Friederich Karl von Savigny mengatakan bahwa hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa (volkgeist). Hukum dapat

(14)

- 121 -

dikenali dengan ciri khas sebuah bangsa, seperti Bahasa, adat istiadat, dan konstitusi. Hukum tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.

Konsep Peradilan Adat

Pada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah Indonesia, istilah-istilah yang digunakan sangat beragam untuk menyebut secara teknis penyelesaian perkara (sengketa/pelanggaran) yang sering disebut peradilan adat. Istilah yang sering digunakan adalah “siding dewan adat”, “sidang adat”, “rapat adat”, atau ungkapan khas masing-masing daerah (Mohammad Jamin, 2014: 44).

Dalam kepustakaan hukum adat, fungsi peradilan pada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat umumnya dilaksanakan oleh kepala-kepala adat. Sebagaimana dikatakan oleh Ter Haar dalam pidatonya di tahun 1930 yang berjudul “De rechtspraak van de Landraden naar ongeschreven recht”, di daerah Hindia Belanda, terdapat dua jenis peradilan, yaitu peradilan-peradilan yang dijalankan oleh kepala-kepala rakyat dan peradilan-peradilan yang dijalankan oleh hakim-hakim jabatan. Peradilan yang dilaksanakan oleh kepala-kepala rakyat ini dilaksanakan dengan tunduk kepada hukum dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Jenis peradilan inilah yang disebut peradilan adat, yaitu sebagai suatu sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara (Mohammad Jamin, 2014: 44).

Selain itu, yang memutuskan perkara adat dalam penyelesaian sengketa adalah fungsionaris masyarakat hukum adat setempat. Penyelesaian masalah dalam kehidupan masyarakat oleh orang-orang yang dipercayai langsung oleh masyarakat setempat bersifat terbuka dan transparan. Di lain sisi, putusan atau sanksi yang diberikan berdasarkan musyawarah sehingga istilah “adil” lebih menyentuh pada peradilan adat. Kehadiran peradilan adat ini semakin penting demi mencegah peradilan jalanan. Di sini perlu dipikirkan format peradilan adat tersebut sehingga penyelesaian yang sudah dipercayakan tingkat adat, tidak lagi menjadi polemik dan

(15)

- 122 -

harus dibawa ke tingkat hukum positif. Pada prinsipnya dalam ketentuan hukum nasional, setiap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dan terjadi dalam masyarakat dipandang dan dimaknai sebagai suatu kejahatan ataupun pelanggaran terhadap Negara, dan Negara melalui aturan perundang-undangan lebih mengedepankan sanksi hukum berupa pidana dan pemidanaan dalam penyelesaiannya. Hal ini bertolak belakang dengan mekanisme hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, dalam hukum adat terdapat pandangan berbeda, yaitu setiap kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat, tidak di pandang sebagai kejahatan ataupun pelanggaran terhadap Negara, melainkan persoalan sosial masyarakat, yang meletakkan proses penyelesaiannya melalui keterlibatan masyarakat, para pihak (pelaku dan korban) serta keluarga dengan mekanisme musyawarah dan mufakat serta penyelesaian perkara melalui mekanisme peradilan adat. Peradilan adat dapat berperan untuk mendayagunakan kearifan lokal sebagai resolusi konflik melalui mekanisme pranata lokal dan informal. Masyarakat hukum adat lebih menyukai mekanisme ini daripada mekanisme peradilan formal (Mohammad Jamin, 2014: 45).

Mekanisme ini ada pula yang memberikan pengertian sebagai hukum adat peradilan:

“adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan sesuatu perkara dan atau untuk menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Proses pelaksanaan tentang penyelesaian dan penetapan keputusan perkara itu disebut “peradilan adat”. Istilah “peradilan” (rechtspraak) pada dasarnya berbicara tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan dan atau di muka pengadilan” (Mohammad Jamin, 2014: 45).

Banyak kasus yang berpeluang menjadi kompetensi peradilan adat di masa depan. Sebagai ilustrasi pembanding saat ini dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008, tentang pembinaan kehidupan Adat Istiadat yang berlaku di NAD, dalam Pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dapat diselesaikan melalui mekanisme adat, yaitu meliputi:

“a. Perselisihan dalam rumah tangga, b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; c. perselisihan antar warga; d. khalwat meusum; e.

(16)

- 123 -

perselisihan tentang hak milik; f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); g. perselisihan harta sehareukat; h. pencurian ringan; i. pencurian ternak peliharaan; j. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; k. persengketaan di laut; l. persengketaan di pasar; m. penganiayaan ringan; n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; p. pencemaran lingkungan (skala ringan); q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat” (Mohammad Jamin, 2014: 45).

Hakim Lilik Mulyadi mengusulkan tiga konsep peradilan adat yang dapat diterapkan di sistem peradilan nasional. Usulan ini dia sampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat di Jakarta. “Bagaimana konsep peradilan adat mendatang? Saya menawarkan tiga konsep,” ujarnya ketika menjadi pembicara dalam KTT tersebut. Pertama, peradilan adat bersifat mandiri. Konsep ini menawarkan peradilan adat sebagai lingkungan peradilan kelima, setelah peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer. Konsep ini baru bisa diterapkan bila pemerintah dan DPR menindaklanjuti melalui perubahan peraturan perundang-undangan. Kedua, peradilan adat masuk ke dalam kamar peradilan umum. Lilik menawarkan konsep ini dengan menyandingkan pengadilan adat berada dalam posisi sejajar dengan pengadilan negeri di dalam peradilan umum. “Saya usulkan nanti personil (hakim) nya adalah gabungan antar hakim karier dan hakim ad hoc,” ujarnya. Hakim ad hoc yang ditawarkan oleh Lilik kelak bukan bersifat permanen seperti hakim ad hoc yang ada sekarang ini di sejumlah peradilan khusus di bawah peradilan umum. “Kalau ada perkara, lalu bisa menunjuk hakimnya. Manfaatnya dari segi SDM dan Keuangan Negara itu memungkinkan”. Status pengadilan adat juga bisa diposisikan dengan pengadilan khusus lainnya, seperti pengadilan hubungan industrial (PHI) dan pengadilan niaga. “Perkara adat ditempatkan secara khusus sehingga upaya hukum juga harus khusus. Upaya hukumnya tak ada banding, langsung kasasi ke MA, sama seperti PHI dan Pengadilan Niaga,” ujarnya. Ketiga, tak perlu dibentuk pengadilan adat tetapi cukup memanfaatkan pengadilan yang sudah ada saat ini. Yakni, mendorong para hakim menggali nilai-nilai adat ketika akan memutuskan suatu perkara. “Konsep ini sudah diterapkan saat ini. Misalnya, bagaimana hakim memutus perkara waris di padang

(17)

- 124 -

dan sebagainya dengan menggali nilai adat”. Tantangannya adalah Mahkamah Agung (MA) harus menempatkan para hakim yang tepat dan memahami hukum adat di suatu daerah dimana mereka ditempatkan. “Konsep mutasi dan promosi di MA harus mensyaratkan bahwa hakim yang bersangkutan memahami dan bisa menggali nilai-nilai adat dalam masyarakat dimana dia bertugas,”. Lebih lanjut, Lilik Mulyadi mengatakan posisi hukum adat di peradilan nasional saat ini seperti antara ada dan tiada. Di satu sisi, hukum adat memang benar-benar ada dan eksis, tetapi di sisi lain pemerintah dan DPR belum memformalkan pengakuan eksistensi hukum adat ini ke dalam peraturan perundang-undangan (Ali Salmande, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hakikat Peradilan Adat di Sulawesi Selatan

Sistem hukum dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan sudah ada sejak hubungan sosial masyarakat dimulai. Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Baso Bone “Sistem hukum adat di Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah pangngaderreng (dalam Bahasa Bugis) atau pangngadakkang (dalam Bahasa Makassar) yaitu merupakan (tempat berpijak perilaku dan kehidupan masyarakat Bugis-Makasssar)”. Sistem ini mengatur masyarakat hampir pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari adat-istiadat, politik, agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng ini mengakar dalam hati tiap orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam diri mereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan (Andi Baso Bone, 2018).

Masyarakat Bugis-Makassar mentaati sistem ini dan siapa saja yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Sanksi yang diberikanpun bervariasi, ada yang mendapatkan semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan tingkatan pelanggaran mereka terhadap pangngaderreng. Dalam menjalankan ketaatanya terhadap pangngaderreng dilandaskan pada siri’ na pesse’ (merupakan karakter budaya yang terbentuk dari rasa malu dan rasa kasihan/tidak tega) yang mereka pegang teguh. Siri’ ini yang mendorong seseorang masyarakat Bugis-Makassar tidak ingin melanggar aturan ade’ (adat-istiadat). Akan timbul rasa malu apabila

(18)

- 125 -

melakukan pelanggaran terhadap adat, akan timbul rasa malu apabila harga diri disepelekan oleh orang lain, termasuk akan timbul rasa malu jika anak atau keturunannya melangsungkan pernikahan dengan orang yang berbeda di bawah derajat kebangsawanan mereka (Andi Baso Bone, 2018).

Besarnya konsekuensi yang didapatkan karena dipermalukan (ripakasiri’) maupun mempermalukan membuat siri’ ini mengikat masyarakat dalam bertingkah-laku. Hal ini karena konsekuensi atas siri’ dapat menimbulkan suatu peristiwa berdarah (pembunuhan). Mereka yang melanggar pangngaderreng akan merasa malu dan terbuang dari masyarakat, bahkan apabila dianggap telah menodai pangngaderreng maka keluarga pelakupun akan ikut mendapatkan sanksi, seperti dikeluarkan dari daerah tempat tinggal (ripali). Sementara itu pelaku pelanggar pangngaderreng pun akan mendapat sanksi besar dari pemangku adat, misalnya di hukum mati atau berupa denda. Penjatuhan sanksi ini biasanya dilakukan oleh arung atau raja sebagai salah satu pelaksana peradilan. Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dijalankan tanpa ada unsur paksaan. Pangngaderreng ini sangat menjunjung persamaan dan kebijaksanaan. Inilah yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan. Apabila suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan akhirnya diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka pangngaderreng ini menentang adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut, termasuk pemerkosaan, penindasan dan kekerasan. Pangngaderreng ini melekat sebagai bagian dari hakikat manusia, yang melahirkan satu unsur esensi di dalam diri yang dikenal sebagai siri’. Siri’ tidak lain merupakan cerminan martabat dan harga diri manusia. Olehnya orang Bugis, kemanapun pergi mengembara akan membawa pangngaderreng yang dilandaskan pada siri’ tersebut. (Andi Baso Bone, 2018).

Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling mengikat, meliputi ade’ (adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang (pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain / menganalogikan kasus masa lalu dan kasus yang sedang terjadi), tentang wari (sistem protokoler kerajaan/ klasifikasi segala benda, peristiwa, dan aktivitas

(19)

- 126 -

kehidupan masyarakat menurut kategorinya) dan tentang sara’ (syariat islam). Sara ini merupakan aturan baru yang masuk dalam konsep pangngaderreng pasca masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Selanjutnya dalam proses pelaksanaannya masing-masing memiliki wewenang yang telah diamanahkan dari raja. Di dalam urusan ade, rapang, bicara dan wari ini dilaksanakan oleh pampawa ade’ (pelaksana adat) sedangkan untuk urusan sara dikendalikan oleh parewa sara (perangkat syariat). Parewa sara ini juga bertugas untuk menangani segala hal yang berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan, pewarisan dan sebagainya (Andi Lamaradang Mackulau, 2018). Jadi pangngaderreng fungsinya sama dengan undang-undang dasar, pampawa ade dan parewa sara adalah pendamping dan pembantu raja dalam melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan oleh perwakilan rakyat. Dalam hal ini di Bone dikenal dengan istilah ade’ pitu, di Gowa dikenal dengan bate salapang, (Andi Baso Machmud, 2018) dan di Luwu dikenal dengan istilah ade’ aserae. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat akan mendapatkan sanksi sesuai dengan apa yang telah diputuskan dalam bicara (Pengadilan). Hukuman tersebut dijatuhkan atas kesalahan yang dilakukan baik dengan ancaman hukuman mati dan lain-lain sesuai dengan berat-ringan kesalahannya.

Pernyataan dari teori keputusan (Beslissingenleer) Ter Haar yang dijadikan pisau analisis bahwa peradilan menurut hukum adat oleh karenanya pertama-tama mengikuti apa yang telah dipertanggungjawabkan dengan baik sebagai hukum yang telah diterima sebagai hukum dalam masyarakat. Dalam hal hakim tidak tampil dengan putusan-putusan sebelumnya dalam hal-hal fakta-fakta yang sama atau putusan-putusan yang tidak dapat dipertahankan, maka betapapun juga ia harus mengambil keputusan yang menurut pemahaman terbaiknya berlaku sebagai putusan hukum dan dengan demikian berlaku sebagai aturan hukum dalam lingkungan, yang di dalamnya ia memutus perkara. Untuk menemukan putusan ini ia harus menelusuri tatanan atau sistem hukum ini dalam keseluruhannya, dan ia harus mengenal kenyataan sosialnya dan mengerti persyaratan-persyaratan dan tuntutan-tuntutan kemanusiaan. Kewajiban untuk memutuskan perkara menurut hukum adat

(20)

- 127 -

mempunyai arti: memberikan bentuk dengan cara masa kini dengan penuh rasa tanggung jawab faktor-faktor (tatanan hukum, realitas sosial dan tuntutan-tuntutan kemasyarakatan) sebagai putusan hukum yang berlaku (aturan hukum). Diungkapkan secara subjektif: memberi bentuk terhadap apa yang merupakan kesadaran masyarakat berpengaruh secara timbal balik dengan kesadaran hakim yang dituntut sebagai putusan yang berlaku (aturan hukum). Kedua buah tugas hakim yang dibedakan selaku demikian maka komponen-komponennya tidak memunculkan ke permukaan penyelenggaraan pengadilan praktis, melainkan hanya unsur-unsur kegiatan-kegiatan fungsi hakim yang diterima secara tidak sepenuhnya dan yang satu dengan yang lain tidak bertemu. Demikian gerangan tugas hakim dalam hukum adat baik yang dijumpai pada hakim-hakim desa dan hakim-hakim professional. Di dalam hakikat fungsi mereka memang tidak ada perbedaan.

Konsep sistem hukum yang sudah ada pada masyarakat hukum adat di Sulawesi Selatan sejak dulu telah menjadi ujung tombak dalam meyelesaikan perkara-perkara yang terjadi dimasyarakat. Konsep tersebut bukan hanya sebatas norma tertulis dan tidak tertulis saja, konsep tersebut juga tersusun secara sistematis dengan berbagai unsur-unsurnya termasuk badan peradilan dan perangkat-perangkatnya. Hukum tersebut dianggap sangat adil karena bersumber pada budaya (adat-istiadat) yang disadari oleh semua masyarakat di Sulawesi Selatan. Ketaatan akan hukum yang diyakini pada dasarnya merupakan bagian dari kesadaran hukum masyarakat Sulawesi Selatan yang tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat. Kesadaran tersebut yang juga dikenal dengan kata siri’ yang menjadi harga diri dan nilai malu dalam berperilaku bagi masyarakat di Sulawesi Selatan.

Eksistensi Peradilan Adat di Sulawesi Selatan

Pasca kemerdekaan secara yuridis Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (Lembaran Negara 1951 Nomor 9) eksistensinya pun di hapuskan. Undang-Undang Darurat itu secara bertahap menghilangkan posisi Inheemsche Rechtspraak (Peradilan Pribumi/Peradilan Adat)

(21)

- 128 -

dan Zelfbestuur Rechtspraak (Peradilan Swapraja), (Herlambang Perdana Wiratraman, 2013: 14).

Pada Pasal 1 ayat (2) huruf b, telah menyatakan bahwa pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan: (1) Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs-rechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja; (2) Segala Pengadilan Adat (Inheemsche rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied),kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat.

Proses penghapusan tersebut berlangsung sampai sekarang. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjadi dasar hukum keberlakuan suatu lingkungan peradilan di Indonesia pada Pasal 18 hanya mengakui peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, ketika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hierarki perundang-undangan merupakan yang tertinggi dan juga merupakan fundamental norm pada Pasal 18B ayat (2) pada substansinya menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Tidak hanya itu, pada Pasal 28I ayat (3), dirumuskan konsep hak asasi manusia yang menegaskan soal identitas budaya dan hak tradisional bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Bila ditelaah dari rumusan kedua pasal tersebut, maka pengakuan negara meliputi kedua aspek pengakuan, baik terhadap persekutuan hukum maupun persekutuan masyarakatnya. Di dalam konsep itu, maka nampak terjadi percampuran konsep, yang menggabungkan antara konsep rechtgemeenschappen dan volkgemeenschappen. Selain itu, satu hal yang menarik

(22)

- 129 -

bila ditempatkan dalam konteks politik amandemen kedua, pembahasan kedua pasal itu lebih memperlihatkan dimensi pengakuan dan penghormatannya dari sudut pandang hak asasi manusia (Herlambang Perdana Wiratraman, 2013: 14).

Menurut pendapat penulis, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebenarnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dan identitas budayanya masih mendapat penghormatan dan pengakuan dari Negara. Hal ini dapat menjadi parameter bahwasanya hak-hak tradisional dan identitas budaya yang dimaksud dari Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 adalah juga termasuk badan peradilannya. Hak-hak tradisional didalam UUD 1945 memang tidak di detailkan lebih lanjut, akan tetapi jika mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang secara materil tentu memiliki aturan hukum tersendiri yang berlaku, tentu juga harus mengakui dan menghormati bentuk formil dari hukum adat tersebut. Hak-hak tradisional dan identitas budaya harus di artikan bahwa hak tersebut juga termasuk hak-hak hukum dan badan peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang terjadi di masyarakat hukum adat. Hak-hak tradisional jangan di artikan sempit bahwa hak-hak tersebut hanyalah sebuah upacara-upacara adat yang harus sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.

Wawancara tatap muka dengan “Andi Baso Bone Petta Puang, generasi ke-4 dari Raja Bone ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri mengatakan bahwa pada saat sekarang ini eksistensi dari peradilan adat memang sudah tidak eksis lagi, bahkan bisa dikatakan peradilan adat di Kabupaten Bone ini sudah mati. Andi Baso Bone mengatakan jika hal tersebut terjadi karena besarnya kepentingan politik demi terwujudnya kesatuan hukum nasional pada waktu itu. Negara ini melupakan jiwa bangsanya sendiri dan kaidah-kaidah hukumnya. Negara ini sebelum bernama Indonesia, Negara ini dipenuhi oleh beberapa Kerajaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut telah memiliki sistem hukum tersendiri yang dibuat berdasarkan nilai kearifan lokal dari masing masing daerah. Akan tetapi, semenjak Negara ini merdeka, kaidah-kaidah yang bersumber dari

(23)

- 130 -

kebudayaan/kearifan lokal tersebut tidak diadopsi dan berangsur-angsur kaidah tersebut dilupakan. Menjadi sebuah ironi bahwa hukum barat lah yang diadopsi menjadi hukum tertulis yang berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Dalam defenisinya asas konkordansi tersebut sebenarnya di berlakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu hanya untuk golongan eropa yang berada di Hindia-Belanda. Sedangkan untuk golongan pribumi yang notabenenya golongan tersebut adalah merupakan orang asli Indonesia tetap diberlakukan hukum adat walaupun dalam bentuk tidak tertulis (Andi Baso Bone, 2018).

Diakuinya peradilan untuk orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa karena Belanda menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri seluruh persoalan yang dihadapi oleh penduduk Hinda-Belanda (Indonesia) sendiri dengan menggunakan peradilan Eropa, pembagian penggolongan penduduk oleh Belanda dipandang sebagai solusi atas masalah tersebut maka dalam pasal 163 Indische Staatsregeling golongan penduduk di Hindia Belanda dibagi menjadi tiga yaitu: golongan penduduk Eropa, golongan Penduduk Timur Asing dan golongan Penduduk Pribumi, hal mana setiap golongan penduduk tersebut menerapkan aturan hukum yang sesuai dengan golongan masing-masing apabila terjadi perkara, kecuali melakukan penundukkan diri ke Hukum yang digunakan oleh pemerintah Belanda (Herlambang Perdana Wiratraman, 2013: 14).

Saat itu, yang disebut peradilan pribumi atau peradilan adat merupakan peradilan yang dilaksanakan oleh para Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak mengatasnamakan Raja atau Ratu Belanda dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, melainkan di dasarkan atas tata hukum adat yang ditetapkan oleh Residen dengan persetujuan Direktur Kehakiman di Batavia. Kewenangan mengadili peradilan ini adalah terhadap orang-orang pribumi yang berdomisili di daerah peradilan, yang dijadikan Tergugat atau Tersangka. Penggugat atau pihak yang menyengketakan boleh saja yang bukan penduduk setempat, termasuk orang Eropa atau non-pribumi yang merasa dirugikan. Peradilan ini menggunakan hukum acara atau formal sendiri yang khusus berupa peraturan peradilan dari Residen, misalnya: Peraturan Musapat Aceh Besar dan Singkel (1934), Peraturan Kerapatan Kalimantan

(24)

- 131 -

Selatan dan Timur (1934), Peraturan Gantarang, Matinggi dan Laikang (Sulawesi Selatan 1933) dan lain sebagainya. Posisi peradilan adat yang demikian, hampir sama dengan Peradilan Desa saat itu, yakni peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim Desa baik dalam lingkungan peradilan gubernemen. Peradilan ini berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat atau urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan, perkawinan, mas kawin, perceraian, kedudukan adat dan lain-lain perkara yang timbul dalam masyarakat adat bersangkutan. Para hakim desa tidak boleh menjatuhkan hukuman sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan apabila para pihak yang berselisih tidak puas dengan keputusan hakim desa ia dapat mengajukan perkaranya kepada hakim gubernemen (Herlambang Perdana Wiratraman, 2013: 14). Pemerintah Hindia-Belanda dulu telah mengakui peradilan adat karena mereka menganggap bahwa persoalan yang terjadi pada masyarakat waktu itu tidak bisa diselesaikan hanya denga peradilan eropa saja karena masyarakat pribumi telah memiliki sistem hukum tersendiri.

Andi Baso Bone juga mengatakan bahwa, peradilan adat dahulu telah ada yang tertuang dalam konsep bicara yang merupakan bagian dari konsep pangngaderreng yang menjadi pedoman masyarakat. Bicara yang merupakan bagian dari pangngaderreng adalah aturan-aturan peradilan yang lebih bersifat pencegahan dengan tujuan utama mengembalikan tatanan sosial yang rusak akibat terjadi nya perkara atau sengketa guna terwujudnya keadilan di dalam masyarakat.

“Sebagai ilustrasi dalam perselisihan yang terjadi antara masyarakat yang salah satu keluarganya di bunuh oleh masyarakat lain. Keluarga korban menuntut bahwa pelaku pembunuhan juga harus dibunuh sebab menurut keluarga korban disitulah letak keadilan sesungguhnya. Arung (raja) yang pada waktu itu menjadi hakim dalam perselisihan tersebut mengatakan kepada keluarga korban bahwa, itu adalah hak dari keluarga korban. Akan tetapi yang perlu di pertimbangkan lagi adalah posisi anda di dunia saat ini adalah korban, jika anda tetap menuntut bahwa pelaku juga harus di bunuh, pada kehidupan selanjutnya (akhirat) anda adalah pelaku dan akan mendapat sanksi dari Tuhan. Memaafkan adalah perbuatan yang sangat mulia. Akan tetapi, ketika anda pun tidak begitu ikhlas untuk memaafkan, selaku Arung akan menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa denda 5 ekor sapi yang wajib ditanggung oleh pelaku dan keluarga pelaku yang tentu akan sangat bermanfaat bagi kelanjutan kehidupan keluarga korban”.

(25)

- 132 -

Ilustrasi tersebut sangat menggambarkan bahwa putusan-putusan Arung (raja) pada waktu itu sangat mengarah kepada keadilan guna terciptanya perdamaian dengan metode yang sangat sederhana dan fleksibel. Putusan tersebut diterima kedua belah pihak tanpa meninggalkan rasa dendam pada masa yang akan datang. Putusan tersebut juga memberikan efek jera karena bukan hanya pelaku yang dijatuhi sanksi tetapi keluarga korban juga ikut menanggung sanksi dari perbuatan keluarganya. Putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap dan menjadi pedoman bagi masyarakat yang harus dipatuhi. Putusan tersebut bukan hanya sekedar keputusan konkret melainkan juga menjadi aturan yang berlaku untuk kasus-kasus serupa. Putusan tersebut di hormati dan di hargai seluruh masyarakat karena putusan tersebut di putuskan oleh Arung yang pada masa itu adalah seorang raja yang memiliki kewibawaan dan pengaruh yang merupakan perwujudan dari masyarakat tersebut (Andi Baso Bone, 2018).

Ter Haar dalam Teori Keputusan (Beslissingenleer) yang menjadi pisau analisis dalam tulisan ini mengungkapkan bahwa, keputusan-keputusan yang diambil oleh fungsionaris-fungsionaris yang berkuasa, kepala-kepala desa, hakim-hakim yang senantiasa tidak hanya dipandang sebagai keputusan kongkret, melainkan juga sebagai aturan yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama (kasus-kasus dengan fakta-fakta yang baik secara sebagian atau seluruhnya relevan, jadi kasus-kasus yang sepanjang ada kesamaannya). Aturan-aturan hukum ini yang berlaku dalam persekutuan ini pada hakikatnya terdiri dari sejumlah besar bentuk-bentuk kehidupan yang tidak terikat, diolah menjadi norma-norma yang terikat berupa nilai-nilai persekutuan dan penilai-nilaian-penilai-nilaiannya. Namun aturan-aturan seperti ini nampaknya tidak sama kepadatan isinya, mulai dari yang meningkat sampai yang menurun ketebalan arti yang ditunjang oleh susur galur yang sistematis dengan aturan-aturan lain yang disebabkan oleh tatanan yang ada, melalui penilaian yang baik atau yang kurang baik realitas sosial berikut persyaratan-persyaratan kemanusiaan. Orang yang masih harus memberikan keputusan harus insaf bahwa keputusannya ini merupakan tanggung jawab sebagai unsur dalam pembentukan hukum. Jabatannya tersebut mau tidak mau membawa serta ia harus mempunyai

(26)

- 133 -

kekuasaan persekutuan dan dalam keputusannya sedemikian rupa bahwa aturan yang diturunkan dari aturan tersebut dibuat sesuai dengan kemampuannya dalam lingkungan, yang di dalamnya di mana ia menjalankan hukum tersebut. Pertama-tama untuk kasus yang konkret, namun juga untuk kasus-kasus yang lain sejauh hal-hal itu meliputi fakta-fakta yang sama relevansinya.

Ter Haar menggambarkan bahwa hukum adat beserta peraturan-peraturannya menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat berwenang yang memiliki kewibawaan dan pengaruh. Hukum tersebut tumbuh dan berkembang serta terus di pertahankan dengan kesadaran hukum masyarakat. Keputusan-keputusan kepala adat wajib di patuhi selama keutusan tersebut sesuai dengan keyakinan hukum masyarakat atau sesuai dengan keinignan masyarakat. Hukum adat tersebut hanya dapat dilihat dari keputusan-keputusan para kepala adat yang memutus suatu perkara berdasarkan apa yang menjadi keyakinan masyarakat dan dari keputusan tersebut lahirlah aturan hukum yang konkret dan menjadi pedoman hidup masyarakat (Mr. B. Ter Haar, Freddy Tangker, & Bambang Daru Nugroho, 2011: 194).

Selain itu, Andi Baso Machmud juga mengatakan bahwa keberadaan peradilan adat sekarang ini sudah tidak eksis lagi. Berbeda pada masa kerajaan dimana masyarakat sangat patuh terhadap aturan-aturan adat. Kerajaan dalam tupoksinya juga membuat badan peradilan yang dipimpin oleh raja dan dibantu dengan protokoler-protokolernya (pampawa ade’). Andi Baso Machmud mengatakan, jika peradilan adat di Sulawesi Selatan ingin dihidupkan lagi, khususnya di Kabupaten Gowa kami sangat setuju. Sebagai contoh, kami di Kabupaten Gowa, terjadi perselisihan antara pemerintah daerah dan lembaga adat/kerajaan. Dimana bupati terpilih mengambil posisi sombayya (yang disembah / raja) yang pada dasarnya itu adalah merupakan posisi raja yang seharusnya di emban oleh keturunan langsung dari raja terdahulu. Perselisihan tersebut tidak akan terjadi ketika peradilan adat beserta perangkat-perangkat adatnya masih ada di Kabupaten Gowa sebab semua masalah kerajaan akan diurus oleh kerajaan itu sendiri bukan menjadi urusan dari pemerintah daerah (Andi Baso Machmud, 2018).

(27)

- 134 -

Hal berbeda terjadi pada daerah palopo yang menjadi pusat kerajaan Luwu saat ini. Dalam wawancara tatap muka penulis oleh Datu Luwu ke-40 Andi Maradang Mackulau mengatakan bahwa peradilan adat di Luwu masih ada dan masih eksis dalam mengadili sengketa antara masyarakat yang terjadi. Kami masih menjunjung tinggi adat istiadat disini. Sebagai contoh, pada tahun 2016 terjadi konflik berkepanjangan antar kampung di Luwu Timur. Pihak kepolisian tidak mampu menangani kasus tersebut karena konfilk itu terus berulang. Pada akhirnya kepala desa kedua kampung dan pihak kepolisian mengambil inisiatif membawa persoalan ini kepada Istana Kedatuan Luwu. saya sendiri (Datu Luwu) yang menyelesaikan persoalan tersebut yang pada akhirnya konflik ini tidak pernah lagi terjadi. Kerajaan Luwu sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang telah dibentuk oleh Batara Guru. Andi Maradang Mackulau menambahkan sumber hukum pertama bangsa ini adalah hukum adat itu sendiri. Dimana pada waktu itu kolonial belanda membentuk daerah swapraja yang mempunyai hak pemerintahannya sendiri. Sejak itu orang-orang pribumi (bumiputra) dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi hanya menggunakan peradilan adat yang mempunyai karakter yang fleksibel sehingga cenderung dalam menyelesaikan sengekta tujuan utamanya mengarah kepada perdamaian demi terwujudnya keadilan (Andi Lamaradang Mackulau, 2018).

Eksistensi ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang dianut kerajaan Luwu sejak dahulu. Sistem pemerintahan kerajaan Luwu dikenal dua lembaga kekuasaan, yaitu Ade’ Asera (Hadat Sembilan) dan Ade’ Sappulo Dua (Hadat Dua Belas). Ade’ Asera berfungsi mengawasi pelaksanaan pemerintahan, sedangkan Ade’ Sappulo Dua berfungsi sebagai lembaga pemilih raja. Badan pelaksana pemerintahan empat orang yang disebut To Maraja (Pakatenni Ade’), (Sarita Pawiloy, 2002: 24). Pluralisme hukum mengandaikan adanya pilihan dalam penerapan hukum itu sendiri (Uswatun Hasanah, Mohammad Amir Hamzah, dan Muffarijul Ikhwan, 2018: 163-183).

(28)

- 135 -

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Hakikat peradilan adat di Sulawesi Selatan adalah merupakan sebuah sistem hukum yang telah ada sejak hubungan sosial masyarakat dimulai. Sistem hukum tersebut dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan. Sistem hukum tersebut dikenal dengan istilah pangngaderreng atau pangngadakkang. Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling mengikat yaitu pancanorma.

Peradilan adat dalam lokasi penelitian pada daerah Gowa dan Bone menggambarkan eksistensi peradilan adat sudah tidak ada lagi. Hal ini disebabkan lemahnya payung hukum untuk menaungi lembaga adat sehingga terjadi sengketa antara pemerintah daerah dan lembaga adat. Akan tetapi pada daerah Luwu peradilan adat masih dapat dikategorikan eksis. Hal tersebut berdasar pada Datu Opu sebagai Raja luwu berhasil medamaikan sengketa yang terjadi selama bertahun-tahun antar warga kampung.

Saran

Sistem hukum pangngaderreng/pangngadakkang dapat dijadikan tolak ukur oleh Pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam setiap pembuatan rancangan peraturan perundang-undangan karena bersumber dari kearifan lokal, nilai keadilan, serta kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Sulawesi Selatan.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan perlu menghidupkan kembali peradilan adat sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa/perkara. Peradilan adat membantu pemerintah dalam menyelesaikan sengketa dan perkara yang terjadi di masyarakat. Sifatnya yang fleksibel dan tidak rumit juga membantu masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

(29)

- 136 -

DAFTAR ACUAN

Haar, Ter., Tengker, F., & Nugroho, B. D. (2011). Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat. Bandung. Mandar Maju.

International Labor Organization. (2007). “C169 - Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 ”. Jakarta. International Labor Office.

Jamin, M. (2014). PERADILAN ADAT ; Pergeseran Politik Hukum Perspektif Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Pawiloy, S. (2002). Ringkasan SEJARAH LUWU . Makassar. CV. Telaga Zamzam. Pide, A. S. M. (2014). Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta.

Kencana.

Poesoko, H., Khoidin, M., & Rato, D. (2014). Eksistensi Pengadilan Adat Dalam Sistem Peradilan. Surabaya. LaksBang Justitia.

Salamande, A. (2013). “Hakim Tawarkan Tiga Konsep Peradilan Adat. Belajar dari

Eritrea dan Papua Nugini”. Diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/.

Uswatun Hasanah, Mohammad Amir Hamzah, dan Muffarijul Ikhwan. (2018, April) "Pluralisme Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan Pada Masyarakat Madura". Arena Hukum, 11(1), 163-183.

Warman, Kurnia., Saldi Isra, & Hilaire Tegnan. (2018). Enhancing Legal Pluralism: The Role of Adat and Islamic Laws Within The Indonesian Legal System. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 21(3).

Wiratraman, H. P. (2013). Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Peluang Peradilan Adat Dalam Meyelesaikan Sengketa Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Pihak Luar. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (BPHN).

Wulansari, C.D. (2012). Hukum Adat Indonesia-Suatu Pengantar. Bandung. Refika Aditama.

BIODATA PENULIS

Andika Prawira Buana, lahir di Ujung Pandang Provinsi Sulawesi Selatan pada 27

April 1990. Merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Prof. Dr. H. Bahar Sinring, SE., MSi dan Hj. Nurlaila Tahir, B.Sc. Menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri Cendrawasih Makassar tamat Tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Makassar tamat Tahun 2005, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Makassar tamat Tahun 2008, Sarjana Hukum (S1) yang di peroleh di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar Tahun 2012, dan Magister Hukum (S2) juga di peroleh dari Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar Tahun 2014. Saat ini sementara studi pada Program Doktor Ilmu Hukum

(30)

- 137 -

(S3) di Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia. Sebagai Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia mulai pada Tahun 2015. Dalam rangka pengembangan diri aktif pada beberapa seminar ilmiah di bidang hukum dan mulai aktif pada dunia publikasi ilmiah hukum dan tertarik pada tulisan-tulisan hukum adat.

(31)
(32)

Referensi

Dokumen terkait

Desain stator dan rotor dari generator linier ini masih sama dengan desain yang digunakan pada penelitian sebelumnya namun terdapat perubahan pada sisi spesifikasi

Terkait dengan peningkatan koersivitas magnet intrinsik dari 1,68 kOe (origin ) menjadi 4,39 kOe setelah rekristalisasi dengan ukuran kristalit yang semakin halus, maka

Metode yang digunakan dalam akuisisi data yaitu metode seismik refraksi dengan interpretasi data menggunakan Metode Hagiwara untuk menentukan kedalaman suatu lapisan tanah

Secara eksplisit penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan “Apakah terdapat hubungan langsung dan tidak langsung antara etika profesi, keahlian, pengalaman, dan situasi

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kecamatan adalah Wilayah kerja camat sebagai perangkat

Perbedaan ketinggian lokasi di sepanjang aliran sungai berpengaruh terhadap tata guna lahan dan faktor fisik- kimia lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap

Dalam pengelolaan Unit Rawat Inap ( URI ), salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan tempat tidur pasien. Pengelolaan tempat tidur pasien perlu mendapat