• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit periodontitis merupakan salah satu masalah yang banyak. dijumpai baik di negara berkembang, sedang berkembang, dan bahkan di negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyakit periodontitis merupakan salah satu masalah yang banyak. dijumpai baik di negara berkembang, sedang berkembang, dan bahkan di negara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Penyakit periodontitis merupakan salah satu masalah yang banyak dijumpai baik di negara berkembang, sedang berkembang, dan bahkan di negara maju, yang jumlahnya mencapai 24,5 % sampai 79,6 % dari populasi (Pei dkk., 2015). Umumnya kasus periodontitis paling banyak dijumpai antara usia 30 sampai 40 tahun (Holtfreter dkk., 2015). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 masalah gigi dan mulut termasuk masalah penyakit periodontal dalam 12 bulan terakhir jumlahnya mencapai 25,9 % penduduk Indonesia dan 31,1 % diantaranya yang mendapat perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi, sementara 68,9 % lainnya tidak dilakukan perawatan. Propinsi Sumatera Utara tercatat sebagai daerah dengan proporsi penduduk yang memiliki masalah gigi dan mulut mencapai 19,4 % (RISKESDAS, 2013).

Periodontitis kronis merupakan penyakit inflamasi di jaringan penyangga gigi yang dapat menyebabkan tanggalnya gigi jika tidak dirawat (Novak, 2012). Karakteristik periodontitis antara lain inflamasi (umumnya kelanjutan dari gingivitis), resesi gingiva, destruksi jaringan ikat dan serat ligamen periodontal, hilangnya perlekatan gigi terhadap periodonsium, pembentukan poket periodontal di sekeliling gigi, dan resorpsi tulang alveolar (Banjar dkk., 2014). Destruksi jaringan periodontal yang terjadi disebabkan oleh hadirnya bakteri periodontopatogen yang dapat memicu respon inflamasi dan respon tubuh sehingga menimbulkan terjadinya keparahan periodontitis. (Graves dkk., 2011).

(2)

2011). Akhir-akhir ini, prevalensi defisiensi vitamin D di negara berkembang dan negara yang sedang berkembang terjadi sekitar 30 % - 80 % pada seluruh populasi di seluruh dunia (Holick, 2007). Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2001 - 2006 di negara Amerika, sebanyak 29 % laki-laki dan 34 % perempuan memiliki kadar 25(OH)D yang rendah (< 20 ng/mL). Faktor risiko utama mengalami defisiensi vitamin D adalah lingkungan, cuaca, diet, sedangkan kegemukan (obese), ibu hamil, perempuan berkerudung, pekerja malam tidak berpengaruh banyak (Mithal dkk., 2009).

Defisiensi vitamin D di negara asia hampir seluruhnya terjadi, baik di Asia Selatan maupun di negara Asia Tenggara (Nimitphong dan Holick, 2013). Sebanyak 69 % - 82 % populasi di negara Asia Selatan misalnya di India mengalami defisiensi vitamin D (vitamin D < 20 ng/mL) (Harinarayan dkk., 2004). Beberapa negara di Asia Tenggara antara lain di negara Malaysia dilaporkan bahwa rata-rata kadar vitamin D perempuan usia dewasa (43 - 53 tahun) adalah rendah (14,4 + 5,2 ng/mL) sedangkan laki-laki adalah cukup (22,4 + 7,6 ng/mL) (Moy dan Bulgiba, 2011), di negara Vietnam rata-rata kadar vitamin D perempuan usia produktif (30 - 33 tahun) adalah rendah (18 ng/mL) (Lailou dkk., 2013), dan di negara Korea dilaporkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D pada laki-laki usia 23 - 61 tahun sebanyak 47,3 % (21 + 7,5 ng/mL) sedangkan perempuan sebanyak 64,5 % (18,2 + 7,1 ng/mL) (Choi, 2013). Hal ini berarti defisiensi vitamin D juga dapat ditemukan di negara tropis

Indonesia adalah salah satu negara tropis yang sepanjang tahun disinari matahari. Sayangnya masih banyak penduduk Indonesia yang kurang memanfaatkannya, terutama yang tinggal di kota besar. Sampai saat ini penelitian

(3)

tentang prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia pada usia dewasa laki-laki dan perempuan masih jarang dilakukan dan umumnya hasilnya menunjukkan kadar vitamin D masih rendah. Penelitian Oemardi (2007) yang dilakukan di kota Jakarta dilaporkan sebanyak 50 % perempuan usia 45 - 55 tahun mengalami defisiensi vitamin D dan Setiati (2008) melaporkan sebanyak 35,1 % perempuan usia 60 - 75 tahun di kota Jakarta mengalami defisiensi vitamin D. Penelitian Briawan dkk. (2014) terhadap pekerja perempuan pabrik di kota Bogor dilaporkan bahwa sebanyak 57,6 % mengalami ketidakcukupan vitamin D dengan rerata kadar vitamin D dalam tubuh sebesar 13,2 + 5,2 ng/mL. Penelitian yang dilakukan oleh Yosephin dkk., (2014) pada 504 perempuan usia subur (18 - 40 tahun) dilaporkan sebanyak 63 % mengalami defisiensi vitamin D dengan rata-rata konsentrasi serum 25(OH)D adalah 19,2 ng/mL. Penelitian Sari dan Rasyid (2013) yang mengukur kadar vitamin D penduduk perempuan obese di propinsi Sumatera Utara diperoleh kadar vitamin D rendah (18,8 + 7,2 ng/mL). Kebanyakan penduduk di Indonesia yang berdomisili di kota besar pergi beraktivitas sebelum matahari terbit, pulang beraktivitas setelah matahari terbenam, dan seharian penuh berada di ruang tertutup yang menggunakan pendingin ruangan (air conditioner). Selain itu cakupan vitamin D belum menjadi bagian dalam program riset kesehatan dasar rumah tangga sehingga luput dari perhatian nasional. Oleh sebab itu tidak dipungkiri penduduk Indonesia tak luput dari masalah defisiensi vitamin D (Setiati, 2008).

Kejadian kekurangan vitamin D dapat diakibatkan oleh perubahan fungsi organ yang terlibat dalam proses sintesis 25(OH)D seperti kulit, hati, ginjal, dan usus. Selain itu gaya hidup yang cenderung menghindari sinar matahari, dan

(4)

rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D (Ernawati, 2014). Upaya yang dapat dilakukan untuk defisiensi vitamin D antara lain memberikan suplemen vitamin D, dan terpapar sinar matahari, atau dengan diberi paparan sinar ultraviolet buatan (Setiati, 2008).

Saat terjadi kekurangan vitamin D, hal ini akan menambah risiko terjadinya infeksi, sedangkan gejala spesifik yang menyertai kondisi kekurangan vitamin D hampir tidak ada (Anand dkk., 2013). Saat mengetahui status vitamin D seseorang (cukup, tidak cukup/insufisiensi, kurang/defisiensi, berlebih ataupun toksis) melalui pemeriksaan vitamin D [25(OH)D] total, maka kondisi kekurangan vitamin D yang merupakan suatu silent disease dapat segera diatasi (Hollick, 2007). Pemeriksaan vitamin D [25(OH)D] total penting untuk dilakukan terutama oleh individu dengan risiko tinggi kekurangan vitamin D, seperti orang yang mendapat sedikit paparan sinar matahari atau aktivitas lebih banyak dalam ruangan, berusia lanjut (60 tahun atau lebih), terapi osteoporosis, terbiasa menggunakan sun screen atau pakaian tertutup, obesitas, dan mengalami gangguan hati atau ginjal.

Vitamin D dapat berperan sebagai antiinflamasi karena bertindak sebagai imunomodulator dengan melakukan imunosupresi atau menekan fungsi imun tubuh yang berlebihan (Bartley, 2010). Hal ini menunjukkan vitamin D dapat bermanfaat dalam terapi periodontitis kronis, karena bukan hanya berefek langsung pada metabolisme tulang tetapi juga karena berefek menghambat terlepasnya mediator proinflamasi yang berkontribusi dalam terjadinya destruksi periodontal (Amano, dkk., 2009). Oleh sebab itu vitamin D dapat dipertimbangkan sebagai bahan potensial (suplemen) yang memberi efek

(5)

menguntungkan bagi kesehatan periodontal dan menjadi akhir dari terapi periodontal (Bashutski dkk., 2013).

Penelitian uji klinis yang dilakukan oleh Heaney dkk. (2003) pada laki-laki sehat yang diberi suplemen vitamin D antara 1000 IU, 5,000 IU, dan 10,000 IU perhari selama 20 minggu selama musim dingin dan terbatas paparan sinar matahari, dilaporkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan pada pemberian 10,000 IU yang ditandai dengan bertambahnya jumlah serum vitamin D darah mencapai 85.2 ng/mL (n=10) dan 88 ng/mL (n = 16) dari rata-rata awal 28 ng/mL, dan diketahui pula bahwa serum kalsium tidak bertambah dan tidak menimbulkan efek samping di dalam tubuh. Meskipun demikian Heaney menyarankan untuk menggunakan vitamin D 3000 - 5,000 IU perhari selama musim panas sebagai dosis pemeliharaan untuk kadar serum vitamin D dalam darah yang tidak adekuat.

Sofiani dkk., (2014) yang melakukan penelitian secara double blind randomized control trial dan memberikan suplemen vitamin D dosis 5,000 IU perhari selama 12 minggu kepada penderita Diabetes melitus tipe II diketahui terjadi pertambahan konsentrasi kadar serum vitamin D dalam tubuh yang semula < 20 ng/mL menjadi > 30 ng/mL. Namun pada penelitian Wagner dkk. (2013) yang memberikan suplemen vitamin D pada dosis 400 IU, 10,000 IU, dan 40,000 IU per oral setiap hari selama 2 (dua) minggu pada penderita kanker prostat dilaporkan bahwa hanya dosis 40,000 IU yang memberi efek peningkatan jumlah kadar serum vitamin D sedangkan dosis 400 IU dan 10,000 IU tidak berefek.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan status vitamin D terhadap kejadian periodontitis kronis dan mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D pada penderita periodontitis kronis namun hasil penelitian

(6)

masih menunjukkan kontroversi. Penelitian Garcia dkk. (2011) di kota Saint Louis terhadap 51 orang subyek yang mendapat terapi pemeliharaan periodontal dan mendapat suplemen vitamin D 400 IU plus kalsium 1000 mg serta memiliki gigi dengan 2 sisi interproksimal atau lebih yang mengalami kehilangan perlekatan klinis sebesar > 3 mm, dilaporkan terdapat sedikit perubahan yang signifikan setelah pemberian vitamin D dalam beberapa indikator klinis antara lain poket periodontal menjadi lebih dangkal, gigi dengan area perdarahan gingiva lebih sedikit saat diprobing, serta kehilangan perlekatan klinis menjadi lebih kecil (less attachment loss).Pada penelitian Perayil dkk. (2015) yang melakukan pemberian suplemen vitamin D (250 IU) dan kalsium (500 mg) pada laki-laki dan perempuan usia 35 - 55 tahun yang menderita periodontitis kronis dilaporkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan hanya pada indeks gingiva dan indeks kebersihan mulut (OHIs) setelah 3 bulan, sedangkan terhadap kedalaman poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti efek pemberian suplemen vitamin D terhadap beberapa indikator klinis penyakit periodontal pada penderita periodontitis kronis yang berdomisili di kota Medan.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian : bagaimana efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis ?

(7)

1.3 Hipotesa

Ho : Tidak ada efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis. Ha : Ada efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non

bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis.

1.3 Tujuan

a. Umum

Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis.

b. Khusus

1. Untuk mengetahui kadar serum vitamin D pada penderita periodontitis kronis sebelum maupun sesudah pemberian suplemen vitamin D selama 6 minggu.

2. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan kedalaman poket periodontal (Periodontal Pocket Depth/PPD) pada penderita periodontitis kronis sebelum dan sesudah diberi vitamin D selama 6 minggu.

3. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan hilangnya perlekatan klinis (Clinical Attachment Loss/CAL) pada penderita periodontitis kronis sebelum dan sesudah diberi vitamin D selama

(8)

4. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan derajat perdarahan gingiva (Bleeding On Probing/BOP) pada penderita periodontitis kronis sebelum maupun sesudah diberikan suplemen vitamin D selama 6 minggu.

1.4 Manfaat

a. Masyarakat :

1. Menambah informasi mengenai gambaran kadar vitamin D pada penderita periodontitis kronis.

2. Menambah informasi kepada masyarakat tentang manfaat suplemen vitamin D terhadap kesehatan gigi dan mulut dalam upaya membantu proses penyembuhan pada penderita periodontitis kronis.

b. Klinis

Memberikan masukan kepada para dokter gigi maupun perawat gigi tentang manfaat pemberian suplemen vitamin D untuk menunjang penyembuhan jaringan periodontal.

c. Pemerintah

Memberikan masukan kepada dinas kesehatan terkait untuk mempromosikan manfaat vitamin D bagi peningkatan kualitas kesehatan gigi dan mulut sejak dini.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: memberi dukungan, melindungi, dan menurunkan tingkat ansietas pada tkt sedang atau ringan.  Bina hubungan saling

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000, yang merupakan APBN tahun awal era reformasi pembangunan, merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan,

Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk memberi pencerahan pada peran dari kepribadian karyawan dalam konteks persepsi kepemimpinan dengan melibatkan

masih hatiku untukmu, aku tetap menunggumu mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku apakah aku terlalu, terlalu banyak berkelana mungkin kau bukanlah jodohku. atau bahkan

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik

Salah satu argumentasi penafsiran ayat ba„ud}atan fama&gt; fawqaha&gt;, menurut al-Ra&gt;ziy dalam kitabnya Mafa&gt;tih} al-Ghayb, adalah berdasarkan sebab turunnya ayat

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali

mengembangkan aspek fisik, keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, tidak berbahaya, memiliki nilai kebaikan, memiliki aturan dan tujuan yang jelas [14]. Jumlah