1
EVALUASI PELAKSANAAN KELURAHAN SIAGA DI KOTA MADIUN
(EVALUATION OF ALERT VILLAGE IMPLEMENTATION IN MADIUN)
Istikomah*, Muhidin**, Agnes V. Sugiartiningsih**, Nunung Handayani** 1. Program D3 Akademi Keperawatan Dr. Soedono Madiun, Jawa Timur 63117, Indonesia
*Email: istikomah_anam@yahoo.com
Abstrak
Pendahuluan: Desa/Kelurahan siaga merupakan program pemerintah dalam upaya lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, menyiapsiagakan masyarakat menghadapi masalah – masalah kesehatan, memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hasil pelaksanaan program Kelurahan Siaga di Kota Madiun yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2007. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sampel/informan dalam penelitian ini adalah Kasie UKBM Dinas Kesehatan Kota Madiun, Pengurus Kelurahan Siaga Mojorejo dan Pandean dengan jumlah 22 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah convinience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Analisa data dilakukan dengan membaca berulang – ulang untuk memperoleh tema sesuai indikator dalam pedoman wawancara mendalam dan FGD. Hasil: Hasil penelitian diperoleh pelaksanaan Kelurahan Siaga sudah mencapai tahap Purna, keterlibatan UKBM dan peran serta masyarakat sudah baik. Kelurahan Siaga Pandean berada pada tahap Bina, belum ada koordinasi dengan UKBM yang ada dan peran serta masyarakat belum aktif. Diskusi: Dalam rangka mencapai Kelurahan Siaga yang diharapkan perlu adanya pedoman pelaksanaan yang lebih operasional, program pendampingan dan penyediaan anggaran serta tenaga kesehatan yang memadai di masyarakat sebagai upaya promotif dan preventif.
Kata kunci : Evaluasi, Pelaksanaan, Kelurahan Siaga Abstract
Indtroduction: Alert village is a government program in an effort to get closer to primary health care to rural society, to prepare society facing health problems, to make the society accustomed to developing a clean and healthy lifestyle behaviors. The purpose of this study is to describe the results of implementation of the alert village program in the Madiun that has been carried out since 2007. Method: This research is a qualitative descriptive study. Sample / informants in this study were Head of the UKBM Madiun Health Department, the amount of Committee members of Mojorejo area and Pandean area are 22. The sampling technique used was convenience sampling. The data was collected through in-depth interviews and a Focus Group Discussion (FGD). Data analysis is done by reading over and over to obtain the corresponding indicator theme in-depth interviews and focus group discussion guidelines. Result: A research result obtained by the implementation of the Village has reached a stage Full Alert, UKBM involvement and community participation has been good. Pandean alert village are on stage, there has been no coordination with existing UKBM and society participation have not been active yet. Discussi : In order to achieve the expected alert village there needs to be more operational implementation, mentoring programs and budgets as well as the provision of adequate health personnel in the community as promotive and preventive efforts.
2 Pendahuluan
Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor : 574/Menkes/SK/IV/2000 menetapkan visi pembangunan kesehatan, yaitu Indonesia sehat 2010. Sejak dicanangkan visi Indonesia sehat 2010 telah banyak kemajuan yang dicapai, akan tetapi kemajuan - kemajuan itu tampaknya masih jauh dari target yang ingin dicapai pada tahun 2010. (Depkes RI, 2006 : 2). Seiring dengan keputusan tersebut, pembangunan kesehatan 2005-2009 diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010, yaitu : meningkatnya
kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya. (Sekretaris Jenderal - Departemen Kesehatan RI.2006).
Sasaran yang dicapai pembangunan kesehatan adalah : Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; Menurunnya angka kematian bayi 45 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup; Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per
100.000 kelahiran hidup;
Menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita dari 25,8% menjadi 20% . (Depkes RI, 2006 : 4). Dengan ditetapkannya sasaran tersebut, maka Departemen Kesehatan merumuskan Visi “Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat“ dengan Misi ” Membuat Masarakat Sehat” yang akan dicapai melalui strategi: Menggerakan dan membudayakan
masyarakat hidup sehat;
Meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas; Meningkatnya system
surveilans, monitoring dan informasi
kesehatan; Meningkatkan
pembiayaan kesehatan (Depkes RI, 2006:4)
Pada saat ini dalam
penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat masih diposisikan sebagai obyek belum menjadi subyek. Untuk itu perlu adanya
Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM) yang menjamin : a. Ketersediaan (availabilility), b. Keterjangkauan (affordability), c. Dapat diterima (acceptability), d. Mutu (quality) (WHO- Health and Human Righ.public series No.july 2002 dalam Depkes RI, 2006 : 5).
Upaya pemerataan, dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu belum optimal. Perhatian pada masyarakat miskin, rentan dan berisiko tinggi serta penanganan masalah kesehatan akibat bencana masih belum memadai. Kondisi ini juga antara lain disebabkan karena jumlah, kualitas, dan pemerataan tenaga kesehatan yang belum memadai.( Sekretaris Jenderal - Departemen Kesehatan RI, 2006)
Salah satu sasaran terpenting yang ingin dicapai adalah “Pada akhir tahun 2008, seluruh desa telah menjadi Desa Siaga “. Standart Nasional pencapaian desa siaga dalam satu kapupaten/kota adalah 85%. Pengembangan Desa Siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, menyiap siagakan Masyarakat
menghadapi masalah-masalah
kesehatan, memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk menjadi Desa Siaga perlu dikaji
3 berbagai kegiatan bersumber daya masyarakat yang ada dewasa ini seperti Posyandu, polindes (pos bersalin desa), pos obat desa, dana sehat, desa siap antar jaga dan lain-lain.(Dinkes Prop Jatim 2006: 5)
Pengembangan Desa Siaga dan keberlangsungannya sangat
tergantung pada pengakuan
masyarakat setempat. Hal ini tak lepas dari hasil layanan dan kinerja Desa Siaga itu sendiri. (Depkes RI, 2006 : 23). Untuk dapat melihat perkembangan Desa Siaga perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi meliputi indikator masukan berupa ada atau tidaknya unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam Desa Siaga, indikator proses meliputi proses pelaksanaan yang dan indikator keluaran berupa mengukur seberapa besar keberhasilan pogramnya dengan menggunakan atribut sebagai berikut : Dukungan dari pemerintah, perangkat desa, masyarakat dan tokoh masyarakat. Pengelolaan organisasi meliputi kerjasama pengurus, administrasi, koordinasi, penyajian data, dan transparansi pengelolaan. Sarana meliputi kelengkapan alat di Poskesdes(pos kesehatan desa) / polindes, bangunan poskesdes, jumlah petugas dan ambulans Desa. SDM (Sumber Daya Manusia) meliputi : petugas, pengurus, dan kader. Pelayanan meliputi : pelayanan balita kurang gizi, penyuluhan, pelayanan gratis, dan perhatian terhadap penyakit wabah seperti Demam berdarah dan lain-lain. (Dinkes Prop Jatim 2006 : 41)
Jawa Timur merupakan
propinsi perintis pengembangan desa siaga sejak tahun 2006 dengan jumlah 5000 desa pada tahap
pembinaan dan direncanakan pencapaian 8477 desa pada tahun 2008 (Dinkes Prop. Jatim 2006). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Madiun diperoleh
bahawa Kota Madiun telah
memberlakukan Kelurahan Siaga (Kelsi) sejak tahun 2007 pada 27 kelurahan dan 6 kelurahan yang sudah berada pada tahap Tumbuh yaitu Kel. Nambangan Kidul Kec. Manguharjo, Kel. Oro – Oro Ombo dan Pilangbango Kec. Kartoharjo. Kel. Kuncen, Kel. Sukosari serta Kel. Sogaten, serta 2 kelurahan pada tahap purna yaitu Kelurahan Mojorejo dan Josenan.
Menurut (McNamara, 2008:3) mengatakan evaluasi program mengumpulkan informasi tentang suatu program atau beberapa aspek dari suatu program guna membuat keputusan penting tentang program tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil dijadikan sebagai indikator - indikator penilaian kinerja atau assessment performance pada setiap tahapan evaluasi dalam tiga kategori yaitu rendah, moderat dan tinggi (Issac and Michael, 1982:22).
Dalam konteks pelaksanan program, kriteria yang dimaksud adalah kriteria keberhasilan pelaksanaan dan hal yang dinilai adalah hasil atau prosesnya itu sendiri dalam rangka pengambilan keputusan. Evaluasi dapat digunakan
untuk memeriksa tingkat
keberhasilan program berkaitan dengan lingkungan program dengan suatu “judgement” apakah program iteruskan, ditunda, ditingkatkan, dikembangkan, diterima atau ditolak. Metode
4 Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah evaluative research dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode penelitian yang akan digunakan berupa metode studi kasus (case studies). Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan agar dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam tentang makna dari fenomena yang ada di lapangan.
Model riset evaluasi yang akan
digunakan yaitu Stake’s
Countenance Model yang
dikembangkan oleh Robert E. Stake. Evaluasi model ini terdiri dari tiga tahapan/ pase yaitu; masukan (antecedents), proses (transactions), dan hasil (outcomes). Model riset ini dirasakan sesuai dengan program desa siaga yang yang memiliki indikator-indikator evaluasi berupa : (1) entifikasinya aspek kebijakan dan program (konteks), (2) aspek input, (3) aspek proses , (4) aspek output (5) aspek dampak dan (6) faktor-faktor (pendukung dan penghambat) yang mempengaruhi pelaksanaan desa siaga.
Setiap tahapan dibagi menjadi dua tahapan yaitu deskripsi
(description) dan
keputusan/penilaian (judgment), Model Stake ini berorientasi pada pengambilan keputusan (decision oriented) dan teknik pengambilan keputusan aktualitas pada setiap tahap evaluasi atau aspek dengan cara melakukan pengukuran pada setiap fokus evaluasi.
Hasil
Informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 4 orang untuk kepentingan wawancara mendalam yaitu Kepala Bidang
Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan
Kota Madiun yang
bertanggungjawab terhadap secara teknis pelaksanaan Kelsi, Ketua I Kelsi Kelurahan Mojorejo (I-1) dan Kelurahan Pandean (I-2) yang
bertanggungjawab terhadap
operasional Kelsi di masing - masing kelurahan. Sedangkan untuk pelaksanaan FGD dari kelurahan Mojorejo berjumlah 12 orang namun yang terlibat aktif dalam diskusi 6 orang dan kelurahan Pandean sejumlah 8 orang yang terlibat aktif dalam diskusi 5 orang. Unsur-unsur yang terlibat dalam FGD meliputi Kepala Kelurahan, Ketua dan Sekretaris Kelsi, Tenaga Kesehatan (Bidan & Perawat) yang berperan dalam Keluirahan Siaga, Ketua Tim Penggerak PKK, serta wakil dari masyarakat.
Kebijakan program kelurahan siaga merupakan pengembangan kebijakan dari Program Desa yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 564/Menkess/ SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Desa Siaga. Surat Keputusan tersebut merupakan tindak lanjut dari SK Menteri Kesehatan RI Nomor: 574/Menkes/ SK/ 2000 tentang Visi Indonesia Sehat 2010. Tujuan dari yang menggambarkan pada tahun 2010 bangsa Indonesia Hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga memiliki derajad kesehatan yang setingi-tingginya.
Dukungan dari pemerintah Kota Madiun terhadap Program ini diberikan berupa revitalisasi dari
5 beberapa Puskesmas Pembantu berupa pembangunan Puskesma Pembantu dan penambahan fasilitas/ ruangan sebagai Pos Kesehatan Keluran (Poskeskel) seperti yang ada di kelurahan Mororejo. Sedangkan kelurahan Pandean Poskeskel menempati bangunan Mother House yang telah ada sebelumnya sebagai
program unggulan sebelum
dilaksanakannya Kelsi. Sedangkan dukungan dari aspek pendanaan untuk operasional belum ada. Dana operasional Kelsi berasal dari Dana Baksos APBN sebesar pada kisaran Rp.1.000.0000,00 – 1.250.000. Bentuk dukungan lain dari
peneyelenggaraan program
kelurahan siaga berupa pelatihan Tenaga Kesehatan (Nakes) dan Pembantu Petugas (Bagas) dari kelurahan-kelurahan yang akan menyelenggarakan KELSI.
Kelsi Mojorejo dibentuk melalui Surat Keputusan Lurah Mojorejo Nomor : 440-401.307.1/ 14/ 2006 tanggal 3 Oktober 2006. Nama KELSI di kelurahan Mojorejo
adalah “ ANGSANA” yang
merupakan kepanjangan dari “ Angudi Santosaning Nagoro”, yang memiliki makna “ Berusaha Mewujudkan Negara yang Sentosa”. Menurut ketua Kelsi (Ny.HM) pemberian nama suatu program haruslah memiliki filosofi yang mendalam agar setiap kegiatan yang dilakukan bermakna dan bermanfaat. Kelsi di kelurahan Pandean terbentuk setelah pelatihan Petugas
dan Bagas dan dilakukan
pembentukan pengurus tanpa ada Surat Keputusan dari Kepala Kelurahan. Pada pembentukan pertama kelurahan siaga ini tidak diberikan nama, namun pada
reorganisasi yang II Kelsi di Pandean diberi nama “PANDAN SARI”,
pemberian nama ini hanya
mempertimbangkan keindahan nama bunga dan tidak memiliki makna filosofis sebagai mana yang dilaksanakan di kelurahan Mojorejo.
Struktur organisasi Kelsi Mojorejo yang terbentuk dengan orientasi utama kemudahan dalam penggerakan masyarakat melalui Formal & Personal Power yang dimiliki pengurus. Kelsi Angsana Mojorejo. termasuk dalam kategori Paripurna
Struktur organisasi Kelasi
Pandean berdasarkan Surat
Keputusan tentang Kelurahan Siaga Nomor: 02/2007 tanggal 04 April 2007. Kelsi Pandan Sari pandean saat ini berada tahap Bina. Pada tanggal 07 Juli 2010 dilakukan reorganisasi karena dinilai tidak berjalan dan akan dimulai dari awal.
Proses berdirinya Program KELSI dimulai dari sosialisasi oleh Dinkes kota Madiun kepada seluruh kepala kelurahan pada akhir tahun 2006. Lurah selanjutnya melakukan sosialisasi kepada para kader
kesehatan untuk melakukan
persiapan pelatihan yang akan diselenggarakan oleh Dinkes Kota
Madiun. Sebagai langkah
percontohan awal dilakukan pelatihan terhadap beberapa kelurahan yaitu kelurahan Mojorejo, kelurahan Nambangan Kidul, kelurahan Oro-oro Ombo dan Kelurahan Pilangbango yang masing-masing diikuti oleh 10 peserta sebagai motivator. Peserta yang dikirim adalah para kader kesehatan yang aktif dalam kegiatan Pokja IV (Kesehatan) yang nantinya akan bertugas dalam pelaksanaan
6 Kelsi. Pada pelatihan pertama materi pelatihan di arahkan pada Kelsi yang masih terbatas pada masalah KIA saja
Pada pelatihan yang ke dua dilaksanakan juga oleh Dinas Kesehatan Kota mulai diarahkan kekonsep desa siaga dengan lingkup yang lebih luas dan spesifik sehingga peserta pelatihan pada tiap-tiap kelurahan ditentukan 2 orang Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disebut sebagai Petugas dan 2 orang pembantu petugas (Bagas) yang akan melaksanakan secara teknis dan operasional dari desa siaga. Pada pelatihan yang kedua ini diikuti oleh 27 kelurahan yang ada di 3 wilayah kecamatan yaitu kecamatan Taman,
kecamatan Manguharjo dan
kecamatan Kartoharjo.
Persiapan pembentukan Kelsi Pandean dimulai dengan penunjukan Nakes dan Bagas untuk mengikuti pelatihan tahap ke II, sedangkan pada Tahap I kelurahan ini tidak ditunjuk sebagai kelurahan pecontohan. Penunjukan Nakes didasarkan atas tempat kerja Nakes diutamakan bertempat tinggal di dalam Kota Madiun, sedangkan Bagas didasarkan atas tempat tinggal mereka di wilayah tersebut dan sebagai tenaga kesehatan. Setelah pelatihan ditindaklanjuti dengan pembentukan susunan pengurus Kelsi. Struktur organisasi terbentuk melalui rapat yang diprakarsai oleh lurah beserta nakes dan Bagas yang ditunjuk Puskesmas, seperti yang dijelaskan Ketua I Kelsi Pandean:
“....otomatis ya yang pelatihan Bagas itu yang ditunjuk ketua..., yang nunjuk dulu kelurahan karena rumah saya di Pandean dan saya
petugas kesehatan, karena
hubungannya dengan kesehatan, maka dari itu kelurahan menunjuk saya”.
Langkah awal yang dilakukan oleh kader Mojorejo setelah selesai pelatihan Nakes dan Bagas yang diselenggarakan oleh Dinkes Kota Madiun, adalah pembentukan pengurus, proses pembentukan pengurus melalui musyawarah mufakat yang dilakukan oleh Lurah, LPMK, Pokja IV PKK, Kader-kader Kesehatan dan Bagas yang telah mengikuti latihan serta Petugas Kesehatan yang telah ditunjuk oleh Kepala Puskesmas. Penunjukan Ketua Kelsi di Mojorejo didasarkan atas pertimbangan utama Ketua Penggerak PKK yang secara historis banyak terlibat dalam kegiatan kesehatan di tiap-tiap kelurahan melalui Pokja IV, hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua I sebagai berikut:
” Lah disini khan lurahnya perempuan, jadi waktu itu saya yang menjadi Ketua tim Penggerak PKK, jadi disepakati saya yang menjadi ketua,.. namun demikian semua setuju.(I-1)
Tema penting yang bisa
diambil dalam pembentukan
pengurus di Kelurahan Mojorejo ini adalah pertama tidak adanya petunjuk struktur organisasi Kelsi dan kedua bagaimana struktur organisasi yang terbentuk nantinya bisa mencapai tingkat akar rumput (grass root) dari program Kelsi ini sehingga masyarakat akan terpapar secara baik dan mendukung pelaksanaan program.
Setelah kelompok-kelompok desa siaga ini terbentuk dibuatkan uraian tugas, alur komunikasi dalam tugas serta pembentukan
kader-7 kader pada tingkat RT sebagai upaya penggerakan masyarakat lebih luas.
Dalam pengorganisasian Kelsi di Mojorejo senantiasa dilakukan evaluasi untuk mempertimbangkan faktor keterwakilan dari unsur masyarakat, serta Leadership Power sangat dipertimbangkan dalam rangka menggerakkan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan pada reorganisasi yang ke dua (susunan pengurus untuk tahun 2010 – 2013) seperti disampaikan pada saat FGD sebagai berikut:
”Dalam kepengurusan ini memang kami semua tokoh-tokoh yang sudah memegang kegiatan, misalnya program jumantik, kemudian dari Posyandu, lalu dari Pokja IV, itu wakil ketua, juga dari paguyuban itu juga. Jadi kami dalam kepengurusan ini kami mengajak para ibu-ibu dan bapak-bapak yang mempunyai pengaruh dilingkungan mereka” (I-1.4)
Pengorganisasian di Pandean belum berjalan dengan baik, struktur organisasi yang terbentuk dan
pemilihan ketua tidak
mempertimbangkan kemampuan
teknis yang dibutuhkan untuk mengelola program, ini sesuai dengan pengakuan Ketua I terpilih :
“Sebenarnya saya keberatan terpilih jadi ketua, untuk memilih jadi ketua menurut pendapat saya harusnya yang punya dedikasi tinggi, terus yang kedua punya jiwa sosial yang tinggi. Walaupun punya dedikasi tinggi tapi tidak punya jiwa sosial yang tinggi ya akan macet. Seperti saya ini petugas kesehatan, yang repot dengan kerjaan jadi ya macet”.
Faktor kemampuan menjalin
komunikasi dan kemampuan
menyatukan visi harus dimiliki oleh seseorang ketua desa siaga dan keberadaannya harus diterima warga secara baik. Faktor ini belum dimiliki oleh Ketua Kelsi Pandean.
“Kurang komunikasi pak, karena petugas dan bagasnya kaku dan laki – laki. Jadi untuk komunikasinya dengan PKK itu kaku, lain kalau sama – sama dengan ibu”.
Petugas kesehatan atau tenaga kesehatan yang ditunjuk sebagai koordinator pelaksanaan Kelurahan Siaga di Pandean kurang dapat diterima oleh para pengurus yang lain dimungkinkan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pengurus Kelsi yang sebagian besar perempuan (Issue Gender).
Langkah berikutnya setelah pembentukan organisasi Kelsi di Mojorejo adalah sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan pada tanggal 20 Maret 2007. Sosialisasi dirasakan mudah karena telah terbentuk struktur organisasi dan pembagian tugas:
”Kalau saya sosialisasi ke PKK kebetulan waktu itu saya masih sebagai ketua tim penggerak PKK, karena lurahnya putri saya tim penggerak, jadi waktu itu tidak ada kesulitan sosialisasi ke ibu-ibu PKK. Sedangkan bu Lurah sosialisasinya ke RT dan RW, bapak-bapak , jadi kelurahan itu ada pertemuan rutin 2 bulan sekali, lha itu tugasnua bu
Lurah dan LPKM untuk
menyampaikan ini, mengenai desa siaga ini jadi ya mudah..”.(I-1).
Setelah proses sosialisasi selesai dilaksanakan dilanjutkan dengan proses Survey Mawas Diri
8 yang dilaksanakan tanggal 26-27 Maret 2007, survey dilakukan dengan mengambil sampel 40 KK. Hasil survey dipresentasikan dalam Musyawarah Mufakat Desa yang dilaksanakan tanggal 2 April 2007 peserta yang hadir 30 wakil masyarakat dari unsur-unsur PKK, Kelurahan, Ketua Kelompok Desa Siaga, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama. Masyalah temuan dari hasil MMD ini berupa Permasalahan
PHBS yang belum banyak
dilaksanakan dan Pelaksanaan Desa Siaga perlu sosialisasi secara meluas diseluruh masyarakat (Sumber Laporan Kegiatan Desa Siaga, 2007). Di Kelurahan Mojorejo forum masyarakat kelurahan sudah berfungsi dengan baik dan sudah
melibatkan forum – forum
pertemuan yang ada di masyarakat yaitu LPMK, Paguyuban Kader Kesehatan, PKK, Paguyuban RT dan RW serta PNPM. Pengurus Kelsi
Mojorejo menganggap bahwa
sebelum terbentuknya kelsi memang haru ada forum dulu.
Pertemuan PKK sudah
dilaksanakan tiap bulan sekali, Pertemuan kader RT setahun sekali, pertemuan pengurus kelsi 3 - 4 kali setahun dan arisan kader dilaksankan tiap bulan sekali. Jumlah pertemuan tersebut jika dihitung dalam satu tahun sudah lebih dari 12 kali. Sementara itu pada standart objektif ditetapkan 10 – 12 x/tahun skor tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan forum masyarakat Kelsi Mojorejo sudah memenuhi standart.
UKBM yang ada di Kelsi Mojorejo sudah memanfaatkan UKBM yang telah ada misalnya posyandu balita dengan jumlah 16,
posyandu lansia dengan jumlah 5, dan Poskesdes yang terletak di Puskesmas Pembantu Mojorejo.
Semua UKBM tersebut pada
prinsipnya sudah berjalan sesuai dengan jadwalnya yaitu satu bulan sekali dan cakupan ke masyarakat sudah semakin dekat.
Pelaksanaan Kelsi Mojorejo telah mendapatkan pembinaan rutin dari petugas kesehatan puskesmas setempat (Puskesmas Banjarejo) dan Dinas Kesehatan Kota Madiun sesuai dengan informasi yang diperlukan oleh pengurus kelsi. Pembinaan ini dilakukan atas inisiatif dan proaktif dari pengurus. Pengurus Kelsi Mojorejo sudah memiliki rasa membutuhkan informasi untuk kemajuan kelsinya, mereka sendiri yang mengundang pihak petugas kesehatan untuk memberikan pembinaan/pengarahan. Dari pihak petugas kesehatan juga aktif dalam petemuan kader, dan hal ini kedua belah pihak memiliki antusiasme yang tinggi untuk hadir dalam pertemuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pembinaan diberikan 4 kali dalam setahun dan dilaksanakan pada saat kegiatan pertemuan pengurus maupun kegiatan pertemuan kader RT.
Sistem Surveilans berbasis masyarakat di Kelurahan Mojorejo sudah berjalan dengan baik. Kegiatan survey mengenai PHBS, Kadarzi, KIA, KB dan daerah rawan bencana. Hasil laporan surveilence dipampang di dinding poskeskel selain di buku laporan kegiatan PKK. Kegiatan ini dilaksanakan dengan melibatkan kader PKK dan kader posyandu yang ada sehingga sistem pelaporannya menjadi satu dengan laporan PKK,
9 seperti yang disampaikan informan (1 – 1) :
” Survey itu 2 kali, yang pertama itu tahun 08 dan tahun 10, jadi yang pertama itu mengenai balita, misalnya balita ditimbang, berapa kali ditimbang, makannnya bagaimana? Kemudian yang kedua itu mengenai DB, DB itu mengenai kebersihan, pengurasan dan sebagainya itu, lalu mengenai kebersihan air minum. Terus yang tahun 2010 itu mengenai PHBS, kadarzi (keluarga sadar gizi).”
” O... itu yang memegang anu Bu, kader posyandunya. Kader posyandu itu kan juga mendata ibu hamil. Jadi seperti pasang sticker, pendataan mengisi formulir, itu yang bertugas kader psoyandu. Itu kan memang pembinaannya begitu, jadi yang mendatangi juga kader itu juga kader posyandu.”
Hasil FGD : (1-6)
” Ada. Dari warga biasanya melapor ke RT, RW langsung ke Pak Lurah. Pak Lurah nanti ngasih feedback ke puskesmas. Dari puskesmas biasanya dapat feedback dari rumah sakit swasta maupun rumah sakit di tempat dia opname biasanya. Feedback itu dari rumah sakit ke puskesmas, puskesmas langsung turun ke masyarakat. Masyarakat langsung turun dengan jumantik ke wilayah yang kena. Selama ini tidak ada kendala karena jumantik untuk pertemuannya bersamaan dengan kader posyandu juga”(1-3)
“Jadi untuk laporan
surveilans, kami ada dua jalur. Kami dari RT langsung ke kelurahan kami langsung lapor ke dinas kesehatan
atau puskesmas Banjarejo. Yang kedua dari rumah sakit kalau ada warga yang terkena penyakit apa
saja biasanya langsung
menghubungi puskesmas. Puskesmas nanti menghubungi dinas kesehatan. Dinas kesehatan akan diground ke puskesmas, puskesmas akan ke kelurahan bersama-sama kalau sifatnya demam berdarah nanti bersama kader-kader jumantik yang ada di RT nanti akan melihat beberapa rumah yang terkena demam berdarah. Di situ nanti akan diadakan pengamatan dan akan ditarik kesimpulan bahwa penyakit itu sumbernya berasal dari lingkungan atau mungkin dari tempat yang lain. Jadi kami ada dua jalur yang dipakai.”
Keberadaan UKBM berjalan dengan baik terutama UKBM yang sebenanrnya sudah eksis dan melakukan kegiatan secara rutin dan terstruktur. Berjalannya UKBM ini tidak terlepas dari peran kader yang sebagian besar adalah pensiunan yang masih ingin mengabdikan diri
mereka dan aktualisasi
kemampuannya kepada masyarakat. Kelurahan Pandean sebenarnya memliki cukup banyak forum masyarakat, namun kurangnya keterlibatan dan sosialisasi menyebabkan kurang maksimalnya pergerakan dan pemberdayaan masyarakat.
“... sosialisasi secara khusus itu tidak ada, waktu itu kumpul – kumpul dulu membentuk pengurus, terus setelah itu undangan ke RT – RT masalah SMD, MMD, MMD dan lainnya.”
Keberadaan Poskeskel di Kelurahan Pandean sebenarnya memiliki nilai lebih, karena
10 sebelumnya sudah ada Mother House yang digunakan untuk kelas ibu hamil, ibu menyusui kemudian dikembangkan fungsinya dan sering memenangkan lomba 10 Program Pokok PKK. Namun dengan adanya Kelsi dan ketuanya tidak berasal dari
unsur PKK, maka terjadi
disharmonisasi antara PKK dan Kelsi.
Demikian halnya UKBM yang ada di Pandean memiliki potensi yang sama dengan UKBM lainnya, dan yang masih tetap berjalan adalah UKBM yang sudah baku yaitu posyandu balita dan lansia melalui peran dari Pokja IV PKK.
Pengurus Kelsi Mojorejo memiliki kemampuan memberikan
reward kepada kader yang
berdedikasi dan loyalitas tinggi, hal
ini merupakan pendukung
kelangsungan program Kelsi di Mojorejo.
Kegiatan ambulan desa di Mojorejo dilaksanakan berupa bantuan transportasi untuk keluarga miskin yang sakit maupun ibu hamil yang akan melahirkan mendapat bantuan transportasi kendaraan yang ada di RT masing – masing atau mendapat ganti uang bantuan transportasi sebesar Rp. 50.000,-.
Pembiayaan kesehatan secara mandiri Kelsi Mojorejo dilakukan dalam berbagai bentuk. Sedangkan pengelolaannya dilakukan juga secara mandiri dan terlepas dari campur tangan kelurahan karena ada rasa tidak percaya masyarakat terhadap aparat kelurahan. Untuk mengelola dana kelurahan siaga dibutuhkan upaya kreatif dari pengelola untuk memperoleh sumber dana lain yang tidak membebani masyarakat.
Kegiatan surveilans di Mojorejo sudah berjalan meskipun intensitasnya masih terbatas baru 1 kali setahun dengan fokus yang
berbeda.Sedangkan komponen
proses yang belum dilaksanakan adalah deteksi dini mengenai gangguan jiwa, karena belum adanya kesiapan tenaga dan pemahaman masyarakat tentang masalah gangguan jiwa.
Hambatan yang ditemukan dalam tahap proses di Kelsi Mojorejo adalah keberadaan Bidan yang memberikan pembinaan KIA saat ini bukan Bidan Wilayah, sehingga kalau terjadi masalah yang membutuhkan konsultasi dengan bidan menjadi terganggu karena faktor tempat tinggal.
Sedangkan unsur kegiatan kelurahan siaga yang lainnya di Pandean tidak berjalan sesuai dengan harapan karena ditemukan ada
berbagai hambatan.
Ketidakberhasilan pelaksanaan kelurahan siaga tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu kemampuan pengurus, kurangnya komunikasi dan koordinasi antar pengurus serta banyaknya fasilitas kesehatan yang terjangakau oleh masyarakat terutama di sekitar wilayah Pandean.
Pada indikator hasil belum terdapat petunjuk penulisan laporan hasil menyebabkan beragam evaluasi kelurahan siaga. Tidak ada tuntutan pembuatan laporan dari Dinas Kesehatan Kota Madiun karena tidak ingin membebani masyarakat yang biasanya merupakan sesuatu yang berat untuk dilaksanakan.
Kelurahan siaga Angsana Mojorejo telah melakukan evaluasi secara mandiri meskipun tidak ada tuntutan dari Dinkes Kota Madiun.
11 Evaluasi yang dilaksanakan meliputi target program, kemampuan kader dan pengetahuan masyarakat mengenai kelurahan siaga.
Evaluasi Kelurahan Siaga di Pandean tidak dapat dieksplorasi secara mendalam karena tidak adanya laporan program, dan dinyatakan berhenti, serta baru akan direkonstruksi pengurusnya pada tanggal 08 Juli 2014.
Secara umum langkah-langkah proses pembentukan Kelsi kelurahan Pandean hampir sama dengan keluahan Mojorejo. Perbedaan
mendasar terletak pada
pengorganisasian yang sangat
berpengaruh dalam proses
pemberdayaan masyarakat.
Harapan tenaga kesehatan yang ditunjuk adalah tenaga kesehatan yang memiliki dasar keilmuan kesehatan komunitas yang kuat. Demikian juga halnya dengan kader dan pengurusnya diharapkan berjanji
akan melakukan kembali
penggerakan untuk melaksanakan kelurahan siaga, mengingat luas wilayah di Pandean yang cukup besar, yaitu terdiri dari 17 RW dan 58 RT.
Harapan dari pelaksana kelurahan siaga pada kedua kelurahan ini adalah adanya program pendampingan yang benar – benar
mampu memberdayakan
masayarakat terutama dalam penggalangan dana dan penyusunan
program. Kader kesehatan
diharapkan dari kalangan muda dan memiliki visi serta pandangan yang luas tentang kesehatan sehingga memberikan hasil lebih nyata. Pelatihan dalam berorganisasi dan kepemimpinan bagi pengurus diberikan sehingga memberikan
dampak nyata dalam
memberdayakan dan menggerakkan masyarakat.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya dokumen tentang kebijakan tertulis mengenai
pembentukan dan pedoman
pelaksanaan kelurahan siaga, maupun petunjuk teknis sebagai rekomendasi pelaksanaan kelurahan siaga. Dukungan pemerintah Kota Madiun baru sebatas pemanfaatan fasilitas – faslitas kesehatan yang ada dan pendanaan yang bersifat kuratif. Padahal kebijakan publik harus
berlandaskan formulasi
permasalahan yang muncul dalam masyarakat (Dunn, W, 2000).
Belum adanya kejelasan kebijakanp program keluarahan siaga membuat pelaksanaan kelurahan siaga di Kota Madiun hanya berdasarkan perintah dari atasan, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Madiun, artinya masih bersifat top down. Untuk menutupi kesan itu maka dibuat SK kelurahan siaga oleh lurah dimasing – masing kelurahan. Evaluasi terhadap kelurahan siaga di Mojorejo dan Nambangan Kidul sebagai percontohan juga belum pernah dilakukan. Bagi pembuat kebijakan dan administraor publik mempunyai kewajiban memberikan arah dan kebijakan yang jelas terhadap program yang dijalankan demi tercapainya tujuan yang telah digariskan.
Pada tahapan masukan
(antedence), keberadaan Forum Masyarakat berperan vital dalam penggerakan dan pemberdayaan masyarakat. Kelurahan Mojorejo mampu memanfaatkan forum yang
12 ada sebagai penggalangan dukungan dalam menggerakkan masyarakat melalui tokoh – tokoh informal yang memiliki Personal Power untuk mempengaruhi stake holder.
Partisipasi pasif masyarakat menjadi persoalan tersendiri bagi tokoh masyarakat, sementara lembaga sosial masyarakat dan kader kesehatan telah mampu berperan aktif dalam penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat menganut nilai – nilai budaya hidup sehat. Hal ini menunjukkan partisipasi aktif
tokoh masyarakat untuk
mensukseskan pelaksanaan
kelurahan siaga. Kondisi ini mampu dibaca oleh pengurus di Mojorejo dengan mengajak mereka membahas penerapan kelurahan siaga dan menempatkan mereka dalam struktur organisasi Kelsi sesuai dengan kedekatan kedudukannya maupun pengaruhnya di komunitas.
Pada tahapan proses
(transection) terdapat fenomena menarik bahwa meskipun kelompok masyarakat penggerak yaitu tokoh masyarakat, lembaga sosial masyarakat dan kader kesehatan tidak dilibatkan dalam penyusunan perencanaan, namun mereka tetap memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kelurahan siaga. Keberhasilan program kelurahan siaga tidak terlepas dari peran dan fungsi kegiatan yang pernah dilakukan dan segenap lembaga sosial kelurahan yang secara bersinergi mendukung keberadaan program kesehatan.
Model pemberdayaan telah mampu menjembatani gap antara
dukungan masyarakat dalam
pelaksanaan kelurahan siaga dengan kebijakan kelurahan siaga dari Dinas
Kesehatan. Perbedaan kepentingan dan konflik – konflik sosial dalam pelaksanaan kelurahan siaga sebagai dampak pemberdayaan telah mampu
diredam dengan community
organizing melalui sosial action yang dilakukan olah provider, lembaga sosial masyarakat, tokoh masyarakat maupun kader kesehatan. Pandangan ini dapat dilihat dari keberadaan Kelsi Mojorejo yang telah mampu mengaplikasikan pendapat tersebut sedangkan di Kelsi Pandean tidak ditemukan.
Upaya kreatif tokoh
masyarakat, lembaga sosial masyarakat maupun kader kesehatan dengan dukungan Lurah dalam menghimpun dana sesuai dengan teori resource dependency, merupakan upaya penanggulangan ketidakmampuan sumber daya yang dibutuhkan. Dukungan pengelolaan dana swadaya masyarakat telah mampu memberikan kontribusi terhadap kelangsungan kelurahan siaga. Kesadaran menghimpun dana tersebut dilakukan melalui Basokha dan pengembangan dana melalui koperasi.
Ada beberapa hal yang harus dikritisi mengenai pengembangan kelurahan siaga, pada tahapan proses dengan bercermin pada Kelsi Mojorejo dan Pandean sebagai
cerminan keberhasilan dan
kegagalan. Hal tersebut yaitu 1)
keberadaan Pos Kesehatan
Kelurahan (Poskeskel) sebagai syarat kelurahan siaga, masih sebatas keberadaan fisik, belum diikuti kelangsungan kegiatannya. 2) Jika hanya keberadaan fasilitas fisik target kelurahan siaga di Indonesia sudah tercapai, namun kondisi keberadaan fasilitas fisik yang ada
13 tidak dipertimbangkan. Jika penilaian indikator penilaian kelurahan siaga mencakup berfungsi tidaknya Poskeskel (indikator input + proses), maka target tersebut sulit dicapai. 3)Tenaga kesehatan sebagai petugas Poskeskel tampaknya masih mengambil porsi yang lebih besar pada upaya kuratif dari pada promotif dan preventif. 4) Untuk memandirikan masyarakat agar hidup sehat masih tergantung pada interaksi petugas dengan masyarakat atau yang dikenal dengan kunjungan rumah. 5) Revitalisasi puskesmas dan psoyandu sudah dilaksanakan, akan tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana pemerintah konsen terhadap peningkatan tenaga kesehatan dari pusat sampai puskesmas.
Pada tahapan out put belum ada formulasi kebijakan dan pedoman penyelenggaraan yang baku dari Dinas Kesehatan Kota Madiun, menyebabkan beraneka ragam tolok ukur evaluasi keberhasilan pelaksanaan program kelurahan siaga.
Simpulan
Kesamaan pemahaman
terhadap keberadaan kelurahan siaga, keberadaan forum masayarakat, warga dan petugas memiliki visi yang sama, serta keberadaan sumber dana merupakan faktor pendukung keberhasilan kelangsungan kelurahan siaga. Tenaga kesehatan yang jauh dari masyarakat, kader yang kurang memahami masalah kesehatan dan sudah lanjut usia serta issue gender merupakan faktor penghambat kelangsungan kelurahan siaga.
Saran
Program kelurahan siaga yang dilaksanakan di kabupaten/kota seharusnya dilengkapi dengan pedoman pelaksanaan, dilakukan pendampingan, penyediaan anggaran dan tenaga kesehatan yang mencukupi. Masyarakat hendaknya
memberikan dukungan penuh
terhadap pelaksanaan kelurahan siaga dan kelangsungannya tidak bergantung kepada pemerintah.
Daftar Pustaka
Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Sebagai Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta
Bilson Simamora. 2001.
Remarketing For Business Recovery Sebuah Pendekatan Riset. Jakarta. PT Gramedia Depkes RI. 2006. Desa Siap Antar
Jaga (SiAGa). Jakarta. Depkes RI
Depkes RI. 2006. Pedoman
Pengembangan Dan
Penyelenggaraan Pos
Kesehatan Desa. Jakarta. Depkes RI
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur. 2006. Pedoman
Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga Di Jawa Timur. Surabaya. Dinkes Prop. Jatim Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun.
2007. Buku Bacaan Fasilitator Siap- Antar-Jaga. Madiun. Dinkes Kab Madiun
Nasrul, Efendy.1998 Pasar Dasar
Keperawatan Kesehatan
Masyarakat. EGC. Jakarta Fandy Tjiptono. 1997.Total Quality
Service. Jakarta
Mckenzie, James F. et all. 2002 Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar. EGC. Jakarta
14 Notoadmojo. 2006. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Edisi Kedua. Jakarta. PT Rineka Cipta
Nursalam. 2001. Konsep Dan
Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi Pertama. Jakarta. Salemba Medika
Sabar Guna, S. 2004. Pemasaran Rumah Sakit Yogyakarta, konsorsium Rumah Sakit Islam Jawa Tengah
Suparanto. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Bangsa Pasar. Widya Medika.
Suparanto. 2001. Strategi Kepuasan Pelanggan. Widya Medika Vincent Gaspers. 2006. Total Quality
Management Untuk Praktisi Bisnis dan Industri. Jakarta. PT Gramedia Pustaka utama