1 BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Osteoarthritis (OA), atau yang biasa dikenal dengan penyakit sendi degeneratif, merupakan penyakit
dengan kerusakan sendi diarthrodial (sendi yang dapat
bergerak dan dilapisi cairan sinovial) (Harrison's,
2005).
OA merupakan sepuluh besar penyakit yang
menyebabkan disabilitas di Negara berkembang. 80%
menyebabkan adanya keterbatasan gerak dan 25%
mengganggu aktifitas sehari-hari, seperti
ketidakmampuan berjalan sejauh 1 sd 4 mil yang diderita
sebanyak 6 juta jiwa, adanya hambatan dalam membungkuk
atau naik-turun tangga yang diderita sebanyak 6 juta
jiwa, serta keterbatasan dalam melakukan
aktifitas-aktifitas sosial yang dialami sebanyak 2 juta jiwa
pasien OA. Akibat dari keterbatasan dalam bergerak dan
beraktifitas, sebesar 18,1% pasien OA menderita depresi
mayor, sementara kelainan pada jaringan ikat dan
rematik menyumbang terjadinya kematian (mortalitas)
2
OA menyebabkan pengeluaran biaya yang tinggi, baik
terhadap pengobatan OA sendiri (direct cost) maupun
terhadap gaji atau pendapatan pribadi (indirect cost).
Pada tahun 2003 di Amerika Serikat untuk biaya
pengobatan OA menginjak angka sebesar 80 juta dolar,
sementara akibatnya terhadap gaji atau pendapatan
pribadi sebesar 47 juta dolar, jika dijumlahkan angka
ini mencapai 128 miliar dolar. Pengobatan OA banyak
digunakan untuk terapi pergantian sendi (joint
replacement) dimana pemilihan terapi ini mencapai angka yang tinggi pula (Center For Disease Control And
Prevention, 2013).
Usia merupakan faktor resiko umum terjadinya OA,
dimana kejadian semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, sebanyak 50% kejadian OA diderita
pada usia 65 tahun atau lebih. Sayangnya dengan
semakin tingginya populasi lansia dewasa ini yaitu
menginjak 380 juta jiwa, memungkinkan untuk terjadinya
OA akan semakin meningkat, ditambah perkiraan pada
tahun 2020 populasi lansia akan meningkat 82% menjadi
680 juta jiwa. Jika dibandingkan terhadap tiap angka
3
sebanyak 15 jiwa tiap satu kelahiran hidup, angka ini
pada Negara berkembang sebanyak 4 jiwa tiap satu
kelahiran hidup (Center For Disease Control And
Prevention, 2013).
Merupakan suatu kebutuhan yang penting untuk
memahami perjalanan penyakit OA lutut sebagai upaya
terapi preventif dan mengurangi faktor-faktor resiko
terkait guna pengontrolan insidensi dan progresi OA
lutut yang terjadi (Leyland, 2012).
Hanya 9.6% dan 18% pasien pria dan wanita yang
berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki tampakkan
gejala OA secara klinis, angka ini terbilang sedikit
untuk mendiagnosis OA berdasarkan pendekatan klinis
(World Health Organization, 2013). Selama beberapa
dekade, pencitraan langsung atau X-ray pada kartilago
membantu dalam menegakkan diagnosis OA, American
Collage Of Rheumatology dalam pedomannya membagi tiga cara pendekatan diagnosis OA, yaitu (1). Pendekatan
klinis dan radiografi, (2). Pendekatan radiografi dan
laboratorium, (3) pendekatan klinis. Penggunaan X-ray
dilakukan dengan pencitraan secara tidak langsung pada
4
dianggap sebagai marker untuk kerusakan kartilago.
Sebagai pembanding, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dapat melihat secara langsung struktur kartilago pada
sendi yang terkena (Leyland, 2012).
Permasalahan besar yang dihadapi di Indonesia
adalah terbatasnya jumlah ahli radiologi yaitu sekitar
700 orang yang melayani sekitar 220 juta penduduk
Indonesia (Prasetya, 2005). Permasalahan ketersediaan
ahli radiologi dapat diatasi bila terdapat sebuah
sistem yang memungkinkan ahli radiologi tetap dapat
melakukan analisa medis tanpa harus datang secara
langsung pada lokasi pusat pelayanan medis. Aplikasi
teleradiologi mampu memberi solusi untuk permasalahan
ini (Pradikta, 2010).
Teleradiologi, kemampuan untuk menghasilkan gambar
pada satu lokasi dan mengirimnya pada jarak tertentu
untuk tujuan diagnosis atau konsultasi. Teleradiologi
telah dilakukan selama 50 tahun dan merupakan bagian
dari konsep telemedicine, penyaluran pelayanan
kesehatan pada daerah tertentu (Thrall, 2007).
Kegunaan teleradiologi dapat mengurangi kebutuhan
5
pelayanan kesehatan, menurunkan biaya operasional rumah
sakit, seorang ahli radiologi dapat memberikan
pelayanan atau konsultasi pada sejumlah lokasi yang
tidak mungkin dilakukan dalam waktu yang lama, membantu
dokter umum dalam alokasi waktu pelayanan secara
efisien sehingga memungkinkan praktek berjalan rutin,
meningkatkan harapan pasien (Thrall, 2007).
Pada survey 114 rumah sakit swasta di Amerika
Serikat, 82% rumah sakit tersebut menggunakan teknologi
teleradiologi untuk memberikan pelayanan berbasis
radiologi. Data ini mengindikasikan bahwa dewasa ini,
teleradiologi telah banyak digunakan dalam praktek
sehari-hari (Corr, 2000).
Progam-progam telemedicine antara rumah sakit
daerah dan rumah sakit pusat telah sukses diterapkan di
Amerika Serikat, Kanada, Arab Saudi dan Australia. Pada
semua negara ini, telemedicine memberikan kesempatan
spesialis untuk menemuai pasien dibandingkan pasien
sebaliknya yang menemui spesialis. Di Afrika Selatan,
dengan daerah pedesaan yang luas, penggunaan pelayanan
berbasis komunikasi sudah dilakukan untuk mempermudah
6
meningkatkan hubungan telemedicine nasional setempat
(Corr, 2000).
Teleradiologi ini harus didukung oleh hasil
pencitraan yang baik, memenuhi standar kualitas
pencitraan dan alat komunikasi elektronik yang memadai
sehingga gambar yang dihasilkan tidak menimbulkan bias
penafsiran (Antonio Jose Salazar, 2011).
Modalitas yang dilaporkan dapat diterapkan
teleradiologi adalah CT-Scan (95%), diikuti USG (84%),
konvensional radiografi (43%) dan MRI (47%).
Teleradiologi diterapkan dengan dilakukannya
digitalisasi film X-ray untuk diagnosis. Proses-proses
yang terlibat yakni mulai dari: pencitraan film
digital, transmisi file, penampungan data, image
display, penyetakan hasil. Alat untuk menangkap gambar merupakan bagian penting yang mempengaruhi kualitas
interpretasi diagnosis nantinya. Biaya untuk melakukan
pencitraan gambar secara digital menggunakan digitizer
cukup mahal bagi daerah berkembang, sehingga terdapat
alternatif penggunaan alat lain yang digunakan yakni
konvensional scanners dan kamera digital atau kamera
7
Ukuran untuk pengiriman gambar melalui email
(internet) menjadi masalah lain dalam teleradiologi,
teknik ini membutuhkan suatu bentuk perlakuan kompresi
pada gambar sebelum dikirim. Hal ini mempengaruhi
kecepatan pengiriman data dan kemampuan alat elektronik
penerima untuk memproses data soft copy yang dikirim
tersebut. Studi-studi sebelumnya menganalisis kualitas
diagnosis dari gambar X-ray yang telah dikompresi
(Antonio Jose Salazar, 2011).
I.2 Perumusan Masalah
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit kompleks multifaktorial dan mempunyai dengan beban kesehatan
yang tinggi. Standar modalitas diagnosis yang digunakan
adalah MRI. Tetapi tidak semua fasilitas kesehatan
memilikinya. Konvensional radiografi sampai sekarang
masih digunakan.
Ketersediaan spesialis radiologi di indonesia yang
masih sangat terbatas mendorong berkembangnya
teleradiologi. Ukuran untuk pengiriman gambar melalui
email (internet) menjadi masalah lain dalam
teleradiologi, teknik ini membutuhkan suatu bentuk
8
mempengaruhi kecepatan pengiriman data dan kemampuan
alat elektronik penerima untuk memproses data soft copy
yang dikirim tersebut.
Permasalahan yang timbul adalah apakah terdapat
perbedaan kualitas gambar hard copy dengan soft copy
hasil digitalisasi menggunakan digitizer dan kamera
saku.
I.3 Pertanyaan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas dapat ditarik suatu
pertanyaan:
1.Apakah terdapat perbedaan kualitas citra dan
kesesuaian diagnosis pada hard copy foto polos
osteoarthritis genu dengan soft copy hasil digitalisasi menggunakan digitizer.
2.Apakah terdapat perbedaan kualitas citra dan
kesesuaian diagnosis pada hard copy foto polos
osteoarthritis genu dengan soft copy hasil digitalisasi menggunakan kamera saku.
I.4 Tujuan Penelitian
1.Membuktikan soft copy hasil digitalisasi menggunakan
9
diagnosis yang sama dengan hard copy foto polos
osteoarthritis genu.
2.Membuktikan soft copy hasil digitalisasi menggunakan
kamera saku, mempunyai kualitas citra dan kesesuaian
diagnosis yang sama dengan hard copy foto polos
osteoarthritis genu.
I.5 Manfaat Penelitian
1.Sarana pembuktian ilmiah bahwa soft copy hasil
digitalisasi menggunakan digitizer dan kamera saku,
mempunyai kualitas gambar dan kesesuaian diagnosis yang
sama dengan hard copy foto polos.
2.Sebagai dasar penerapan dan pengembangan
teleradiologi di rumah sakit setempat.
I.6 Keaslian Penelitian
Peneliti, tahun
Subyek Perbandingan Hasil
Antonio et al., 2011 136 foto polos chest X-ray Film digitizer, flatbed scanner dan 10-megapixel kamera digital
Tidak terdapat perbedaan signifikan pada tampilan
diantara ketiganya Larson et al., 1997 139 foto polos ekstermita s dan thoraks Hard copy dengan laser digitizer
Tidak ada perbedaan bermakna walaupun ada sedikit penurunan
sensitifitas Szot, et al., 2004. 91 foto polos thoraks dengan kecurigaan TB JPEG dan JPEG 2000 dengan film asli
Tidak terdapat perbedaan signifikan pada tampilan